Hari terus berganti. Hari itu hari Minggu. Aku sudah bangun lebih awal. Bersiap dengan setelan olahraga berwarna hitam. Tanpa ajakan dan paksaan dari Mino, melainkan dari niat hati. Aku memutuskan untuk berlari pagi. Sepertinya waktu istirahatku sudah cukup banyak. Kini saatnya mengambil langkah pertama. Aku membuka pintu, melangkah keluar. Sebenarnya hari masih terlalu pagi untuk lari karena embun tebal masih menghalangi pandangan. Aku hanya bisa melihat pagar rumah di depan sana. Sesekali lampu mobil yang melintas di depan rumah. Huft! “Apa aku terlalu pagi ya?” Aku bergumam sendiri. Aku tetap berjalan pelan membelah pekatnya embun yang membuat wajahku basah. Ternyata suhu di luar jauh lebih dingin. Untunglah aku sudah memakai baju berlapis sehingga rasa dingin tak terlalu menusuk sampai ke dalam. Jalanan masih lengang. Hanya satu dua mobil dan motor yang melintas. Hari libur memang banyak digunakan kebanyakan orang untuk b
Aku memasukkan seragam sekolah ke dalam tas ransel. Ya. Aku akan mengenakan pakaian itu nanti di dalam video. Mino langsung pulang setelah selesai berolahraga tadi pagi. Kami berpisah di taman. Lagi pula aku bukan lagi anak kecil yang harus diantar pulang. Aku bisa sendiri. Baju yang kekukenakan sekarang sangat biasa. Hoody berwarna hitam dan juga celana jeans lapang. Astaga! Aku berseru ketika melihat di cermin besar setinggi badan. “Apa aku bukan perempuan?” Aku menatap gambar diri sendiri yang tampak menyedihkan dari balik cermin. Jauh sebelum bersekolah di sekolah Mister Han, bisa dibilang aku adalah seorang princes di Kanada. Ibu selalu menyiapkan pakaian yang langsung dibuat olehnya sendiri untukku. Jadi aku tak pernah pusing jika memikirkan pakaian. Di sana aku terbiasa memakai dress atau pakaian yang feminim. Namun semenjak aku datang ke sini, semuanya berubah. Keputusanku untuk tak kembali ke Kanada bahkan setelah diperlakukan
Tiga…dua….satu… Kamera mulai merekam. Ali berbicara pertama. Setelahnya Arin dan terakhir aku. Kami berbicara secara jujur dan apa adanya. Tidak ada yang ditutupi. Tanpa sadar, aku meneteskan air mata saat Ali menceritakan semua kejadiannya secara detail. Dengan cepat aku segera menyeka pipi. Aku hanya bisa menunduk selama Ali berbicara. Tiga jam berlalu. Kami selesai merekam video. “Kenapa kau menangis tadi?” Mino bertanya tepat setelah dia bilang berhenti. Ali dan Arin sontak menoleh. Mereka mungkin tak menyadarinya karena kami duduk sejajar. “Hm? Aku?” Aku pura-pura tidak tahu sambil memandangi setiap mata yanga menatap ke arahku. “Tidak…aku tidak menangis. Sepertinya tadi ada debu halus yang masuk ke mataku.” Aku membual karena Mino sudah pasti melihat semuanya. Selama ini aku juga tak pernah berhasil jika ingin berbohong padanya. Selalu saja ketahuan. Ali mengedarkan pandangan. “Tapi di sini ada a
Aku mematikan televisi di ruang tengah. Pikiranku melayang kemana-mana. Apa sebaiknya kucoba menghubungi Sekretaris Lin untuk mendapatkan amplop itu? Mungkin itu lebih baik dari pada meminta langsung pada Mister Han bukan? Tapi tak ada salahnya juga jika aku meminta langsung pada Mister Han. Toh, dia bilang akan membiarkanku untuk melakukan apa saja yang kuinginkan asalkan nanti segera meninggalkan sekolah ini. Baiklah. Aku meraih ponsel di sofa lalu menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar tapi tak ada jawaban. Aku menyumpahi Sekretaris Lin dalam hati. “Apa dia tidak mau mengangkat panggilanku karena ini hari Minggu?” Panggilan selanjutnya. Aku mencoba menghubungi ayahku. Mungkin dia akan langsung menjawab panggilanku. Tidak mungkin dia akan mengabaikannya juga bukan? Nada sambung terdengar. Aku hendak memutus panggilan setelah mendengar nada sambung yang kelima. Namun urung kulakukan. Seseorang menjawab panggilanku di sana. “Ayah
