Aku mematikan televisi di ruang tengah. Pikiranku melayang kemana-mana. Apa sebaiknya kucoba menghubungi Sekretaris Lin untuk mendapatkan amplop itu? Mungkin itu lebih baik dari pada meminta langsung pada Mister Han bukan? Tapi tak ada salahnya juga jika aku meminta langsung pada Mister Han. Toh, dia bilang akan membiarkanku untuk melakukan apa saja yang kuinginkan asalkan nanti segera meninggalkan sekolah ini. Baiklah. Aku meraih ponsel di sofa lalu menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar tapi tak ada jawaban. Aku menyumpahi Sekretaris Lin dalam hati. “Apa dia tidak mau mengangkat panggilanku karena ini hari Minggu?” Panggilan selanjutnya. Aku mencoba menghubungi ayahku. Mungkin dia akan langsung menjawab panggilanku. Tidak mungkin dia akan mengabaikannya juga bukan? Nada sambung terdengar. Aku hendak memutus panggilan setelah mendengar nada sambung yang kelima. Namun urung kulakukan. Seseorang menjawab panggilanku di sana. “Ayah
Aku memasang sepatu dengan cepat. Sial. Aku terlambat bangun. Alhasil aku terburu-buru berangkat sekolah.“Tidak makan dulu nak?” Bi Ruri berseru dari dalam rumah. Tapi aku sudah bergegas masuk mobil. Untunglah Pak Andra sudah bersiap dengan mobilnya di luar.“Tidak usah bi, aku sudah terlambat.” Aku melambaikan tangan pada Bi Ruri yang memasang wajah panik di pintu.Aku beralih pada Pak Andra di balik kemudi. “Kita ke gedung Departemen Pendidikan dulu pak,” Kening Pak Andra terlipat. Bisa-bisanya aku meminta di antar ke sana padahal sudah terlambat. “Tidak langsung ke sekolah nak? Sebentar lagi gerbang akan segera di tutup.” Pak Andra bertanya sambil melirik jam tangan di lengan. Aku menggeleng. “Tidak pak, ke sana dulu. Ada yang harus kuberikan.” Seakan mengerti, Pak Andra segera memacu mobil membelah jalanan kota yang sudah mulai ramai. Dia juga berusaha ngebut supaya aku tak terlambat ke sekolah. Aku bernafas lega karena Pak Andra ta
“Video itu sudah tersebar Mister, apa perlu kita hapus secara permanen untuk menghentikan penyebarannya?” Sekretaris Lin meminta persetujuan Mister Han. Ujung jari telunjuk Mister Han masih mengetuk meja. Dia tampak memikirkan sesuatu. “Bukankah kau bilang sudah tersebar? Percuma saja jika kita hapus video aslinya. Toh, salinannya sudah banyak.” Mister Han menghela nafas panjang lantas tersenyum tipis. Mungkin saja dia sedang memikirkanku pagi itu. “Bagaimana dengan Jia?” Mister Han mengangkat pandangan menatap Sekretaris Lin masih berdiri di hadapannya. “Aku belum bisa menghubunginya Mister Han, namun tadi pagi aku menghubungi Pak Andra, beliau bilang baru saja mengantar Jia ke gedung Departemen Pendidikan.” Mister Han menatap Sekretaris dalam diam. Ekspresi wajahnya masih tenang seolah sudah bisa menebak apa yang sudah kulakukan. “Departemen Pendidikan?” Dia tersenyum tipis. Sekretaris bingung. “Apakah Mister su
Mino, Arin dan juga Rey di kumpulkan di sebuah ruang rapat yang berada di lantai tiga gedung utama di sekolah. Mereka duduk di meja bundar. Arin dan Mino bersebelahan sementara Rey duduk bersebrangan. Seharusnya Ali juga berada di sana, tetapi dia masih merasa kurang sehat sehingga memutuskan untuk libur pada hari itu. Lagi pula, Ali tetap ingin untuk pindah sekolah meski aku sudah membujuknya hari itu, saat kami selesai membuat video. “Kau tetap akan pindah sekolah?” Ali tersenyum lirih saat mendengar pertanyaanku. “Hm. Lagi pula aku memang tak ingin terus bersekolah di sini.” Ali berkata pelan. “Toh, aku tak punya teman yang merasa ditinggalkan jika aku pindah.” “Hei! Memangnya kami ini bukan temanmu?” Arin berseru tak setuju. Dia meninju pelan lengan Ali yang duduk di sampingnya. “Ah, itu….” Ali terkekeh. “Tapi keputusanku sudah bulat. Maafkan aku dan juga terima kasih atas semua ini.” Ali sudah mengucapkan salam perpisahan.
