Setelah selesai mandi Mary buru-buru bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan. Ia ingin memastikan dugaan bahwa dirinya sedang hamil. Meskipun banyak tanda-tanda yang mengarah ke sana, seperti mual, pusing yang tidak biasa, muka pucat, dan keterlambatan datang bulan, Mary tetap merasa ragu. Kemarin, ia bertanya pada temannya yang bekerja di club mengenai ciri-ciri wanita hamil. Temannya yang sudah menikah dan memiliki anak itu memberikan jawaban yang sama persis dengan gejala yang Mary rasakan, sehingga kekhawatirannya semakin bertambah. Dalam hati, Mary berharap semoga ia tidak benar-benar hamil, meskipun rasa ragu itu terus menghantuinya. Karena ingin memastikan dengan akurat, Mary memutuskan untuk langsung ke Dokter, meskipun ia bisa menggunakan test pack. Setelah bersiap-siap, Mary pergi ke rumah sakit terdekat. Setibanya di sana, ia mendaftarkan diri dan mengambil nomor antrian. Tidak lama kemudian, namanya dipanggil, dan Mary bergegas masuk ke dal
Mary tiba di apartemen. Ia membayar taksi, lalu segera turun dan melangkah menuju lobi. Ketika ia berbelok menuju lift, kepalanya pusing lagi dan tiba-tiba mual, padahal Mary belum makan sama sekali. Sarapan pagi ia lewatkan, sengaja karena tidak berselera terhalang oleh rasa mual yang terus menerus menyiksanya. Mary masuk ke dalam lift dan menekan tombol. Pintu lift tertutup rapat, dan lift bergerak naik. Tak lama kemudian, lift tiba di lantai tempat unit apartemennya berada. Saat Mary melangkah keluar dari lift, kedua matanya sontak membelalak melihat sosok yang berdiri di depan pintu apartemennya. Nathan? Apa yang pria itu lakukan di sana? Mary menggelengkan kepala sambil menutup mulut dengan sebelah tangan. Ia buru-buru bersembunyi, berbelok ke lorong agar Nathan tidak dapat melihatnya. ‘Astaga, dia hampir saja melihatku. Dia mau apa lagi sih datang ke sini?’ batin Mary, menyandarkan punggung pada tembok dengan napas terengah-engah sambil menekan dadanya yang berdebar kencang
*** Miami, Florida... “Victor!” seru Olso memanggil Victor ketika masuk ke dalam rumah dengan langkah terburu-buru. “Babi Victor...!” Ia kembali memanggil, namun suaranya sangat pelan di awal dan nyaring di belakang, di mana penyebutan nama "babi" terdengar sangat pelan, bahkan mungkin hanya dia yang bisa mendengar. “Hei, apakah kau melihat Victor? Apa dia ada di sini?” Olso berhenti sejenak di ruang tengah untuk bertanya kepada pelayan seksi itu. Itu hanya menurutnya, sebab ia tertarik pada pelayan itu, namun sang pelayan tampak acuh dan tak pernah mau meladeninya. “Tuan Victor belum keluar dari ruang kerjanya sejak tadi,” jawab sang pelayan tanpa melihat ke arah Olso. “Oh, oke, baiklah. Thanks!” Sebelum melangkah pergi, Olso kembali membuka suara, “Lain kali kalau aku bertanya, kau harus menjawab pertanyaanku sambil melihat wajahku. Karena bagaimanapun, aku ini adalah majikanmu,” ujarnya memperingati sang pelayan, kemudian lekas melangkah lebar menuju ruang kerja Victor. Sedang
*** Mary duduk termenung di sofa, sambil menyandarkan punggungnya. Dengan kedua tangan, ia mengusap wajahnya, merasakan kegusaran yang menggelayuti pikirannya. ‘Kalau aku tetap tinggal di sini, Nathan pasti akan datang lagi dan membuat semuanya semakin rumit. Tapi jika aku pergi, ke mana aku harus pergi? Aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini,’ bisiknya dalam hati. Bagaimana sekarang? Apa yang harus ia lakukan untuk menghindari Nathan? Semalam, Mary sempat merasa tenang karena menyangka Nathan sangat marah padanya. Dia berpikir pria itu akan membencinya selamanya. Namun, kenyataannya jauh dari harapannya. Pagi ini, Nathan datang ke apartemennya, mengungkapkan permohonan maaf dan mengaku sangat menyesali perbuatannya kemarin. ‘Kenapa Nathan berubah begitu cepat?’ pikir Mary. "Kemarin, dia sangat marah padaku. Bahkan tatapan penuh kebenciannya masih segar dalam ingatanku. Apa yang membuat Nathan begitu mudah mengubah keputusannya?’ Mary merasa bingung, berusaha memahami p
Mary pergi? Ya, wanita itu telah meninggalkan kota London sejak beberapa hari lalu. Nathan mencari Mary kesana kemari, namun tak kunjung menemukan keberadaan wanita itu. Ketika ia merasa usahanya sia-sia, hari ini Nathan akhirnya memutuskan untuk jujur kepada Dominic tentang apa yang telah terjadi dalam hubungannya dengan Mary. Nathan menceritakan semuanya tanpa menutup-nutupi, termasuk semua perbuatan buruknya terhadap Mary di malam itu. Dominic sontak marah dan hilang kendali saat mendengar pengakuan keponakannya, tanpa ragu ia menampar keras wajah Nathan untuk pertama kalinya seumur hidupnya. “Aku dan Mary bekerja di club bukan setahun dua tahun, Nathan. Kami berjuang sejak remaja. Kami tidak pernah terpikir sedikitpun untuk menjadi wanita murahan seperti yang kamu tuduh padanya,” ucap Jihan, turut meluapkan kekecewaannya pada sepupunya itu. Nathan hanya terdiam, tidak mampu menatap Jihan. Ia bingung harus bagaimana lagi membalas semua ucapan mereka. “Tadi kamu bilang Mary s
*** Beberapa hari yang lalu, Victor disibukkan oleh Kylie. Ia menemani wanita itu ke berbagai acara tertentu sehingga melewatkan banyak informasi penting tentang Mary di London. Sebagaimana diketahui, Ayah Kylie adalah salah satu orang berpengaruh di Miami, Florida, dan sangat berperan penting dalam kesuksesan Victor mengembangkan bisnis milik Dominic. Oleh karena itu, ketika Ayah Kylie meminta Victor untuk menemani putrinya ke suatu acara, Victor merasa sulit untuk menolak. Ayah Kylie seringkali menggunakan bisnis mereka sebagai bentuk ancaman terhadap Victor. Muak? Tentu saja. Victor sangat muak. Namun, untuk saat ini, ia tidak punya pilihan selain mengikuti kemauan pria tua itu, karena Victor sedang mengincar sesuatu dari dirinya. Jika semuanya berhasil, mungkin di saat itu ia bisa membebaskan diri dari tekanan Ayah Kylie. Setelah beberapa hari berlalu, Victor menerima laporan dari orang suruhannya bahwa dia tidak melihat keberadaan Mary selama beberapa hari ini. Hal itu memb
Deg! Menggugurkan kandungan? Astaga! Benarkah begitu? Victor menelan ludah dengan kasar, tenggorokannya terasa semakin kering, sementara dadanya terus berdebar saat mendengar cerita si bartender tentang Mary. “Apakah Mary tidak cerita pada keluarganya kalau dia sedang hamil?” Si bartender bertanya dengan tatapan penasaran. Victor menggeleng samar. “Adakah di sini yang tahu kira-kira Mary ke mana?” tanya Victor. “Atau mungkin ada yang tahu nomor ponsel Mary yang baru? Soalnya, yang lama sudah tidak aktif.” Si bartender menggeleng pelan. “Tidak. Kami tidak tahu, Sir. Saat Mary pamit, dia tidak memberitahu kami ke mana dia pergi. Saya juga baru tahu kalau nomornya sudah tidak aktif.” Victor terdiam sejenak, menarik napas dalam. Ia duduk gelisah di kursi, sebelah tangan di atas meja, mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan ujung jari-jari besarnya yang kokoh. ‘Kemana dia pergi?’ Victor berbisik dalam hati, bertanya-tanya ke mana si gadis galak itu kabur. ‘Katanya dia hamil, lalu men
