*** Setelah meninggalkan kedai kopi Chiara, Nathan tidak langsung pulang ke kota. Ia berkeliling di sekitar desa Willowbrook cukup lama berharap dapat menemukan Mary. Namun, usahanya sia-sia karena Mary tak kunjung ditemukan. Bahkan, setelah Nathan keluar dari desa Willowbrook, ia singgah di desa X yang jaraknya tidak jauh dari Willowbrook. Daisy memberi usul kepada Nathan untuk menunjukkan foto Mary yang lebih jelas kepada penduduk desa tersebut, daripada hanya menyebutkan ciri-ciri fisik dari Mary. Nathan setuju dengan ide Daisy. Mereka mulai pencarian di desa itu dengan menunjukkan foto Mary di ponsel mereka kepada beberapa penduduk. Namun, sekali lagi, Nathan harus menelan kekecewaan. Setelah berjam-jam berkeliling di desa tersebut, mereka tak juga menemukan tanda-tanda Mary disana. Hingga sore menjelang, Nathan memutuskan untuk menyudahi pencariannya hari itu karena kelelahan. Ia juga merasa kasihan pada Daisy, yang pasti sangat lelah setelah perjalanan jauh dari kota ke desa
Nathan melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Saat ini sudah jam setengah sembilan malam. “Kita tidur berdua di ranjang ini,” putus Nathan setelah mempertimbangkan beberapa saat. Sontak Daisy melongo. “Berdua, Tuan?” Wajahnya seketika bersemu merah. Tidur berdua? Seranjang dengan Bosnya? Ah, yang benar saja! “Kau ada solusi lain selain salah satu di antara kita tidur di kursi jelek itu?” tanya Nathan. Meskipun nadanya terdengar normal, tetapi dari kalimatnya cukup menggambarkan kejengahan terhadap Daisy. “Tapi… ranjang ini sangat kecil, Tuan. Tidak akan muat,” kata Daisy. “Jangan ada yang tidur terlentang, maka pasti akan muat. Lagipula badanmu kecil, it's okay. Pasti muat,” kata Nathan, yang memang benar adanya. Masuk akal. Mereka harus berbaring miring supaya muat. Ya ampun, serumit ini petualangan mereka di akhir pekan. Kemudian, Nathan menawarkan Daisy untuk masuk ke kamar mandi, namun wanita itu justru memintanya terlebih dahulu. Akhirnya, Nathan masuk
Di saat yang bersamaan, Daisy tampak menggigil. Ternyata mereka belum ada yang tidur, padahal sebelumnya mereka sangat mengantuk dan lelah. “Kau kedinginan?” tanya Nathan memastikan. Daisy tersentak kaget. Dia pikir Bosnya itu sudah tidur; ternyata belum. “Ah, iya, Tuan. Mungkin karena hujannya semakin deras,” jawab Daisy. Hening… kemudian tiba-tiba Nathan memeluk Daisy erat seraya menaikkan tubuh mungil wanita itu agar semakin menempel padanya. Daisy kaget. Hendak protes. Namun Nathan dengan cepat berkata, “Aku tidak berniat buruk, tenanglah. Tidak hanya kamu yang kedinginan, tapi aku juga. Kita sama-sama kedinginan, Daisy. Yang kita butuhkan adalah hal yang sama: kehangatan.” Oh, sial! Jantung Daisy rasanya mau copot atau… melompat keluar dari rongga dada? Saking gugupnya saat ini. Dipeluk Bos sendiri, siapa yang tidak gugup, coba? ‘Ish, Daisy! Jangan mikir yang aneh-aneh. Ingat, dia punya kekasih! Lagian, hanya seorang sekretaris begini, berharap apa kamu, Daisy?’ Daisy menel
Setelah hampir dua puluh menit Mary berbaring di tempat tidurnya, ia menegakkan tubuh sambil mengusap bekas air mata di pipinya. Mary melihat ke arah pintu kamarnya yang hanya ditutupi kain layaknya tirai. Sejenak, ia termenung. Tadi, katanya Victor mau pergi. Pergi ke mana dia? Sudah lebih dari dua puluh menit, tetapi belum kembali. Lantas, Mary mendesah pelan. Kenapa ia malah memikirkan Victor? Seharusnya dia senang jika pria itu pergi, bukan? Atau lebih baik jika tidak kembali lagi. Itu kan yang Mary mau? Entahlah… sekarang ini justru perasaannya terasa berbeda. Mary gelisah karena pria itu tak kunjung kembali. Kemudian, ia menurunkan kaki ke lantai dan bangkit dari pembaringan, melangkah ringan keluar dari kamarnya yang sempit. Mary menuju pintu lalu membukanya. Ia melihat ke luar; hujan mulai turun, semakin lama semakin deras. ‘Pergi ke mana ya dia?’ bisik Mary dalam hati, lalu segera menutup pintu kembali saat melihat cahaya kilat. Mary duduk sejenak di kursi kayu yan
“Tidak usah! Aku tidak mau makan dari uangmu!” Mary berkata ketus. “Bukan untukmu, tapi untuk anakku!” balas Victor dengan sarkas. Agak kesal dengan balasan Mary, dia sudah capek-capek demo mendapatkan semua makanan ini, tetapi mendapatkan respons seperti itu. Bagaimana dia tidak jengkel? Mary mendengus malas mendengar ucapan Victor. Meskipun dia lapar dan tergoda oleh aroma makanan yang dibawa pria itu, dia tetap gengsi mengakui. Harus jual mahal! “Ayo, Mary. Atau mau aku suapin?” tanya Victor, dan di saat yang sama, Mary memutar matanya dengan malas. Victor menghela napas dan duduk di kursi, sedangkan Mary mengambil nampan, piring, dan perlengkapan lainnya. Kini, mereka duduk berdampingan di kursi. Menu-menu yang terlihat lezat itu sudah disajikan di atas meja oleh Victor. “Ini salad buah?” tanya Mary. “Hem,” jawab Victor dengan deheman singkat. Mary melirik pria itu, “Pakai apa?” “Yogurt dan madu.” Seketika, mata Mary berbinar. Madu? Oh, jelas dia senang. Madu kesukaannya.
