“Lupa ya, kamu pegang apa barusan, hm?” ulang Gavin mengingatkan.
Bruk! Raline melempar bantal ke arah Gavin. Tetapi tangan Gavin dengan sikap menangkisnya.
“Mau aku pijit? Tanganku punya keahlian menghilangkan rasa sakit. Percaya deh,” tutur Gavin dengan tingkah tengilnya.
"Daripada kamu usil begitu, lebih baik bantu aku ambilin minum. Punggungku masih kram, Vin. Ya, mau ya, please …, " mintanya dengan wajah memelas palsu.
Gavin mendelik wajah Raline lekat-lekat. "Ya, tunggu disini," jawabnya mau dimintai tolong. Lelaki itu langsung keluar kamar, kemudian mengambil sebotol air mineral dingin.
Hehehe …. Raline terkekeh puas meminta Gavin untuk mengambilkan mi
Gadis polos itu malah ketiduran di atas sofa. Bahkan bajunya yang basah masih dikenakannya. Wajah polos Raline menenangkan jiwa Gavin. Bahkan meredakan amarahnya karena Lucy."Apa kamu itu kerbau, hm?" gumamnya tersenyum lepas.Gavin yang dari tadi memegangi air mineral akhirnya membuka tutup botolnya untuk diminumnya sendiri. Rasanya dahaga muncul setelah terpancing emosi karena Lucy.Tegukan demi tegukan ia rasakan sambil memandangi gadis polos yang tengah tertidur pulas. Melepas dahaga sekaligus emosinya.“Rasanya aku semakin haus melihat si kerbau itu tidur dengan memakai seragam pelayan,” gumamnya seraya mengambil nafas setelah menghabiskan setengah air dalam botol.Gavin mengula
Tanpa disadari, air mata Raline jatuh setetes tanpa bisa ditahan. Ia mendengar semua yang Gavin ucapkan. Tidak ada satu kata yang terlewat. Entah apa yang membuatnya menitikkan air mata saat mendengar pengakuan dari lelaki itu.Hatinya tersentuh, mungkin. Namun nyatanya Raline masih menyimpan juga cinta pertamanya di dalam lubuk hati terdalamnya.Maafkan aku, Vin, ucap Raline dalam hati dengan tetesan air mata yang kembali turun perlahan.Saat tetesan air mata Raline turun menyentuh punggung tangan Gavin, lantas lelaki itu kembali mengangkat kepalanya. Dia mengira tetesan air mata itu adalah miliknya.Sontak saja, Raline berpura-pura bangun dari lelapnya berusaha untuk tidak ketahuan dengan air mata yang dikeluarkannya.
“Yes! Dia gak ada,” cetusnya senang.Raline bergegas merebahkan tubuh di atas tempat tidur sebelum Gavin terlebih dahulu menguasainya. Beberapa menit kemudian, lelaki itu keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat basah, rupanya Gavin mencuci mukanya lagi.“K-kamu kenapa berpakaian seperti itu, huh?!” sentak Gavin saat sadar Raline memakai kemejanya.“Sana pakai baju dulu. Hobi banget telanjang di depan orang,” ledek gadis itu santai sambil berbaring di atas tempat tidur.Gavin menatap Raline tidak suka. Sedangkan gadis itu terkekeh puas menatap wajah lelaki itu. Lantas, Gavin langsung ke walk closet mengambil pakaiannya. Ia meraih piyama tidur berwarna hitam. Kemudian mengenakannya tanpa ragu.
"L-liat apa, hm? Mikir jorok ya?" goda Gavin licik.Ish!! "Gak mau ngalah banget, sih!?" omel Raline beranjak bangun.Grep!Gavin menarik pinggang Raline sampai kembali jatuh di atas tempat tidur. Mereka berdampingan. Jantung mereka berdetak seirama. Menatap lurus ke arah langit kamar.“Akan ada banyak hal nanti yang akan kita lalui, setelah menikah. Aku cuma bisa meminta satu hal denganmu, tidak ada tuntutan lain dariku. Aku cuma minta untuk jangan pernah meninggalkanku.”Raline mendengar jelas ucapan Gavin. Akan tetapi, ia tidak berani menatap wajah lelaki yang sedang memandangnya dari jarak dekat. Dia terlalu takut akan yang terjadi setelahnya.
