"Ada," jawab Pak Marno.
"Siapa Pak? Apa Bapak mengenalnya?" tanya Dewi. Dewi sangat tak sabaran dan penasaran, ternyata benar dugaannya. Apa yang mencari Bu Wiyah punya kepentingan yang sama dengan mereka?
"Pak Darma. Orang paling kaya di kampung ini," kata Pak Marno.
Mereka semua saling pandang, ternyata Pak Darma yang mencari Bu Wiyah. Kenapa Bu Wiyah juga menghindar bertemu dengan Pak Darma? Tapi anehnya, kenapa dia justru memilih tinggal di kampung yang sama dengan Pak Darma. Kalau tak ingin berjumpa dengannya.
"Apa Bu Wiyah gak pernah cerita sama Bapak. Kenapa dia menghindar dari Pak Darma?" tanya Roni tanpa memberitahukan kalau dia anak Pak Darma.
Terlihat Bu Wiyah berjalan seorang diri. Sesekali dia melihat ke belakang, seolah takut ada yang menguntitnya. Rasanya mereka tak sabar ingin mendengar cerita dari mulut Bu Wiyah."Bulek, itu kan, Bu Wiyah adik Bapak?" tanya Roni pada Bu Ipah."Iya, tak salah lagi. Itu Wiyah," kata Bu Ipah, dimatanya sudah mengambang bening kristal yang siap merangsek untuk keluar. Haru juga sedih berbaur menjadi satu di hati Bu Ipah saat ini.Sudah sangat lama dia tak bertemu dengan Bu Wiyah, ipar sekaligus sahabat sejak dia masih kecil. Juga sedih, melihat keadaan Bu Wiyah yang sangat miris. Hidup dalam serba keterbatasan, juga kesepian seorang diri.Sejatinya, Bu Ipah pun sama, hidup seorang diri di kampungnya. Karena
Mereka mendengar suara langkah kaki. Juga suara pintu yang dibuka. Bu Wiyah membuka pintu tak terlalu lebar, hanya untuk melihat siapa yang datang saja. Dia mematung melihat orang-orang yang ada di depan rumahnya."Wiyah, ya Allah Wiyah. Ini aku, Ipah," kata Bu Ipah langsung merangsek ke dalam. Tanpa aba-aba, Bu Ipah langsung memeluk Bu Wiyah.Bu Wiyah masih terpaku, serasa tak percaya atas apa yang dilihatnya. Bu Ipah menangis haru, rasa rindu Bu Ipah akhirnya bisa terobati. Orang yang dipeluknya saat ini, adalah benar sahabatnya."Ipah?" Hanya sepenggal nama yang meluncur dari mulut Bu Wiyah. Seolah tak percaya, bahwa benar Bu Ipah yang ada di hadapannya."Iya, Wiyah. Ini aku," kata Bu Ipah mencoba mey
"Di perantauan Minati berkenalan dengan seorang pemuda. Mereka saling jatuh cinta dan memutuskan menikah. Aku juga menerima pemuda itu, orangnya baik juga taat, meskipun hidupnya serba kekurangan."Mereka masih setia mendengarkan, tanpa berniat menyela sedikitpun cerita Bu Wiyah."Sampai Minati hamil anak pertamanya. Saat kandungannya menginjak lima bulan. Suaminya yang seorang buruh bangunan, meninggal karena kecelakaan kerja. Pihak perusahaan tak mau bertanggung jawab." Kami semua terpekur mendengarnya, Bu Wiyah mengusap air matanya yang mengalir deras."Minati sangat terguncang. Dia selalu berusaha mengakhiri hidupnya. Aku kewalahan menjaganya. Akhirnya aku memutuskan pulang kembali ke sini, membawa Minati. Aku menepiskan egoku demi Minati. Mau tak mau, Mas Da
