Share

Bab 3. Kehamilan Amber

last update Last Updated: 2025-02-10 13:24:29

“Mark, apa kau sudah ada perkembangan mengenai wanita itu?” tanya Julian dingin dengan aura wajah tegasnya, bicara pada sang asisten. Rasa penasaran dalam dirinya, membuatnya memerintahkan sang asisten untuk mencari keberadaan wanita asing yang telah mengantarkan diri padanya. 

“Maaf, Tuan. Saya tidak dapat menemukan wanita yang Anda maksud.” Mark menghela napas, dengan raut wajah cemas. “Saya sudah meminta orang menelusuri ke seluruh hotel sejak waktu itu, dan belum ada titik terang. Tapi, Tuan, saya sudah membawakan data rekaman CCTV seluruh hotel ini untuk diperiksa.”

Julian memicingkan mata tajam. “Sudah tiga minggu, kau pikir masih berguna?”

“Jadi, Anda tidak ingin saya memeriksanya?” ulang Mark memastikan. 

“Periksa, Mark,” kesal Julian dingin.

Mark mengangguk singkat menanggapi perintah bosnya itu. Dia merasa aneh. Tidak biasanya Julian mencari wanita malam yang dia tiduri sampai seperti itu. Terlebih lagi bosnya sama sekali tidak menemui wanita penghibur lain—sejak malam yang dia habiskan bersama wanita mabuk misterius yang membawa kabur kemeja dan celana bosnya itu. Ini jelas bukan sikap Julian. Namun, Mark sadar tidak mungkin mempertanyakan itu pada bosnya.

Julian berdiri tegak di depan jendela besar yang menghadap ke pantai California, air laut memantulkan cahaya matahari pagi dengan gemerlapan. Beberapa minggu sudah berlalu, kemarin Julian terlalu sibuk untuk sekadar mencari tahu tentang wanita misterius yang menggantikan Kattie. Namun, sekarang rasa bersalah terus saja menggerogotinya tanpa ampun. Asisten pribadinya, duduk di seberang meja dengan laptop terbuka, sibuk meneliti data dari berbagai kamera CCTV di hotel tempat mereka menginap.

“Bagaimana, sudah ketemu?” tanya Julian tak sabar. 

‘Tolonglah, Tuan! Ini baru lima belas menit sejak perintah itu diberikan!’ batin Mark kesal, yang pasti tidak terucap. 

Mark menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil melihat layar laptop. “Saya masih belum menerima kabar, Tuan, tapi sepertinya wanita itu benar-benar mabuk. Dia terlihat sangat bingung dan berjalan dengan tidak stabil menuju lantai yang sepertinya salah.”

Julian mengernyitkan dahi, melihat apa yang ditunjuk Mark. “Tunggu, jadi dia masuk ke kamarku secara tidak sengaja?”

Mark menganggukkan kepalanya. “Sepertinya begitu, Tuan. Tidak ada tanda-tanda dia berniat melakukan hal lain.”

Julian terdiam sejenak, mencerna semua ini dengan baik. “Dan mengenai darah di tempat tidur … apa itu artinya aku baru saja memerawani seorang wanita?” 

Mark menatap Julian serba salah. “S-saya belum menemukan penjelasan pasti, tapi untuk masalah itu pasti—” Lidah Mark tiba-tiba saja kelu, karena bingung harus menjawab seperti apa. 

“Sudahlah.” Julian merenung sejenak, mencoba merangkai potongan-potongan puzzle dalam pikirannya. Dia mengumpat dalam hati, lalu menoleh ke arah Mark. “Aku ingin kau terus mencari informasi tentang wanita itu. Periksa secara detail, bahkan jika kau harus memeriksa seluruh California, maka lakukan. Aku ingin tahu siapa dia.”

Mark mengangguk tegas. “Baik, Tuan. Saya akan memulai pencarian segera.”

Julian menghela napas panjang. Lantas, dia mengambil jas dan menariknya ke pundak. “Aku akan keluar sebentar. Laporkan jika kau menemukan sesuatu.”

Keluar dari kamar hotel, Julian merasa angin sejuk pagi menyapu wajahnya. Langkahnya mantap meski pikirannya kacau. Dia berjalan melintasi pantai yang tenang, tetapi gelombang masalah dalam benaknya tak berhenti.

