“Maksud saya, Miss Rei lebih baik jangan di rumah ini. Kalau memang belum ada tempat tujuan lain, Miss Rei sementara menginap saja di rumah kami, ada kamar tamu, atau bisa juga sekamar dengan Dinaya.” Dirga buru buru meralat sebelum Reisha salah paham.“Iya Miss, kayaknya terlalu berbahaya kalau Miss Rei sendirian. Kalau misalnya ke hotel atau apa juga takutnya diikutin sama Om itu. Bahaya banget. Di rumah kita aja Miss, nanti Papa bisa titip pesan ama security biar dia jangan masuk ke kompleks juga.” Dinaya menambahkan.“Mmm ... Apa nggak apa apa?” tanya Reisha bingung.“Kalau misalnya Miss Rei nggak nyaman, nanti biar saya di kamar aja di lantai bawah. Saya nggak keluar kamar nggak apa apa kok sampai besok pagi Bi Surti datang ke rumah. Miss Rei nanti kan di kamar tamu atau di kamar Dinaya. Dua duanya di lantai atas kok. Kamar saya di lantai bawah, saya nggak akan naik naik ke atas,” Dirga menambahkan.&ld
“DIRGAAA!”Rio yang baru saja keluar dari lab terkejut melihat kerumunan orang orang di area parkir rumah sakit. Dinaya baru saja meneleponnya dan mengabarkan kalau Dirga dalam bahaya. Seseorang bernama Rehan sudah menunggu Dirga di area parkir dan akan menyerangnya. Dinaya juga meminta Rio menelepon polisi.Rio bekerja di rumah sakit yang sama dengan Dirga. Yang ada di benak Dinaya saat mendengar Papanya dalam bahaya hanyalah Rio. Itu sebabnya Dinaya langsung menghubungi sahabat Papanya itu sambil menangis panik. Rio yang mendengar kabar dari Dinaya seketika langsung berlari menuju area parkir. Rio benar benar mengkhawatirkan satu hal, dan Rio berharap itu tidak terjadi.Tapi ternyata apa yang Rio khawatirkan sudah terbukti saat ini. Area parkir mulai dipenuhi orang dan para wanita sibuk berteriak panik.Tidak! Dirga, jangan sampai terulang lagi! Jangan! Batin Rio sambil terus berlari secepat yang dia bisa. Tapi terlambat! Apa yang R
“Loh? Dokter Dirga? Ada masalah apa ini Dok? Kenapa Dokter bisa di sini?” seorang perwira polisi terkejut melihat Dirga berada di kantornya, dalam kondisi berantakan, noda darah di bajunya yang sudah mengering, buku buku jarinya memar, dan tengah diinterogasi oleh salah seorang petugas.“Iya Pak Rezza, saya ada masalah di rumah sakit.” Dirga menjawab lemah.Pak Rezza, perwira polisi yang sering bekerja sama dengan Dirga saat mengungkap kasus pembunuhan itu terlihat heran dan melihat berkas perkara pemeriksaan yang sedang dikerjakan staffnya.“Penganiayaan berat?” tanya Pak Rezza. Dirga hanya bisa mengangguk lemah. Sementara Pak Rezza jelas heran dengan kejadian ini. Selama ini Dirga dikenal sebagai pribadi yang santun dan lemah lembut. Dia tak pernah bermasalah. Berdebat saja Dirga lebih memilih mengalah atau menghindar, jadi tak masuk akal kalau Dirga sampai bertengkar hebat apalagi sampai memukuli orang seperti ini. Itu yang membuat Pak Rezza tak habis pikir. Ia lalu membaca ulang
“Om, Tante, aku mau ke kantor polisi! Aku mau ketemu Papa!”“Naya ... Naya dengerin Tante. Kamu lebih aman di sini dulu. Jangan kemana mana. Kamu sama Miss Rei jangan keluar dari rumah ini dulu sampai keadaan lebih kondusif.” Priska, istri Rio mencoba membujuk Dinaya yang sejak pagi mengamuk ingin bertemu Dirga.“Naya, dengerin Om, tadi Om Farez dan Om Dillo meminta kamu jangan datang dulu. Di kantor polisi banyak kerabat dan keluarga korban. Mereka masih mengamuk, terlalu berbahaya kalau kamu muncul di depan mereka. Bagaimana perasaan Papamu kalau kamu sampai ikut diserang mereka?” bujuk Rio.“Rumah papamu saja tadi subuh dilempari batu oleh orang tak dikenal Nay. Mereka lolos dari pantauan security dan merusak rumah papamu. Bukan tidak mungkin kamu juga akan diserang. Terlalu berbahaya.”Akhirnya Dinaya diam mendengar penjelasan Rio dan Priska. Ia lalu kembali mengurung diri di kamar dan menolak makan. Priska dengan sabar membujuknya tapi Dinaya tetap bersikukuh tak menyentuh apapun
