Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.
Tertidur di ruang tungguDari kejauhan Ardan melihat Aruna duduk di bangku ruang tunggu NICU dengan kepala terangguk-angguk karena mengantuk.Aruna yang sadar akan posisinya sebagai seorang wanita, dia tidak mau merebahkan tubuhnya yang sudah kelelahan, di tempat umum. Karena di ruang tunggu itu, tidak hanya ada dirinya saja. Tapi, ada beberapa orang yang lain, di antaranya adalah lelaki yang bukan muhrim.Ardan yang paham dengan hal itu, segera menghampiri Aruna dan menangkap kepalanya yang jatuh setelah terangguk-angguk karena menahan kantuk yang tidak tertahankan.Sadar akan kehadiran Ardan, seorang ibu yang duduk di sebelah Aruna segera bergeser, memberikan Ardan tempat duduk di samping Aruna, kemudian perlahan dia meletakkan kepala Aruna di bahunya yang besar.''Baru pulang kerja, nak?'' tanya ibu yang memberi tempat pada Ardan mencoba berbasa-basi.''Iya, bu...'' jawab Ardan sambil mengangguk dengan sopan menyapanya.''Kecapean dia, kesian...'' ujar ibu itu lagi.''Iya... abis, e
Nama panggilan''Terus, Runa harus panggil apa dong?'' tanya Aruna serius menanggapi Ardan.''Apa kek'... yang penting jelas existensi kita bedua yang punya label suami istri,'' jawab Ardan tegas dengan wajah semringah, dia senang karena Aruna mau mendengar keluhannya dan bersedia mempertimbangkan permintaannya.''Kenapa enggak di kalungin aja surat nikahnya ke mana-mana?!'' sahut Aruna yang keki.''Lu mau?!'' seru Ardan bertanya dengan ekspresi menantang, dia kesal dengan tanggapan asal dari Aruna.''Enggak sih... hehehe...'' jawab Aruna sambil terkekeh menggelengkan kepala dengan sangat antusias.''Itu tauk...'' sahut Ardan dengan ekspresi gemas, ''Udah ah, pokoknya gue enggak mau di panggil mamang lagi!'' seru Ardan lagi tegas.''Ya udah, Runa harus panggil apa dong?'' tanya Aruna lembut, dia merayu Ardan saat melihat kalau tampang suaminya jadi semakin tidak nyaman di lihat.''Apa aja...'' jawab Ardan ketus.''Bapak! Ya?!'' sahut Aruna menyarankan dengan mata berbinar merayu Ardan.
Aruna di tabrakAruna langsung bangun sambil menepis tangan yang menyentuh bahunya tanpa izin, hampir terjatuh Aruna, karena tersandung kaki bangku di sebelahnya. Ardan langsung bangun melihat Aruna terkejut seperti itu.''Aruna!'' seru Ardan malah semakin geram saat tubuh Aruna di tangkap oleh pria yang meletakkan tangan di bahunya.''Apaan nih, bang?! Lepas!'' seru Aruna dengan nada kasar menghardik pria itu.''Eh!... Di tolongin... Gak tahu terima kasih, ni bocah!'' sahut pria itu dengan kesal, karena Aruna berani menepis dan menghardiknya.''Abang jangan gak sopan!'' seru Aruna balik marah tidak mau kalah, dia tidak peduli dengan pria bertubuh besar di hadapannya, ''Pegang-pegang semaunya...''''Kenapa emang?'' tanya pria itu dengan ekspresi merendahkan Aruna, ''Di bayar berapa lu ama dia?''Kata-katanya yang melecehkan, tentu saja membuat Aruna malah semakin meradang.Ardan langsung bergerak, membelakangi Aruna, dan dengan tangkas, tangannya kirinya menjaga Aruna agar tetap di bel
Aruna di rawatSaat Ardan telah menyelesaikan semua urusannya tadi, Aruna sudah di pindahkan ke kamar rawat inap.''Apa kata dokter Vin?''''Belum tahu om, Aruna baru saja di pindahkan ke ruang rawat. Dia tidur karena ada obat bius katanya... Nah, itu dokternya''''Selamat siang,'' sapa dokter ketika menghampiri Ardan dan Gavin.''Selamat siang, bagaimana keadaannya dok?'' tanya Ardan''Eum! Maaf... Bapak siapa?'' tanya dokter itu.''Saya suaminya,'' jawab Ardan tegas.''Owh!'' seru dokter itu dengan wajah terkejut, tapi, dalam sekejap dia langsung mengubah ekspresi sebagai seorang dokter profesional, ''Suami... Oh... Ehm-ehm...'' dokter itu segera berdehem menyembunyikan keterkejutannya, ''Baiklah... Begini pak, istri bapak, mengalami dislokasi bahu, saat ini tertidur karena masih terpengaruh obat bius penahan rasa sakit yang digunakan, saat kami melakukan tindakan untuk mengembalikan bahunya ke posisi semula. Tapi, walau sudah di lakukan tindakan, tetap... Imobilisasi pada bahu yang
