ABANGKU SAKIT JIWA 25Sungguh, jika kutahu cinta sesakit ini, maka aku akan memililih tak pernah mencintai.Sesaat, pandangan mata kami bertemu. Aku segera menutup kaca jendela mobil sambil menggigit bibir. "Bang, ayo jalan."Bang Arga menatap sekilas dari kaca spion, lalu tanpa berkata-kata, dia langsung menekan gas dan mobil melaju. Dari kaca spion, dapat kulihat Pak Arfan menatap mobilku hingga dirinya tak terlihat lagi."Emily, bukankah Bos-mu itu tidak salah apa-apa? Kenapa kau seperti membencinya?"Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan Mama."Secara tidak langsung, dia tak salah Ma. Tapi karena dia, mereka membenciku.""Mereka siapa? Mama nggak ngerti.""Pak Arfan sudah dijodohkan dengan seorang gadis. Dan gadis itu adalah Kakaknya Winda. Dia seorang selebgram dan bintang iklan. Dan, Ibunya Pak Arfan juga tak suka padaku karena kita tidak sekelas dengan mereka katanya.""Astaga. Memangnya mereka pikir ini zaman kolonial apa? Memangnya anak Mama orang miskin dan kelaparan? Kas
Mama langsung sibuk memasak, dan sebelum jam dua belas, kami bertiga sudah duduk menghadapi meja makan. Bang Arga menolak bergabung, sejak pulang tadi bahkan dia tak lagi keluar kamar. Kurasa Bang Arga terpukul oleh keadaan Winda tadi. Sementara Mama, selalu makan siang jam satu."Mamamu pinter masak, ini enak banget." Raya mencoel lagi gurame asam manis dan memindahkannya ke piringnya sendiri.""Ah, kamu mah semua makanan enak. Nggak ada yang nggak enak." Riana menertawainya"Itu namanya aku pandai bersyukur." Ujarnya cuek. Aku tersenyum melihat mereka makan dengan lahap. Kata Riana, Raya anak kost. Jadi wajar saja dia jarang ketemu makanan enak. Aku memandangi mereka berdua yang entah sejak kapan tampak akrab. Ah, seandainya aku jatuh cinta pada orang biasa saja, bukan bos yang memegang dan mengendalikan perusahaan sebesar itu, bukak keluarga Sultan yang banyak aturan, tentu rasanya akan lebih menenangkan. Tapi, bisakah aku memilih akan jatuh cinta pada siapa?Pak Arfan, apakah dia
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 26"Selamat pagi, Pak. Saya datang untuk mengajukan surat pengunduran diri. Semua tugas dan laporan keuangan terakhir sampai tiga hari yang lalu sudah selesai dan ada di file komputer di meja saya, Pak. Nanti akan saya minta Riana mengirimkannya ke email Bapak.""Emily…"Aku meletakkan amplop itu di atas meja, berusaha tak memandang matanya. Aku takut, jika dia melihat mataku, maka cinta itu akan terlihat jelas. Sungguh memalukannya. Dia hanya menganggapku pacar pura-pura, tapi aku menganggapnya serius. Dia memang pernah membuat hatiku berbunga-bunga, tapi itu ternyata hanya bagian dari akting saja. Buktinya, setelah malam itu berlalu, dia pergi begitu saja usai mengucapkan kalimat yang terus membuatku galau hingga tak nafsu makan berhari-hari lamanya. Oh, sungguh tak adil. Dia mempermainkan perasaanku. Tapi apa yang bisa ku lakukan? "Saya berterima kasih telah diberi kesempatan bergabung bersama perusahaan Bapak. Semoga kedepannya, PT. Nada Pratama semakin m
Aku melangkah dengan ringan, keluar dari kantor usai berpamitan pada semua orang yang ada di ruangan. Riana dengan lebaynya menangis tersedu-sedu padahal pintu rumahku terbuka dua puluh empat jam untuknya."Yah, tega kamu Em. Nggak ada yang seger-seger lagi dong." Seru Pak Amir, kepala lapangan yang kebetulan belum tugas luar hari ini.Aku tertawa, menunjuk Riana."Ada Riana. Dibawah juga ada Mbak Astri.""Ah, mereka berdua itu judes dan galak."Riana menjulurkan lidah. Dia menggamit tanganku, ikut mengantarku ke lantai bawah. Aku tahu, Diam-diam, Raya mengikuti kami dari belakang. Di bawah, aku berpamitan pada Mbak Astri dan dua orang OB yang menunggu begitu berita bahwa aku resign tersebar. Ada rasa sedih meninggalkan tempat ini. Para karyawan disini sudah seperti keluarga sendiri."Emi, kenapa sih kamu resign? Nggak betah ya disini?"Aku menggeleng. Sebelum sempat menjawab, Riana sudah mendahuluiku."Emi mau dipingit. Dia sebentar lagi nikah?"Dua pasang mata terbelalak. Astri dan
