Beruntung mereka yang bisa merasakan langsung kasih sayang kedua orangtua. Maka sayangi mereka, jangan pernah berkata "ah" meski kau tak menyukai apa yang dikatakannya. Apalagi membentak juga membangkang pada orangtua. Di saat kita merasa orangtua kita terlalu cerewet juga bawel. Percayalah, di luar sana banyak yang ingin mendengar omelan ayah dan ibunya. Tapi jangankan mendengar omelan, bahkan mereka tak tau seperti apa suara orangtuanya.
"Ganteng Ayahmu, Wi. Sangat cocok sama Minati, pasangan serasi," kata Bu Ipah mengomentari foto Ayah Dewi.
Ayah Dewi memang sangat ganteng di foto itu. Gagah, meski berkulit sawo matang. Tak tampak kalau pekerjaannya hanya seorang kuli bangunan. Ibunya juga cantik sekali. Senyum mereka mengembang di setiap foto yang Dewi lihat. Terlihat bahagia kehidupan mereka, meski Ayahku hanya seorang bur
"Biyah … Bulek … ada yang mau Roni ceritakan. Biyah sama Bulek pun berhak tau tentang masalah ini," kata Roni membuka percakapan usai mereka sholat Isya berjamaah.Mukenah pun masih lagi dikenakan oleh Bu Ipah, Bu Wiyah dan Dewi."Sebenarnya Roni ingin menceritakan hal ini dari tadi saat di rumah Biyah. Tapi tadi ada Dodo, makanya Roni masih menahan diri. Walaupun dia sudah banyak tau tentang keluarga ini. Tapi untuk yang satu ini, biarlah tetap menjadi rahasia keluarga kita," kata Roni. Membuat rasa penasaran kembali hadir di hati Bu Ipah dan Bu Wiyah."Apalagi yang belum kamu ceritakan, Roni?" Pertanyaan Bu Ipah mewakili Bu Wiyah. Beliau lebih mendekatkan posisi duduknya dengan Roni.
Roni sangat sulit memejamkan matanya, padahal kantuk sudah menyerang sejak tadi. Sudah tengah malam, hanya terdengar suara detik jam yang seakan berjalan sangat lambat.Tik tik tikSuaranya mengiringi lamunan Roni yang melayang memikirkan Ibunya.Besok mereka akan berangkat ke kampung lama Pak Darma dan Bu Wati, untuk menemui Widuri, yang digadang-gadang sebagai Ibu kandungnya. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia masih hidup? Pertanyaan itu tak lepas dari kepala Roni.Hati Roni terasa teriris bila mengingat cerita Bu Ipah tentang kemalangan yang menimpa Ibunya. Roni merasa sangat terpukul, saat mengetahui ternyata dia bukanlah anak yang diinginkan. Dia terlahir karena hasil kebiadaban seseorang terhadap Ibunya.
"Sama Mas. Udah gak takut lagi. Sekarang saya gak mau lagi ninggalin sholat. Adem gitu, kalau udah sholat. Anak-anak saya di kampung juga saya suruh belajar ngaji sama sholat. Sama Ustad yang di sana. Tapi Mas …." jawab Pak Dirman."Tapi apa, Pak?""Tapi suka sepi kalau malam jaga sendirian. Bisa Pak Agus disuruh ke sini Mas. Biar ada temen ngobrol hehe," katanya cengengesan."Sepi apa takut?""Sepi Mas. Saya ngantuk jadinya.""Saya sudah bilang sama Pak Agus untuk ke sini nemeni Pak Dirman. Juga minta tolong, nanti rumah di cat lagi."" Baik Mas. Emang berapa h
Sungguh pemandangan yang sangat mengharukan. Meskipun kata orang, lelaki pantang menangis. Tapi kata-kata itu tak berlaku bagi Roni saat ini. Roni tak bisa menutupi keharuan di hatinya. Semua yang ada di ruangan ini terharu melihat pemandangan yang ada di depan mata mereka ."Maafkan Mas, Wiyah," kata Pak Darma penuh penyesalan. Dia lepas pelukannya dari adiknya yang tinggal seorang."Iya Mas, aku juga minta maaf Mas."Beberapa saat mereka membiarkan Pak Darma dan Bu Wiyah larut dalam perasaan mereka masing-masing. Yang melepaskan rasa rindu dan penyesalan yang hanya tersimpan di hati mereka selama ini."Mas … Roni sudah tau semua," kata Bu Ipah. Saat dia lihat Pak Darma dan Bu Wiyah sudah m
