Sudah hampir seminggu berlalu sejak kematian Bu Rahmi dan itu berarti sudah seminggu juga Brisya berada di Panti. Sejak terakhir kali bertemu Haris tak sekalipun Brisya bertemu dengannya lagi hingga hari ini. Brisya sengaja mematikan ponselnya karena ia tak ingin Aji menghubunginya lagi. Lagipula Aji tahu ke mana harus mencari Brisya bila memang ia masih ingin. Foto perempuan tanpa busana itu kadang masih menghantui Brisya, siapa perempuan itu? Sudah berapa lama Aji bersamanya? Mengapa Brisya demikian bodohnya hingga tak menyadari bila Aji menyukai perempuan lain? Brisya merasakan sakit di hatinya setiap kali mengingat foto itu. Apakah ini yang dinamakan karma? Apakah seperti ini sakit yang dulu Aji rasakan? Brisya mencoba untuk menata hatinya lagi. Ia ingin mencari tahu siapa yang paling ia sayangi diantara Haris dan Aji, namun berpikir ratusan kalipun tetap Brisya tak bisa memutuskannya. Brisya mencintai Haris, namun ia juga tak ingin Aji terluka. Harusnya minggu ini adalah jadw
Haris mengawasi layar ponselnya lama, ia seolah terjebak oleh emosinya sendiri. Ia rindu Brisya tapi tak tahu harus memulai obrolan dari mana. Saat sedang mempertimbangkan akan menghubungi Brisya atau tidak, ponsel ditangannya bergetar dengan tiba-tiba, Haris tersentak kaget.Hendri is calling.."Halo, iya, Kak?" sapa Haris cepat."Haris apa kamu sedang bersama Megan di sana??" sosor Hendri menginterogasi. "Hmm, dia di Panti, ada apa memangnya?""Kalian nggak tinggal bersama di ruko, kan??""Nggak, lah! Aku masih tahu batasannya, Kak!" kilah Haris.Terdengar tarikan nafas Hendri yang berat, "Harusnya minggu ini jadwal Megan kontrol untuk yang terakhir kali, usia kandungannya sudah memasuki HPL."Haris terhenyak, kenapa Brisya justru masih betah berada di panti? "Bisa kamu bujuk dia untuk datang kemari? Sepertinya sedang ada masalah di antara dia dan suaminya," pinta Hendri lugas.Haris tak menyahut."Semalam saat aku makan malam dengan Zunita, Aji tiba-tiba telefon dan minta dijemp
Suara musik yang mellow membuat suasana di mobil Haris berubah sendu. Sesekali Brisya tampak menguap dan gelisah. Ia beberapa kali menggeser posisi duduknya agar lebih nyaman. Perut besarnya membuat ia kesusahan tiap kali bergerak.Haris yang nenyadari itu lantas menarik tangan Brisya yang terkulai dan menggenggamnya erat. Ia ingin Brisya tahu bila Haris selalu ada di sisinya."Maaf untuk kejadian tempo hari. Aku seharusnya lebih bersimpati padamu," ucap Haris lirih.Brisya tak menyahut, ia membuang muka dan mengawasi pemandangan di luar jendela."Briy," panggil Haris saat Brisya tak bergeming."Hmm,""'Maaf ..." pintanya sekali lagi sambil mempererat genggamannya.Brisya menghela nafas, ia menoleh dan menatap Haris."Apa Om Haris lega sekarang?""Lega untuk?""Lega karena akhirnya Aji beneran menyakitiku? Bahwa akhirnya dia betul-betul berkhianat di belakangku."Haris menggeleng cepat. "Demi tuhan, aku tidak pernah mendoakan hal buruk pada kalian.""Oh, ya?"Haris melepas genggamanny
"Bagaimana menurutmu?" Haris mematut pantulan wajahnya di cermin."Terserah, silahkan saja kalo kamu mau mencoba menghubungi dia. Aku sarankan sebaiknya kalian bertemu di tempat yang netral, untuk berjaga- jaga seandainya Aji kalap melihat wajahmu!" Zunita memberi saran. Haris menghela nafasnya berat, "Tapi setidaknya aku harus berbicara empat mata dengannya, Zun. Aku harus membuat kesepakatan dengannya. Minggu depan Brisya sudah harus melahirkan.""Seperti yang aku bilang tadi, terserah. Aku akan mengirim nomor Aji lewat chat sebentar lagi kalo kamu memang keukeh ingin bertemu dengannya.""Oke, kirim saja!" Haris beranjak keluar dari kamar dan menghampiri meja kerjanya. "Oke, bye!" Tut.Haris mendesah lega, keputusan untuk menemui Aji sudah ia pikirkan masak-masak semalaman. Walau bagaimanapun, Aji sudah menjaga Brisya dengan baik selama ini. Haris ingin membuat kesepakatan dengannya secepat mungkin, setidaknya mereka harus membicarakan nasib twins kedepannya. Ponsel Haris berget