Wanita itu masih misteri bagi Julian. 

Jika dia benar-benar bukan seorang wanita bayaran, kenapa dia bisa salah masuk kamar? Memangnya mabuk membuat orang jadi idiot? Serta mengapa ada darah perawan di tempat tidurnya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalan Julian sambil pria itu terus berjalan. 

***

Amber duduk di ruang tunggu klinik dokter kandungan, jantungnya berdegup kencang. Hatinya tersekat rasa sesak, seolah di dalam sana sedang tercampur aduk antara kecemasan dan ketakutan. Sejenak dia menyesap aroma antiseptik ruangan, mencoba menenangkan diri. Ini adalah langkah pertama yang besar bagi dirinya.

Saat pintu ruang pemeriksaan terbuka, seorang perawat memanggil namanya. Amber berdiri perlahan, langkahnya ragu dan penuh tekad. Dia mengikuti perawat ke ruangan kecil yang penuh dengan peralatan medis modern.

Dokter kandungan yang ramah menyambutnya dengan senyuman. “Selamat datang, Nona Hayes. Saya Dokter Reynolds. Bagaimana kabarmu hari ini?”

Amber menggelengkan kepala sambil tersenyum gugup. “Saya sedikit gugup, Dok. Ini pertama kalinya saya melakukan ini.”

Dokter Reynolds mengangguk penuh pengertian. “Tidak apa-apa, Nona. Kami akan membuat Anda merasa nyaman. Mari kita mulai dengan pemeriksaan ultrasonografi, ya?”

Amber mengangguk, dan dengan hati berdebar, dia berbaring di kursi pemeriksaan. Dokter Reynolds menyiapkan alat ultrasonografi, dan sebentar kemudian, gambar embrio kecil mulai muncul di layar monitor.

“Ini adalah embrio bayi Anda,” ujar dokter sambil menunjuk layar. “Usianya sekitar empat minggu, dan perkembangannya normal dan sehat.”

Air mata Amber menitik bahagia. Dia menatap gambar kecil yang berdetak di layar itu dengan penuh keajaiban. “Itu ... itu anak saya,” gumamnya dengan suara tercekat.

Dokter Reynolds tersenyum lembut. “Iya, Nona. Jika dilihat dari embrionya semuanya baik-baik saja.”

Amber hanya diam tidak paham lagi bagaimana Tuhan mengatur semua ini. Setelah masalah demi masalah datang bertubi, kini diturunkan anugerah anak untuknya. Hal yang menjadi masalah besar adalah Amber bahkan tak mengenali ayah dari anak yang dia kandung. Dia hanya ingat wajahnya saja, tapi mengenal secara personal tidak sama sekali. 

Dokter menjelaskan lebih detail, sampai Amber benar-benar memahami kondisinya dan kondisi janin di dalam perutnya. Setelah pemeriksaan selesai, Amber diberi berkas medisnya dan beberapa informasi terkait kehamilan. Dia meninggalkan ruang dokter dengan langkah yang ringan, tapi pikiran berat. Amber melangkah keluar dari klinik dengan perasaan bingung dan putus asa. Udara sekitarnya terasa berat, seolah menekan dadanya. Pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan tanpa jawaban. 

‘Apa yang seharusnya aku lakukan? Bagaimana aku bisa menghadapi semua ini sendirian?’ batin Amber gelisah. 

Setelah mencoba mencari solusi dan tetap tidak menemukan jawaban, Amber memutuskan untuk tetap pergi bekerja di kafe tempatnya bekerja paruh waktu di pusat kota. Dia memerlukan uang untuk menghidupi dirinya sendiri, terlebih lagi sekarang dia harus memikirkan kehidupan baru di rahimnya.

Saat Amber tiba di kafe, suasana terasa tegang. Dia melihat senior barista-nya, Merry, keluar dari ruang manajer dengan wajah muram. Amber mendekati Merry dengan hati-hati.

“Merry, apa yang terjadi?” tanya Amber, mencoba menahan kegelisahannya.

Merry menghela napas. “Mereka memecatku, Amber.” 

