Seorang wanita cantik bernama Clara menginjakkan kakinya ke lantai marmer kafe elit yang terkenal di bandara Los Angeles. Cahaya remang lampu kristal berpadu dengan alunan musik jazz lembut menciptakan atmosfer romantis yang kontras dengan badai emosi di dalam diri Clara.
Di sudut ruangan, duduk sosok pria tampan yang selama ini Clara puja—Julian Kingston—pengusaha muda sukses yang dikagumi banyak orang. Ketampanan Julian yang memikat dibalut setelan jas mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya. Clara melangkah dengan anggun, setiap langkahnya diiringi rasa penasaran. Ada angin apa Julian tiba-tiba berinisiatif menjemputnya? Selama ini, Julian selalu mengacuhkan Clara, bahkan ketika Clara mengejar-ngejar pria itu. Padahal perjodohan antara dua keluarga sudah ditentukan, tapi Julian seolah tak peduli dengan hal itu dan tetap mengabaikan Clara. “Lama sekali,” ucap Julian dengan nada datar, tanpa senyum. Clara tersenyum anggun, sambil duduk di hadapan Julian. “Senang sekali merasa dibutuhkan olehmu. Ada apa kau mencariku, Tuan Kingston?” “Aku tidak suka basa-basi. Tujuanku meminta asistenku menjemputmu, karena aku ingin membicarakan sesuatu yang penting denganmu. Tentu saja, aku harus meluangkan waktu,” jawab Julian dingin, dengan raut wajah datar. ‘Apa yang ingin dibicarakan Julian? Apakah dia akhirnya akan mengakui perasaannya padaku?’ batin Clara, dengan jantung berdebar lebih kencang dari biasanya. “Katakan, apa yang ingin kau bicarakan padaku?” tanya Clara penasaran. “Seperti yang kau tahu, aku sedang mengerjakan mega proyek kota digital,” ungkap Julian, suaranya tegas dan penuh tekad. “Untuk mewujudkannya, aku membutuhkan dukungan dari Mouren Inc.” Clara mengerutkan dahi. “Apa maksudmu? Jangan bilang kau ingin menikahiku hanya untuk mendapatkan dukungan dari Mouren Inc?” Julian menatap Clara dengan tatapan dingin. “Tepat sekali. Aku ingin menikahimu karena itu, Clara.” Clara ternganga terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Julian. Hatinya hancur berkeping-keping, merasakan sangat sakit dan terluka. Jadi selama ini, Julian hanya ingin memanfaatkannya? Namun kenapa pria itu harus terang-terangan seperti ini? Apa pria itu sama sekali tidak memikirkan perasaannya? “Kau tidak mencintaiku, Julian!” teriak Clara dramatis, air mata mulai mengalir di pipinya. “Harusnya kau tetap diam. Berpura-pura saja kau mencintaiku, itu lebih baik daripada berterus terang dan menghancurkan mimpi indahku!” “Bangunlah, Clara.” Julian tetap tenang, tatapannya tidak menunjukkan rasa bersalah. “Cinta adalah kemewahan yang tidak bisa kita beli. Aku membutuhkan Mouren Inc, dan kau adalah kuncinya.” Clara terdiam, hatinya diliputi rasa sakit dan dilema. Di satu sisi, dia terluka karena dimanfaatkan. Di sisi lain, dia sangat mencintai Julian. Sejal awal, dia begitu menginginkan Julian. “Aku tidak mau,” tolak Clara dengan suara serak, menahan sesak. Julian mengangguk, melipat tangan di depan dada sambil berkata santai, “Well, kalau begitu akan kucari wanita lain yang bisa kunikahi untuk mendukung bisnisku.” “Kau berengsek, Julian,” kata Clara, suaranya bergetar. “Pilihan ada di tanganmu.” Julian tersenyum miring. “Jadi, mau atau tidak?” Clara terdiam dengan air mata yang masih berlinang jatuh membasahi pipinya. Hatinya merasakan sakit luar biasa. Impian yang dia bangun telah dihancurkan oleh Julian. Dia tidak mengira Julian akan tega padanya. Perusahaan Julian bukan perusahaan kecil. Pun Julian selama ini terkenal begitu fokus membesarkan perusahaannya. Project yang sekarang Julian tangani bukan project kecil, dan selain itu perusahaannya juga bisa mendapatkan nama lebih baik karena telah memberikan