Terbangun oleh kilau keemasan matahari California yang menelusup melalui jendela kaca kamar hotel, pria tampan Julian mengerjap sejenak. Ada tumpukan rasa sesal karena dia ikut tertidur semalam, dan baru bangun pagi ini. Padahal ada tubuh menggiurkan di sampingnya yang menanti untuk ditunggangi.
Tunggu! Ke mana perginya wanita itu? Julian terkejut ketika meraba ke samping dan tidak menemukan siapa pun. Matanya langsung terbeliak, mencari keberadaan wanita yang tadi malam dia pesan. “Ke mana perginya wanita itu?” Masih dengan tubuhnya telanjang, Julian menelusuri kamar presiden suit yang disewanya. Memeriksa kembali setiap sudut dengan seksama, termasuk kamar mandi, balkon, dan lemari. Julian mencari petunjuk apa pun yang mungkin ditinggalkan wanita itu—seperti catatan, jejak kaki, atau tanda lain. Namun, yang Julian dapat hanya gaun robek yang tergeletak di lantai, dan seuntai kalung batu ruby yang cantik. Julian memijat pangkal alisnya untuk meredakan pening yang tiba-tiba menyerang. Dia merasa harus segera berpakaian, dan ketika akan memunguti pakaiannya, dia sadar ada yang hilang. Kemeja dan celananya tak ada. Jika diingat-ingat, wanita itu hanya memakai gaun, jelas saja ketika gaunya robek, tak bisa dipakai, dia harus memungut sesuatu untuk dikenakan. Julian kesal, dia meninju ranjang dan menghempaskan selimut ke lantai. Namun, seketika rahangnya hampir jatuh ke bumi ketika mendapati noda darah di area tempat dia menggagahi wanita yang dia bayar semalam. “Da-darah? Tidak mungkin, tidak mungkin dia masih perawan,” ucap Julian dengan raut wajah yang menunjukkan keterkejutannya. Dalam keadaan wajah yang terkejut, Julian mencari ponselnya, dia ingin menghubungi Megan untuk meminta penjelasan. Namun, belum sempat niat itu terlaksana, dia melihat ada satu pesan dari Megan muncul di layarnya. Megan Brown: Tuan Kingston, mohon maaf, Kattie tidak bisa kukirim ke sana malam ini. Dia minta izin menemani kakaknya yang sedang melahirkan tanpa suami. Atas dasar kemanusiaan, aku tidak bisa mendesaknya untuk tetap bekerja. Uangmu telah aku kembalikan beserta kompensasi dari kami karena membatalkan pesanan secara tiba-tiba. Semoga hubungan baik kita tetap terjaga. Julian terkejut, dia terduduk lemas di ranjang. “Jadi … siapa wanita itu?” Dalam keheningan membentang, perasaan dan pikiran Julian campur aduk. Pria tampan itu tidak menyangka telah meniduri wanita asing—yang tak dikenalnya sama sekali. Padahal tujuannya tadi malam adalah memesan wanita bayaran untuk menemani malamnya, tetapi semua keinginannya tak sesuai rencana. Di sisi lain, Amber dengan mengenakan kemeja dan celana kedodoran milik pria asing yang tak sama sekali dia kenali. Dia sekarang sedang menangis sambil menatap cermin di hadapannya. Tadi pagi, setelah mendapatkan kesadarannya—Amber baru ingat dia salah masuk kamar hotel semalam. Amber mencoba mencari kartu pass kamar hotelnya sendiri, yang ternyata terjatuh di sekitar pintu kamar pria asing. Dia memutuskan segera pergi dari sana, dan bersembunyi di kamar hotelnya yang berjarak dua kamar saja dari kamar pria asing itu. Tubuh Amber terasa sakit semua, tapi hatinya lebih remuk lagi. Dia menyesali kebodohannya yang memilih menghilangkan stress dengan cara minum minuman keras. Andai saja dia tidak mabuk, dia tidak akan kehilangan keperawananya