Amber terkejut. “Kenapa kau dipecat? Kau salah apa?” 

“Aku hamil, Amber,” jawab Merry lesu. 

Amber terdiam sejenak. Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Tidak mungkin ... ba-bagaimana bisa?”

Merry memandang Amber dengan simpati. “Oh, Amber, kenapa kau jadi ketakutan begitu? Apa kau juga hamil?” 

Amber menggelengkan kepala, mata penuh kebingungan. “A-aku tidak hamil. A-aku … aku hanya sedikit demam dan flu.”

Merry menggenggam tangan Amber dengan lembut. “Jika kau hamil sepertiku, aku sarankan kau menggugurkan kandunganmu saja. Opsi ini mungkin kejam bagi banyak pihak, tapi terkadang orang tidak mengerti posisi rumit kita.” 

Amber gugup dan penuh pertanyaan dalam benaknya. “Mengugurkan bayi?”

Merry menganggukkan kepalanya. “Ya, tidak ada pilihan lain. Ya sudah, Amber, aku harus pergi. Bye. Jaga kesehatanmu, Amber.” 

“Thanks, Merry. Kau juga jaga kesehatanmu,” balas Amber lembut. 

Amber kembali ke dapur kafe, sambil mencoba menjalankan tugasnya dengan pikiran yang melayang-layang. Tak menampik kata-kata Merry tentang menggugurkan bayi selalu terngiang di dalam pikirannya. 

“Amber, kau banyak melamun hari ini!” Jessie, sahabat Amber, memekik terkejut saat Amber menumpahkan cream untuk ketiga kalinya. “Jelaskan padaku apa yang terjadi. Kau pasti punya segudang masalah di kepala kecilmu itu!”

Amber menggigit bibir bawahnya, bingung luar biasa. Jessie adalah rekan kerja sekaligus teman baiknya. Jika tadi dia tidak bisa jujur pada Merry, dia tentu harus jujur pada Jessie. Sebab selama ini hanya Jessie yang menolongnya dalam keadaan apa pun. 

“Jessie, ada yang ingin aku katakan padamu.” 

“Ada apa, Amber?” 

Amber mendekati Jessie, kemudian berbisik, “A-aku … aku hamil, Jessie.”

“What? Are you kidding me?” Jessie membulatkan matanya, akibat terkejut. 

Amber menggigit bibir bawahnya. “Terlalu rumit untuk menjelaskan, tapi aku benar-benar hamil, Jessie.” 

“Ck! Kau gila, Amber! Kau ingin dipecat seperti Merry?!” Jessie mengacak rambutnya, akibat frustrasi memikirkan Amber yang ternyata sedang hamil. 

Tiba-tiba sesuatu hal menyelinap masuk ke dalam pikiran Jessie. Wanita cantik itu beralih ke lokernya dan mengambil sesuatu. Begitu dia kembali, Jessie menyelipkan sebuah pil di tangan Amber.

“Ambil ini, segera gugurkan kandunganmu.”

Related chapters

  • One Night Stand With A Billionaire   Bab 4. Keputusan Besar yang Diambil Amber

    “A-apa?” Lidah Amber tiba-tiba saja kelu mendengar apa saran dari Jessie. Saran yang hampir sama dia dengar tadi dari Merry. Tangan Amber sampai bergetar di kala menerima pil penggugur kandungan yang diberikan Jessie. “Amber, jika kau hamil seperti Merry, kau akan dipecat. Kau tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini, kan?” Jessie menatap Amber dengan tegas. “Telan pil ini dan besok pagi kau akan jadi Amber yang baru.” “J-jesie, k-kenapa kau memiliki pil ini?” tanya Amber bingung, di kala sahabatnya itu memiliki pil penggugur kandungan. Jessie mengehela napas dalam. “Ada temanku yang memberikan padaku untuk berjaga-jaga. Padahal aku tidak memiliki pasangan. Tapi aku tetap menyimpan, karena aku pikir mungkin sewaktu-waktu aku membutuhkan pil itu. See? Ternyata kau yang membutuhkan pil itu. Amber memandang pil yang dipegangnya dengan mata penuh kemarahan. Pikirannya berkecamuk antara amarah yang membara dan rasa putus asa yang menghimpit dadanya. Jessie,yang seharusnya member