dukungan di perusahaan Julian. Clara menyeka air matanya sambil berkata, menahan sesak di dada, “Baiklah. Aku setuju. Kau bisa memanfaatkan aku sepuasmu, asalkan jangan pernah dekat dengan wanita lain!” “Good girl.” Julian sedikit menyeringai, lalu menyesap kopinya. “Kalau begitu, mari bahas soal pertunangan.” “Haruskah secepat ini? Aku bahkan belum bertemu orang tuaku setelah aku kembali dari Texas.” Clara melebarkan mata, ekspresi bingungnya. “Justru itu, aku akan memberikan daftar hal-hal yang harus kau bicarakan pada ayahmu. Pertunangan kita dilaksanakan lusa, tidak banyak waktu tersisa. Gunakan otak kecilmu untuk menghafal semua dengan baik, Clara,” jawab Julian tenang, tanpa sama sekali beban. “Kau—” Protes Clara dengan cepat dipotong oleh Julian. “Mark akan membantumu.” Pria tampan itu pergi setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya. Menyisakan Clara dengan rahang yang nyaris jatuh ke lantai, dan Mark yang harus menyiapkan mental untuk menghadapi Clara. *** Sebelum menemukan Victor dan Violet di area playground bandara, Amber sempat melihat dengan panik sosok pria yang tak asing di matanya duduk sambil menelepon seseorang dan memegang dokumen di sebuah kafe dengan dinding kaca. Masih jelas di ingatannya Amber, tentang kegilaannya salah masuk kamar, hingga mengakibatkan dirinya one night stand dengan pria asing yang sama sekali tak dia kenali. Amber merasa lega karena dia bisa menghindar dari pria itu. Jantungnya nyaris berhenti berdetak di kala melihatnya. Pun beruntung dia berhasil menemukan anak kembarnya. Jika tidak, dia pasti akan seperti orang gila. Jessie mendekati Amber sambil membawakan potongan apel yang telah dia kupas, dan dua cangkir teh. “Si kembar sudah tidur, mereka mungkin kelelahan.” Amber terpaku pada wajah mungil Victor dan Violet, anak kembarnya yang tertidur lelap di atas kasur. Kelelahan perjalanan panjang dari Dallas ke Los Angeles. Hari ini, mereka baru saja tiba di apartemen Jessie, sahabat Amber yang akan menampung mereka selama berada di Los Angeles. Jessie duduk di kursi dekat jendela, mengamati kembar yang tertidur dengan damai. “Violet cantik sekali, Amber, dan Victor juga sangat tampan. Anehnya, mereka sama sekali tidak mirip denganmu. Apakah mereka mirip ayahnya?” tanya Jessie, suaranya berbisik agar tidak mengganggu tidur si kembar. “Kurasa juga begitu,” jawab Amber datar. Dia tidak akan menyangkal gen ayah biologis anak kembarnya mendominasi wajah anak-anaknya, meskipun begitu sulit untuk Amber menerima bahwa Tuhan tetap saja tidak adil padanya. Mengapa dia yang bersusah payah hamil dan melahirkan, tapi justru pria itu yang mendapatkan lebih banyak kemiripan dengan Victor dan Violet? “Wow, sepertinya dia pria yang luar biasa.” Jessie jadi menerka-nerka, seperti apa wajah pria yang menitipkan spermanya pada Amber, hingga gen terbaik bisa didapatkan Victor dan Violet. Amber memasang wajah jengkel. “Jadi, apakah aku bukan wanita yang luar biasa, Nona Swan?” Jessie terkekeh. “Kau ibu yang luar biasa. Tentu saja.” Amber tersenyum, tapi matanya tiba-tiba berkaca-kaca. “Terima kasih, Jessie. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kau dan ibumu.” Jessie meraih tangan Amber dan menggenggamnya erat. “Aku selalu di sini untukmu, Amber. Kau dan si kembar adalah keluargaku juga. Maafkan aku dulu sempat memintamu menggugurkan mereka. Pilihanmu sangat hebat. Kau lebih memilih mempertahankan Victor dan Violet.” Amber hanya tersenyum merespon ucapan Jessie. “Amber,” panggil Jessie lembut. “Ya?” Amber menatap Jessie. “Kenapa kau tidak mau mencari ayah si kembar?” tanya Jessie pelan. Amber terdiam, ekspresinya berubah menjadi dingin. “Aku mampu