*** Tak ada pilihan lain, Victor akhirnya memutuskan untuk menghubungi Jihan. Sebelumnya, Victor berharap bisa mendapatkan informasi tentang Mary dari Jihan tanpa harus bertemu dengannya. Namun, ternyata tidak. Jihan bersikeras ingin bertemu langsung dengan Victor, sehingga pria itu dengan terpaksa menuruti kemauannya demi mendapatkan informasi tentang Mary. Setelah mengunjungi tempat tinggal salah satu teman Mary, Victor memacu kendaraannya menuju Mansion Alexander's untuk bertemu dengan Jihan di sana. Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit, akhirnya Victor tiba di kediaman Alexander's yang mewah dan megah. Mobilnya melesat melintasi pintu gerbang yang kokoh setelah dibuka oleh seorang penjaga profesional. Menghentikan mobilnya, Victor menoleh ke samping kanan. Ia mendesah gusar melihat sosok yang sangat dicintainya itu: Jihan. Di cintai? Ah, sepertinya Victor salah. Tanpa dia sadari, cinta yang begitu besar yang ia miliki untuk Jihan kian terkikis. Posisi wanit
*** Hari itu penuh dengan aktivitas seru. Mereka menjelajahi jalur hiking pendek yang mudah untuk anak-anak, melewati hutan mangrove yang teduh. Zack bersama Calvin dan Valentin tampak kagum melihat kepiting kecil di sela-sela akar pohon, sementara Katty dan Cassandra sibuk mengumpulkan daun-daun u
*** Setibanya di lokasi camping, keluarga Victor dan Mary langsung terpukau oleh keindahan alam yang terbentang di hadapan mereka. Taman itu memiliki pemandangan yang memanjakan mata: pepohonan mangrove yang rimbun, udara segar dengan aroma laut yang khas, dan suara burung-burung yang berkicau merd
*** "Katty sudah dibantu oleh Daddy, Mom," jawab Zack sambil menunjuk ke arah luar rumah. Mary hanya mengangguk pelan, merasa lega mendengar semua sudah terkendali. Sementara itu, di halaman depan, Katty yang berusia tiga tahun tampak bersemangat membantu Victor memuat barang-barang ke dalam mobil
*** Empat Tahun Kemudian… Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Sudah lima tahun usia pernikahan Mary dan Victor. Kehidupan mereka dipenuhi kebahagiaan, berkat cinta yang terus tumbuh dan keluarga kecil yang mereka bina bersama. Dari pernikahan mereka, Tuhan menganugerahi dua buah hati yang menj
*** Victor kemudian menegakkan tubuh, berdiri menjulang di hadapan Mary yang tengah terengah-engah. Kedua tangannya bergerak menurunkan celana serta boxer, kemudian berlanjut dengan kaos hitam yang melapisi tubuh atletisnya. Hingga kini, Victor berdiri dengan tubuh polos tanpa sehelai benang yang m
*** "Victor!" pekik Mary terkejut, tubuhnya memantul ringan saat ditempatkan di permukaan kayu yang dingin. Refleks, tangannya mencengkeram bahu kokoh suaminya, mencari keseimbangan. Victor menatapnya lekat, wajahnya begitu dekat hingga Mary bisa merasakan hangat napasnya. Ada intensitas di matany
*** Mary mengalihkan pandangannya ke dinding kamar, memperhatikan jam besar di sana. Jarum jam menunjukkan waktu yang sudah cukup larut. Ia menghela napas, menyadari suaminya masih saja sibuk di ruang kerja. "Sudah jam segini, tapi dia masih bekerja," gumamnya pelan, nada suaranya seperti protes ke
*** Langit Miami, Florida, kini telah diselimuti kegelapan malam. Mary, baru saja menyelesaikan ritual malamnya setelah menidurkan putra kecilnya, Zack. Anak lelaki itu telah lelap di kamarnya, meninggalkan keheningan di rumah mereka. Mary melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya d
Dominic menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. “Syukurlah,” gumamnya, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun, matanya melirik sekilas ke arah Michael, seolah ingin memastikan reaksi menantunya. Michael, yang sedari tadi memperhatikan dengan seksama, memicing