Angin semakin deras. Tirai kamar yang serba putih berterbangan tertiup angin. Raline berbalik badan dan menatap sosok Gavin di dalam kamar yang tengah tidur pulas.“Maaf kalau aku malah bersikap seperti ini. Sulit bagiku, tetapi ini yang kamu mau. Dan ini takdirku,” ucapnya lirih sambil menatap Gavin dari balkon kamar yang menghadap pantai.Malam berlalu begitu alot. Raline tidur di atas sofa setelah berusaha memaksa kedua matanya tidur. Hatinya bimbang dan ragu. Tetapi bukan Raline namanya jika ia begitu mudah tergoda dengan bantal dan alas yang empuk.***Pukul tujuh pagi.Kediaman Maheswari pagi hari ini terlihat hiruk pikuk. Barang-barang yang menurut Yudistoro sudah lama, ia ba
Raline tengah sibuk mempersiapkan menu sarapan pagi Gavin. Hari ini hari pertama Raline melayani lelaki itu untuk sarapan. Rasanya sudah benar-benar seperti seorang istri yang sedang melayani suami. Membuatkan roti dan salad sayur sesuai permintaan Gavin pagi ini.Setelah meja makan sudah terhidang menu sarapan, lalu Raline bergegas menuju kamar. Ia harus on time karena Gavin sudah mewanti-wanti agar bekerja tepat waktu. Saat berada di dalam kamar, Gavin baru saja keluar dari kamar mandi.Hari kesekian tinggal bersama, sudah membuat Raline kebal melihat lelaki itu berjalan bebas dengan bertelanjang dada dan hanya memakai handuk. Tanpa ragu gadis itu berlalu saja melihat keberadaan Gavin. Ia memasuki walk closet untuk mengambil pakaian tuan muda itu.Lebih sigap, Raline mengambil setelan jas berwarn
Di meja makan, Gavin terus mencuri pandang. Sesekali ia membuang pandangan saat Raline memergoki dirinya. Bisa hancur reputasi tengilnya kalau ketahuan oleh gadis itu.“Kalau baju ini tidak cocok denganku, bilang aja. Gak usah menatap diam-diam begitu,” sindir Raline salah paham.Ternyata gadis pintar dan berprestasi di sekolah tidak menjamin dia peka dengan perasaan orang ya? pikir Gavin dalam diamnya. Isi kepalanya selalu saja negatif menilai orang lain. Memangnya aku ada bilang baju sebelumnya tidak cocok? gerutunya membatin. Pintar sih, tapi polosnya kebangetan! ledeknya dalam hati saja.“Memang kamu pantasnya pakai baju pelayan saja. Nanti setelah fitting kita beli baju, kamu bebas pilih,” ledek Gavin mulai mencari keributan.
“Aaaaaa!!! Makasih Gavin mesum yang congkak!”Raline kegirangan tidak percaya jika ia diperbolehkan untuk melanjutkan pendidikan. Impian kedua gadis itu akhirnya akan segera terwujud. Saking senangnya, Raline tidak sadar kalau dirinya malah reflek memeluk Gavin.Deg!Gavin langsung membeku saat Raline memeluknya. Namun sepersekian detik ia luluh bak es yang mencair dan menghangat. Tidak salah dengan ucapannya yang menyebut tubuh gadis itu adalah penghangat hatinya.Aroma sabun beraroma mawar segar yang tercium di indera penciuman Gavin sangat sopan menggodanya. Bahkan aroma sabun dengan rose oil itu, adalah pembelian Gavin saat berada di mall Bangkok. Ia sudah menduga aroma itu sangat cocok dengan kulit Raline. Lelaki itu menikmati saja pelu
Extra bab untuk my readers beloved, PAID LOVE. ___________ Di sebuah mall, Raline dan sang tante pergi ke sebuah store branded luar negeri. Dimana ada foto Raline yang terpampang lebar didepan store menggunakan pakaian branded tersebut dari atas hingga bawah. Ya, hari ini adalah hari tenang Raline sebelum berangkat pergi ke Australia minggu depan. Ia, mendapat black card untuk membelanjakan kartu hitam mewahnya dengan brand yang menjadikannya Brand Model Ambassador. “Ral, Tante mau ke toilet dulu sebentar. Kamu disini aja kan?” ijin Tante Maria pada san keponakan. Raline mengangguk sebagai jawaban. “Raline tunggu disini, ya, Tan.” Maria pun bergegas pergi dari store tersebut dan mencari toilet terdekat. Raline juga kembali diarahkan oleh salah satu retail sales berpengalaman pada produk terbaru mereka. Pada saat tangan Raline meraih salah satu tas yang terpanjang, tiba-tiba ada seseorang yang meraihnya terlebih dahulu. Lantas, wanita itu langsung menoleh dan menatap sosok lelak