Pembalasan ArdanArdan tidak sempat menemani Aruna yang sedang di rawat di rumah sakit, tapi Ardan selalu menyempatkan diri untuk datang tepat saat waktu makan tiba di rmah sakit. Ardan tidak pernah lalai, tiga kali sehari dalam tiga hari, sejak Aruna di rawat karena kecelakaan. Aruna yang tangan kanannya harus di bebat karena bahunya yang cidera, membuatnya kesulitan makan.''Assalamu alaikum,'' sapa Ardan saat memasuki ruang perawatan yang berkapasitas delapan pasien.Kebetulan hari ini, ruangan perawatan kelas tiga itu, full terisi penuh oleh pasien dan juga para penunggu pasien.''Wa alaikum salam...'' jawab mereka serempak, rata-rata dari penghuni sementara ruangan itu, mayoritas adalah muslim.Ardan berjalan menuju tempat tidur yang paling ujung di dekat jendela, tempat di mana Aruna di rawat. Ardan berjalan sembari mengangguk menyalami beberapa orang yang di lewatinya. Mereka yang baru datang, otomatis terkejut ketika melihat Ardan untuk pertama kalinya.Tubuhnya yang tinggi dan
Teguran ArdanArdan terkejut dengan sikap Aruna yang jelas tegas terlihat meminta jawaban jujur dari Ardan. Ardan menatap Aruna yang sedang menanti jawaban darinya, membuatnya teringat bagaimana dia bisa mendapatkan luka di wajahnya dan beberapa memar di bagian tubuhnya yang tertutup baju.Tapi, Ardan selamat kali ini, di tengah keragu-raguannya, kata permisi terdengar, dari seseorang yang mendatangi mereka sore itu.''Hm?!... Owh, Alhamdulillah... Terimakasih,'' jawab Ardan menanggapi seseorang yang datang menghampiri.Perhatian Aruna seketika itu juga teralih oleh kedatangan seorang petugas Rumah sakit yang datang membawa jatah makan malam pasien.''Makan dulu ya, kak...'' ujar petugas itu setelah meletakkan nampan berisi makanan sambil tersenyum ramah pada Aruna.''Iya... Terima kasih,'' jawab Aruna sembari tersenyum padanya, Ardan juga mengangguk sambil tersenyum pada petugas itu ketika dia hendak pergi.''Mau makan dulu, apa ntar aja, maghrib dulu...''Ardan menawarkan sambil memb
Alasan Aruna tidak mau kuliahAruna mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan Ardan. Suaranya lembut tapi tegas, memberi nasihat tapi juga sekaligus sebuah peringatan untuk Aruna. Kombinasi antara kalimat Ardan yang diucapkan dengan tegas dengan gestur tubuhnya yang lembut bermain dengan tubuh Aruna, perlahan dan terarah. Ardan sangat mengerti dengan setiap tindakannya, dia mampu membuat Aruna tidak risi, bahkan Aruna tidak menyadari kalau Ardan sedang menikmati ketika jari-jemarinya dengan lihai bermain dengannya.''Aruna... Kenapa masih diem?'' tanya Ardan lagi.Ardan sedikit mendesak Aruna, karena dia juga tidak mau jika Aruna terus menerus menjaga jarak dengannya.''Aruna takut Mang...''''Takut kenapa? 'Kan, emang gue yang minta buat Aruna ungkapin aja! Karena cuma dengan begitu, suamimu ini, bisa sedikit memahami perasaan istri yang masih aja canggung di depan suaminya.''''Mang... Mang Ardan 'kan nganggur, Runa takut...''''Entar dulu! Kenapa Runa bilang gue nganggu
Masih perdebatan soal panggil namaAruna bingung mau jawab apa terhadap sindiran keras Nenek Sundari di depan orang banyak yang sedang berkumpul, Aruna dan Ardan sama sekali tidak tahu apa-apa tentang keributan Gavin dan beberapa kerabat yang lain saat acara tahlil di malam keempat.''Kok lu diem?!... Gavin pan udah nolak kita semua buat jagain tuh bocah, kata dia, elu yang mau jagain...'' ujar Kakek Marwan, suami Nenek Sundari sekaligus kakak ipar Nenek Halimah dan Kakek Wawan. Kebetulan Kakek Marwan masuk, dia minta dibuatkan kopi untuk bapak-bapak yang sibuk di luar.Mereka berdua masih menyimpan perasaan dongkol karena pernah di hardik Kakek Wawan. Mereka terus memojokkan Aruna, sedangkan dia bingung tidak mengerti apa yang terjadi.''Bang, 'mpok! Udah dulu napa... Udah Run... Elu istirahat dulu gih, capek baru pulang! Yang di sini... Udah banyak yang ngerjain,'' ujar Nenek Halimah sambil merangkul Aruna dan membawanya pergi ke kamarnya, meninggalkan Marwan, Sundari, dan beberapa k