"Terus, apa yang kamu lakukan Wiyah?" tanya Bu Ipah pada Bu Wiyah."Aku tak berani berbuat apa-apa. Hanya diam, tak berani komentar apalagi bertanya. Waktu itu aku bingung harus berbuat apa. Dari situ akhirnya aku faham kenapa kematian Danu dan Suci sangat janggal dulu. Kamu ingatkan, bagaimana Danu dan Suci meninggal?" Bu Ipah mengangguk, menjawab pertanyaan Bu Wiyah.Pandangan mata Bu Ipah menerawang, mungkin beliau sedang mengingat lagi, bagaimana kematian Danu dan Suci terjadi. Kematian yang tak wajar menurutnya. Demam tinggi menjadi penyebab utama meninggalnya dua bocah itu. Hanya menjadi janggal saat terdapat bekas cekikan di leher mereka. Juga dengan kepala terdongak dan kaki juga tangan yang menekuk. Namun saat itu tak ada yang berniat mengusut peristiwa kematian dua bocah itu. Apalagi mereka meninggal dalam
"Mbak Wati yang tak mau menghentikan perjanjian itu," kata Bu Wiyah.Bu Ipah terhenyak merasa tak percaya, kalau Bu Wati, kakak kandungnya justru yang tak mau lepas dari perjanjian itu. Nafasnya terasa sesak, tak percaya tapi tak mungkin Bu Wiyah mengarang cerita."Kamu tau kan, Mas Darma sangat mencintai Mbak Wati?" Bu Wiyah masih menatap lekat ke manik mata Bu Ipah. Mengatakan, bahwa apa yang diceritakannya adalah kebenaran.Bu Ipah hanya diam, tak menjawab pertanyaan Bu Wiyah. Dia tak menampik hal itu. Mereka memang mengetahui, cinta Pak Darma sangat besar pada Bu Wati. Pak Darma sangat sulit menolak setiap keinginan Bu Wati. Bahkan sejak mereka hidup serba kekurangan. Hanya saja sebelum harta menyinggahi hidup mereka. Bu Wati juga sosok istri yang menerima apa adan
Roni juga menyodorkan air itu pada Dewi dan Dodo. Dodo sedari tadi hanya diam, mungkin dia belum bisa mencerna arah pembicaraan ini. Atau sesungguhnya, hatinya juga sedang dilanda keterkejutan. Karena tak menyangka ternyata orangtua sahabatnya terlibat pesugihan. Perjanjian sesat yang dilaknat Allah. Musyrik, dosa besar yang tak terampunkan. Apalagi Dodo juga mengenal Pak Darma dan Bu Wati. Rasanya tak percaya kalau mereka melakukan perjanjian yang menyesatkan iman.Sesaat mereka membiarkan Bu Wiyah tenang dulu. Bu Wiyah tak lagi tergugu, meski masih jelas air matanya tak henti mengalir. Tangannya berulangkali menghapus bening kristal di wajahnya. Yang terus mengalir membentuk aliran sungai kecil di kedua pipinya.Dewi mengelus-ngelus punggung Bu Wiyah. Saat ini dia sedang butuh sedikit perhatian yang kecil.
Dewi terhenyak, ternyata kisah anak Minati berbeda dengan kisahnya. Berarti bukan dia anak Minati. Bukankah kata Bu Yanti, Dewi di temukan hanyut di sungai? Dewi agak kecewa, ternyata dia hanya berperasaan saja. Tapi kenapa … wajah Minati sangat mirip dengan Dewi? Seandainya mereka hidup di zaman yang sama. Mereka selayaknya anak kembar, hanya tembong kecil di pipi Dewi yang membuat mereka tampak berbeda."Kenapa kau berikan pada orang lain! Dia keponakanmu Wiyah!" Bu Ipah terlihat agak kesal. Tak menyangka Bu Wiyah setega itu."Maafkan aku Pah. Aku memang sengaja melakukannya, semua juga atas perintah Mas Darma," kata Bu Wiyah.Terang saja hal itu membuat mata mereka semua terbelalak. Ternyata Pak Darma juga mengetahui tentang anak Minati.