membesarkan Victor dan Violet sendiri. Aku tidak butuh bantuannya.” Jessie menghela napas. Dia tahu Amber masih terluka oleh masa lalunya. “Aku mengerti, tapi, Victor dan Violet berhak mengetahui siapa ayah kandung mereka. Mungkin sekarang mereka belum mengerti, tapi kelak mereka akan mengerti, dan mempertanyakan ayah mereka.” Amber menggelengkan kepalanya tegas. “Jessie, aku takut ayah dari anak-anakku malah mengambil asuh mereka. Aku ingin membesarkan sendiri Victor dan Violet. Kau tidak usah khawatir. Aku akan selalu memberikan kasih sayang yang besar untuk kedua anakku. Mereka tidak akan kekurangan kasih sayang.” Jessie tidak bisa memaksakan Amber. Dia tahu Amber adalah wanita yang kuat dan mandiri. Dia yakin Amber akan mengambil keputusan terbaik untuk dirinya dan si kembar. “Baiklah. Aku mendukung semua keputusanmu, Amber. Tapi, jika kau berubah pikiran, aku selalu siap membantumu.” Amber tersenyum merespon ucapan Jessie. Dia bersyukur memiliki sahabat yang selalu mendukungnya dalam kondisi apa pun. Bahkan di titik terendahnya selalu ada Jessie dan keluarga mau membantunya.Mouren Inc selalu sibuk. Sama seperti Amber yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan Mouren Inc di meja kerjanya. Ini adalah hari pertama Amber di kantor. Jadi, dia berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tekun. Namun, keheningan kantor seiring berjalannya waktu mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Amber pikir, dia bisa segera pulang untuk menjemput Victor dan Viiolet di daycare. Akan tetapi, Alan Parker, atasan Amber, tiba-tiba saja datang dan duduk di meja dekatnya dengan senyum genit. “Amber, bisakah kau menyelesaikan laporan ini sebelum pulang?” tanya Alan Parker, atasa Amber, dengan senyuman di wajahnya, dan tatapan yang tak lepas menatap wanita itu. “Tuan Parker, tapi—” “Laporan ini akan digunakan untuk meeting besok pagi. Kau tahu kan, Nona Mouren, putri pemilik perusahaan yang baru kembali ke sini, akan memeriksanya pukul enam pagi,” ujar Alan sambil tersenyum, dan tampak menjijikkan di mata Amber.Amber mengh
Amber duduk di depan meja rias di kamarnya, memandang dirinya sendiri di cermin dengan gaun malam yang elegan. Rambutnya dikepang indah, dan make up dipoles di wajah cantiknya. Entah kenapa di dalam hatinya merasa gelisah. Padahal seharusnya dia menampilkan wajah semeringah bahagia. Hari ini adalah hari di mana dirinya menghadiri pesta pernikahan dari bos besarnya. Amber yang merupakan karyawan dari Mouren Inc, mendapatkan undangan dari bos besarnya pemilik Mouren Inc, bertunangan dengan pemilik Kingston Corporation. “Jessie, aku rasa aku tidak bisa pergi,” kata Amber dengan cemas seraya menatap sahabatnya itu. “Amber, ini kesempatan bagus untukmu bersosialisasi di perusahaan baru. Biarkan si kembar aku yang jaga,” ucap Jessie sambil menyentuh tangan Amber. Amber menggigit bibirnya, merasa bersalah karena harus merepotkan Jessie lagi. “Tapi aku tidak ingin merepotkanmu terus menerus.” Jessie menarik napas panjang. “Tenang saja, Amber. Aku bisa menjaga si kembar. Kau tahu sendiri
Tubuh Julian membeku melihat sosok wanita cantik berambut pirang yang selama ini dia cari. Aura wajahnya memancarkan jelas keterkejutan nyata. Berkali-kali dia meyakinkan apa yang dia lihat ini salah, tapi apa yang dia lihat ini benar. Tidak salah sama sekali. ‘Wanita itu?’ batin Julian dengan wajah penuh terkejut. Detik itu juga, dia berjalan pergi meninggalkan Clara yang sibuk menyapa tamu undangan. Yang dilakukannya adalah menemui sang asisten. “Mark!” panggil Julian cepat. “Iya, Tuan?” jawab Mark seraya menatap Julian. “Mark, lihat wanita itu. Dia—” Julian menunjuk wanita yang dia maksud, tapi sayangnya wanita itu sudah langsung pergi begitu saja. “Kenapa, Tuan?” Kening Mark mengerut dalam, menatap bingung Julian. “Shit! Dia pergi!” Julian mengumpat kesal, dan berlari mencoba mengejar wanita yang selama ini dia cari, tapi sialnya wanita itu bagaikan angin yang begitu cepat pergi. Mark menyusul Julian. “Tuan, ada apa?” Julian terus meloloskan umpatan kesal. “Mark, wanita i
