Semula Alyssa berpikir dirinya akan pergi hanya berdua dengan Assa tapi, ternyata dugaannya salah. Assa sepertinya memang kesulitan percaya pada orang baru. Terbukti yang menjadi sopirnya hari ini tetap Jeff, dan di sebelah Jeff ada Argo yang menemani.Di belakang mobil mereka ada satu mobil yang mengikuti. Di sana ada Dastan dan tiga pengawal lainnya yang selama ini bekerja di rumah Assa. Wolf dan Sam benar-benar diliburkan setelah kejadian di Jepang.Tapi, tampaknya baik Jeff maupun Argo tidak terlihat keberatan sama sekali. Justru yang protes adalah Alyssa. “Bukankah seharusnya kalian libur? Kenapa masih mau menuruti Tuan Muda kalian ini?”Alyssa yang bertanya di perjalanan itu mendapatkan kekehan kecil dari Assa. “Hidup mereka tidak akan lepas dari kesibukan, Alyssa. Mereka sama sepertiku yang hanya perlu beristirahat sebentar.”“Aku tidak bertanya padamu, Tuan Muda.”Argo menimpali dari tempat duduknya. “Apa yang Tuan Muda katakan memang benar, Nona.”“Aku rasa perkataan Helga ak
Semilir angin berhembus membelai surai panjang Alyssa. Langit tanpa bintang seolah mewakili betapa selalu ada kesepian dalam megahnya kehidupan dunia. Tidak hanya Alyssa yang sering merasa sepi tapi, di luar sana ada banyak manusia yang menatap langit malam seperti dirinya. Di sebelah Alyssa duduk Samuel. Pria dalam balutan jaket kulit itu masih bungkam. Dia senang putri satu-satunya hidup dengan baik bersama Assa tapi, juga merasa sedih karena terlalu banyak mengecewakan Alyssa. Jarak antara ayah dan anak itu bukan hanya sebatas pada fisik, tapi juga pada jiwa keduanya. “Maafkan Ayah,” lirih Samuel berujar memecah keheningan di antara mereka. “Jadi apa ayah baik-baik saja?”Samuel mengangguk. “Selalu, Ayah akan selalu baik-baik saja untuk menjaga kamu.”Hal yang Alyssa lihat justru sebaliknya. Samuel tidak baik-baik saja. Tangan kanannya diperban, tampak masih baru. Wajahnya lebam dan ada sayatan di pipi, memanjang sampai ke telinga. “Sebenarnya apa pekerjaan Ayah? Kenapa setiap
Alyssa tengah menyiram tanamannya di greenhouse-nya. Perasaannya hari ini menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Di luar Leonidas tengah duduk di atas rumput sambil memberi makan Dexter dan Maggie. Alyssa tersenyum melihat anak itu ceria.“Alyssa?” panggil Assa, membuat Alyssa menoleh padanya seulas senyum.“Iya?”Assa mendekati, ujung kaki mereka bertemu. “Sebenarnya tidak ada yang ingin aku sampaikan, tapi aku hanya ingin melihatmu sebelum pergi ke kantor.”Alyssa tertawa kecil atas pengakuan Assa. “Sekarang kamu sudah melihatku, bukan? Jadi cepat pergi ke kantor sebelum Helga memarahimu, Tuan Muda.”“Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu,” ucap Assa. Dia juga mengusap puncak kepala Alyssa sebagai bentuk rasa sayangnya pada gadis itu.Alyssa mengangguk, setelahnya Assa berlalu. Gadis itu langsung memegangi dadanya yang lagi-lagi berdebar. Menormalkan kembali debarannya, Alyssa kembali menyiram tanaman namun ketika namanya dipanggil lagi gadis itu terlonjak kaget.“Alyssa?”Bruk!Wa
Leonidas pada akhirnya tenang dalam pelukan Alyssa. Tangisnya sudah tidak lagi terdengar. Matanya terpejam, tanpa bantuan obat penenang. Pelan-pelan Alyssa melepaskan pelukan, lalu Assa mengambil alih Leonidas untuk dipindahkan ke kamar. Alyssa mengikuti di belakang. “Kenapa dia bisa seperti itu?” tanya Assa setelah membaringkan Leonidas di tempat tidur dan menyelimutinya. “Tadi aku dan Helga menonton berita di televisi yang menyiarkan putusnya hubungan kerja Blue Eyes dan Mark, Lalu dia datang dan saat televisi menampilkan wajah pemilik Blue Eyes, Leonidas langsung mengamuk.”Assa mengangguk mengerti. Dia beranjak mengambil kotak obat dari laci kamar Leonidas. Kembali duduk di sisi Alyssa. Tanpa bersuara Assa mengambil tangan Alyssa. “Kamu bahkan tidak sadar jika terluka.”“Ah, ini...” Alyssa meringis sendiri melihat darah di sukunya. Kepalanya langsung pusing. “Tutup matamu,” pinta Assa yang tahu benar bahwa Alyssa paling tidak bisa melihat darah. “Apa dokter datang lagi hari ini