dengan secara mengenaskan. Dia bahkan tidak bisa menuntut pria yang semalam membuka paksa kedua kakinya, karena bagaimana pun, semua ini salahnya. Masih jelas diingatan Amber, kemarin siang langit California begitu cerah di musim semi yang seakan tak sejalan dengan duka yang menyelimuti pemakaman elit mendiang ayahnya. Di bawah naungan pepohonan palem yang menjulang tinggi, kerabat dan kolega Adam Hayes berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Amber merasa bahwa semua ini adalah mimpinya. Dia menyesel kerp menentang sang ayah. Dalam sekejap takdir seakan mengajaknya bercanda. Ayahnya pergi meninggalkannya untuk selamanya. Hidup Amber seakan benar-benar telah lenyap bagaikan diterpa ombak. Satu tahun yang lalu, Amber menentang pernikahan Adam dengan Anette Celeste, ibu tirinya yang ambisius. Wanita cantik itu memilih meninggalkan rumah dan hidup sendiri di asrama kampus. Keputusannya itu memicu pertengkaran besar dengan Adam, dan mereka tak pernah berbicara lagi sejak saat itu. Penyesalan mencengkeram hati Amber. Wanita cantik itu membayangkan bagaimana jika dia tetap di sisi ayahnya, mungkin dia bisa menemani sang ayah di saat-saat terakhirnya. Pikiran itu bagaikan pisau yang menusuk hatinya, membuatnya sesak napas dan sulit untuk berdiri tegak. Ayah Amber telah tiada, tapi duka Amber masih membara. Dia harus belajar untuk hidup dengan penyesalannya dan berusaha untuk memaafkan dirinya sendiri. Namun ternyata pukulan lain datang. Kematian sang ayah membuat seluruh kreditur menjadi agresif menagih utang ibu tirinya. Semua harta ayahnya disita dan sebagian dibekukan, sampai persidangan ibu tirinya membuktikan bahwa ayahnya tak ada sangkut paut dengan kasus penggelapan dana yang dilakukan ibu tirinya itu. Dunia cerah Amber seketika gelap, dia kehilangan tumpuan dan tunjangan finansial. Dia bingung harus seperti apa dan Harus ke mana. Kemarin, yang dia pikirkan hanyalah tinggal di hotel selama di California, sebelum kembali ke New York. Namun, dalam semalam takdir lagi-lagi mengirimkan pemainan mencengangkan pada Amber. “Aku harus bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan?” isak Amber tak berdaya. Usai berjam-jam menangis, meratapi kehidupannya yang runtuh seketika saat sang ayah, satu-satunya pilar dalam hidupnya, meninggal dunia. Di tengah rasa duka yang mendalam, dia harus bangkit dan menata ulang hidupnya yang hancur. Dengan tekad yang kuat, dia memutuskan untuk kembali ke New York untuk melanjutkan kuliahnya. Di kota yang penuh dengan hiruk pikuk dan peluang, Amber memulai babak baru dalam hidupnya. Dia harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan keras, serta menyeimbangkan antara pendidikan dan mencari pekerjaan paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perjalanan Amber tidak mudah. Dia sering dihadapkan dengan berbagai rintangan dan cobaan. Namun, dia tidak pernah menyerah. Dia selalu ingat pesan ayahnya untuk selalu tegar dan pantang menyerah. Baginya, apa yang terjadi dalam hidupnya merupakan perjalanan yang memang telah diatur oleh semesta. Tidak mudah, tapi dia akan tetap berjuang. Tiga minggu berlalu, Amber perlahan-lahan mulai bangkit dari keterpurukannya. Dia berhasil mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang sesuai dengan minatnya. Belajar dan bekerja di New