Amber dan Jessie membaringkan tubuh si kembar ke ranjang. Beruntung Victor dan Violet sudah tertidur pulas. Bocah kembar itu tak lagi ingin makan burger. Mereka sepertinya kelelahan karena hari ini terlalu banyak berlari ke sana kemari. Hal tersebut yang membuat Jessie sempat kewalahan dalam menjaga si kembar, di kala Amber berada di pesta. Amber dan Jessie keluar kamar, tak ingin mengganggu si kembar yang sudah tertidur pulas. Tepat di kala mereka sudah keluar, Jessie langsung menarik tangan Amber—membawa teman baiknya itu duduk di sofa. “Amber, kau berutang penjelasan padaku. Apa yang terjadi tadi?” tanya Jessie dengan nada penasaran. “Kenapa kau terlihat begitu gelisah? Apakah semuanya baik-baik saja? Benarkah kau melihat ayah si kembar?”“Satu-satu, Jessie.” Amber menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Iya, tadi di pesta ... aku bertemu dengan ayah si kembar.”Jessie menatap Amber dengan tatapan terkejut. “Ayah
Di sebuah restoran mewah bintang lima di tengah kota, Julian dan Clara duduk bersama Gracey—ibu Julian—untuk makan siang bersama. Suasana restoran tenang dan elegan, dengan pemandangan kota yang terhampar di luar jendela tinggi. Mereka di kelilingi oleh aura kemewahan yang memancar dari setiap sudut ruangan.Gracey tersenyum lembut sambil menatap anak dan calon menantunya bergantian. “Jadi, bagaimana kabar kalian berdua? Bagaimana dengan persiapan pernikahan? Semua baik-baik saja, kan?” Clara dengan senyuman manisnya menjawab, “Kami sangat bahagia, Bibi. Persiapan pernikahan berjalan lancar, dan kami berdua sangat menantikan hari spesial itu.”Julian bergeser di kursinya, menatap ibunya dengan penuh perhatian. Tampak dia malas mendengar pertanyaan ibunya yang membahas pernikahan, tapi dia tidak memiliki pilihan lain, dia tak ingin melukai hati ibunya. “Bagaimana keadaanmu, Mom? Kau baik-baik saja, kan?” balas Julian hangat. Pertanyaan seputar rencana pernikahan sudah dijawab oleh Cl
“Amber Hayes. Kau Amber Hayes, kan?” Suara Julian begitu tegas di kala tiba di depan cubicle Amber. Sontak wanita itu terkejut. Mata Amber memancarkan jelas keterkejutan dan ketakutan nyata di kala melihat Julian. “I-iya, Tuan Kingston?” jawab Amber gugup. Sialnya sekarang dia menjadi pusat perhatian banyak karyawan. Sebab, Julian adalah tunangan Clara. Sangat wajar jika dirinya menjadi pusat perhatian. “Ikutlah denganku. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu,” balas Julian dingin, dengan raut wajah menunjukkan ketegasannya. Amber menelan ludah, merasa tegang mendengar ucapan Julian. “H-hal apa yang ingin A-anda sampaikan, Tuan?” “Ikut saja. Aku sangat yakin kau tidak suka kita berbicara di sini,” jawab Julian dengan tatapan dingin pada Amber. Seluruh karyawan terus menatap Amber yang diajak bicara dengan Julian. Mereka menerka-nerka pembicaraan yang ingin Julian sampaikan pada Amber. Ada yang terlihat penasaran, tapi ada juga yang memaklumi mungkin memang ada kesalahan
