Tidak ada suara kecuali keheningan yang menciptakan jarak di antara kami. Aku tak lagi duduk manis seperti gadis lima tahun yang memasang wajah polos seolah tak tahu apa-apa. Tidak. Pemikiranku sudah jauh lebih matang terlebih setelah apa yang telah terjadi dan yang kuperbuat. Dan aku sadar betul akan semua itu. Mister Han berdeham memecah sunyi. Dia memperbaiki posisi duduk. Melipat kaki dan menyilangkan tangan di dada. Ya. Dia akan kembali berceramah satu detik kemudian. Mulai membual akan sekolah hebat yang sangat dicintainya itu. “Kenapa kau tidak bilang padaku kalau akan kembali, setidaknya aku bisa menyuruh Sekretaris Lin untuk menjemputnya di bandara.” Mister Han berbasa-basi yang tentunya sudah basi. “Tidak perlu, aku bisa mengurus diri sendiri. Lagi pula, sudah pasti aku tidak akan berada di sini jika kau tahu aku akan pulang,” jawabku enggan menatap wajahnya. Aku asik menatap ponsel yang tersemat di tangan kanan. Mister Han te
“Kau menyebut dirimu teman?” ucap Mino berlagak menghakimi walau tak bermaksud seperti itu. Namun, apalah dayaku yang hanya bisa duduk tertunduk tak membantah. Sementara Mino berjalan mondar-mandir di hadapanku. Dia langsung menarik tanganku keluar kelas sedetik setelah aku menampakkan diri di depan kelas. Tak peduli Mister Han, Bu Hani ataupun seisi kelas yang memusatkan perhatiannya pada kami. Dia terus menarik tanganku hingga tiba di bangku taman. “Jia.” Mino memanggil namaku dengan lembut hingga berhasil membuatku mengangkat kepala. Menatapnya yang kini sudah duduk di sampingku, tak lagi mondar-mandir. “Apa kau kembali karena panggilanku waktu itu?” tanyanya lagi dengan suara lembut dan nada suara ramah. Entahlah. Aku merasa Mino yang kini tengah mananti jawabanku kini berbeda dengan Mino yang kukenal tiga bulan yang lalu. “Hm?” Aku mengalihkan pandangan. Memang betul aku kembali karena panggilan tak jelas darinya waktu itu yang tiba
Aku membuka pintu dengan kasar hingga terhempas mengenai dinding. Langkahku bergegas masuk sembari mengedarkan pandangan ke arah tengah ruangan. Disana sudah ada Mino dan Arin dengan kedua pasang matanya yang tertuju padaku. Satu detik kemudian, mataku beralih menatap Mister Han yang duduk manis di sofa tengah. Dia tersenyum ramah untuk menyambut kedatanganku yang tak bisa dibilang ramah. “Jia,” desis Mino pelan sambil berdiri. Aku mengabaikan Mino. “Kenapa kau memanggil kami ke sini?” tanyaku tanpa basa-basi sambil berjalan mendekat. Aku duduk di sofa bagian kiri Mister Han, bersebrangan dengan Mino dan Arin yang duduk bersebelahan. Aku bergantian menatap Mino dan Arin yang duduk tertunduk di hadapanku. Aku merasa ada yang tidak beres dan mulai gelisah. “Tenangkan dulu dirimu, tidakkah kau berfikir terlalu sempit untuk pagi yang cerah ini?” balas Mister Han sambil menyesap kopinya yang masih berasap. Dia seperti bisa membaca setiap gera
“Sekarang bukan waktunya untuk itu, kita tidak punya banyak waktu,” kataku tegas dengan suara dalam. Kakiku masih saja bergoyang, tidak bisa diam. Sudah hampir tiga puluh menit aku duduk dengan posisi kaki bersilang menjuntai di bangku halte tak jauh dari sekolah. Entah sudah berapa kali lampu berganti warna sedari tadi. Mobil dan manusia bergantian untuk menyebrang, berlalu-lalang. “Sampai kapan kita akan duduk di sini?” Arin mulai mengeluh. Mereka masih saja menemaniku hingga ke halte. “Sampai kita melihat mobil Sekretaris Lin keluar,” balasku lagi. Pandanganku tak teralihkan sedikitpun dari gerbang sekolah berjalan sepuluh meter di seberang jalan. “Kau mau apa jika mobilnya keluar? Membuntutinya?” Arin mengerang tidak percaya sambil menghempaskan badannya ke bangku. “Kita mau membuntutinya pakai apa? Kita gak ada mobil.” “Siapa bilang kita akan membuntutinya?” Sudut bibirku terangkat. Baru saja sebuah rencana tercetus di benakku. Kali