Pada hening malam yang mendekap erat, Assa berjalan menyusuri koridor rumahnya. Suara alas sepatu nyaring beradu dengan lantai marmer yang mengkilap. Assa baru saja pulang dari pekerjaannya. Tampaknya pulang saat lampu rumah adalah hal yang biasa bagi Assa.Namun hari ini dia pulang dibarengi rasa bersalah karena tidak jadi makan malam bersama Alyssa. Padahal gadis itu sudah memasak banyak makanan untuknya. Saat masuk ke kamar Alyssa, dia tidak mendapati gadis itu di tempat tidur. Assa mencari ke sekitar kamar tapi, Alyssa tidak ada.Sejenak Assa berpikir. Dia lalu bergegas ke perpustakaan pribadinya dimana Alyssa juga sering kedapatan menyendiri di sana. Pintu perpustakaan sedikit terbuka, lampu dari dalam menyorot lewat celah yang terbuka itu. Assa membukanya perlahan, derit pintu terdengar sedikit nyaring lantaran malam yang sunyi. Sedikit suara saja akan jelas terdengar.Assa melihat Alyssa yang lelap di sofa dengan memeluk sebuah buku dongeng. Kotak musik pemberiannya ada di meja
Agar tidak terlihat mencolok mereka masuk seperti kebanyakan orang yang datang ke rumah sakit, tapi untuk berjaga-jaga Assa mengambil akses masuk pintu belakang rumah sakit yang lebih sepi. Para penjaganya juga tidak dibawa masuk, tapi mereka menunggu di area parkir untuk memastikan keadaan aman.Karena sebelumnya sudah diatur, mereka langsung masuk ke ruang dokter. Dimana Mark, Belinda dan Jane sudah menunggu di sana. Mark terharu melihat putranya kini berada di depan matanya tapi, juga merasa sedih karena jelas sekali anak itu tampak ketakutan hingga tak mau lepas dari pelukan Alyssa.Alyssa mengajak Leonidas duduk berhadapan dengan Mark, Belinda dan Jane. Gadis itu bertanya pada Leonidas. “Kamu mengenal mereka?”“Tidak,” jawab Leonidas dengan mantap namun matanya menilik pada kedua orang tuanya. memperhatikan mereka satu persatu. “Mereka adalah orang tuamu,” Alyssa menunjuk Mark. “Dia ayahmu, yang duduk di sebelahnya adalah ibumu dan wanita itu kakakmu. Mereka adalah keluargamu.”
Assa rupanya tertampar oleh perkataan Alyssa yang mengatakan bahwa kemewahan tidak selalu membuat bahagia. Pria itu duduk ruangannya, memutar-mutar kursi kebesarannya sambil memikirkan perkataan Alyssa. Tangan kanannya memainkan pena, diputar-putar dengan jarinya.Argo yang duduk di sofa tamu melihat Assa dengan jengah. Dia lebih tertarik menyusun jadwal Assa untuk tiga bulan ke depan, tapi Assa mengganggunya dengan bertanya. “Jadi menurutmu bahagia itu apa?”“Apa saya harus menjawabnya?”“Kalau ditanya tentu saja harus dijawab, Argo.”“Pekerjaanku masih banyak.”“Sialan kau!”Selama mengenal Assa, tidak pernah sekalipun Argo mendengar Assa membicarakan arti kebahagiaan. Rekan sekaligus sahabatnya itu selama ini hidup dengan kemewahan, dan kasih sayang orang tua yang cukup. Jadi Assa tidak pernah mempertanyakan kebahagiaannya sendiri. Dia sudah tahu bahwa dirinya bahagia dengan semua yang dimilikinya, lalu mengartikan bahwa orang-orang juga akan bahagia jika memiliki apa yang dia mil
Helga dibuat kaget dengan kedatangan Lena—sepupu Assa yang bertahun-tahun tinggal di Rusia itu kini kembali menginjakkan kaki di Mansion milik Assa. Wanita itu turun dari mobil dengan anggunnya. Dia tersenyum sinis pada Helga yang terpaku di depan pintu.“Halo Helga, apa kabar? Ah, sepertinya kau semakin menua. Sayang sekali jika kau menyia-nyiakan waktumu hanya untuk melayani Assa.”Sejak dulu Helga tak pernah menyukai Lena. Wanita itu angkuh luar biasa. Pamornya sebagai pemilik brand perhiasan ternama membuatnya lupa diri dari mana dirinya berasal. Lena melihat sekelilingnya dengan angkuh.“Mansion ini masih bertahan meski sudah sangat tua. Sepertinya butuh diperbaiki.”“Tidak ada yang berhak melakukan itu tanpa seizinku,” ujar Assa yang baru saja keluar rumah dan mendapati Lena di depan rumahnya. Assa melihat Helga yang terdiam. “Helga, kembalilah ke dalam.”Helga menurut. Kini yang berhadapan dengan Lena adalah Assa. Pria itu kesal melihat tingkah sepupunya yang sejak kecil tidak