    Last Updated : 2025-02-10
  • One Night Stand With A Billionaire   Bab 5. Awal Mula yang Baru

    Empat tahun berlalu … Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Putranya itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya sedikit gugup memikirkan akan k

    Last Updated : 2025-02-10
  • One Night Stand With A Billionaire   Bab 1. Malam Panas dengan Pria Asing

    “Astaga, kepalaku pusing sekali,” gerutu wanita cantik bernama Amber, berdiri di lorong hotel yang remang-remang. Gaunnya yang indah sudah kusut dan berlumuran noda, mencerminkan keadaan hatinya yang hancur berantakan. Tidak … bukan hanya penampilannya yang kacau, tapi rambut pirangnya sekarang sudah berantakan tak menentu. “Aku seperti terkena kutuk! Hidupku menderita sekali!” Amber berseru dengan nada penuh putus asa. Dia baru saja kehilangan seorang ayah, dan diusir oleh ibu tirinya yang licik, kata-kata kasar dan penghinaan wanita licik itu masih terngiang di telinganya. Amber tak tahu harus ke mana, hanya rasa sakit dan frustrasi yang menemaninya saat ini. Tanpa arah tujuan, Amber berjalan sempoyongan, kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya yang lemah karena alkohol. Dia tersandung beberapa kali, hampir jatuh, tetapi berhasil bangkit kembali. Akhirnya, dia sampai di depan sebuah pintu kamar hotel. Dia mengeluarkan kartu pass dari tasnya yang berantakan, berusaha keras untuk

    Last Updated : 2025-02-10
  • One Night Stand With A Billionaire   Bab 2. Menghilang Dalam Satu Malam 

    Terbangun oleh kilau keemasan matahari California yang menelusup melalui jendela kaca kamar hotel, pria tampan Julian mengerjap sejenak. Ada tumpukan rasa sesal karena dia ikut tertidur semalam, dan baru bangun pagi ini. Padahal ada tubuh menggiurkan di sampingnya yang menanti untuk ditunggangi.Tunggu! Ke mana perginya wanita itu?Julian terkejut ketika meraba ke samping dan tidak menemukan siapa pun. Matanya langsung terbeliak, mencari keberadaan wanita yang tadi malam dia pesan. “Ke mana perginya wanita itu?” Masih dengan tubuhnya telanjang, Julian menelusuri kamar presiden suit yang disewanya. Memeriksa kembali setiap sudut dengan seksama, termasuk kamar mandi, balkon, dan lemari. Julian mencari petunjuk apa pun yang mungkin ditinggalkan wanita itu—seperti catatan, jejak kaki, atau tanda lain. Namun, yang Julian dapat hanya gaun robek yang tergeletak di lantai, dan seuntai kalung batu ruby yang cantik.Julian memijat pangkal alisnya untuk meredakan pening yang tiba-tiba menyeran

    Last Updated : 2025-02-10

Latest chapter

  • One Night Stand With A Billionaire   Bab 5. Awal Mula yang Baru

    Empat tahun berlalu … Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Putranya itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya sedikit gugup memikirkan akan k

  • One Night Stand With A Billionaire   Bab 4. Keputusan Besar yang Diambil Amber

    “A-apa?” Lidah Amber tiba-tiba saja kelu mendengar apa saran dari Jessie. Saran yang hampir sama dia dengar tadi dari Merry. Tangan Amber sampai bergetar di kala menerima pil penggugur kandungan yang diberikan Jessie. “Amber, jika kau hamil seperti Merry, kau akan dipecat. Kau tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini, kan?” Jessie menatap Amber dengan tegas. “Telan pil ini dan besok pagi kau akan jadi Amber yang baru.” “J-jesie, k-kenapa kau memiliki pil ini?” tanya Amber bingung, di kala sahabatnya itu memiliki pil penggugur kandungan. Jessie mengehela napas dalam. “Ada temanku yang memberikan padaku untuk berjaga-jaga. Padahal aku tidak memiliki pasangan. Tapi aku tetap menyimpan, karena aku pikir mungkin sewaktu-waktu aku membutuhkan pil itu. See? Ternyata kau yang membutuhkan pil itu. Amber memandang pil yang dipegangnya dengan mata penuh kemarahan. Pikirannya berkecamuk antara amarah yang membara dan rasa putus asa yang menghimpit dadanya. Jessie,yang seharusnya member