Wanita dengan kehidupan sederhana, namun sangat menjaga kehormatan. Meskipun pernah menjalin hubungan kasih dengan lelaki lain, tetapi Victor lah yang pertama bagi Mary. Bayangkan saja, bagaimana Victor tidak terus dihantui oleh bayang-bayang Mary. Ya, tetapi bukan bayang-bayang rasa bersalah, justru sebaliknya. Dia ingin mengulangi malam panas lagi bersama wanita itu. Ah, rasanya semua yang dipikirkan oleh Victor tidak pernah benar. Di tempat duduknya, Victor menghela napas berat. Dia menelan saliva, sekadar membasahi tenggorokan yang terasa kering. Ia ingin sekali merokok, tetapi bagaimana mungkin, di ruangan ini ada Mary yang tengah hamil, sedangkan asap rokok tidak baik untuk wanita itu. Keluar pun tidak mungkin karena di luar hujan masih sangat deras. Akhirnya, Victor bersabar untuk yang kesekian kali. Bersama dengan Mary, dia lebih banyak mengalah, bahkan sudah tak terhitung lagi. Mungkinkah Mary menyadari hal-hal kecil yang dikorbankan oleh Victor? Atau justru sebaliknya?
*** "Besok kita pulang," ujar Victor tiba-tiba saat menyimpan gelas kopi yang sudah kosong ke atas meja. Ia menegakkan tubuh, menoleh untuk menatap Mary di sampingnya. Dari tatapan wanita itu, Victor mengerti bahwa dia pasti sangat kesal mendengar keputusannya itu. "Kamu tidak bisa seenaknya begin
"Buat apa kamu naik ke sini?!" tanya Mary dengan nada sinis ketika menyadari kehadiran Victor yang kini bersiap berbaring di sampingnya. "Jangan tidur di sini, aku tidak sudi seranjang denganmu!" "Kalau bukan di sini, lantas aku tidur di mana?" tanya Victor. "Ya terserah kamu mau tidur di mana, bu
*** Hari itu penuh dengan aktivitas seru. Mereka menjelajahi jalur hiking pendek yang mudah untuk anak-anak, melewati hutan mangrove yang teduh. Zack bersama Calvin dan Valentin tampak kagum melihat kepiting kecil di sela-sela akar pohon, sementara Katty dan Cassandra sibuk mengumpulkan daun-daun u
*** Setibanya di lokasi camping, keluarga Victor dan Mary langsung terpukau oleh keindahan alam yang terbentang di hadapan mereka. Taman itu memiliki pemandangan yang memanjakan mata: pepohonan mangrove yang rimbun, udara segar dengan aroma laut yang khas, dan suara burung-burung yang berkicau merd
*** "Katty sudah dibantu oleh Daddy, Mom," jawab Zack sambil menunjuk ke arah luar rumah. Mary hanya mengangguk pelan, merasa lega mendengar semua sudah terkendali. Sementara itu, di halaman depan, Katty yang berusia tiga tahun tampak bersemangat membantu Victor memuat barang-barang ke dalam mobil
*** Empat Tahun Kemudian… Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah lima tahun usia pernikahan Mary dan Victor. Kehidupan mereka dipenuhi kebahagiaan, berkat cinta yang terus tumbuh dan keluarga kecil yang mereka bina bersama. Dari pernikahan mereka, Tuhan menganugerahi dua buah hati yang menj
*** Victor kemudian menegakkan tubuh, berdiri menjulang di hadapan Mary yang tengah terengah-engah. Kedua tangannya bergerak menurunkan celana serta boxer, kemudian berlanjut dengan kaos hitam yang melapisi tubuh atletisnya. Hingga kini, Victor berdiri dengan tubuh polos tanpa sehelai benang yang m
*** "Victor!" pekik Mary terkejut, tubuhnya memantul ringan saat ditempatkan di permukaan kayu yang dingin. Refleks, tangannya mencengkeram bahu kokoh suaminya, mencari keseimbangan. Victor menatapnya lekat, wajahnya begitu dekat hingga Mary bisa merasakan hangat napasnya. Ada intensitas di matany
*** Mary mengalihkan pandangannya ke dinding kamar, memperhatikan jam besar di sana. Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah cukup larut. Ia menghela napas, menyadari suaminya masih saja sibuk di ruang kerja. "Sudah jam segini, tapi dia masih bekerja," gumamnya pelan, nada suaranya seperti protes ke
*** Langit Miami, Florida, kini telah diselimuti kegelapan malam. Mary, baru saja menyelesaikan ritual malamnya setelah menidurkan putra kecilnya, Zack. Anak lelaki itu telah lelap di kamarnya, meninggalkan keheningan di rumah mereka. Mary melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya d
Dominic menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Syukurlah,” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun, matanya melirik sekilas ke arah Michael, seolah ingin memastikan reaksi menantunya. Michael, yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, memicing