Aku memasang sepatu dengan cepat. Sial. Aku terlambat bangun. Alhasil aku terburu-buru berangkat sekolah.“Tidak makan dulu nak?” Bi Ruri berseru dari dalam rumah. Tapi aku sudah bergegas masuk mobil. Untunglah Pak Andra sudah bersiap dengan mobilnya di luar.“Tidak usah bi, aku sudah terlambat.” Aku melambaikan tangan pada Bi Ruri yang memasang wajah panik di pintu.Aku beralih pada Pak Andra di balik kemudi. “Kita ke gedung Departemen Pendidikan dulu pak,” Kening Pak Andra terlipat. Bisa-bisanya aku meminta di antar ke sana padahal sudah terlambat. “Tidak langsung ke sekolah nak? Sebentar lagi gerbang akan segera di tutup.” Pak Andra bertanya sambil melirik jam tangan di lengan. Aku menggeleng. “Tidak pak, ke sana dulu. Ada yang harus kuberikan.” Seakan mengerti, Pak Andra segera memacu mobil membelah jalanan kota yang sudah mulai ramai. Dia juga berusaha ngebut supaya aku tak terlambat ke sekolah. Aku bernafas lega karena Pak Andra ta
“Video itu sudah tersebar Mister, apa perlu kita hapus secara permanen untuk menghentikan penyebarannya?” Sekretaris Lin meminta persetujuan Mister Han. Ujung jari telunjuk Mister Han masih mengetuk meja. Dia tampak memikirkan sesuatu. “Bukankah kau bilang sudah tersebar? Percuma saja jika kita hapus video aslinya. Toh, salinannya sudah banyak.” Mister Han menghela nafas panjang lantas tersenyum tipis. Mungkin saja dia sedang memikirkanku pagi itu. “Bagaimana dengan Jia?” Mister Han mengangkat pandangan menatap Sekretaris Lin masih berdiri di hadapannya. “Aku belum bisa menghubunginya Mister Han, namun tadi pagi aku menghubungi Pak Andra, beliau bilang baru saja mengantar Jia ke gedung Departemen Pendidikan.” Mister Han menatap Sekretaris dalam diam. Ekspresi wajahnya masih tenang seolah sudah bisa menebak apa yang sudah kulakukan. “Departemen Pendidikan?” Dia tersenyum tipis. Sekretaris bingung. “Apakah Mister su
Mino, Arin dan juga Rey di kumpulkan di sebuah ruang rapat yang berada di lantai tiga gedung utama di sekolah. Mereka duduk di meja bundar. Arin dan Mino bersebelahan sementara Rey duduk bersebrangan. Seharusnya Ali juga berada di sana, tetapi dia masih merasa kurang sehat sehingga memutuskan untuk libur pada hari itu. Lagi pula, Ali tetap ingin untuk pindah sekolah meski aku sudah membujuknya hari itu, saat kami selesai membuat video. “Kau tetap akan pindah sekolah?” Ali tersenyum lirih saat mendengar pertanyaanku. “Hm. Lagi pula aku memang tak ingin terus bersekolah di sini.” Ali berkata pelan. “Toh, aku tak punya teman yang merasa ditinggalkan jika aku pindah.” “Hei! Memangnya kami ini bukan temanmu?” Arin berseru tak setuju. Dia meninju pelan lengan Ali yang duduk di sampingnya. “Ah, itu….” Ali terkekeh. “Tapi keputusanku sudah bulat. Maafkan aku dan juga terima kasih atas semua ini.” Ali sudah mengucapkan salam perpisahan.
Keringat dingin mengucur deras di pelipis, aku tersentak dengan mata terbuka lebar. Jantungku berdegup kencang. Aku terduduk, mencondongkan badan ke arah meja nakas lalu menghidupkan lampu tidur. Astaga! Baru saja aku bermimpi buruk. Otakku berputar cepat, memikirkan kejadian apa yang akan terjadi bak seorang peramal handal. Walau sebenarnya aku tak paham apapun tentang penafsiran. Dan terlebih aku tak percaya pada hal-hal seperti itu. Namun, akhir akhir ini pemikiranku berubah. Semuanya bisa saja terjadi. Apa mungkin mimpi burukku ini adalah sebuah pertanda sesuatu. Kenop pintu diputar. Langkah seorang wanita paruh baya terdengar. “Kau mimpi buruk sayang?” tanyanya sambil memasang wajah cemas. Wajah panik ibu yang tengah berlari menghampiri tempat tidur membuatku tersadar. Seolah mengatakan kalau semua ini nyata. Aku memejamkan mata sembari mengusap kepala dengan kedua tangan. Ibu mengusap punggungku dengan raut wajah paniknya yang masih terpasang.