Hai, aku wolfy... Penulis cerita ini. Simak juga ceritaku yang lainnya... WANITA UNTUK MANUSIA BUAS (sudah tamat tapi sulit sekali mendapat kontrak dari GOODNOVEL) PAMANKU SUAMIKU MENJEMPUT ISTRIKU DUNIA MANUSIA BUAS SUAMIKU YANG BERBAHAYA KARENA KEBODOHANKU, AKU HAMPIR KEHILANGAN SUAMIKU SINGA BETINA MILIKKU (sequel lanjutan dari WANITA UNTUK MANUSIA BUAS, hanya saja kali ini wanita dari DUNIA MANUSIA BUAS yang terlempar ke DUNIA MODERN dan bertemu dengan CEO gahar.
Pembalasan ArdanArdan tidak sempat menemani Aruna yang sedang di rawat di rumah sakit, tapi Ardan selalu menyempatkan diri untuk datang tepat saat waktu makan tiba di rmah sakit. Ardan tidak pernah lalai, tiga kali sehari dalam tiga hari, sejak Aruna di rawat karena kecelakaan. Aruna yang tangan kanannya harus di bebat karena bahunya yang cidera, membuatnya kesulitan makan.''Assalamu alaikum,'' sapa Ardan saat memasuki ruang perawatan yang berkapasitas delapan pasien.Kebetulan hari ini, ruangan perawatan kelas tiga itu, full terisi penuh oleh pasien dan juga para penunggu pasien.''Wa alaikum salam...'' jawab mereka serempak, rata-rata dari penghuni sementara ruangan itu, mayoritas adalah muslim.Ardan berjalan menuju tempat tidur yang paling ujung di dekat jendela, tempat di mana Aruna di rawat. Ardan berjalan sembari mengangguk menyalami beberapa orang yang di lewatinya. Mereka yang baru datang, otomatis terkejut ketika melihat Ardan untuk pertama kalinya.Tubuhnya yang tinggi dan
Teguran ArdanArdan terkejut dengan sikap Aruna yang jelas tegas terlihat meminta jawaban jujur dari Ardan. Ardan menatap Aruna yang sedang menanti jawaban darinya, membuatnya teringat bagaimana dia bisa mendapatkan luka di wajahnya dan beberapa memar di bagian tubuhnya yang tertutup baju.Tapi, Ardan selamat kali ini, di tengah keragu-raguannya, kata permisi terdengar, dari seseorang yang mendatangi mereka sore itu.''Hm?!... Owh, Alhamdulillah... Terimakasih,'' jawab Ardan menanggapi seseorang yang datang menghampiri.Perhatian Aruna seketika itu juga teralih oleh kedatangan seorang petugas Rumah sakit yang datang membawa jatah makan malam pasien.''Makan dulu ya, kak...'' ujar petugas itu setelah meletakkan nampan berisi makanan sambil tersenyum ramah pada Aruna.''Iya... Terima kasih,'' jawab Aruna sembari tersenyum padanya, Ardan juga mengangguk sambil tersenyum pada petugas itu ketika dia hendak pergi.''Mau makan dulu, apa ntar aja, maghrib dulu...''Ardan menawarkan sambil memb
Alasan Aruna tidak mau kuliahAruna mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan Ardan. Suaranya lembut tapi tegas, memberi nasihat tapi juga sekaligus sebuah peringatan untuk Aruna. Kombinasi antara kalimat Ardan yang diucapkan dengan tegas dengan gestur tubuhnya yang lembut bermain dengan tubuh Aruna, perlahan dan terarah. Ardan sangat mengerti dengan setiap tindakannya, dia mampu membuat Aruna tidak risi, bahkan Aruna tidak menyadari kalau Ardan sedang menikmati ketika jari-jemarinya dengan lihai bermain dengannya.''Aruna... Kenapa masih diem?'' tanya Ardan lagi.Ardan sedikit mendesak Aruna, karena dia juga tidak mau jika Aruna terus menerus menjaga jarak dengannya.''Aruna takut Mang...''''Takut kenapa? 'Kan, emang gue yang minta buat Aruna ungkapin aja! Karena cuma dengan begitu, suamimu ini, bisa sedikit memahami perasaan istri yang masih aja canggung di depan suaminya.''''Mang... Mang Ardan 'kan nganggur, Runa takut...''''Entar dulu! Kenapa Runa bilang gue nganggu
Masih perdebatan soal panggil namaAruna bingung mau jawab apa terhadap sindiran keras Nenek Sundari di depan orang banyak yang sedang berkumpul, Aruna dan Ardan sama sekali tidak tahu apa-apa tentang keributan Gavin dan beberapa kerabat yang lain saat acara tahlil di malam keempat.''Kok lu diem?!... Gavin pan udah nolak kita semua buat jagain tuh bocah, kata dia, elu yang mau jagain...'' ujar Kakek Marwan, suami Nenek Sundari sekaligus kakak ipar Nenek Halimah dan Kakek Wawan. Kebetulan Kakek Marwan masuk, dia minta dibuatkan kopi untuk bapak-bapak yang sibuk di luar.Mereka berdua masih menyimpan perasaan dongkol karena pernah di hardik Kakek Wawan. Mereka terus memojokkan Aruna, sedangkan dia bingung tidak mengerti apa yang terjadi.''Bang, 'mpok! Udah dulu napa... Udah Run... Elu istirahat dulu gih, capek baru pulang! Yang di sini... Udah banyak yang ngerjain,'' ujar Nenek Halimah sambil merangkul Aruna dan membawanya pergi ke kamarnya, meninggalkan Marwan, Sundari, dan beberapa k
