Aku memasang sepatu dengan cepat. Sial. Aku terlambat bangun. Alhasil aku terburu-buru berangkat sekolah.“Tidak makan dulu nak?” Bi Ruri berseru dari dalam rumah. Tapi aku sudah bergegas masuk mobil. Untunglah Pak Andra sudah bersiap dengan mobilnya di luar.“Tidak usah bi, aku sudah terlambat.” Aku melambaikan tangan pada Bi Ruri yang memasang wajah panik di pintu.Aku beralih pada Pak Andra di balik kemudi. “Kita ke gedung Departemen Pendidikan dulu pak,” Kening Pak Andra terlipat. Bisa-bisanya aku meminta di antar ke sana padahal sudah terlambat. “Tidak langsung ke sekolah nak? Sebentar lagi gerbang akan segera di tutup.” Pak Andra bertanya sambil melirik jam tangan di lengan. Aku menggeleng. “Tidak pak, ke sana dulu. Ada yang harus kuberikan.” Seakan mengerti, Pak Andra segera memacu mobil membelah jalanan kota yang sudah mulai ramai. Dia juga berusaha ngebut supaya aku tak terlambat ke sekolah. Aku bernafas lega karena Pak Andra ta
“Video itu sudah tersebar Mister, apa perlu kita hapus secara permanen untuk menghentikan penyebarannya?” Sekretaris Lin meminta persetujuan Mister Han. Ujung jari telunjuk Mister Han masih mengetuk meja. Dia tampak memikirkan sesuatu. “Bukankah kau bilang sudah tersebar? Percuma saja jika kita hapus video aslinya. Toh, salinannya sudah banyak.” Mister Han menghela nafas panjang lantas tersenyum tipis. Mungkin saja dia sedang memikirkanku pagi itu. “Bagaimana dengan Jia?” Mister Han mengangkat pandangan menatap Sekretaris Lin masih berdiri di hadapannya. “Aku belum bisa menghubunginya Mister Han, namun tadi pagi aku menghubungi Pak Andra, beliau bilang baru saja mengantar Jia ke gedung Departemen Pendidikan.” Mister Han menatap Sekretaris dalam diam. Ekspresi wajahnya masih tenang seolah sudah bisa menebak apa yang sudah kulakukan. “Departemen Pendidikan?” Dia tersenyum tipis. Sekretaris bingung. “Apakah Mister su
Mino, Arin dan juga Rey di kumpulkan di sebuah ruang rapat yang berada di lantai tiga gedung utama di sekolah. Mereka duduk di meja bundar. Arin dan Mino bersebelahan sementara Rey duduk bersebrangan. Seharusnya Ali juga berada di sana, tetapi dia masih merasa kurang sehat sehingga memutuskan untuk libur pada hari itu. Lagi pula, Ali tetap ingin untuk pindah sekolah meski aku sudah membujuknya hari itu, saat kami selesai membuat video. “Kau tetap akan pindah sekolah?” Ali tersenyum lirih saat mendengar pertanyaanku. “Hm. Lagi pula aku memang tak ingin terus bersekolah di sini.” Ali berkata pelan. “Toh, aku tak punya teman yang merasa ditinggalkan jika aku pindah.” “Hei! Memangnya kami ini bukan temanmu?” Arin berseru tak setuju. Dia meninju pelan lengan Ali yang duduk di sampingnya. “Ah, itu….” Ali terkekeh. “Tapi keputusanku sudah bulat. Maafkan aku dan juga terima kasih atas semua ini.” Ali sudah mengucapkan salam perpisahan.
Keringat dingin mengucur deras di pelipis, aku tersentak dengan mata terbuka lebar. Jantungku berdegup kencang. Aku terduduk, mencondongkan badan ke arah meja nakas lalu menghidupkan lampu tidur. Astaga! Baru saja aku bermimpi buruk. Otakku berputar cepat, memikirkan kejadian apa yang akan terjadi bak seorang peramal handal. Walau sebenarnya aku tak paham apapun tentang penafsiran. Dan terlebih aku tak percaya pada hal-hal seperti itu. Namun, akhir akhir ini pemikiranku berubah. Semuanya bisa saja terjadi. Apa mungkin mimpi burukku ini adalah sebuah pertanda sesuatu. Kenop pintu diputar. Langkah seorang wanita paruh baya terdengar. “Kau mimpi buruk sayang?” tanyanya sambil memasang wajah cemas. Wajah panik ibu yang tengah berlari menghampiri tempat tidur membuatku tersadar. Seolah mengatakan kalau semua ini nyata. Aku memejamkan mata sembari mengusap kepala dengan kedua tangan. Ibu mengusap punggungku dengan raut wajah paniknya yang masih terpasang.