  • One Night Stand With A Billionaire   Bab 3. Kehamilan Amber

    “Mark, apa kau sudah ada perkembangan mengenai wanita itu?” tanya Julian dingin dengan aura wajah tegasnya, bicara pada sang asisten. Rasa penasaran dalam dirinya, membuatnya memerintahkan sang asisten untuk mencari keberadaan wanita asing yang telah mengantarkan diri padanya. “Maaf, Tuan. Saya tidak dapat menemukan wanita yang Anda maksud.” Mark menghela napas, dengan raut wajah cemas. “Saya sudah meminta orang menelusuri ke seluruh hotel sejak waktu itu, dan belum ada titik terang. Tapi, Tuan, saya sudah membawakan data rekaman CCTV seluruh hotel ini untuk diperiksa.”Julian memicingkan mata tajam. “Sudah tiga minggu, kau pikir masih berguna?”“Jadi, Anda tidak ingin saya memeriksanya?” ulang Mark memastikan. “Periksa, Mark,” kesal Julian dingin.Mark mengangguk singkat menanggapi perintah bosnya itu. Dia merasa aneh. Tidak biasanya Julian mencari wanita malam yang dia tiduri sampai seperti itu. Terlebih lagi bosnya sama sekali tidak menemui wanita penghibur lain—sejak malam yang

  • One Night Stand With A Billionaire   Bab 2. Menghilang Dalam Satu Malam 

    Terbangun oleh kilau keemasan matahari California yang menelusup melalui jendela kaca kamar hotel, pria tampan Julian mengerjap sejenak. Ada tumpukan rasa sesal karena dia ikut tertidur semalam, dan baru bangun pagi ini. Padahal ada tubuh menggiurkan di sampingnya yang menanti untuk ditunggangi.Tunggu! Ke mana perginya wanita itu?Julian terkejut ketika meraba ke samping dan tidak menemukan siapa pun. Matanya langsung terbeliak, mencari keberadaan wanita yang tadi malam dia pesan. “Ke mana perginya wanita itu?” Masih dengan tubuhnya telanjang, Julian menelusuri kamar presiden suit yang disewanya. Memeriksa kembali setiap sudut dengan seksama, termasuk kamar mandi, balkon, dan lemari. Julian mencari petunjuk apa pun yang mungkin ditinggalkan wanita itu—seperti catatan, jejak kaki, atau tanda lain. Namun, yang Julian dapat hanya gaun robek yang tergeletak di lantai, dan seuntai kalung batu ruby yang cantik.Julian memijat pangkal alisnya untuk meredakan pening yang tiba-tiba menyeran

  • One Night Stand With A Billionaire   Bab 1. Malam Panas dengan Pria Asing

    “Astaga, kepalaku pusing sekali,” gerutu wanita cantik bernama Amber, berdiri di lorong hotel yang remang-remang. Gaunnya yang indah sudah kusut dan berlumuran noda, mencerminkan keadaan hatinya yang hancur berantakan. Tidak … bukan hanya penampilannya yang kacau, tapi rambut pirangnya sekarang sudah berantakan tak menentu. “Aku seperti terkena kutuk! Hidupku menderita sekali!” Amber berseru dengan nada penuh putus asa. Dia baru saja kehilangan seorang ayah, dan diusir oleh ibu tirinya yang licik, kata-kata kasar dan penghinaan wanita licik itu masih terngiang di telinganya. Amber tak tahu harus ke mana, hanya rasa sakit dan frustrasi yang menemaninya saat ini. Tanpa arah tujuan, Amber berjalan sempoyongan, kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya yang lemah karena alkohol. Dia tersandung beberapa kali, hampir jatuh, tetapi berhasil bangkit kembali. Akhirnya, dia sampai di depan sebuah pintu kamar hotel. Dia mengeluarkan kartu pass dari tasnya yang berantakan, berusaha keras untuk

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status