Terima kasih sudah berkenan mampir di cerita sederhana ini. Tidak mewah memang, tetapi cerita ini aku tulis dengan hati dan cinta. Segenap hati aku menulis ini dalam keadaan tidak sempurna, karena authornya masih human. Bukan alien. Mhehehe :) Semua emosiku aku tuang di cerita PAID LOVE dari sedih, senang, gusar, bahagia bahkan tersedu-sedu seperti saat aku menuliskan sedikit ucapan untuk yang sudah singgah apalagi menetap bersama Author yang hobi makan remahan taro ini. Kiranya kalian kata-kata tidak puitis dan aneh ini bisa dong, kasih ulasan tentang cerita PAID LOVE, entah itu Raline, Gavin, Laura dan lain-lain. Singkat memang, tapi tidak ada cerita yang berakhir harus bahagia. Cerita ini memang menggantung, dan agak
"Luka itu tidak akan pernah bisa sembuh sekalipun bisa hilang dari pandangan mata ...."***Satu tahun kemudian ….Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Devin. Ia mencium bibir Raline dengan paksa. Berhasil wanita itu membalas dengan tamparan keras di wajah adik dari Gavin. Selama ini dia sangat mempercayai Devin. Tetapi sekarang semua kepercayaan itu hancur lebur."Kamu keterlaluan, Dev! Jadi semua itu kamu penyebabnya, huh!? Aku tidak menyangka kamu sejahat itu ternyata."Raline tidak menyangka jika semua yang terjadi adalah ulah Devin dan Lucy. Hubungan dia bersama Gavin hancur karena dengan sengaja lelaki itu mengadu domba keduanya sampai berpisah seperti sekarang.&nbs
Selama di dalam perjalanan menuju pulang, Laura terus membujuk Raline untuk menerima tawaran pemilik agensi model itu. Bahkan Raline kebingungan menolak tawaran itu saat Gasari memintanya lagi untuk menjadi model.“Ini bakal jadi pengalaman baru buat kamu. Siapa tahu uangnya bisa kamu tabung dan lanjut untuk kuliah. Daripada kamu di rumah terus, Nak. Coba baca dulu kontraknya, terus kamu bisa terima tawaran untuk berkunjung ke kantor agensi itu. Mama temani nanti, deh, ya?” bujuk Laura antusias.Dia juga sebenarnya tidak tega melihat anak kesayangannya itu hanya di rumah seperti dirinya tanpa memiliki aktivitas lain. Hanya Maria yang bekerja. Meski sebenarnya, Laura memiliki uang simpanan pemberian Gavin yang dirahasiakan olehnya dari Raline. Sepeserpun kartu gold pemberian dari menantunya itu tidak pernah disentuh olehnya.
Tiga puluh hari kemudian.Raline tinggal bersama Laura dan Maria. Sudah satu bulan wanita itu pergi dari rumah keluarga Gavin. Sebenarnya Raline ingin pergi dari rumah pemberian suaminya, namun Jamal sudah mewanti-wanti agar tidak perlu meninggalkan hunian mereka sekarang. Rumah yang menjadi tempat tinggal keluarga Raline saat ini, sudah atas nama dia sendiri.Laura dan Maria sampai detik ini tidak tahu kenapa anak kesayangan mereka itu pergi meninggalkan Gavin dan malah tinggal bersama-sama sekarang.Raline berubah menjadi lebih pendiam dan suka berada di dalam kamar setelah keluar dari kediaman mertuanya. Bahkan, tidak jarang dia bisa tahan seharian penuh tidak keluar dari kamar. Laura sempat khawatir, tapi selalu saja Raline bisa berkilah kalau dia akan baik-baik saja.