Suasana kelas terasa jauh lebih membosankan. Tak ada lagi pengumuman yang tiba-tiba mengatakan jam pertama kosong atau keributan yang terjadi di antara anak-anak. Sekolah menjadi lebih tenang. Katanya, Mino juga lebih banyak menghabiskan waktu di bangku taman sekolah. Tempat biasa kami duduk bersama dulu. Bangku kedua dari tepi lapangan. “Hei! Kau bolos kelas lagi?” Seru Arin mendapati Mino yang duduk termenung di bangku. Pandangannya kosong jauh ke depan. “Kau lihat apa?” Arin mengikuti arah pandang Mino sembari menyerahkan satu cup cola lantas duduk di sampingnya. Tangan Mino terangkat menerima minuman Arin sambil tersenyum kecut. Arin menyandarkan punggung ke sandaran sambil melipat tangan di dada. Dia memasang wajah serius. Tampak memikirkan sesuatu yang membuat Mino menoleh lantas mendungus. “Jangan mencoba untuk memikirkan sesuatu! Sungguh kau tak cocok sama sekali,” cibir Mino. “Jangan menggangguku!” balas Arin tak mau kalah. Dia
Pengumuman bandara sahut menyahut satu sama lain tiada henti. Aku menunggu koperku di bagian pengambilan bagasi. Mataku liar memandang kemana-mana. Selain memperhatikan setiap koper yang berputar, mataku juga liar memperhatikan setiap pasang mata yang menatap lamat-lamat koper mereka. Berharap tidak ada orang yang kukenal bertemu secara tak sengaja di bandara. Huh, kan tidak lucu, jika aku bertemu Sekretaris Lin di bandara. Koper warna hitam dengan aksen stiker bunga matahari di sudut koper tampak melenggang indah di mesin berputar, mendekat ke arahku. Tanganku segera bergegas meraih gagang koper dan segera menyibak tumpukan manusia yang berdiri di belakangku sedari tadi, berharap aku segera enyah dari pandangan mereka supaya bisa melihat koper mereka dengan jelas. Langkah kakiku lincah menuju pintu kedatangan. Walau sudah tengah malam, bandara seakan tak punya waktu tidur, setiap sudut dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Tidak ada suara kecuali keheningan yang menciptakan jarak di antara kami. Aku tak lagi duduk manis seperti gadis lima tahun yang memasang wajah polos seolah tak tahu apa-apa. Tidak. Pemikiranku sudah jauh lebih matang terlebih setelah apa yang telah terjadi dan yang kuperbuat. Dan aku sadar betul akan semua itu. Mister Han berdeham memecah sunyi. Dia memperbaiki posisi duduk. Melipat kaki dan menyilangkan tangan di dada. Ya. Dia akan kembali berceramah satu detik kemudian. Mulai membual akan sekolah hebat yang sangat dicintainya itu. “Kenapa kau tidak bilang padaku kalau akan kembali, setidaknya aku bisa menyuruh Sekretaris Lin untuk menjemputnya di bandara.” Mister Han berbasa-basi yang tentunya sudah basi. “Tidak perlu, aku bisa mengurus diri sendiri. Lagi pula, sudah pasti aku tidak akan berada di sini jika kau tahu aku akan pulang,” jawabku enggan menatap wajahnya. Aku asik menatap ponsel yang tersemat di tangan kanan. Mister Han te
“Kau menyebut dirimu teman?” ucap Mino berlagak menghakimi walau tak bermaksud seperti itu. Namun, apalah dayaku yang hanya bisa duduk tertunduk tak membantah. Sementara Mino berjalan mondar-mandir di hadapanku. Dia langsung menarik tanganku keluar kelas sedetik setelah aku menampakkan diri di depan kelas. Tak peduli Mister Han, Bu Hani ataupun seisi kelas yang memusatkan perhatiannya pada kami. Dia terus menarik tanganku hingga tiba di bangku taman. “Jia.” Mino memanggil namaku dengan lembut hingga berhasil membuatku mengangkat kepala. Menatapnya yang kini sudah duduk di sampingku, tak lagi mondar-mandir. “Apa kau kembali karena panggilanku waktu itu?” tanyanya lagi dengan suara lembut dan nada suara ramah. Entahlah. Aku merasa Mino yang kini tengah mananti jawabanku kini berbeda dengan Mino yang kukenal tiga bulan yang lalu. “Hm?” Aku mengalihkan pandangan. Memang betul aku kembali karena panggilan tak jelas darinya waktu itu yang tiba
