“DISYA!” Teriakan itu membuat kedua pasutri yang sedang tertidur langsung membuka matanya, tidurnya benar-benar terganggu karena teriakan itu. Mata Disya membelalak terkejut, mulutnya dengan refleks menjerit. Lelaki di sampingnya yang mendengar teriakan Disya langsung menggunakan tangan kanannya untuk menutup telinganya karena suara jeritannya sangat memekikkan telinga “Disya suara kamu!” geram Devan. “Pa—pak Devan kenapa ada di sini?” teriak Disya melihat tangan Devan yang memeluk pinggangnya, Devan langsung melepaskannya, lalu netranya melihat kaki Disya yang melilit kakinya, gadis itu langsung melepaskannya dan buru-buru bangun dari posisi berbaringnya. “Pak Devan kok bisa masuk ke kamar Disya?” tuduh Disya, ia menarik selimut hingga sebatas dagu, sambil menatap takut kearah Devan. Lelaki itu menatap Disya sinis. “Saya me—“ “Disya!” Dina masuk ke dalam kamar dengan napas tidak teratur, sepertinya dia berlari untuk sampai ke kamar ini. Disya dan Devan langsung menatap ke arah
Setelah pulang dari kantor, Devan memboyong Disya untuk tiggal di rumahnya. Walaupun kedua orang tua Disya awalnya melarang dan menyuruh untuk tinggal di rumahnya beberapa hari lagi, Devan menolaknya dengan alasan Disya sudah menjadi tanggung jawabnya sekarang, juga sudah menjadi istrinya. Sekarang ataupun nanti Disya pergi dari rumahnya itu akan sama saja tidak ada bedanya. Tentang sahabat-sahabat Disya, tadinya mereka hanya ingin sekedar main dengan Disya di rumahnya. Mereka tidak memberi tahu dulu Disya, karena memang biasanya mereka hanya tinggal datang ke rumah Disya, kedua orang tuanya juga sudah mengenal mereka. Dina menyuruh mereka untuk langsung saja ke kamar Disya, seperti yang ia katakan sebelumnya, jika ia lupa Disya sudah menikah. Niat hati ingin mengejutkan Disya dengan langsung datang ke rumahnya, justru mereka yang dibuat terkejut dengan kehadiran lelaki yang sedang tidur di samping Disya, Devan—suaminya. Melihat Disya yang tidak ceria seperti biasanya karena kejadia
Devan berdiri mematung di tempatnya, pandangan matanya lurus ke depan menatap seorang perempuan yang berdiri dengan jarak sepuluh meter dari pandangannya. Perempuan itu berjalan, menyeret kopernya ke arah Devan yang masih berdiri mematung. Saat keduanya sudah saling berhadapan, mereka hanya diam sambil menatap satu sama lain. Dengan saling menatap, mereka seolah berbicara. Ada rasa rindu yang sudah tersampaikan hasratnya kala mereka saling berhadapan sekarang ini. "Hai Dev." Perempuan itu menarik bibirnya, membuat sebuah senyuman manis dengan mata yang berkaca-kaca. "Hm," balas Devan pelan, dia mengalihkan pandangannya menatap koper yang ada di samping perempuan itu, lalu membawanya. Keduanya berjalan beriringan, untuk menuju ke mobil milik Devan. Tidak ada pembicaraan dari keduanya, mereka saling diam sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Bahkan saat mereka sudah berada di mobil Devan sekalipun. Kecanggungan dirasakan oleh keduanya. Malam ini jalanan terlihat sepi pengendar