Raline terikat kedua tangannya salah satu tiang kamar. Gavin menyesapi setiap inci tubuhnya tanpa ada yang tertinggal. Kissmark di leher, dan bekas gigitan membekas di sela paha wanita itu. Ia terperanjat akan sentuhan kasar Gavin yang berada di titik intimnya. Tubuh putih itu sekarang tidak mulus karena lelaki itu menodainya dengan bekas-bekas kegilaannya.Disuruhnya paksa wanita itu menggeliat seksi. Gavin memperlakukan Raline sudah seperti wanita bayaran. Rasa trauma itu kembali muncul. Dia tidak menyangka di dalam hidupnya jika Gavin yang memperlakukannya seperti ini. Kasar dan brutal. Tubuhnya sudah tidak tahan akan kegilaan lelaki itu. Desahan, rintihan tidak hentinya lolos.Pandangan Raline sudah buram. Dia memang bergairah dan sudah mencapai puncak dua kali, namun lelaki itu tidak kunjung menuntaskannya. Malah Gavin hanya menjadikannya tonto
Raline terperanjat setiap kali Gavin mencumbu setiap inci tubuhnya dengan brutal dan kasar. Setitik kristal bening keluar di sudut mata Raline yang tertutup rapat. Saat mata itu terbuka, ia seakan memohon pada Gavin agar berhenti menyiksanya.Tangan Gavin meremas kasar dada Raline tanpa ampun yang masih tertutup bra namun terlihat berantakan. Wanita itu sudah basah dibawah sana, tapi dia tidak merasakan kehangatan sama sekali akan sentuhan yang diberikan Gavin. Lelaki itu menyiksa tubuhnya kasar.“Emmpphh!” rintih Raline. Dia membuka matanya yang sudah sayu berusaha menatap dan memelas belas kasih di mata Gavin. Namun, tidak ada pandangan hangat lagi di mata sang suami. Air mata jatuh tak tertahan lagi. Raline menangis sekarang.Setelah puas membasahi tubuh Raline dengan salivanya
Sesampainya Gavin di rumah, suasana sudah sangat sepi. Hanya ada pengawal yang tengah berjaga di kediaman Yudistoro. Tuan besar di rumah itu pun sedang tidak berada di tempat.Gavin turun dari mobil dengan amarah yang tertahan. Rahangnya mengeras dengan penampilannya yang berantakan. Darah masih bersimbah di jari tangan suami dari Raline itu.Gavin terlebih dahulu mencuci tangannya di kamar dia sebelumnya. Lelaki itu enggan masuk ke dalam kamarnya bersama Raline. Dia sangat gusar dan dalam keadaan tidak baik.Sebisa mungkin Gavin menghindari bertemu dengan istrinya. Dilepasnya kemeja putihnya dan meminum banyak air putih yang baru saja dibawakan oleh pekerja di rumahnya.Membasuh wajah dan rambutnya, Gavin berdiri di depan cermin kamar mandi sambi
"Kamu tunggu disini," pinta Gavin pada Jamal."Baik, Tuan." Jamal berdiri di depan pintu gudang dan menurut saja atas perintah Gavin.Dengan langkah berat, Gavin masuk ke dalam gudang yang temaram. Hanya ada lampu yang menyala tepat di bawah Edd tengah disekap mulutnya. Ada dua pengawal yang berjaga di samping kiri dan kanan.Gavin memberi isyarat dengan mengibaskan tangan pada dua pengawalnya yang berjaga standby. Mereka pergi karena bos mudanya meminta untuk pergi. Tinggallah Gavin sendiri bersama Edd.Edd dalam keadaan tertidur saat ini. Mulutnya dibekap lakban berwarna hitam. Wajahnya terlihat memar di beberapa sudut. Edd melawan saat dibawa paksa oleh dua pengawal Gavin ke gudang ini. Belum hilang bekas pukulan Devin saat itu, sekarang wajah