“Dimana?” Aku bertanya antusias dan mendesak di saat bersamaan. “Ternyata dia sekolah di sekolah yang sama dengan Rey.” “Apa?” Kali ini Mino yang bersuara kaget. Tak percaya. “Tidak mungkin. Pandi sudah mencarinya di sana.” Arin menelan saliva. Menatap ke arahku, Mino dan Geofanny bergantian. “Tentu saja kau tidak berhasil menemukannya.” “Bagaimana bisa?” tanya Geofanny. “Karena dia baru saja di terima di sekolah itu satu minggu yang lalu dan dia belum pernah menginjakkan kakinya di sekolah itu sampai sekarang.” “Lalu darimana kau tahu semua ini?” “Ray.” “Ray?” Aku menoleh pada Mino meminta penjelasan. Bukankah seharusnya Ray juga bilang padanya jika memang betul Hanna sekolah di tempat yang sama. “Ya, Ray. Dia bilang melihat Hanna berjalan memasuki sekolah saat jam pulang tiba. Bukankah itu aneh? Kenapa dia datang pada saat semua orang sudah pulang?” Kami bertiga ma
Suasana cefe tiba-tiba menjadi hening. Semuanya terkejut karena Ray tiba-tiba mengajak Hanna ke pertemuan penting kami siang itu. “Kau serius?” tanyaku tak sabaran. Lupakan rasa kesalku yang belum hilang pada Ray. Berita Hanna mengambil alih semuanya. Mino tersenyum dalam diam. Dia melirik Arin yang sepertinya juga sudah tahu jika Hanna akan datang ke café. “Kau juga sudah tahu?” tanya Mino pada Arin. “Ya. Dia memberitahuku di telfon tadi sebelum aku datang ke sini,” sahut Arin tak ingin membuat semua orang salah paham. “Baguslah jika Hanna memang benar-benar datang ke sini,” gumamku pelan. Tanganku melepaskan tangan Mino yang ternyata masih saja betah menggenggam tanganku. Aku sibuk mencari ponsel di dalam tas. “Ah, sial. Kemana aku meletakkannya,” umpatku saat tak berhasil menemukan benda kotak hitam kecil itu. “Ini,” kata Mino sambil menyodorkan ponselku. “Percuma kau cari dalam tas karena kau meletakkannya di
Kami semua kembali berkumpul di café sepulang sekolah. Kami sepakat untuk memakai blazer ataupun jaket untuk menutupi seragam sekolah. Seperti yang kalian tahu, mata Sekretarin Lin ada dimana-mana. Jadi kami memutuskan untuk duduk di meja terpisah namun saling berkomunikasi melalui panggilan video. Lucu memang, tapi apa boleh buat. Jangan sampai semuanya gagal bahkan sebelum kami memulai. Kami mulai menyusun rencana satu per satu. “Kau bisa buatkan kembali ruang obrolan sekolah?” Aku bertanya pendapat Arin. Sebelumnya aku sudah mengumumkan tentang rencana awal membuat video tentang Mino. Anak laki-laki itu juga sudah siap dengan videonya. Mino langsung membuat videonya setelah percakapan kami sore itu. Pandi juga bergerak cepat mengumpulkan anak buahnya untuk membuat video itu. Arin mengangguk mantap. Itu bukan pekerjaan sulit. “Pastikan tampilannya publik sehingga bisa dilihat siapa saja selain member sekolah.” Arin kembali mengangguk m
Mino mengikuti Pandi dari belakang. Selepas pulang sekolah tadi, Mino segera menuju kediaman ayahnya. Pandi bilang situasi sekarang berbahaya dan mendapatkan kode warning. Ya. Semacam kode yang langsung membuat Mino mengerti. “Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Aku bertanya sesaat setelah Mino menutup panggilan telepon. “Ayahku menyuruh pulang,” balas Mino terdengar santai. Dia mengemas buku buku yang tak pernah di bacanya ke dalam tas. “Kenapa? Jangan bilang ayahmu sudah lihat video itu?” Mino mengangkat bahu santai. “Sepertinya sudah, makanya menyuruhku segera pulang.” Kedua tanganku terangkat menutup mulut yang ternganga panik. “Bagaimana ini? Kau tidak akan dihajar habis habisan oleh ayahmu bukan?” Raut wajahku berubah panik. Mino mendengus. “Hei. Ayahku bukan preman seperti yang kau bayangkan.” “Oh, maaf. Aku hanya khawatir jika memang itu yang akan terjadi. Apa sebaiknya aku ikut saja denganmu? Jadin