Aku berjongkok mengikat tali sepatu dengan kuat. Matahari belum sepenuhnya mencuat. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Namun aku sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Baiklah. Aku memutuskan untuk berlari ke sekolah. “Wah, kau bersemangat sekali pagi ini. Tumben sekali.” Mino menyusul dari belakang. “Hei! Tunggu aku. Tega sekali kalian duluan.” Arin berseru dari belakang yang membuat kami menoleh dan tertawa pelan. “Percepat larimu!” balasku berseru padanya. Aku dan Mino melambat. Menunggu hingga Arin sudah dekat dengan kami. Seperti biasa. Kami menyamakan langkah kaki. “Bagaimana perasaanmu?” Mino bertanya. “Tentu saja senang. Aku merasa lega.” “Sudah kuduga. Ini pertama kalinya kulihat senyummu secerah ini semenjak kau kembali.” Aku tersenyum mendengar ungkapan Mino. Begitu pula dengan Arin yang ikut tersenyum. Suasana hatiku secerah matahari yang mulai naik. Kami berlari berirama menyongsong matahari pagi. Menyusuri t
Krack! Mister Han baru saja melemparkan pot bunga ke lantai dengan kasar dan gusar. Sementara Sekretaris Lin hanya bisa berdiri tertunduk di depan meja. “Kenapa kau masih tak becus bekerja? Apa saja yang kau lakukan belakangan ini sampai kecolongan seperti ini, huh? Kau tak tau dampak dari petisi ini jika sampai ke gedung putih?” Wajah Mister Han merah padam. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Ponselku berdering. Nama Mino muncul di layar. Aku membalikkan badan, berbaring menghadap langit-langit. “Kau sudah lihat beritanya?” tanya Mino dari seberang sana. “Berita apa?” “Petisi kita tembus sampai dua ribu tanda tangan.” Aku terlonjak kaget. Sontak aku langsung bangun dan berjalan mendekati meja belajar. Bergegas menyalakan komputer dan membuka laman ruang obrolan sekolah. Benar saja. Petisi kami sudah di tandatangin oleh dua ribu petisi. Artinya banyak yang tidak suka dengan sistem di sekol
Kami kembali masuk sekolah setelah libur dua hari. Dan ini menjadi laporan pertama yang dilaporkan Sekretaris Lin pada Mister Han pagi itu. “Hm. Mereka masuk hari ini?” Mister Han bertanya dari balik meja kerja. Dia lebih dulu bertanya seolah bisa menerawang isi pikiran sekretarisnya saat Sekretaris Lin menapakkan kaki di ruangan. “Ya Mister, hari ini mereka masuk kelas seperti biasa.” “Sudah berapa lama mereka libur?” “Dua hari Mister.” “Dua hari tidak ada pergerakan. Kau yakin?” Sekretaris Lin terdiam. Dia tampak ragu. “Y-ya Mister.” “Aku tidak ingin mendengar kabar buruk hari ini.” Mister Han melipat koran lantas meletakkannya di atas meja. “Kau boleh pergi.” Sekretaris Lin keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Tampaknya dia ingin memastikan apakah kami memang hanya diam saja dua hari belakangan ini. Tapi kalian juga tahu bukan? Bahwa kami tidak pernah diam.**** “Sudah kau si
“Kalian bisa nyantai kemarin?” Mino datang dengan tiga buah botol minuman kaleng di tangannya. Rasa jeruk untukku, strawberi untuk Arin, dan dia suka rasa leci. Kami sepakat bertemu di café orange perempatan jalan. Aku menggeleng pelan. “Ayahku datang ke rumah kemarin,” kataku pelan sambil menopang kepala dengan kedua tangan di atas meja. “Kenapa dia datang? Tumben sekali. Dia bilang sesuatu?” Mino balik bertanya. Menurutnya juga aneh saat Mister Han tiba-tiba datang ke rumah. Walaupun dia ayahku. Sepertinya hubungan ayah dan anak antar kami sudah tidak bisa diperbaiki lagi. “Ya begitu,” lanjutku menghela nafas.“Ah, dia bilang sesuatu rupanya.”Kini aku menegakkan kepala. “Kau masih ingat ucapan ayahku waktu itu?” Kening Mino terlipat. Mencoba mengingat ucapan yang mana? Saking terlalu banyaknya ucapan Mister Han pada mereka setahun belakang. Mulai dari perhatian hingga ancaman. “Saat dia bilang kalau aku bisa sa
“Duduk!” perintah Mister Han saat melihat kedatanganku yang semakin dekat dengannya. Aku menurut tak banyak membantah. Jujur aku juga baru pertama kali melihat Mister Han semarah itu. Bahkan dulu saat aku membuat kegaduhan, ayah masih bisa memasang wajah datar nan tenangnya. Namun tidak kali ini. Yang tersisa hanyalah raut muka merah padam. Aku menarik kursi pelan lantas duduk di atasnya. Entah mengapa aku tak bisa menatap wajahnya. Aku merasa seperti menjadi anak paling durhaka sedunia. “Kau yang melakukannya bukan?” Mister Han menyesap kopi yang sudah lebih dulu disajikan bi Ruri sebelum aku keluar kamar tadi. Kepalaku terangkat. Kenapa ayah bertanya? Bukankah sudah jelas kalau pelakunya memanglah aku. Dia juga tahu akan hal itu. Memang ada yang lain yang berani melawan Mister Han di sekolah? Kecuali Mino dan Arin. “Bukankah ayah juga sudah tahu?” “Tidak,” lanjut Mister Han. Dia kembali meletakkan cangkir kopi d