“Dia kembali?” Devan hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Fokusnya tertuju kepada layar monitor di depannya dengan jari-jemari yang bergerak di atas keyboard. Dia sedang melakukan pekerjaanya. “Lalu?” “Dia sudah tahu jika papahnya menikah lagi, dia tidak ingin datang ke rumah orang tuanya. Jadi, saya menyuruhnya untuk tinggal di apartemen,” jawab Devan. Diky membelalakkan matanya, tentu saja dia terkejut. “Apa yang akan Pak Devan lakukan—maksudnya apa rencana ke depannya untuk dia… dan Disya?” Mendengar pertanyaan dari sekretarisnya membuat Devan langsung menghentikan kegiatannya. Dia terdiam cukup lama lalu menggelengkan kepalanya. “Tidak ada,” lirihnya. Devan kembali teringat dengan kejadian malam itu— "A—aku merindukanmu.” Kata-kata yang di lontarkan perempuan dengan rambut sebahu itu berhasil membuat hati Devan berdesir, bahkan jantungnya berdetak tidak normal. Ditambah dengan perempuan itu yang memeluk tubuhnya. Devan memanggil perempuan itu—Fatya. Dia berpropesi sebaga
Devan mencium kening Fatya sekilas, lalu tangannya bergerak menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. Devan menatap wajah Fatya, dadanya naik turun mencoba menormalkan detak jantungnya, sebuah lengkungan sabit juga tercetak di bibir keduanya. Fatya menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Devan, bahkan menelusupkan wajahnya ke dalam pelukan Devan. “Kamu belum juga menghubungi keluargamu?” tanya Devan, tangannya mengelus pucuk kepala Fatya lembut. Hanya gelengan kepala yang menjadi jawaban untuk pertanyaan Devan. “Hubungi mamah atau kakakmu! Pasti mereka merindukanmu.” “Aku masih sering menghubungi mereka, saat di London, bahkan sampai sekarang.” “Menghubungi lewat ponsel, dengan bertemu langsung itu rasanya berbeda. Apa kamu tidak ingin bertemu langsung dengan mamah dan juga kakakmu?” Fatya terdiam, keheningan menyelimuti kamar ini. Sebelum Fatya mengeluarkan suara, terdengar hembusan napas panjang, lalu ia berkata, “Besok aku akan k
Disya mengatur napas, punggung tangan kananya mengusap peluh yang ada di keningnya. Disya ragu untuk mengetuk pintu di depannya, namun setelah hampir dua menit berdiam diri akhirnya ia memutuskan untuk mengetuk pintu, meskipun dengan jantung yang berdetagup cepat.Setelah di persilahkan masuk oleh seseorang yang ada di dalam, Disya langsung membuka pintu. “Maaf saya telat,” cicit Disya pelan, pandangannya ia tundukan, tidak berani menatap lelaki yang berdiri di tengah-tengah ruangan.“Oke, sudah di mengerti semuanya? Saya akhiri kelas ini!”“Baik Pak.”Lelaki itu berjalan menuju meja yang berada di depan, menutup laptopnya juga membereskan beberapa buku yang berada di meja. “Nadisya, saya sudah mengisi absen kamu dengan kehadiran alpa. Silahkan ke ruangan saya, saya akan memberi kamu detensi.” Devan berjalan meninggalkan kelas, melewati Disya yang masih berdiri mematung di ambang pintu.Disya memejamk
Kai terus mendongakkan wajahnya menatap Fatya dengan seksama. Fatya mengelus rambut Kai lembut dengan menampilkan senyumnya. "Ada apa, Kai?" tanya Fatya lembut."Muka Onty, mirip dengan Mommy," jawab Kai.Mendengar jawaban Kai, hati Fatya terasa begitu bahagia. Apa putranya mengenalnya meskipun belum tahu jika Fatya adalah ibu kandungnya? Pikir Fatya."Iya kan, Dad?" Kali ini Kai mengalihkan pandangannya menatap Devan. Devan yang sedari tadi hanya diam dengan pandangan menatap lurus ke depan mengalihkan pandangannya menatap Kai, dan Fatya bergantian."Hm."Ting!Pintu lift terbuka, ketiganya langsung keluar dari dalam lift."Selamat siang, Pak Devan," sapa lelaki paruh baya yang berjaga di di depan pintu lift. Devan hanya menatapnya sekilas lalu mengangguk pelan.Apartemen dibangun dengan fasilitas sebanyak dan senyaman mungkin agar para penyewa maupun penghuni di bangunan tersebut menjadi betah. Ada banyak sekali fasilitas yan