York membuka mata Amber tentang banyak hal. Dia belajar tentang arti kemandirian, kerja keras, dan arti uang bagi kehidupan. Namun beberapa hari terakhir ini Amber merasa kurang enak badan. Dia mengalami pusing dan mual parah setiap pagi. Awalnya wanita cantik itu pikir dirinya mengalami asam lambung, tapi ketika sadar tamu bulanannya telat datang—dia mulai menjadi sangat panik. Benak Amber teringat akan kejadian bodoh yang telah dia lakukan. Salah masuk kamar, yang berdampak sangat besar di hidupnya. Dia tak berani untuk memeriksa ke dokter. Tindakan yang dia lakukan adalah melakukan test kehamilan menggunakan test pack. Detik demi detik berlalu, tangan Amber mulai gemetar melihat dua garis merah muncul di test pack yang ada di tangannya. Debar jantung wanita cantik itu berpacu dengan keras—dan ketakutan merayapi dirinya. “A-aku, hamil?”“Mark, apa kau sudah ada perkembangan mengenai wanita itu?” tanya Julian dingin dengan aura wajah tegasnya, bicara pada sang asisten. Rasa penasaran dalam dirinya, membuatnya memerintahkan sang asisten untuk mencari keberadaan wanita asing yang telah mengantarkan diri padanya. “Maaf, Tuan. Saya tidak dapat menemukan wanita yang Anda maksud.” Mark menghela napas, dengan raut wajah cemas. “Saya sudah meminta orang menelusuri ke seluruh hotel sejak waktu itu, dan belum ada titik terang. Tapi, Tuan, saya sudah membawakan data rekaman CCTV seluruh hotel ini untuk diperiksa.”Julian memicingkan mata tajam. “Sudah tiga minggu, kau pikir masih berguna?”“Jadi, Anda tidak ingin saya memeriksanya?” ulang Mark memastikan. “Periksa, Mark,” kesal Julian dingin.Mark mengangguk singkat menanggapi perintah bosnya itu. Dia merasa aneh. Tidak biasanya Julian mencari wanita malam yang dia tiduri sampai seperti itu. Terlebih lagi bosnya sama sekali tidak menemui wanita penghibur lain—sejak malam yang
“A-apa?” Lidah Amber tiba-tiba saja kelu mendengar apa saran dari Jessie. Saran yang hampir sama dia dengar tadi dari Merry. Tangan Amber sampai bergetar di kala menerima pil penggugur kandungan yang diberikan Jessie. “Amber, jika kau hamil seperti Merry, kau akan dipecat. Kau tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini, kan?” Jessie menatap Amber dengan tegas. “Telan pil ini dan besok pagi kau akan jadi Amber yang baru.” “J-jesie, k-kenapa kau memiliki pil ini?” tanya Amber bingung, di kala sahabatnya itu memiliki pil penggugur kandungan. Jessie mengehela napas dalam. “Ada temanku yang memberikan padaku untuk berjaga-jaga. Padahal aku tidak memiliki pasangan. Tapi aku tetap menyimpan, karena aku pikir mungkin sewaktu-waktu aku membutuhkan pil itu. See? Ternyata kau yang membutuhkan pil itu. Amber memandang pil yang dipegangnya dengan mata penuh kemarahan. Pikirannya berkecamuk antara amarah yang membara dan rasa putus asa yang menghimpit dadanya. Jessie,yang seharusnya member
Empat tahun berlalu … Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Putranya itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya sedikit gugup memikirkan akan k