“Ayahmu bilang apa?” Aku menulis coretan di belakang buku pelajaran. Kelas pagi itu sudah di mulai satu jam yang lalu, tapi pikiranku tak bisa fokus bahkan sampai detik ini. Namun Mino tampaknya berbeda denganku. Lihatlah dia kembali menjadi anak tengil yang kutu buku dan menyimak penjelasan Bu Hani dengan seksama. Aku tau dia dipanggil ayahnya kemarin. Sama denganku yang juga dipanggil oleh Mister Han. Dan Mino tau akan semua itu. Tapi dia belum berbicara sedari tadi padaku. Tak seperti biasanya. Aku sudah menyikut sikunya berkali-kali, sialnya tetap saja diabaikan. Dia tak bergeming. Akhirnya kuputuskan untuk mencoret bagian belakang buku. Aku menyodorkan buku itu ke meja Mino lantas menyikut sikunya untuk yang terakhir kali. Yes!! Akhirnya Mino menoleh. Dia mulai menulis balasan di bawah tulisanku. “Ayo keluar!” Dia melirik pintu sejenak. Memberi aba-aba. Belum sempat aku memberi jawaban, dia sudah lebih dulu menunduk, jal
“Kau yakin?” Arin tampak ragu saat menatap gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang menampilkan manekin tengah memakai pakaian mode terkini. “Hm,” jawabku mantap. Kakiku melangkah masuk. “Kalian pilih satu, jangan terlalu lama. Ambil sembarang saja,” kataku lagi mengingatkan. “Hei kalian, cepat masuk. Waktu kita tak banyak.” Aku menyoraki Mino dan Arin yang masih mematung di depan pintu. “Kau tau apa yang ada dipikirannya?” Arin berbisik sambil melirikku. “Kau pikir aku tau?” Mino mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia juga tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi pertanyaannya, kenapa membeli baju baru? Padahal bukan waktunya untuk melakukan semua ini. Aku memilih sebuah hoody warna hitam dan mengambil sembarang celan jins longgar. Tak lupa tanganku juga menyambar sebuah topi warna putih. Dengan cepat aku sudah berganti pakaian. Tak lama setelahnya Mino juga berganti pakaian. Baju yang di pilihnya tak jauh berbeda dariku yan
Berita tentang kasta di sekolah kami menyebar kemana-mana dan menjadi topik hangat dalam semalam. “Kalian bilang sekolah mana tadi?” Wanita paruh baya itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. “Ya?” Aku pura-pura tidak mengerti. “Oh? Maaf aku bertanya tiba-tiba.” Wanita itu memperbaiki posisi berdiri dan merubah raut wajahnya menjadi lebih bersahabat dengan senyum yang mengambang. “Boleh saya duduk di sini?” lanjutnya lagi sembari melirik kursi kosong di sebelah Arin. “Ya, silakan!” “Ya, silakan!” Kami spontan serentak mempersilahkan. Wanita itu duduk kemudian melipat tangan di di atas paha. Terlihat sopan dan anggun. “Maaf aku mendengar percakapan kalian barusan, tentang kasta sekolah? Maksudnya apa ya?” “Ooo itu..” Aku tergagap sambil melirik Mino dan Arin bergantian. Kami memang menginginkan berita ini terdengar ke meja sebelah. Tapi tak secepat ini pula. Jadinya kami gugup karena tak ta
“Duduk!” perintah Mister Han saat melihat kedatanganku yang semakin dekat dengannya. Aku menurut tak banyak membantah. Jujur aku juga baru pertama kali melihat Mister Han semarah itu. Bahkan dulu saat aku membuat kegaduhan, ayah masih bisa memasang wajah datar nan tenangnya. Namun tidak kali ini. Yang tersisa hanyalah raut muka merah padam. Aku menarik kursi pelan lantas duduk di atasnya. Entah mengapa aku tak bisa menatap wajahnya. Aku merasa seperti menjadi anak paling durhaka sedunia. “Kau yang melakukannya bukan?” Mister Han menyesap kopi yang sudah lebih dulu disajikan bi Ruri sebelum aku keluar kamar tadi. Kepalaku terangkat. Kenapa ayah bertanya? Bukankah sudah jelas kalau pelakunya memanglah aku. Dia juga tahu akan hal itu. Memang ada yang lain yang berani melawan Mister Han di sekolah? Kecuali Mino dan Arin. “Bukankah ayah juga sudah tahu?” “Tidak,” lanjut Mister Han. Dia kembali meletakkan cangkir kopi d