Sebutan yang sudah di pastikanAruna jadi semakin canggung, apa lagi Ardan selalu dengan mudahnya menyebut panggilan sayang padanya tanpa ragu sedikit pun. Entah kenapa tampilan Ardan yang berantakan dengan rambut yang di cepol ala kadarnya, dan juga kumis dan janggut yang membuat dirinya jadi tampak sepeti beruang karena perawakannya yang tinggi dan besar. Hal itu tidak membuat Aruna takut, walau dia merasa risi tapi dia tidak terlalu terganggu dengan itu semua.''Aruna... Kenapa malah diem, gue masih belum denger apa yang pengen gue denger dari tadi... Ayo dong Run! Elu pan tahu, gue sewayah-wayah kudu pergi... Akhirnya, ketunda lagi 'ni obrolan...'' ujar Ardan mendesak Aruna.''Nah!... Itu, dia tuh...''''Apa?!''''Itu... Mang, Runa boleh tahu dong... Kenapa sih Mang Ardan, selalu tetiba aja pergi?... Tiap kali Aruna tanya, Mang Ardan mesti ngehindar, kenapa?''Ardan langsung terdiam, dia bingung bagaimana menanggapi Aruna. Dia tampak tetap tenang, dengan ekspresi yang biasa saja. T
Kedekatan Aruna dan ArdanArdan segera menghampiri Nenek Halimah begitu dia keluar dari kamar, di sepanjang kakinya melangkah menuju ke tempat di mana Nenek Halimah berada, dia bisa merasakan beberapa tatapan yang sangat membuatnya tidak nyaman. Tapi, dia bersikap acuh, menghiraukannya dan bersikap seolah dia tidak tahu apa pun.''Cing, Dan pergi dulu ya... Titip bocah ama si Aruna, tangannya masih sakit, belom boleh banyak gerak,'' ujar Ardan saat menghampirinya.''Elu mau kemana Dan?'' tanya Nenek Halimah, dari wajahnya terlihat kalau Nenek Halimah sangat tidak ingin Ardan pergi.''Ada urusan Cing,'' jawab Ardan lembut.''Urusan apa lagi sih Dan?... Pan, semua sekarang udah ada di rumah, si Runa juga udah pulang, emang mau ngurus apa lagi?'' tanya Nenek Halimah masih berusaha memegang tangan Ardan, menahannya dari pergi.''Ini, urusan Dan sendiri, Cing...'' jawab Ardan, dan belum selesai dia bicara, Karsih sudah menyahut memotong ucapannya.''Kok, lu keliatannya sibuk banget sih Dan?
Perasaan Karsih bag 1Ardan yang sudah biasa memantau situasi, memperhatikan gestur Karsih dalam diam. Ardan tahu, Karsih merasa tidak nyaman dengannya. Ardan tidak tahu apa yang di pikirkan Karsih, yang tidak di sadari oleh Ardan adalah, dia lupa kalau pernikahannya dengan Aruna belum diketahui oleh keluarga yang lain. Karena satu dan lain hal mereka yang hadir saat Ardan menikahi Aruna pun tidak sempat untuk mengatakannya.Ardan mengetahui kegusaran Karsih, tapi dia malas untuk memulai perdebatan dengannya, karena di rumah juga sedang ramai. Dia tidak mau memulai masalah yang seharusnya bisa di hindari, begitu pikir Ardan.Lain hal dengan Ardan, Karsih jengah melihat dua pemuda dan pemudi yang menurutnya belum muhrim. Sebagai seorang yang sudah dewasa, seburuk apa pun perangainya, Karsih juga manusia yang tahu menghormati almarhum dan almahumah. Karsih diam dan segera keluar membawa dua bayi sekaligus karena dia malas kembali lagi jika hanya untuk melihat sesuatu yang akan menaikkan
Perasaan Karsih bag 2''Lu kenapa Sih?'' tanya Darman suami Karsih.Dia bingung melihat istrinya jadi sangat diam, seperti bukan Karsih yang biasanya bicara tentang banyak hal. Karena semua persiapan sudah beres sebelum maghrib tadi, Karsih pulang dulu, sebelum kembali datang saat acara tahlil tujuh hari Pak Arga dan Ibu Aisyah di mulai nanti selepas Isya.''Kagak bang... Abang mau makan enggak? Karsih enggak masak, tapi ini ada lelauk dari si Gavin, emak yang misahin tadi.''Karsih menjawab dengan nada malas, dia masih ingin menyimpan perasaan resah dan galau di dalam hatinya.''Iya, entar Abang makan... Abang tahu, lu mesti lagi ada masalah nih... Kenapa lu diem cembetut aja, cakepan ikan asin dari elu jadinya kalo kek gini. Kagak demen ah, abang lebih suka bini abang yang seger enak di liat, manis kalo dimakan, kek semangka...''Darman menyahut dengan kalimat yang terkesan meledek, tapi jadi indah di dengar, karena terselip rayuan yang tersembunyi di balik kata-katanya. Tentu saja s