Suasana di kantor Clara terasa tegang pagi ini. Semalaman dia tidak bisa tidur, dan seharian kemarin dia terus uring-uringan memikirkan kedekatan Julian dan Amber. Wanita itu duduk di balik meja kerjanya, mata menatap layar MacBook-nya dengan intensitas yang mengkhawatirkan. Di lubuk hatinya, perasaan cemburu dan ketakutan terus menggerogoti.“Nona,” sapa sang sekretaris melangkah menghampiri Clara. Clara menatap sang sekretaris dengan tatapan dingin. Sebelumnya, dia memanggil sekretarisnya untuk datang. “Aku ingin kau panggilkan karyawan yang bernama Amber Hayes!” “Sekarang, Nona?” tanya sang sekretaris penuh hati-hati. Mata Clara mendelik tajam. “Kau masih tanya? Aku memanggilmu sekarang artinya kau panggil Amber sekarang, Bodoh!” Sang sekretaris menelan salivanya susah payah mendapatkan bentakan dari Clara. “Baik, Nona. Saya akan segera memanggil Nona Hayes sekarang.” Tak selang lama, sekretaris Clara mempersilakan Amber untuk masuk ke dalam ruang kerja Clara. Tampak jelas ke
Julian duduk di kursi kebesarannya, memikirkan Amber dan Clara. Dia merasa sulit untuk mendekati Amber, tetapi juga memahami bahwa Amber sulit dijangkau karena tekanan yang diberikan Clara padanya. Pria tampan itu memikirkan situasinya dengan hati-hati. Julian tidak bisa langsung menegur Clara, karena itu akan terlihat aneh. Lagi pula, dia khawatir pada Clara akan mengadu ke ayahnya, dan berdampak membatalkan persetujuan proyek yang sedang berjalan. Julian masih membutuhkan Clara, meskipun dia mengakui bahwa dia tidak bisa lepas dari bayang-bayang Amber.Julian menghela napas. “Apa yang seharusnya aku lakukan sekarang, Mark?” tanyanya pada sang asisten, di kala kebingungan melanda. “Tuan, saya memiliki ide,” ucap Mark tiba-tiba, saat sesuatu ide muncul di benaknya. Kening Julian mengerut dalam. “Ide apa, Mark?” “Begini, Tuan, bagaimana kalau Anda menemui si kembar saja?” usul Mark sambil menunjukkan foto si kembar yang Amber antarkan ke tempat penitipan anak.Julian terdiam di kal
Alunan musik mengiringi pengantin wanita yang memasuki ballroom hotel mewah yang ada di New York. Amber didampingi James—ayah kandung Julian—memasuki sebuah ballroom hotel. Tampak para tamu undangan tak lepas menatap penampilan Amber yang begitu cantik dan sempurna. Amber seharusnya ditemani oleh ayahnya. Namun, takdir memiliki rencana yang berbeda. Hari yang indah itu, Amber ditemani oleh calon ayah mertuanya, karena ayah kandungnya telah berada di surga. Meski ada rasa sedih, tetapi hatinya tetap bersyukur. Kilat kamera wartawan terus terarah pada Amber yang baru saja memasuki ballroom hotel. Seluruh keluarga tersenyum haru bahagia melihat Amber yang hari itu terlihat seperti seorang putri raja yang sangat cantik dan menawan. Hanya satu kata yang menggambarkan Amber hari itu yaitu sempurna. Ya, pernikahan Amber dan Julian diadakan secara mewah. Ribuan tamu yang datang dari berbagai kalangan. Mulai dari artis ternama, model ternama, hingga pengusaha-pengusaha ternama yang hadir
Langit megah seakan mendukung hari itu adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh Amber dan Julian. Dua insan yang saling mencintai itu sebentar lagi akan mengikat hubungan mereka lebih sakral—di mana tidak akan ada yang bisa memisahkan mereka kecuali maut. Upacara pernikahan akan segera diadakan. Amber sudah tampil cantik, dan membuat sang make up artis terkagum. Bukan hanya sang make artis yang kagum, tetapi Jessie yang ada di sana sangat kagun akan penampilan Amber. Tubuh indah Amber terbalut oleh gaun pengantin yang sangat indah. Tiara berlian yang ada di kepala Amber, membuat semua kaum hawa pasti akan menjerit iri. Ya, Amber layaknya seorang putri raja yang akan segera menikah dengan seorang pangeran tampan. Persiapan pernikahan Amber dan Julian benar-benar singkat, tetapi dari segi kesiapan semuanya berjalan seakan telah tertata dengan sempurna. Bisa dilihat dari penampilan Amber yang memukau dan hotel berbintang lima yang dipilih sebagai resepsi, begitu menunjukkan kemewahan.