Seorang wanita cantik bernama Clara menginjakkan kakinya ke lantai marmer kafe elit yang terkenal di bandara Los Angeles. Cahaya remang lampu kristal berpadu dengan alunan musik jazz lembut menciptakan atmosfer romantis yang kontras dengan badai emosi di dalam diri Clara. Di sudut ruangan, duduk sosok pria tampan yang selama ini Clara puja—Julian Kingston—pengusaha muda sukses yang dikagumi banyak orang. Ketampanan Julian yang memikat dibalut setelan jas mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya.Clara melangkah dengan anggun, setiap langkahnya diiringi rasa penasaran. Ada angin apa Julian tiba-tiba berinisiatif menjemputnya? Selama ini, Julian selalu mengacuhkan Clara, bahkan ketika Clara mengejar-ngejar pria itu. Padahal perjodohan antara dua keluarga sudah ditentukan, tapi Julian seolah tak peduli dengan hal itu dan tetap mengabaikan Clara.“Lama sekali,” ucap Julian dengan nada datar, tanpa senyum.Clara tersenyum anggun, sambil duduk di hadap
Mouren Inc selalu sibuk. Sama seperti Amber yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan Mouren Inc di meja kerjanya. Ini adalah hari pertama Amber di kantor. Jadi, dia berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tekun. Namun, keheningan kantor seiring berjalannya waktu mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Amber pikir, dia bisa segera pulang untuk menjemput Victor dan Viiolet di daycare. Akan tetapi, Alan Parker, atasan Amber, tiba-tiba saja datang dan duduk di meja dekatnya dengan senyum genit. “Amber, bisakah kau menyelesaikan laporan ini sebelum pulang?” tanya Alan Parker, atasa Amber, dengan senyuman di wajahnya, dan tatapan yang tak lepas menatap wanita itu. “Tuan Parker, tapi—” “Laporan ini akan digunakan untuk meeting besok pagi. Kau tahu kan, Nona Mouren, putri pemilik perusahaan yang baru kembali ke sini, akan memeriksanya pukul enam pagi,” ujar Alan sambil tersenyum, dan tampak menjijikkan di mata Amber.Amber mengh
Amber duduk di depan meja rias di kamarnya, memandang dirinya sendiri di cermin dengan gaun malam yang elegan. Rambutnya dikepang indah, dan make up dipoles di wajah cantiknya. Entah kenapa di dalam hatinya merasa gelisah. Padahal seharusnya dia menampilkan wajah semeringah bahagia. Hari ini adalah hari di mana dirinya menghadiri pesta pernikahan dari bos besarnya. Amber yang merupakan karyawan dari Mouren Inc, mendapatkan undangan dari bos besarnya pemilik Mouren Inc, bertunangan dengan pemilik Kingston Corporation. “Jessie, aku rasa aku tidak bisa pergi,” kata Amber dengan cemas seraya menatap sahabatnya itu. “Amber, ini kesempatan bagus untukmu bersosialisasi di perusahaan baru. Biarkan si kembar aku yang jaga,” ucap Jessie sambil menyentuh tangan Amber. Amber menggigit bibirnya, merasa bersalah karena harus merepotkan Jessie lagi. “Tapi aku tidak ingin merepotkanmu terus menerus.” Jessie menarik napas panjang. “Tenang saja, Amber. Aku bisa menjaga si kembar. Kau tahu sendiri
Tubuh Julian membeku melihat sosok wanita cantik berambut pirang yang selama ini dia cari. Aura wajahnya memancarkan jelas keterkejutan nyata. Berkali-kali dia meyakinkan apa yang dia lihat ini salah, tapi apa yang dia lihat ini benar. Tidak salah sama sekali. ‘Wanita itu?’ batin Julian dengan wajah penuh terkejut. Detik itu juga, dia berjalan pergi meninggalkan Clara yang sibuk menyapa tamu undangan. Yang dilakukannya adalah menemui sang asisten. “Mark!” panggil Julian cepat. “Iya, Tuan?” jawab Mark seraya menatap Julian. “Mark, lihat wanita itu. Dia—” Julian menunjuk wanita yang dia maksud, tapi sayangnya wanita itu sudah langsung pergi begitu saja. “Kenapa, Tuan?” Kening Mark mengerut dalam, menatap bingung Julian. “Shit! Dia pergi!” Julian mengumpat kesal, dan berlari mencoba mengejar wanita yang selama ini dia cari, tapi sialnya wanita itu bagaikan angin yang begitu cepat pergi. Mark menyusul Julian. “Tuan, ada apa?” Julian terus meloloskan umpatan kesal. “Mark, wanita i