"Roni akan membawanya ke sini Pak. Tadi Bulek sudah menceritakan pada Ustad Faruk, bagaimana kondisi terakhir Ibu. Ustad Faruk bersedia membantu kesembuhan Ibu. Mudah-mudahan Ibu masih hidup." Agak tercekat Roni mengatakannya. Roni takut, mereka hanya tinggal mendengar namanya saja bila tiba di kampung nanti."Yah, mudah-mudahan dia masih hidup. Dua puluh lapan tahun sudah kejadian itu. Kalau dia masih hidup, entah seperti apa kondisinya saat ini?" Pak Darma seakan bertanya pada dirinya sendiri."Sebaiknya jangan kalian saja yang kesana. Minta ditemani Ustad Faruk. Karena dulu, di kampung itu masih sangat banyak klenik. Tak tau sekarang bagaimana. Tapi buat jaga-jaga. Siapa tau, ada hal yang tak diinginkan terjadi.""Iya Pak. Iwan dan Solihin ikut juga. Sebenarny
"Dulu, penduduk di sini kurang sekali mengenal agama. Apa-apa selalu ke dukun. Sepertinya sampai sekarang juga seperti itu. Dulu ada seorang musafir yang datang ke kampung ini. Namanya Ustad Daud. Dia mengajar mengaji anak-anak di kampung ini. Termasuk Biyah, Bulekmu juga Widuri. Dia lah yang mendirikan surau ini, atas persetujuan kepala kampung. Awalnya penduduk tak masalah, biarpun enggan untuk datang ke surau ini," beber Bu Wiyah.Seraya mendengarkan cerita Bu Wiyah, mereka mulai membersihkan surau untuk melaksanakan sholat Ashar. Tak ada sapu, mereka terpaksa menggunakan kain pembatas yang sudah sangat usang untuk membersihkan lantainya.Iwan sudah mengecek keadaan air, syukurlah air dapat mengalir dengan baik. Airnya juga sangat jernih."Terus, kemana
"Keadaan Widuri pun semakin parah. Biasanya Ustad Daud yang selalu membuatnya tenang, dan selalu mengaji di dekatnya. Kalau mendengar Ustad Daud mengaji, Widuri bisa tertidur dengan pulas. Sejak kematian Ustad Daud, Widuri selalu histeris. Tak ada yang mampu menenangkan nya, termasuk Ki Agung. Makanya dia jadi dipasung. Karena selalu berusaha bunuh diri dan membunuh bayi dalam perutnya," cerita Biyah."Hei, siapa itu!" Tiba-tiba Iwan bangkit dan berlari menuju ke arah pintu surau. Membuat mereka semua reflek mengikutinya."Ada apa Wan?" tanya Roni."Ada yang mengendap-ngendap dekat jendela. Dia seperti menguping pembicaraan kita," kata Iwan. Matanya liar menyapu halaman luar surau. Mencari keberadaan orang yang dimaksud.
"Yakin Biyah?" tanya Roni."Iya, memang itu rumah Lek Warno. Bulek masih ingat. Gak ada yang berubah. Cuma pohon jatinya aja yang semakin besar ya Wiyah?" Bu Ipah ikut memastikan kalau mereka tak salah alamat."Iya Pah. Dulu pohon jati itu masih kecil," kata Bu Wiyah.Hampir tiga puluh tahun berlalu, tentu saja pohon jati yang mereka maksudkan terus bertumbuh hingga menjadi pohon besar yang meraksasa.Roni mengarahkan mobil mereka ke halaman rumah itu. Setelah memastikan mobil terparkir sempurna. Mereka semua turun. Dewi merasakan hembusan angin lembut menerpa wajahnya, menciptakan sensasi merinding di sekujur tubuhnya. Debaran di hatinya tak kunjung berhenti, malah semakin bertalu-talu.&n