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 27Ya Allah, apakah yang kulakukan selama ini salah? Aku hanya fokus pada Winda yang terus membuatku jengkel. Winda yang selalu meniru dan merebut barang-barang milikku. Aku tak mau berusaha mengenalnya lebih dekat. Aku tak ingin bertanya alasan dia melakukan semua itu.Berdiri di belakangnya, aku menatap rambut hitam lurusnya, yang entah kapan sudah dia potong juga persis seperti model rambutku. Warnanya kecoklatan, berkilau tertimpa cahaya matahari yang masuk dari sela daun-daun. Taman belakang rumah sakit adalah pohon-pohon yang rimbun. Mangga, rambutan, dan beberapa barang jambu air. Tempat ini teduh dan sejuk. Menatapnya seperti ini, aku seperti memandang diriku sendiri.Winda menunduk, meletakkan semut itu di atas rumput, menatap hewan kecil itu berlari. Dia tersenyum."Jangan lupa kasih tahu rajamu ya semut!"Oh Tuhan, jika disini terus, Winda bisa benar-benar gila. Bagaimana Sang Mama bisa tega melakukan ini padanya?Winda berdiri, lalu tanpa sengaja m
Toko Mama selalu ramai, pengunjung datang silih berganti. Dua orang kasir, dan lima pelayan di setiap gerai. Dan puluhan lagi yang bekerja di tempat produksinya, di sebuah rumah besar di belakang toko utama. Sungguh luar biasa Mama mengendalikan ini semua, kadang hanya melalui telepon saja. Mencari orang yang loyal dan bisa dipercaya itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. "Mamamu bos yang baik. Kami sejahtera disini, tak ada alasan untuk curang."Mbak Rani, kepala toko cabang utama menerimaku dengan senang hati."Saya sering bertanya pada Bu Indah, kapan Mbak Emily akan terjun langsung. Saya pikir, Mbak nggak berminat mengelola usaha ini."Aku meringis, mengingat alasanku ada disini adalah karena aku menghindari dia. Aku tak mau bertemu dengan Pak Arfan setiap hari, lalu cinta yang sudah teramat dalam itu membuatku terperosok makin dalam."Saya juga mungkin tak bisa setiap hari datang, Mbak. Tapi saya minta bimbingan dari Mbak Rani. Saya belum tahu seluk beluk bisnis kue. Tahu
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 28"Tolong keluarkan dia dari sana, Mas. Winda nggak bersalah." Sungguh, rasanya agak geli memanggilnya Mas. Tapi sepertinya aku memang harus membiasakan diri. Dan aku juga akhirnya terpaksa menarik sendiri kata-kataku. Tadinya, aku tak ingin bertemu dengannya dulu. Tapi aku tak punya orang lain yang bisa kumintai tolong.Di hadapanku, Mas Arfan tampak terkejut."Maksudmu?""Bukan Winda pelakunya. Aku yakin sekali. Tolong, cari pelaku sesungguhnya supaya Winda bisa keluar dari sana. Aku… aku nggak tega melihatnya.""Kenapa kau bisa yakin sekali, Em. Lelaki itu yang mengatakan kalau Winda yang menyuruhnya. Dan ketika aku kesana, Winda mengakuinya.""Tapi kenapa di hadapanku dan Bang Arga, dia menolak? Dan kemarin, aku ke RSJ. Ada Mamanya disana."Aku lalu menceritakan apa yang kudengar dari balik pohon waktu itu. Mas Arfan mendengarkan ceritaku dengan seksama, tak sekalipun menyela."Kasihan Winda. Dia harus menanggung kesalahan yang tak dia lakukan."Mas Arfa
"Emi, ada teman kamu."Suara Mama muncul ketika aku tengah membaca buku di dalam kamar. Malam minggu, tumben sekali langit sangat cerah. Bang Arga baru saja berangkat dengan teman-teman band-nya. Sementara aku tak punya janji dengan siapapun."Teman? Riana ya?""Temannya Riana." Mama cemberut. "Emi, jangan memberi harapan pada lelaki jika kamu masih ingin main-main, Nak."Aku mengerutkan kening."Mantan bos kamu itu serius sekali sama kamu dan Mama mulai menyukainya. Bukan karena dia membelikanmu mobil, tapi dari caranya menjaga dirimu. Dan sekarang, datang cowok lain. Mama nggak suka anak Mama mempermainkan perasaan orang.""Cowok lain siapa sih, Ma?" Aku bangkit dari kasur dangan malas."Yang kemarin itu. Duh, masa anak Mama udah pikun sih? Yang kemarin kesini sama Nana, bawa buah pas kamu sakit.""Oh, Raya.""Ya. Indonesia Raya, atau jalan Raya. Entahlah Mama nggak tahu. Dia kesini itu punya maksud loh, Em. Seorang lelaki mengunjungi gadis di malam minggu. Ayolah cepat kamu keluar