Keringat dingin mengucur deras di pelipis, aku tersentak dengan mata terbuka lebar. Jantungku berdegup kencang. Aku terduduk, mencondongkan badan ke arah meja nakas lalu menghidupkan lampu tidur. Astaga! Baru saja aku bermimpi buruk. Otakku berputar cepat, memikirkan kejadian apa yang akan terjadi bak seorang peramal handal. Walau sebenarnya aku tak paham apapun tentang penafsiran. Dan terlebih aku tak percaya pada hal-hal seperti itu. Namun, akhir akhir ini pemikiranku berubah. Semuanya bisa saja terjadi. Apa mungkin mimpi burukku ini adalah sebuah pertanda sesuatu. Kenop pintu diputar. Langkah seorang wanita paruh baya terdengar. “Kau mimpi buruk sayang?” tanyanya sambil memasang wajah cemas. Wajah panik ibu yang tengah berlari menghampiri tempat tidur membuatku tersadar. Seolah mengatakan kalau semua ini nyata. Aku memejamkan mata sembari mengusap kepala dengan kedua tangan. Ibu mengusap punggungku dengan raut wajah paniknya yang masih terpasang.
Suasana kelas terasa jauh lebih membosankan. Tak ada lagi pengumuman yang tiba-tiba mengatakan jam pertama kosong atau keributan yang terjadi di antara anak-anak. Sekolah menjadi lebih tenang. Katanya, Mino juga lebih banyak menghabiskan waktu di bangku taman sekolah. Tempat biasa kami duduk bersama dulu. Bangku kedua dari tepi lapangan. “Hei! Kau bolos kelas lagi?” Seru Arin mendapati Mino yang duduk termenung di bangku. Pandangannya kosong jauh ke depan. “Kau lihat apa?” Arin mengikuti arah pandang Mino sembari menyerahkan satu cup cola lantas duduk di sampingnya. Tangan Mino terangkat menerima minuman Arin sambil tersenyum kecut. Arin menyandarkan punggung ke sandaran sambil melipat tangan di dada. Dia memasang wajah serius. Tampak memikirkan sesuatu yang membuat Mino menoleh lantas mendungus. “Jangan mencoba untuk memikirkan sesuatu! Sungguh kau tak cocok sama sekali,” cibir Mino. “Jangan menggangguku!” balas Arin tak mau kalah. Dia
Pengumuman bandara sahut menyahut satu sama lain tiada henti. Aku menunggu koperku di bagian pengambilan bagasi. Mataku liar memandang kemana-mana. Selain memperhatikan setiap koper yang berputar, mataku juga liar memperhatikan setiap pasang mata yang menatap lamat-lamat koper mereka. Berharap tidak ada orang yang kukenal bertemu secara tak sengaja di bandara. Huh, kan tidak lucu, jika aku bertemu Sekretaris Lin di bandara. Koper warna hitam dengan aksen stiker bunga matahari di sudut koper tampak melenggang indah di mesin berputar, mendekat ke arahku. Tanganku segera bergegas meraih gagang koper dan segera menyibak tumpukan manusia yang berdiri di belakangku sedari tadi, berharap aku segera enyah dari pandangan mereka supaya bisa melihat koper mereka dengan jelas. Langkah kakiku lincah menuju pintu kedatangan. Walau sudah tengah malam, bandara seakan tak punya waktu tidur, setiap sudut dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Tidak ada suara kecuali keheningan yang menciptakan jarak di antara kami. Aku tak lagi duduk manis seperti gadis lima tahun yang memasang wajah polos seolah tak tahu apa-apa. Tidak. Pemikiranku sudah jauh lebih matang terlebih setelah apa yang telah terjadi dan yang kuperbuat. Dan aku sadar betul akan semua itu. Mister Han berdeham memecah sunyi. Dia memperbaiki posisi duduk. Melipat kaki dan menyilangkan tangan di dada. Ya. Dia akan kembali berceramah satu detik kemudian. Mulai membual akan sekolah hebat yang sangat dicintainya itu. “Kenapa kau tidak bilang padaku kalau akan kembali, setidaknya aku bisa menyuruh Sekretaris Lin untuk menjemputnya di bandara.” Mister Han berbasa-basi yang tentunya sudah basi. “Tidak perlu, aku bisa mengurus diri sendiri. Lagi pula, sudah pasti aku tidak akan berada di sini jika kau tahu aku akan pulang,” jawabku enggan menatap wajahnya. Aku asik menatap ponsel yang tersemat di tangan kanan. Mister Han te