Satu jam Haris menunggu di apartemen, akhirnya Hendri datang. Mereka berdua sudah duduk di meja makan dan saling menatap serius."Brisya ingin melahirkan di kota kami, Kak!" Hendri nampak berpikir, kedua tangannya menyatu dan menahan dagunya yang sudah bersih dari rambut-rambut halus. "Apa tidak bisa kamu membujuknya untuk melahirkan di sini?"Haris menggeleng lemah. "Mungkin besok atau besok lusa Brisya menghubungimu, Kak. Coba bujuklah dia agar mau melahirkan di sini. Aku lebih tenang bila kamu yang menghandle kelahiran twins," pinta Haris memohon."Akan aku coba. Semoga dia mau mendengarkan saranku.""Bujuk dia semampumu, Kak!" Hendri mengangguk dan meneguk air mineral botol yang tadi ia bawa dari Rumah Sakit."Bagaimana hubunganmu dengan Brisya? Apa sudah membaik?" tanya Hendri penasaran."Tentu saja, kamu tahu sendiri kalo aku benci berdebat, kan, Kak!""Jadi kamu sudah lega sekarang?""Lega untuk?" Haris mengawasi Hendri heran, pertanyaan yang sama dengan milik Brisya tempo h
Usai makan siang, Haris mengantar Brisya ke kota untuk kontrol ke tempat praktek Hendri. Sebelumnya, Haris sudah menyusun rencana dengan Hendri agar sandiwara mereka tak terbongkar sebelum twins lahir. Tidak ada yang bisa menjamin bagaimana reaksi Brisya nanti seandainya ia tahu bila Dokter Eka adalah kakak kandung Haris. Maka dari itu untuk lebih amannya, Haris masih akan bungkam sampai twins lahir. "Apa aku boleh menemani kamu masuk?"Brisya menoleh, ia menggeleng cepat."Terus kalo nanti Dokter Eka tanya, aku mau jawab gimana?""Bilang aja aku Ayahnya twins!"Brisya terbelalak, ia mencubit lengan Haris dengan gemas."Om tunggu di parkiran saja, aku sudah janjian dengan Zunita. Dia akan menemaniku masuk.""Apa kamu percaya pada Zunita?""Tentu saja! Dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri," sahut Brisya naif.Haris tergugu, ia kembali fokus pada kemudinya. Ada sedikit rasa bersalah di hati Haris karena diam-diam dia sudah mengenal Zunita tanpa sepengetahuannya. "Briy, apa aku b
Aji memandang ke arah tivi namun pikirannya berkelana. Sudah hampir dua jam ia duduk sendirian, melamun, kelaparan dan kesepian. Suara tivi yang nyaring tak juga membuat suasana hatinya membaik, malah ia semakin merasa sunyi tanpa siapapun yang peduli. Ponsel yang ia geletakkan di meja bergetar, Aji menatapnya sekilas. Zunita is calling ...Aji berpaling dan kembali menatap ke arah tivi. Ia sedang menonton channel National geography, menonton hewan-hewan itu berlarian dengan bebas membuat Aji berpikir betapa nikmatnya menjadi seperti mereka yang tidak memiliki perasaan. Terlahir sebagai manusia terkadang ibarat kutukan. Tak terasa Aji mulai terlelap sambil menggenggam remote tivi. Seminggu ini rasanya hidupnya jadi porak poranda, Aji tak bersemangat lagi untuk hidup. Ting!tong!ting!tong!Sayup-sayup suara bel di pintu membuat Aji mengerjap dan membuka mata. Ia merenggangkan tubuhnya yang sempat terbujur kaku tadi. Ting!tong!ting!tong!Aji menghela napas berat sembari menatap taja
Haris menyetir dengan kalap, sesekali ia menoleh pada Brisya yang memejamkan mata sejak mereka menuju ke Rumah Sakit. Sejak lima menit yang lalu, Haris berkali-kali mencoba untuk menghubungi Hendri namun tak diangkat. Sepertinya Hendri masih sibuk dengan pasien-pasiennya di tempat praktek."Briy," panggil Haris khawatir."Hmm...""Bertahan ya, sebentar lagi kita sampai," ucap Haris panik.Brisya tak menyahut, ia merasakan bagian bawah tubuhnya sudah basah. Perutnya mulai terasa mulas. Apakah ia akan bertemu twins hari ini? Apakah tidak apa-apa bila ketubannya pecah lebih dulu sebelum ia sampai di rumah sakit? Konsentrasi Haris terbagi saat kemudian ponselnya bergetar dan berdering. Hendri is calling ..."Halo, Kak! Aku menuju Rumah Sakit sekarang, ketuban Brisya sepertinya pecah!" cecar Haris panik"Apa? Kok bisa, sih! Kalian habis ngapain!?""Kak, nanti aku jelaskan! Tolong selamatkan anakku, Kak!" Suara Haris mulai bergetar takut, sudut matanya basah karena terlalu khawatir deng