Amber dan Jessie membaringkan tubuh si kembar ke ranjang. Beruntung Victor dan Violet sudah tertidur pulas. Bocah kembar itu tak lagi ingin makan burger. Mereka sepertinya kelelahan karena hari ini terlalu banyak berlari ke sana kemari. Hal tersebut yang membuat Jessie sempat kewalahan dalam menjaga si kembar, di kala Amber berada di pesta. Amber dan Jessie keluar kamar, tak ingin mengganggu si kembar yang sudah tertidur pulas. Tepat di kala mereka sudah keluar, Jessie langsung menarik tangan Amber—membawa teman baiknya itu duduk di sofa. “Amber, kau berutang penjelasan padaku. Apa yang terjadi tadi?” tanya Jessie dengan nada penasaran. “Kenapa kau terlihat begitu gelisah? Apakah semuanya baik-baik saja? Benarkah kau melihat ayah si kembar?”“Satu-satu, Jessie.” Amber menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Iya, tadi di pesta ... aku bertemu dengan ayah si kembar.”Jessie menatap Amber dengan tatapan terkejut. “Ayah
Alunan musik mengiringi pengantin wanita yang memasuki ballroom hotel mewah yang ada di New York. Amber didampingi James—ayah kandung Julian—memasuki sebuah ballroom hotel. Tampak para tamu undangan tak lepas menatap penampilan Amber yang begitu cantik dan sempurna. Amber seharusnya ditemani oleh ayahnya. Namun, takdir memiliki rencana yang berbeda. Hari yang indah itu, Amber ditemani oleh calon ayah mertuanya, karena ayah kandungnya telah berada di surga. Meski ada rasa sedih, tetapi hatinya tetap bersyukur. Kilat kamera wartawan terus terarah pada Amber yang baru saja memasuki ballroom hotel. Seluruh keluarga tersenyum haru bahagia melihat Amber yang hari itu terlihat seperti seorang putri raja yang sangat cantik dan menawan. Hanya satu kata yang menggambarkan Amber hari itu yaitu sempurna. Ya, pernikahan Amber dan Julian diadakan secara mewah. Ribuan tamu yang datang dari berbagai kalangan. Mulai dari artis ternama, model ternama, hingga pengusaha-pengusaha ternama yang hadir
Langit megah seakan mendukung hari itu adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Amber dan Julian. Dua insan yang saling mencintai itu sebentar lagi akan mengikat hubungan mereka lebih sakral—di mana tidak akan ada yang bisa memisahkan mereka kecuali maut. Upacara pernikahan akan segera diadakan. Amber sudah tampil cantik, dan membuat sang make up artis terkagum. Bukan hanya sang make artis yang kagum, tetapi Jessie yang ada di sana sangat kagun akan penampilan Amber. Tubuh indah Amber terbalut oleh gaun pengantin yang sangat indah. Tiara berlian yang ada di kepala Amber, membuat semua kaum hawa pasti akan menjerit iri. Ya, Amber layaknya seorang putri raja yang akan segera menikah dengan seorang pangeran tampan. Persiapan pernikahan Amber dan Julian benar-benar singkat, tetapi dari segi kesiapan semuanya berjalan seakan telah tertata dengan sempurna. Bisa dilihat dari penampilan Amber yang memukau dan hotel berbintang lima yang dipilih sebagai resepsi, begitu menunjukkan kemewahan.