"Biar saja! Biar Bapakmu hidup dalam penyesalan seumur hidupnya!" ketus Bu Wiyah."Wiyah, kenapa kau berkata seperti itu. Tinggal Mas Darma, Abangmu. Maafkanlah dia. Lagipula dia tak sengaja melakukan perjanjian itu." Kali ini keadaan menjadi berbalik. Bila tadi Bu Ipah yang belum bisa menerima kenyataan. Sekarang Bu Wiyah pula. Bu Ipah berusaha melunakkan hati Bu Wiyah."Tapi seharusnya, begitu sadar dia jangan menunda-nunda untuk bertobat!""Astaghfirullah Wiyah, urusan hati, Allahmenentukan. Lalu bagaimana denganmu yang menjadi sekeras batu begini!"Bu Ipah dengan Bu Wiyah malah berdebat. Mempertahankan argumennya masing-masing. Bu Wiyah terdi
"Oek oek oek!" Suara tangisan bayi yang sudah lama ditunggu akhirnya terdengar juga. Semua orang bernafas lega mendengarnya."Alhamdulillah." Mereka semua mengucap syukur dengan mengusap kedua telapak tangan di wajah masing-masing."Suaranya kenceng bener. Sehat cucu kita," kata Bu Ipah dengan mata berbinar."Cowok apa cewek ya. Nggak sabar aku, pengen lihat wajahnya." Bu Wiyah mondar mandir di luar kamar bersalin.Sementara di dalam kamar bersalin, Roni tak sanggup menahan tangisnya. Dipeluknya erat tubuh Dewi yang semakin lemah. Dewi mengalami pendarahan hebat, hal ini di luar prediksi. Karena selama kehamilan, tak ada masalah apapun. Kata Bidan yang memeriksanya, Dewi bisa melahirkan normal. Begitu pun saat
"Semua terserah pada Ibu. Maafkan Roni. Kali ini Roni gak bisa menuruti keinginan Ibu. Laki-laki yang tak bisa mengambil sikap, tak layak menjadi Imam." Widuri terdiam mendengar kata-kata Roni."Yang, tolong ambilkan makan Ibu," pinta Roni pada Dewi yang hanya mendengarkan dialog Ibu dan anak itu. Kali ini Dewi sama sekali tak berminat ikut campur.iDewi yang merasa kondisinya kurang fit segera bangkit, membuka rantang yang dibawa. Dan meletakkan sedikit nasi dan sup ikan pada piring makan Widuri. Setelah menyerahkan ke tangan Roni, tiba-tiba Dewi merasakan kepalanya sangat pusing."Yang, kamu gapapa?" tanya Roni melihat Dewi yang memegangi kepalanya. Dewi merasa, pandangannya seakan berputar hingga dia merasa mual. Dan ….
"Ibu baik-baik di sini ya. Pokoknya Roni dan kami semua akan menepati janji. Setiap hari akan menemani Ibu di sini." Roni berjongkok di hadapan Widuri, menggenggam tangannya dengan hangat. Widuri mengangguk, dia sudah sangat senang Roni menempatkannya di tempat yang sangat baik. Puluhan tahun dia tinggal di kandang kambing, dan terpisah dari anaknya. Kalau hanya menunggu beberapa saat lagi, hal itu masih bisa dia lakukan."Bu kami pamit ya. Besok kami datang lagi." Dewi memeluk tubuh Widuri. Widuri membelai lembut kepala wanita yang memakai pasmina berwarna pastel itu. Bu Ipah dan Bu Wiyah juga melakukan hal yang sama terhadap Widuri."Ndok, Bapak tinggal ya. Sesok Bapak teko meneh. Kowe sing apik berobatnya. Biar ndang sembuh." Kek Warno memeluk putri semata wayangnya itu. Baru kali ini dia akan berada jauh dari anaknya.
Hanya satu yang mengganjal di hati Widuri. Roni masih belum bisa menerima, kalau Surya lah ayah kandungnya. Kesalahan yang Surya lakukan memanglah teramat besar. Namun Widuri bisa memaklumi, saat itu Surya masih terlalu belia, untuk bisa mempertahankan yang seharusnya menjadi miliknya. Hatinya dan Surya telah menyatu sejak lama, sebab itu Widuri tau, Surya tulus meminta maaf dan benar menyesali kebodohannya di masa lalu. Sorot mata Surya menyiratkan penyesalan yang begitu besar dan pengharapan akan maaf dari putra biologisnya. Widuri melihat, tak ada kebohongan di mata Surya, sebab itu bersedia menerima Surya kembali. Pun rasa cintanya di masa remaja, masih melekat kuat di hatinya. Tak terkalahkan, meski puluhan tahun raganya dikuasai iblis laknat."Ibu jangan takut ya, disana juga ada Bapak." Alis mata Widuri bertaut mendengar yang Roni bilang barusan.