Amber menyambut kedatangan Julian. Wanita cantik itu memberikan kecupan dan pelukan di tubuh pria yang sangat dia cintai itu. Waktu menunjukkan pukul lima sore, dan Julian baru saja kembali ke kantor. Sementara kembar sudah pulang dijemput oleh sopir. “Kembar di mana?” tanya Julian seraya mengurai pelukan Amber, tapi memberikan kecupan di kening wanita itu. “Kembar sedang di ruang belajar. Mereka sedang menyelesaikan tugas-tugas mereka,” jawab Amber sambil membantu meletakan jas Julian ke tempat pakaian kotor. “Julian, bagaimana harimu di kantor? Semua baik-baik saja, kan?” tanyanya hangat. Julian melepaskan arlojinya, meletakan ke tempat penyimpanan arloji. “Ya, pekerjaanku semua baik. Tadi, ayahku mengubungiku, memintaku untuk tidak terlalu banyak memikirkan pekerjaan. Ayahku memintaku fokus pada rencana pernikahan kita. Tapi, aku sudah menjelaskan padanya, rencana pernikahan kita semua sudah diurus dengan baik. Mark banyak membantuku.” Amber mendekat, memeluk Julian dari belak
Kabar rencana pernikahan Amber dan Julian sudah tersebar di seluruh media. Pemberitaan sebelumnya yang heboh karena kematian Clara, mulai tergantikan dengan berita kebahagiaan rencana pernikahan Amber dan Julian. Dua insan saling mencintai itu bahkan tidak jarang mengumbar kemesraan di publik. Mereka saling menunjukkan cinta mereka yang luar biasa. Ya, ini bagaikan kisah yang tak pernah Amber sangka dalam hidupnya. Wanita cantik itu tidak pernah mengira akan bertemu kembali dengan Julian, dan melanjutkan kisah mereka yang berawal dari sebuah hal yang tak mungkin. Amber dulu terpuruk di saat ayahnya meninggal dunia. Dia merasakan sendiri di dunia. Sampai semua berubah di kala dirinya bertemu dengan Julian—membuatnya dan Julian terlibat hubungan yang sangat rumit. Seperti permainan takdir yang tak disangka-sangka. Hubungan Amber dan Julian tidak seperti kisah romansa yang lain. Mereka penuh lika-liku. Bahkan kejadian buruk kerap menghantam hubungan mereka, tetapi untungnya takdir mem
Amber dan Julian bersama kembar sudah pulang. Tinggal Gracey dan James berdua di mansion megah mereka. Tampak pasangan suami istri yang sudah tidak lagi muda itu terus berpelukan. Lebih tepatnya Gracey tak ingin melepaskan pelukannya pada James. “Jika kau terus menerus memelukku seperti ini, aku bisa mati karena sesak napas,” ucap James dingin, dengan raut wajah datar. Gracey langsung mengurai pelukannya, menatap hangat sang suami. “Maaf, aku terlalu senang akhirnya kau memberikan restu untuk putra kita menikahi Amber. Aku sangat bahagia, Sayang.” “Aku hanya melakukan apa yang sudah seharusnya aku lakukan,” jawab James lagi masih dengan nada dingin. Gracey tersenyum lembut. “Saat aku mendengar kau memanggil polisi untuk membantu Julian menyelamatkan Amber, aku sangat bahagia. Aku selalu berdoa pada Tuhan agar kau bisa memberikan restu agar Amber dan Julian menikah. Ternyata Tuhan benar-benar mendengar apa yang aku doakan. Terima kasih, Sayang.” Sebelumnya, Gracey sudah tahu tenta