Devan keluar dari ruang kerjanya. Sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, matanya celingukan mencari keberadaan Disya. Namun, suasana kamar sepi. 'Dimana dia?' ucapnya dalam hati lalu berjalan keluar dari kamar.Saat sedang menuruni tangga, samar-samar Devan mendengar suara televisi yang menyala, juga suara beberapa orang yang tertawa."Pak Devan," sapa Disya, rupanya gadis itu sudah menyadari jika Devan sedang menuruni tangga, dan akan menuju ke arahnya."Sini-sini, kita lagi nonton film lucu loh," lanjut Disya lagi sambil mengayun-ayunkan tangan kanannya dengan tujuan agar Devan cepat-cepat menghampirinya.Devan melirik ke arah layar televisi yang menampilkan film kartun Tom & Jerry. Tayangan tanpa dialog antar pemain itu yang berhasil membuat suara tawa Disya, Kai, dan asisten rumah tanngganya terdengar cukup kencang.Devan menatap Kai yang duduk di samping Disya. Disya memegang es krim, begitu juga dengan Bu Siti, dan
Hai teman-teman pembaca novel Om Duda! Waw! Akhirnya aku bisa menyelesaikan novel ini. Makasih buat teman-teman yang udah selalu baca novel ini dari chapter awal sampe akhir, aku juga selalu buat kalian nunggu beberapa hari untuk update. Maaf ya, aku belum bisa konsisten buat nulis. Terutama permintaan maaf dan makasih buat teman-teman yang udah ngikutin novel ini dari awal, novel yang pertama kali aku update di bulan Juni, dan selesai di bulan Maret—8 bulan, waktu yang cukup lama. Makasih loh kalian udah setia dan enggak kabur karena aku jarang update, hehehe .... Lagi-lagi ucapan makasih buat teman-teman yang udah ngasih review, trus komentar di setiap babnya, dan makasih sudah ngasih vote yaa ... walaupun aku jarang balas komentar kalian, tapi aku tetep baca kok, baca komentar kalian itu seruu! Kalau suka sama novel ini, ayo bantu kasih review-nya. Dari chapter satu sampai chapter akhir, kalian lebih suka chapter berapa? Kalian boleh kasih pendapat tentang
Katanya tidak perlu khawatir tentang jodoh. Sejauh apapun ia berada, pasti akan mencari jalannya sendiri untuk bertemu.Walaupun awalnya memang Devan tidak baik-baik saja karena perceraiannya dengan Disya, tapi Mamahnya selalu menasihatinya."Biarkan Disya pergi dulu, ia perlu menyembuhkan lukanya. Kalaupun kalian memang ditakdirkan berjodoh, Disya akan kembali, Tuhan akan mempersatukan kalian kembali."Devan seperti menemukan kembali harapannya.Terkadang memang ada kisah yang harus usai, meski rasa belum juga selesai. Devan sudah melukai hati Disya, lelaki itu akan membiarkan Disya pergi untuk menyembuhkan lukanya, jika memang Tuhan mentakdirkan mereka berjodoh, Devan yakin Disya akan kembali, sesuai apa yang dikatakan oleh Mamahnya.Dear Queen ....Saat saya pertama melihat kamu, saya cukup terkejut melihat wajah kamu seperti Ibu kandung Kai, netra berwarna coklat, bibir juga hidung mungil, serta kulit putih—semua bagian wajahnya te