Amber menyambut kedatangan Julian. Wanita cantik itu memberikan kecupan dan pelukan di tubuh pria yang sangat dia cintai itu. Waktu menunjukkan pukul lima sore, dan Julian baru saja kembali ke kantor. Sementara kembar sudah pulang dijemput oleh sopir. “Kembar di mana?” tanya Julian seraya mengurai pelukan Amber, tapi memberikan kecupan di kening wanita itu. “Kembar sedang di ruang belajar. Mereka sedang menyelesaikan tugas-tugas mereka,” jawab Amber sambil membantu meletakan jas Julian ke tempat pakaian kotor. “Julian, bagaimana harimu di kantor? Semua baik-baik saja, kan?” tanyanya hangat. Julian melepaskan arlojinya, meletakan ke tempat penyimpanan arloji. “Ya, pekerjaanku semua baik. Tadi, ayahku mengubungiku, memintaku untuk tidak terlalu banyak memikirkan pekerjaan. Ayahku memintaku fokus pada rencana pernikahan kita. Tapi, aku sudah menjelaskan padanya, rencana pernikahan kita semua sudah diurus dengan baik. Mark banyak membantuku.” Amber mendekat, memeluk Julian dari belak
Kabar rencana pernikahan Amber dan Julian sudah tersebar di seluruh media. Pemberitaan sebelumnya yang heboh karena kematian Clara, mulai tergantikan dengan berita kebahagiaan rencana pernikahan Amber dan Julian. Dua insan saling mencintai itu bahkan tidak jarang mengumbar kemesraan di publik. Mereka saling menunjukkan cinta mereka yang luar biasa. Ya, ini bagaikan kisah yang tak pernah Amber sangka dalam hidupnya. Wanita cantik itu tidak pernah mengira akan bertemu kembali dengan Julian, dan melanjutkan kisah mereka yang berawal dari sebuah hal yang tak mungkin. Amber dulu terpuruk di saat ayahnya meninggal dunia. Dia merasakan sendiri di dunia. Sampai semua berubah di kala dirinya bertemu dengan Julian—membuatnya dan Julian terlibat hubungan yang sangat rumit. Seperti permainan takdir yang tak disangka-sangka. Hubungan Amber dan Julian tidak seperti kisah romansa yang lain. Mereka penuh lika-liku. Bahkan kejadian buruk kerap menghantam hubungan mereka, tetapi untungnya takdir mem
Amber dan Julian bersama kembar sudah pulang. Tinggal Gracey dan James berdua di mansion megah mereka. Tampak pasangan suami istri yang sudah tidak lagi muda itu terus berpelukan. Lebih tepatnya Gracey tak ingin melepaskan pelukannya pada James. “Jika kau terus menerus memelukku seperti ini, aku bisa mati karena sesak napas,” ucap James dingin, dengan raut wajah datar. Gracey langsung mengurai pelukannya, menatap hangat sang suami. “Maaf, aku terlalu senang akhirnya kau memberikan restu untuk putra kita menikahi Amber. Aku sangat bahagia, Sayang.” “Aku hanya melakukan apa yang sudah seharusnya aku lakukan,” jawab James lagi masih dengan nada dingin. Gracey tersenyum lembut. “Saat aku mendengar kau memanggil polisi untuk membantu Julian menyelamatkan Amber, aku sangat bahagia. Aku selalu berdoa pada Tuhan agar kau bisa memberikan restu agar Amber dan Julian menikah. Ternyata Tuhan benar-benar mendengar apa yang aku doakan. Terima kasih, Sayang.” Sebelumnya, Gracey sudah tahu tenta
Amber membantu Gracey dan pelayan yang menghidangkan makanan ke atas meja makan. Banyak menu makanan lezat yang terhidang. Tampak kembar riang sejak tadi riang dan tak sabar untuk menikmati makanan lezat itu. Namun, sayang di kala kembar riang, Amber malah terlihat muram. “Amber, ayo kita makan. Kembar sudah tidak sabar,” ajak Gracey lembut, mengajak Amber untuk makan bersama. Amber terdiam sebentar. “Tapi, Julian dan Tuan James masih belum turun, Mom. Lebih baik kita tunggu mereka saja.” Gracey tersenyum hangat. “Kau sebentar lagi akan menikah dengan Julian masih saja memanggil James dengan sebutan Tuan James. Harusnya kau memanggil ayah Julian itu dengan sebutan Daddy, Amber.” Amber belum merespon ucapan Gracey. Tentu selama ini dia tidak berani memanggil James dengan panggilan ‘Daddy’, karena dia sadar bahwa selama ini James tidak pernah menyukai dirinya. Gracey yang melihat Amber melamun, langsung menyentuh bahu Amber. “Lebih baik kita makan dulu. Tidak usah tunggu Julian dan