Amber membantu Gracey dan pelayan yang menghidangkan makanan ke atas meja makan. Banyak menu makanan lezat yang terhidang. Tampak kembar riang sejak tadi riang dan tak sabar untuk menikmati makanan lezat itu. Namun, sayang di kala kembar riang, Amber malah terlihat muram. “Amber, ayo kita makan. Kembar sudah tidak sabar,” ajak Gracey lembut, mengajak Amber untuk makan bersama. Amber terdiam sebentar. “Tapi, Julian dan Tuan James masih belum turun, Mom. Lebih baik kita tunggu mereka saja.” Gracey tersenyum hangat. “Kau sebentar lagi akan menikah dengan Julian masih saja memanggil James dengan sebutan Tuan James. Harusnya kau memanggil ayah Julian itu dengan sebutan Daddy, Amber.” Amber belum merespon ucapan Gracey. Tentu selama ini dia tidak berani memanggil James dengan panggilan ‘Daddy’, karena dia sadar bahwa selama ini James tidak pernah menyukai dirinya. Gracey yang melihat Amber melamun, langsung menyentuh bahu Amber. “Lebih baik kita makan dulu. Tidak usah tunggu Julian dan
“Yeay! Daddy dan Mommy sudah datang!” Victor dan Violet berseru riang gembira melihat kedua orang tuanya datang. Mereka berlari, menghamburkan tubuh mereka pada kedua orang tuanya itu. Julian dan Amber tersenyum hangat mendapatkan sambutan dari anak kembar mereka. Bisa dikatakan Julian dan Amber sudah tak sabar bertemu dengan anak kembar mereka yang belakangan ini dititipkan di rumah kedua orang tua Julian. “Selama bersama Grandpa dan Grandma kalian jadi anak yang patuh, kan?” tanya Amber seraya membelai pipi Victor dan Violet dengan lembut. Victor menoleh menatap Violet. “Mommy, aku selalu patuh. Violet suka nakal, Mommy. Violet tidak patuh pada Grandpa dan Grandma.” Violet berdecak kesal di kala Victor menyalahkan dirinya. “Aku ini anak yang patuh, Victor! Kau jangan sembarangan bicara.” Victor mengulurkan lidahnya, meledek Violet. “Kau menyebalkan!” Violet hendak memukul Victor, tetapi Amber segera menahan tangan Violet. “Violet, sudah jangan seperti itu,” kata Amber menging
Suasana kafe di Manhattan tampak sunyi dan tentram. Beberapa pengunjung datang, dan tak menimbulkan suara berisik. Bisa dikatakan kafe itu memang tidak terlalu banyak pengunjung. Namun, meski tak terlalu banyak pengunjung—kafe itu memiliki desain klasik yang luar biasa menakjubkan. “Kau Tuan Johan Maes?” tanya Julian, dengan nada dingin di kala tiba di hadapan sosok pria bernama ‘Johan Maes’. Johan mengangguk singkat. “Kau Julian Kingston yang mengajakku bertemu?” balasnya, dengan nada tenang. Julian duduk di hadapan Johan. “Aku senang kau ada di New York, jadi pertemuan kita bisa berlangsung lebih cepat.” Julian meminta Mark untuk mengatur pertemuan dengan Johan Maes—pria asal Belgia—yang menahan perusahaan keluarga Amber. Beruntung Johan sedang ada di New York, jadi Julian bisa segera bertemu dengan pria itu. Johan mengambil wine yang ada di atas meja, dan menyesap perlahan. “Asistenmu Mark bilang kau ingin membahas sesuatu hal yang menguntungkan. Aku lihat profil perusahaanmu
Amber membuka kedua matanya di kala sudah terbangun dari tidurnya, tatapannya mengendar ke sekitar—melihat ke jam dinding waktu menunjukkan pukul delapan malam, tapi dia belum melihat keberadaan Julian. Dia meraih ponsel, bermaksud ingin menghubungi Julian, tetapi belum juga dia menghubungi, ternyata pintu kamar terbuka—dan Julian muncul di ambang pintu. “Julian? Akhirnya, kau pulang.” Amber tersenyum lega melihat Julian pulang, dia mendekat dan memberikan pelukan hangat. “Maaf, membuatmu menunggu.” Julian membalas pelukan Amber, dan mengecupi puncak kepala wanita itu. Amber mendongak, menatap hangat Julian. “Apa Mark membahas pekerjaan padamu?” tanyanya ingin tahu. Julian membelai pipi Amber lembut. “Ya, ada beberapa hal mengenai pekerjaan yang dibahas Mark. Amber, ada yang ingin aku beri tahu.” “Kau ingin memberitahuku apa, Julian?” tanya Amber lembut. Julian menarik dagu Amber, mencium dan melumat lembut bibir wanita itu. “Besok kita harus datang ke pemakaman Clara.” Raut wa