"Gimana hotel di Lombok?" tanya Devan mencoba bangun dari baringannya dengan susah payah."Oke, tidak ada problem," jawab Diky membantu Devan untuk duduk bersender di kasurnya.Devan mengangguk pelan, terdengar hembusan napas dari lelaki itu, kedua matanya sengaja dia pejamkan, menahan sakit di semua bagian tubuhnya."Ayo, saya antar ke rumah sakit," kata Diky untuk yang kesekian kalinya mengajak Devan untuk pergi ke rumah sakit."Tidak perlu, ini hanya sakit biasa.""Saya akan panggilkan dokter kalau begitu.""Tidak usah! Ini saya kurang istirahat saja," kata Devan. "Kai, ada?" tanya Devan. Sudah tiga hari ini, Devan tidak bertemu dengan putranya."Masih di rumah Disya, katanya hari ini akan di antar pulang ke sini."Devan mengangguk sekilas. Lalu kembali memejamkan matanya dengan kepala yang bersandar di kepala ranjang.Diky menatap wajah Devan dengan seksama. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya lemas. Sudah tiga hari ini De
Disya menghela napasnya pelan, ia sudah berada di depan pintu ruang HCU. Naisya yang berada di samping Disya mengulurkan tangannya kepada Disya. Disya menatap tangan Naisya lalu menatap wajah perempuan itu."Ayo!" kata Naisya tersenyum.Disya tersenyum kecil lalu membalas uluran tangan Naisya. Keduanya melangkah memasuki ruangan HCU.Samudra yang ada di dalam ruangan langsung menatap ke arah keduanya. Semulanya wajahnya terkejut melihat kedatangan mereka. Namun, saat matanya melirik tangan keduanya yang saling bergandengan membuat senyum merekah di bibir Samudra."Kalian?"Disya menatap Samudra lalu mengulas senyum kecil di bibirnya, begitu juga dengan Naisya."Pah, lihat siapa yang datang," kata Samudra excited."Queen ...," sapa Doni dengan suara lirihnya.Naisya menatap Disya, lalu mengangguk pelan, menyuruh Disya untuk menemui Doni.Tautan tangan Disya dan Naisya terlepas. Kaki Disya melangkah perlahan menghampiri br
Disya menatap lekat-lekat wajah Devan. Tangannya terulur untuk mengelus pipi suaminya lembut. Memang benar apa kata Bundanya, penampilan Devan berubah, tubuhnya kurusan, rambutnya gondrong, tumbuh berewok di sekitaran dagunya."Pak Devan enggak pernah cukuran ya?" tanya Disya lirih.Devan masih tertidur pulas, itu kenapa Disya berani menyentuh wajah Devan. Bohong jika Disya mengatakan ia tidak merindukan Devan—Disya sangat merindukan suaminya."Pak Devan kelihatan aneh kalau berewokan. Kalau Pak Devan brewokan kelihatan kaya om-om beneran," kata Disya masih tetap menyentuh pipi Devan. "Disya lebih suka Pak Devan yang klimis, ganteng banget tahu ...."Disya kembali memperhatikan wajah Devan, hidung bangirnya, alis tebal, juga bulu matanya yang panjang—Disya merindukannya."Pak Devan kok kurusan? Memang di rumah kekurangan makanan, huh?""Penampilan Pak Devan benar-benar beda dari biasanya. Aneh, waktu Disya pertama kali lihat Pak
Disya sedang bergelung dipelukan Bundanya. Gadis itu sudah menceritakan semuanya tentang kejadian tadi siang.Devan, lelaki itu sedang mengobrol dengan Kakek dan Nenek Disya di teras. Satu jam yang lalu mereka baru saja selesai makan malam bersama.Kakek, Nenek, dan Dina menyambut hangat kedatangan Devan. Bersikap seolah tidak terjadi apapun. Bukan tidak marah kepada Devan, tapi mereka sudah memaafkan lelaki itu. Nasi sudah menjadi bubur, masa lalu tidak bisa diubah. Mereka menyerahkan semuanya kepada Disya. Walaupun nanti akhirnya mereka berpisah, tapi silaturahmi tetap harus dijaga bukan?"Disya harus gimana Bunda?" tanya Disya lirih."Kamu masih mencintai Devan?" tanya Dina mengelus sayang rambut putrinya. Disya memanyunkan bibirnya, sepertinya pertanyaan itu tidak perlu Disya jawab pun, Bundanya sudah mengetahui kalau Disya masih mencintai Devan."Bunda tidak perlu mendikte apa yang harus kamu lakukan, kamu sudah dewasa sekarang, kamu bisa meni