"Gimana Ko, panen beberapa hari ini, apa sudah lebih baik?" tanya Roni pada Joko, salah satu orang yang dipercaya mengurus kebun milik Pak Darma."Masih belum ada perubahan yang signifikan Mas. Tapi sudah sedikit lebih baik dari beberapa hari lalu," jawab Joko yang berjalan mengikuti di samping Roni. Roni ingin melihat langsung, kondisi pohon-pohon sawit yang ada di kebun milik Pak Darma. Yang sekarang sudah diserahkan padanya."Oh iya. Kenalin, ini Kakek saya." Roni memperkenalkan Kek Warno pada Joko. Joko dengan sopan menyalami Kek Warno. Mereka lanjut lagi berkeliling kebun."Tapi biaya operasional bisa di atasikan?""Alhamdulillah, bisa Mas. Bahkan dua hari ini, bisa menambah isi kas, biarpun sedikit
"Mungkin karena belum terbiasa dengan rumah ini Bulek," kata Dewi. Tangannya terus mengaduk nasi yang sudah mulai menjadi bubur. Sementara Bik Jum membantu menyiapkan bahan pelengkap untuk bubur ayam.Hati Dewi sebenarnya sedikit ragu akan kata-katanya sendiri, tapi dia tak mau membuat Bu Ipah khawatir. Hal yang dia dan Widuri bisa rasakan, sangat sulit untuk dijelaskan."Bulek bawakan teh ini dulu ke depan ya. Tadi sepertinya Roni sama Lek Warno keluar.""Paling di halaman depan, Bulek. Kata Mas Roni, dia mau olahraga sedikit.""Ya sudah, Bulek antar ke teras. Bik, tolong ambilkan biskuit," kata Bu Ipah pada Bik Jum.Bik Jum membuka salah satu
Alangkah terkejutnya mereka, melihat Bu Ipah dan Bu Wiyah berusaha mengangkat Widuri yang tergeletak di lantai. Roni langsung bergerak cepat mengangkat tubuh Widuri ke atas ranjang. Dewi langsung ke dapur, mencari kotak P3K yang ada di lemari dapur. Dengan langkah lebar dia kembali lagi ke kamar bersama kotak P3K di tangannya."Kok Ibu bisa jatuh?" tanya Dewi, sembari tangannya terampil membersihkan luka di dahi Widuri dengan kapas yang sudah diberi alkohol. Lalu Dewi teteskan antiseptic dan menutupnya dengan perban dan plaster.Widuri tak menjawab, bukan tak mau. Tapi dia belum bisa mengeluarkan kosa kata yang banyak dari pita suaranya. Widuri tadi seperti melihat ada siluet orang dari jendela kamar, karena panik Widuri lupa, kalau kakinya belum kuat untuk berjalan. Hingga akhirnya dia terjatuh dari atas ranjang.
TIN TIN TINPak Dirman berlari-lari kecil menuju gerbang ketika mendengar suara klakson mobil majikannya. Buru-buru dibukanya pintu gerbang dengan lebar, agar mobil majikannya bisa segera masuk ke halaman. Pak Dirman terus melihat ke arah mobil Roni. Dia merasa sedikit heran, karena melihat orang tak dikenal bersama dengan Roni duduk di depan.Segera ditutupnya kembali pintu gerbang setelah mobil Roni masuk dengan sempurna dan berhenti di halaman rumah. Semua orang yang ada di dalam mobil langsung turun. Bik Jum yang juga keluar dari dalam rumah ketika mendengar suara klakson mobil Roni, segera membantu mengangkat semua barang dari dalam mobil."Ron angkat Ibumu," titah Bu Ipah."Iya Bulek." Roni gegas menggendong Wid
Roni hanya menatapi Kakeknya dan anggota keluarga yang lain saling berbasa basi dengan para tetangga untuk sekedar berpamitan, karena mereka akan pergi cukup lama dari kampung itu. Bahkan mungkin tak akan kembali lagi. Roni melihat Surya menggendong tubuh ringkih Widuri. Hatinya sangat sakit melihat itu, sedianya tadi, dia yang hendak menggendong Widuri. Tapi rasa kesal di dadanya tak mampu dia sembunyikan, meski hanya dengan seulas senyum kepalsuan."Kenapa Kakek dan Ibu mudah sekali memaafkan dia!" gumam Roni dengan gigi gemeletuk.Dewi mengiringi di belakang Surya yang menggendong Widuri, bergegas menyiapkan bantal buat bersandar Widuri agar merasa lebih nyaman di dalam mobil. Roni hanya diam, tanpa sedikitpun menoleh. Dia terpaku oleh rasa sakit di hati. Padahal dia baru saja mengetahui kebenaran tentang dirinya. Tapi rasa