“Yeay! Daddy dan Mommy sudah datang!” Victor dan Violet berseru riang gembira melihat kedua orang tuanya datang. Mereka berlari, menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tuanya itu. Julian dan Amber tersenyum hangat mendapatkan sambutan dari anak kembar mereka. Bisa dikatakan Julian dan Amber sudah tak sabar bertemu dengan anak kembar mereka yang belakangan ini dititipkan di rumah kedua orang tua Julian. “Selama bersama Grandpa dan Grandma kalian jadi anak yang patuh, kan?” tanya Amber seraya membelai pipi Victor dan Violet dengan lembut. Victor menoleh menatap Violet. “Mommy, aku selalu patuh. Violet suka nakal, Mommy. Violet tidak patuh pada Grandpa dan Grandma.” Violet berdecak kesal di kala Victor menyalahkan dirinya. “Aku ini anak yang patuh, Victor! Kau jangan sembarangan bicara.” Victor mengulurkan lidahnya, meledek Violet. “Kau menyebalkan!” Violet hendak memukul Victor, tetapi Amber segera menahan tangan Violet. “Violet, sudah jangan seperti itu,” kata Amber menging
Suasana kafe di Manhattan tampak sunyi dan tentram. Beberapa pengunjung datang, dan tak menimbulkan suara berisik. Bisa dikatakan kafe itu memang tidak terlalu banyak pengunjung. Namun, meski tak terlalu banyak pengunjung—kafe itu memiliki desain klasik yang luar biasa menakjubkan. “Kau Tuan Johan Maes?” tanya Julian, dengan nada dingin di kala tiba di hadapan sosok pria bernama ‘Johan Maes’. Johan mengangguk singkat. “Kau Julian Kingston yang mengajakku bertemu?” balasnya, dengan nada tenang. Julian duduk di hadapan Johan. “Aku senang kau ada di New York, jadi pertemuan kita bisa berlangsung lebih cepat.” Julian meminta Mark untuk mengatur pertemuan dengan Johan Maes—pria asal Belgia—yang menahan perusahaan keluarga Amber. Beruntung Johan sedang ada di New York, jadi Julian bisa segera bertemu dengan pria itu. Johan mengambil wine yang ada di atas meja, dan menyesap perlahan. “Asistenmu Mark bilang kau ingin membahas sesuatu hal yang menguntungkan. Aku lihat profil perusahaanmu
Amber membuka kedua matanya di kala sudah terbangun dari tidurnya, tatapannya mengendar ke sekitar—melihat ke jam dinding waktu menunjukkan pukul delapan malam, tapi dia belum melihat keberadaan Julian. Dia meraih ponsel, bermaksud ingin menghubungi Julian, tetapi belum juga dia menghubungi, ternyata pintu kamar terbuka—dan Julian muncul di ambang pintu. “Julian? Akhirnya, kau pulang.” Amber tersenyum lega melihat Julian pulang, dia mendekat dan memberikan pelukan hangat. “Maaf, membuatmu menunggu.” Julian membalas pelukan Amber, dan mengecupi puncak kepala wanita itu. Amber mendongak, menatap hangat Julian. “Apa Mark membahas pekerjaan padamu?” tanyanya ingin tahu. Julian membelai pipi Amber lembut. “Ya, ada beberapa hal mengenai pekerjaan yang dibahas Mark. Amber, ada yang ingin aku beri tahu.” “Kau ingin memberitahuku apa, Julian?” tanya Amber lembut. Julian menarik dagu Amber, mencium dan melumat lembut bibir wanita itu. “Besok kita harus datang ke pemakaman Clara.” Raut wa