( Tujuh tahun yang lalu ... )“Du-Dua milyar?”“Iya Ga ... Maafin aku Ga. Aku banyak bohong sama kamu. Aku salah Ga, aku khilaf, maafin aku Ga.”Dirga tak menjawab. Ia terdiam mematung sementara orang yang paling dia percaya setelah ayah dan ibunya ini memeluk kedua kakinya, lalu bersimpuh memohon maaf.“Itu uang siapa Mas? Sekarang dimana semua uang itu?” geram Dirga sambil berusaha menarik kakinya.“Uang itu sudah habis semua Ga. Uang itu uang beberapa rekan kerjaku, uang klien, uang tetangga juga ada. Bahkan uang ... U-uang ibumu juga terpakai Ga.”“Astaghfirullah ... Ya Allah Mas Wildan! Dua milyar itu bukan sedikit Mas! Dikemanakan semua uang itu sampai habis?” raung Dirga."Aku banyak hutang dengan rentenir Ga. Hutang dengan bunga tinggi dan jangka waktu singkat. Aku dikejar kejar rentenir itu, dihadang debt collector, dan hampir diciduk polisi! Tolong aku, Ga!" tangis Wildan pecah. Ia menangkupkan kedua tangannya di wajah. Bahunya sampai berguncang karena terisak."Ya Allah, M
“Mas! Kenapa aku yang jadi penjamin hutang Mas Wildan?” tanya Dirga dengan kemarahan memuncak tapi masih berusaha sabar.“Maaf, Ga. Aku benar benar kebingungan dan tidak tau harus apa. Jadi saat mereka meminta penjamin, aku menyebut nama dan alamatmu. Aku juga memberi mereka fotokopi KTP mu Ga. Maaf aku benar benar terdesak waktu itu dan hanya kamu yang aku ingat.”“Ya Allah Mas. Kok Mas Wildan setega itu? Apa karena aku menghasilkan banyak uang? Mas, uangku hampir habis untuk kuliah Nina, biaya berobat Bapak, dan aku baru beli rumah cash Mas. Uangku sekarang nggak banyak karena aku juga sedang renovasi rumah yang baru kubeli. Percuma Mas Wildan menjadikan aku penjamin, Demi Allah uangku nggak banyak, Mas. Di rekening tinggal beberapa juta untuk menyambung hidup,” jelas Dirga panjang lebar sambil menahan kesal.Dirga ingin sekali meluapkan emosinya tapi ia menahan diri. Baginya Wildan adalah sosok yang sangat ia kagumi. Sejak Dirga kecil, Wildan yang selalu membantu dan menemaninya. A
“Kenapa dia bisa begini?” tanya Rio sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Rio menatap iba ke arah Dirga yang masih berteriak tak terkendali. Kedua tangannya diborgol.Setelah kejadian, Ibu menelepon Farez dan memintanya ke kantor polisi. Farez yang belum lama jadi pengacara segera menghubungi Dillo dan Rio. Saat mereka tiba di kantor polisi, Dirga tengah dikurung sendirian di sel dalam kondisi masih mengamuk memanggil nama Wildan.“Dirga ... Istighfar Nak ... Istighfar ...” Dari luar sel, Ibu terus berusaha menyadarkan Dirga sambil menangis. Rio dan Priska, istrinya langsung menenangkan Ibu, sementara Dillo dan Farez mengurus proses hukum Dirga. Polisi masih belum bisa menginterogasi Dirga karena kondisi mentalnya yang belum stabil.Berjam jam Dirga mengamuk, sampai akhirnya dia tertidur karena kelelahan. Dirga terbangun saat sayup sayup azan subuh berkumandang dari masjid yang letaknya persis di depan kantor polisi. Saat melihat sekeliling, Dirga sadar dirinya berada di dal
“Dirga? Ga? Kamu nggak apa apa?”Suara Farez perlahan lahan terdengar di telinga Dirga. Seketika ingatannya tentang kenangan mengerikan tujuh tahun yang lalu mulai memudar. Dirga melihat sekelilingnya. Dia masih di kantor polisi, Farez duduk di sebelahnya, dan mereka berdua ada di sini karena kejadian tujuh tahun yang lalu terulang lagi dengan versi yang berbeda.“Kamu nggak apa apa? Kamu teringat kejadian tujuh tahun yang lalu ya?” tanya Farez menatap tajam Dirga, memastikan sahabatnya itu baik baik saja. Dirga mengangguk lemah.“Setiap kali mendengar nama Dokter Syarvan, mau nggak mau aku teringat kejadian itu, Rez. Padahal terakhir kali kami bertemu, aku sudah berjanji padanya dan pada diriku sendiri untuk mengubur semua kenangan buruk dan meninggalkan beban itu jauh jauh di belakang,” sahut Dirga sambil menghela nafas.“Kita hanya bisa berdoa, semoga semua baik baik saja,” ujar Farez sambil menepuk bahu Dirga. Keduanya terdiam sambil terpekur menatap garis lantai.“Rez, jaga Dinay