Suara langkah kaki berjalan mendekat. Wajah Arin sudah berubah pucat pasi seiring suara langkah kaki yang semakin mendekat. Keringat dinginnya mulai mengalir memenuhi dahi dan pelipis. “Hei! Apa yang harus kita lakukan sekarang?” bibir Arin bertanya tanpa bersuara. Wajahnya terlihat sangat panik. Namun berbeda denganku yang masih memasang wajah datar. Toh ini bukan kali pertama aku melakukan hal-hal seperti ini. Tapi bukan berarti pula aku sering melakukan hal ini. “Ayo kesini,” bisikku pelan. Tepat saat itu suara langkah kaki di luar sana berhenti. Tak lagi terdengar sehingga membuat langkah kakiku ikut terhenti. Sontak mataku dan Arin bertemu di tengah ruangan gelap, samar-samar dengan pencahayaan sangat kurang. Remang-remang. “Jia! Hei! Arin!” Hei, itu suara Mino. Aku langsung bangkit dari posisi sebelumnya yang bersembunyi di bawah salah satu meja guru. BUK!! Sial. Kepalaku terbentur meja yang membuatku mengaduh kesakitan
“Astaga, aku lelah sekali,” ucapku sambil merebahkan badan. Kami bertiga berbaring sejajar di lapangan hijau tengah kota. Stadion tanpa atap dekat dari rumahku. Tempat yang paling sering kudatangi bersama Mino dulu. Entahlah bagaimana kami bisa berakhir di sana. Langkah kaki ini tanpa sadar membawa kami berlari hingga ke sana. “Hm. Aku juga lelah sekali,” timpal Arin. Nafasnya agak tersengal. Jelas sekali kalau dia jarang berolahraga. “Siapa suruh kalian berlari,” balas Mino kemudian tertawa sambil memasang wajah tengil. “Kau pikir gara-gara siapa kami berlari sampai ke sini huh,” balasku lagi tak mau kalah. “Baiklah, baiklah aku mengerti.” Mino mengalah. Dia menghela nafas panjang. “Ternyata kita sudah sejauh ini,” ungkapnya pelan menatap bintang di langit. Aku memutar kepala menghadapnya. Posisiku masih sama, di tengah di antara Mino dan juga Arin. “Hm, kita sudah sampai sejauh ini,” lanjutku lagi. Mino mengalihkan pandanga
Mino mendengus. Hei. Kami bukanlah orang asing yang harus meminta izin untuk saling berpelukan satu sama lain. Entahlah. Mungkin saja Mino merasa aku sangat aneh pagi itu. Tak perlu menjawab dengan kata-kata. Mino langsung merangkul pundakku lalu mendekapku ke dalam pelukannya. “Tentu saja, sejak kapan kau harus minta izin seperti tadi itu.” Aku tersenyum dalam diam. Membenamkan kepala di pundak Mino. Pundak yang selalu ada menopangku di saat aku terjatuh dalam keadaan terburuk. Ehem! Ehem! Pandi berdeham dari balik kemudi. Astaga! Seketika kami lupa ada pandi di sana. Dan kami tengah berada di dalam mobil yang tengah melaju membelah kota yang mulai padai merayap. Aku melonggarkan lengan sambil menjauhkan kepala dari pundak Mino. Kami serentak melirik kaca kecil yang menggantung di depan. Sudut mata Pandi terlihat fokus melihat jalan di depan. Aku terkikik dalam diam. Kami tau kalau sebenarnya Pandi sedari tadi mendengar perc
“Dimana?” Aku bertanya antusias dan mendesak di saat bersamaan. “Ternyata dia sekolah di sekolah yang sama dengan Rey.” “Apa?” Kali ini Mino yang bersuara kaget. Tak percaya. “Tidak mungkin. Pandi sudah mencarinya di sana.” Arin menelan saliva. Menatap ke arahku, Mino dan Geofanny bergantian. “Tentu saja kau tidak berhasil menemukannya.” “Bagaimana bisa?” tanya Geofanny. “Karena dia baru saja di terima di sekolah itu satu minggu yang lalu dan dia belum pernah menginjakkan kakinya di sekolah itu sampai sekarang.” “Lalu darimana kau tahu semua ini?” “Ray.” “Ray?” Aku menoleh pada Mino meminta penjelasan. Bukankah seharusnya Ray juga bilang padanya jika memang betul Hanna sekolah di tempat yang sama. “Ya, Ray. Dia bilang melihat Hanna berjalan memasuki sekolah saat jam pulang tiba. Bukankah itu aneh? Kenapa dia datang pada saat semua orang sudah pulang?” Kami bertiga ma