*** Setelah selesai meeting dengan klien, Victor bersama sekretarisnya langsung menuju kantor. Mereka hanya berada di kantor untuk waktu yang singkat sebelum pergi lagi. Sekretaris Victor pulang karena saat itu sudah jam 5 sore, sementara Victor kembali lagi ke markas. Di markas, ia mendiskusikan
Oslo hampir saja menyemburkan tawa. "Aku rasa tidak mungkin Mary menyukai bunga itu," ujarnya. "Jadi maksudmu Jihan berbohong?" tanya Victor. Oslo menggelengkan kepala. "Bukan begitu maksudku. Aku tidak bilang kalau Nona Jihan yang berbohong. Tapi aku justru curiga kalau orang yang membalas pesanm
"Oke. Oh ya, sampaikan salamku padanya, ya?" pinta Jihan. "Ya, nanti aku sampaikan padanya," jawab Victor. Setelah itu, panggilan pun berakhir dengan Jihan. "Benar bunga bangkai?" tanya Oslo, sengaja menggoda, karena dia sudah mendengar bahwa Mary menyukai bunga lili. "Itu tidak benar. Si Michael
Bukannya marah, Victor justru tertawa. Pria itu menggeleng samar lalu membuka jas dan menyimpan kain tersebut di pinggir sofa di sana. Ia kembali menghampiri Mary. “Jangan naik ke sini! Kalau kamu mau temani aku, sana tidur di ranjang lain. Jangan di sini!” usir Mary ketika Victor hendak naik ke at
*** Begitu pagutan bibir terlepas, Victor dengan sigap membetulkan letak bra dan memasang kembali kancing baju Mary, seraya mengeratkan selimut di tubuh wanita itu. Awalnya, Mary berbaring miring menghadap Victor, namun tak lama kemudian, ia mengubah posisi dengan membelakangi pria itu. Alasannya,
“Semalam kamu bilang kalau hari ini nggak akan kerja,” ujar Mary dengan nada jengkel, kesal saat Victor meminta izin untuk pergi ke markas sebentar. Victor melirik sekilas ke arah Olso, yang duduk berdampingan dengan Lucy di sofa. “Iya, semalam aku berkata begitu karena kupikir—” Belum sempat Vict
Namun, tatapan Kylie yang penuh tekad dan amarah membuatnya terdiam. Kylie menarik napas panjang. “Kalau begitu, aku ingin Papa melakukan satu hal,” katanya, suaranya terputus-putus karena isakan. Setelah beberapa detik, dia melanjutkan dengan suara yang lebih tegas namun penuh kebencian, “Papa haru
*** Beberapa hari kemudian… Setelah kejadian pendarahan yang menimpa Mary, akhirnya kondisinya mulai membaik. Tiga hari telah berlalu, dan Mary kini merasa lebih tenang, meskipun masih ada kekhawatiran kecil setiap kali teringat peristiwa yang nyaris merenggut kebahagiaan mereka. Demi janin yang
Mary berdiri di tengah kamar, memandangi suasana yang berantakan—selimut yang tergeletak di lantai, bantal yang tak pada tempatnya, dan meja kecil yang dipenuhi barang-barang. Pandangannya sempat kosong, tetapi ia menarik napas panjang, memutuskan untuk mulai merapikan kamar. Ia mengambil selimut y
Lucy dan Olso duduk di sofa di ruang tengah, tampak kebingungan. Mereka saling pandang, mencoba membaca situasi, tetapi tidak berani bertanya apa-apa. Mereka tidak tahu apa-apa soal kecurigaan Mary terhadap Victor, apalagi mengenai keterlibatan suaminya dalam kecelakaan yang menewaskan Nathan. Yang
*** Tubuh Dominic seketika membeku, matanya melebar karena keterkejutan yang tak dapat ia sembunyikan. Ponsel di tangannya hampir saja terlepas, tapi Hannah dengan cepat menangkapnya sebelum benar-benar jatuh. “Sayang, ada apa?” tanya Hannah, suaranya penuh kekhawatiran saat ia melihat ekspresi Do
Taman itu dipenuhi tanaman hijau subur, bunga-bunga bermekaran dalam berbagai warna—menambah keindahan suasana. Sebuah set kursi dan meja rotan dengan bantalan empuk berada di tengah ruangan, tempat semua orang berkumpul dengan santai. Di atas meja, beberapa cangkir teh telah terisi penuh dengan te
*** Usai mandi, Mary dan Victor bergegas bersiap-siap tanpa membuang waktu. Begitu semuanya selesai, mereka meninggalkan kamar yang terlihat berantakan dan langsung turun ke lantai dasar. Tidak seperti biasanya, Mary sengaja tidak merapikan kamarnya lebih dulu. Ia tak ingin membuat Nyonya Zaria, C
Mary menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan perasaan yang perlahan meledak. Tetapi sentuhan Victor, ciumannya, dan suara napasnya yang dekat begitu menggoda, membuatnya sulit berpikir jernih. Napas Mary semakin berat, dan ia tahu Victor sengaja memperlambat waktu mereka. Tanpa berkata apa-
Lucy menghentikan kegiatannya sejenak dan beralih menatap Nyonya Zaria. Senyum ramah mengembang di wajahnya. "Tidak, Bibi," jawab Lucy sopan sambil menggeleng pelan. "Aku hanya menyiapkan sarapan untuk kita saja, yang ada di rumah ini." Mendengar percakapan itu, Chiara yang sedang mengawasi Zack di
“Bagaimana bisa?” pikir Daisy dengan sesak yang menyelimuti dadanya. Apakah semua yang mereka lalui hanyalah kebohongan? Apakah malam-malam panjang yang mereka habiskan bersama, tawa, pelukan, bahkan cinta mereka, tak ada artinya bagi Nathan? Ia merasa begitu kecil, seolah semua pengorbanannya sia-
*** London, UK... Di dalam kamar yang kacau balau, pakaian berserakan di lantai—sebuah dress merah yang tergeletak kusut, bra yang terlempar ke sudut ruangan, celana dalam, boxer, hingga jas pria yang terbuka kancingnya. Aroma pagi yang intens masih tercium samar, tetapi suasana di dalam kamar itu