Disya beneran enggak suka duduk di kantin kampus. Pak Devan tahu karena apa? Mahasiswi di sana selalu aja ngomongin Pak Devan, muji-muji Pak Devan, bahkan ada yang ngaku-ngaku kalau dia istri Pak Devan katanya. Ih, nyebelin kan?!Terus juga kenapa sekretaris Pak Devan harus punya bodi kaya gitar spanyol? Kenapa enggak nyari sekretaris yang laki-laki aja? Pak Devan tahu, Disya beneran enggak suka lihat Pak Devan sama Bu Sasya. Disya minder, Bu Sasya kelihatan lebih cocok kalau jalan beriringan sama Pak Devan dibanding sama Disya. Kenapa sih orang-orang selalu ngira kalau Disya itu adik Pak Devan? Karena Disya pendek, gitu? Tinggi Disya juga enggak sampai pundak Pak Devan. Ah! Enggak pokonya ini salah Pak Devan, karena Pak Devan yang ketinggian!Terus Pak Devan kenapa sih ganteng banget, huh? Bisa enggak sih gantengnya cuman bisa dilihat sama Disya aja, trus kalau Pak Devan ketemu orang-orang mukanya di jelek-jelekin aja gitu, biar yang naksir Pak Devan cuman Disya doang
Pak Devan tahu enggak sih, Disya tuh rasanya pengen banget nanyain sama Mamah Maya, bener enggak sih Pak Devan anak kandung Mamah Maya sama Papah Husein? Pak Devan tuh enggak humoris kaya Mamah, Papah sama Naya. Jangan-jangan Pak Devan anak pungut lagi! Pak Devan tuh jutek, dingin, trus kalau bicara irit banget. Bicara panjang lebar kalo lagi marahin Disya aja, trus Pak Devan selalu aja pakai istilah-istilah dan kata-kata yang kadang Disya harus loading dulu buat paham. Huh! Nyebelin.Pak Devan juga selalu ngelarang Disya sama Kai buat makan cokelat, es krim, ciki-cikian, junk food, pokonya semua makanan enak deh. Pak Devan tuh manusia ter-aneh yang pernah Disya temuin tahu! Mana ada manusia yang enggak suka makanan enak banget kaya gitu ... Aish, aneh!Devan menyunggingkan senyumnya setelah selesai membaca tulisan tangan Disya yang ada di kertas berwarna merah muda itu. "Apa saya perlu tes DNA untuk membuktikan saya anak kandung Mamah dan Papah? Dan, makanan seperti i
Tepat pukul satu siang Disya terbangun. Dina yang selalu berada di samping Disya, menemani putrinya. Saat siuman, Disya langsung khawatir tentang keberangkatannya ke Yogyakarta yang harus dibatalkan karena Disya berada di rumah sakit sekarang."Hari ini kita harus pergi, Bunda ...," kata Disya lagi.Dina menggeleng. "Kamu harus pulih dulu, sayang," jawab Dina sembari mengelus pucuk kepala Disya lembut."Disya baik-baik aja kok! Disya cuman kecapean aja, enggak perlu dirawat juga," kata Disya.Sebenarnya itu tidak benar. Disya merasakan keram di bagian perutnya. Namun, dia harus berbohong karena gadis itu benar-benar ingin cepat pergi dari kota itu."Kamu harus tetap di sini, sayang."Disya memanyunkan bibirnya."Ayo makan dulu," ucap Dina. Mengambil makanan yang sudah disediakan. Disya menerima suapan yang disodorkan oleh Bundanya. Dina terus memperhatikan gerak-gerik Disya yang selalu menatap pintu yang tertutup rapat, wajah pu