Berita tentang kasta di sekolah kami menyebar kemana-mana dan menjadi topik hangat dalam semalam. “Kalian bilang sekolah mana tadi?” Wanita paruh baya itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. “Ya?” Aku pura-pura tidak mengerti. “Oh? Maaf aku bertanya tiba-tiba.” Wanita itu memperbaiki posisi berdiri dan merubah raut wajahnya menjadi lebih bersahabat dengan senyum yang mengambang. “Boleh saya duduk di sini?” lanjutnya lagi sembari melirik kursi kosong di sebelah Arin. “Ya, silakan!” “Ya, silakan!” Kami spontan serentak mempersilahkan. Wanita itu duduk kemudian melipat tangan di di atas paha. Terlihat sopan dan anggun. “Maaf aku mendengar percakapan kalian barusan, tentang kasta sekolah? Maksudnya apa ya?” “Ooo itu..” Aku tergagap sambil melirik Mino dan Arin bergantian. Kami memang menginginkan berita ini terdengar ke meja sebelah. Tapi tak secepat ini pula. Jadinya kami gugup karena tak ta
“Kau yakin?” Arin tampak ragu saat menatap gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang menampilkan manekin tengah memakai pakaian mode terkini. “Hm,” jawabku mantap. Kakiku melangkah masuk. “Kalian pilih satu, jangan terlalu lama. Ambil sembarang saja,” kataku lagi mengingatkan. “Hei kalian, cepat masuk. Waktu kita tak banyak.” Aku menyoraki Mino dan Arin yang masih mematung di depan pintu. “Kau tau apa yang ada dipikirannya?” Arin berbisik sambil melirikku. “Kau pikir aku tau?” Mino mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia juga tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi pertanyaannya, kenapa membeli baju baru? Padahal bukan waktunya untuk melakukan semua ini. Aku memilih sebuah hoody warna hitam dan mengambil sembarang celan jins longgar. Tak lupa tanganku juga menyambar sebuah topi warna putih. Dengan cepat aku sudah berganti pakaian. Tak lama setelahnya Mino juga berganti pakaian. Baju yang di pilihnya tak jauh berbeda dariku yan
“Ayahmu bilang apa?” Aku menulis coretan di belakang buku pelajaran. Kelas pagi itu sudah di mulai satu jam yang lalu, tapi pikiranku tak bisa fokus bahkan sampai detik ini. Namun Mino tampaknya berbeda denganku. Lihatlah dia kembali menjadi anak tengil yang kutu buku dan menyimak penjelasan Bu Hani dengan seksama. Aku tau dia dipanggil ayahnya kemarin. Sama denganku yang juga dipanggil oleh Mister Han. Dan Mino tau akan semua itu. Tapi dia belum berbicara sedari tadi padaku. Tak seperti biasanya. Aku sudah menyikut sikunya berkali-kali, sialnya tetap saja diabaikan. Dia tak bergeming. Akhirnya kuputuskan untuk mencoret bagian belakang buku. Aku menyodorkan buku itu ke meja Mino lantas menyikut sikunya untuk yang terakhir kali. Yes!! Akhirnya Mino menoleh. Dia mulai menulis balasan di bawah tulisanku. “Ayo keluar!” Dia melirik pintu sejenak. Memberi aba-aba. Belum sempat aku memberi jawaban, dia sudah lebih dulu menunduk, jal
Mino mengikuti Pandi dari belakang. Selepas pulang sekolah tadi, Mino segera menuju kediaman ayahnya. Pandi bilang situasi sekarang berbahaya dan mendapatkan kode warning. Ya. Semacam kode yang langsung membuat Mino mengerti. “Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Aku bertanya sesaat setelah Mino menutup panggilan telepon. “Ayahku menyuruh pulang,” balas Mino terdengar santai. Dia mengemas buku buku yang tak pernah di bacanya ke dalam tas. “Kenapa? Jangan bilang ayahmu sudah lihat video itu?” Mino mengangkat bahu santai. “Sepertinya sudah, makanya menyuruhku segera pulang.” Kedua tanganku terangkat menutup mulut yang ternganga panik. “Bagaimana ini? Kau tidak akan dihajar habis habisan oleh ayahmu bukan?” Raut wajahku berubah panik. Mino mendengus. “Hei. Ayahku bukan preman seperti yang kau bayangkan.” “Oh, maaf. Aku hanya khawatir jika memang itu yang akan terjadi. Apa sebaiknya aku ikut saja denganmu? Jadin