20 Desember 2020
Nampak sumringah sekali sembari membawa kue tart ulang tahun istimewa untuk pujaan hatinya, langkah lelaki berperawakan tinggi itu dan memiliki jambang tipis terburu-buru masuk ke dalam rumah.
Dia berderap mengelilingi tiap ruangan, termasuk ke dalam kamar dan berharap jika perempuan yang dia rindukan ada. Akan tetapi, tidak ada. Hanya ada senyap memeluk keramaian.
Rino Syahril pengusaha batu bara. Dia menaruh bokongnya di kursi tempat santai jika lelaki itu membutuhkan sebuah pijatan di salah satu sudut kamar singgasananya. Sesekali Rino mengembuskan napas kasar dan menaruh kue tartnya.
Lantas tangannya terulur merogoh ponsel yang ada di dalam saku celana bahan.
Sorot matanya menajam saat mengetahui bahwa ponsel sang istri tidak aktif. Rino berniat ingin memberikan kejutan kepada Dewi---istri tercinta hari ini berulang tahun karena lelaki itu baru saja pulang dari Singapura untuk menyelesaikan pekerjaan. Satu bulan Rino meninggalkan Dewi.
Pikiran lelaki itu mengawang seperti ada filem dokumenter yang diputar kembali di hadapannya.
Kala itu. Dewi sangat sedih dan tidak mau melepaskan pelukan dari Rino. Wanita itu tidak mau ikut karena beralasan takut naik pesawat terbang.
Di bandara sebelum pergi Rino mengecup puncak kepala sang istri dengan penuh cinta setulus hati. Nampak sekali dari sorot mata Rino yang meneduhkan kepada Dewi.
“Jangan lama-lama,” lirih Dewi manja seraya menggelayut tangannya di leher Rino.
Maklum mereka berdua masih pengantin baru. Pernikahan mereka genap tiga bulan dan ini adalah hari pertama Rino meninggalkan Dewi di kota J.
“Iya, kamu juga jaga diri baik-baik. Saya akan selalu menghubungimu,” jawab Rino menyulam senyum manis.
“Mas, aku akan setia menunggumu,” bisik Dewi.
Tok, tok, tok!!!
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Rino dan dia menoleh kepada Bibi Mimin---pembantu rumah tangga. Rino pun melempar senyum dan berdiri.
“Maaf, Pak Rino. Saya mau izin pulang kampung. Anak saya mau wisuda,” tutur Bibi Mimin.
“Oh, silakan. Bi, anaknya sudah besar, yah. Nggak kerasa sudah selesai kuliahnya. Oh yah, Dewi pergi ke mana?”
Tampak raut wajah Bibi Mimin kebingungan menyembunyikan sesuatu. Bola matanya berputar tidak mau berserobok dengan Rino.
Hal ini membuat Rino curiga dan dia mendekati Bibi Mimin memangkas jarak.
“Bi, ada apa?” tanya Rino keheranan sembari menurunkan sebelah alis kirinya.
“Anu, Tuan. Maaf. Saya harus mengatakan hal ini. Kalau ibu Dewi sudah tiga hari tak pulang ke rumah,” balas Bibi Mimin masih dalam posisi menundukkan wajahnya.
“Dia ke mana?” tanya Rino terkejut.
Bibi Mimin menggelengkan kepala dan lekas undur diri pamit pulang dengan langkah lebar beranjak meninggalkan Rino yang berdiri mematung di ambang pintu kamar.
Dia masuk kembali ke dalam kamar dan menutup pintu. Tukai kakinya berderap mendekati ranjang. Rino merebahkan tubuhnya, lalu sambil menghubungi semua teman Dewi.
Namun sayangnya, tidak ada yang tahu di mana Dewi berada saat ini? Rino mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi karena tidak biasanya Dewi seperti ini sampai mematikan ponsel. Rasa khawatirnya mulai menggantung di benak pikiran. Ada juga curiga membalut hatinya, tetapi ditepis oleh Rino.
Saking lelahnya dari perjalanan jauh. Rino memutuskan untuk menunggu Dewi untuk memejamkan mata sesaat dan berharap sang istri akan segera pulang secepatnya. Dia pun menguap, rasa kantuk sudah menggelayuti kelopak mata lelaki itu hanya dalam hitungan detik saja, Rino sudah pulas tertidur.
Sayup-sayup terdengar suara ponsel berdering. Rino terbangun dan dia lekas mengangkat telepon tersebut yang ternyata dari Dewi.
“Halo.” Rino baru menjawab sepatah kata. Dewi sudah berceloteh seribu kata, beralasan ponselnya tidak ada sinyal karena berada di Puncak ada acara dengan teman-temannya.
Sontak Rino terbelalak saat mendengar penjelasan dari Dewi. Tampak sekali perempuan itu berbohong. Padahal Rino sudah menghubungi semua teman Dewi. Tubuh lelaki itu membeku terdiam belum bisa membalas ucapan Dewi.
Bak disambar petir lelaki tampan berkulit putih itu. Ada hal yang membuat Rino tercengang adalah suara sang istri sangat jelas seperti berada di depan pintu. Lekas Rino berlari kecil langsung masuk ke dalam lemari baju, tidak berpikir panjang lagi.
Betapa terkejutnya Rino saat melihat Dewi bergandengan tangan dengan lelaki lain berperawakan kurus dan berkulit sawo matang. Dia menyorot tajam melalui celah-celah lemari yang bergaris-garis seperti ventilasi jendela tampak jelas sekali Rino mendapatkan siaran langsung perselingkuhan Dewi.
Kedua tangan Rino mengepal saat lelaki lain mulai beraksi menjamaah tubuh Dewi sang istri yang sangat disayanginya. Kini Dewi sudah tidak berpakaian. Pakaian mereka tercecer di lantai.
Brugh!!!
Rino meninju lemari. Amarahnya meluap sampai ubun-ubun.
Dewi terbelalak dan lelaki itu pun terkejut saat melihat Rino sudah berdiri tegak dan gagah dengan tatapan menajam bak harimau yang akan merobek mangsanya.
Mereka berdua langsung meraih pakaian masing-masing.
“Oh, begitu kelakuanmu!” bentak Rino berkacak pinggang.
“Mas Rino, ini bukan yang seperti yang Mas pikirkan?” elak Dewi yang sudah berpakaian dan menghambur mendekati Rino.
Dewi memangkas jarak. Rino beringsut mundur dan tangannya mengibas tidak mau dipegang oleh Dewi yang terus saja menampilkan wajah tidak berdosa dan pasang wajah belas kasihan seimut mungkin.
“Saya melihat pakai mata sendiri. Nggak pakai mata telur sapi! Apa yang mau kamu proteskan lagi?” Rino membentak Dewi dengan nada tinggi.
Perempuan itu menoleh kepada lelaki yang duduk tenang di tepi ranjang. “Forguso, ngapain kamu masih di sini? Pergiiiiiii!” Dewi mengusir lelaki yang baru dia kencani satu bulan.
“Aku tak akan pergi dari sini. Kita saling mencintai,” balas Forguso menyulam senyum seolah-olah menantang Rino.
“Lebih baik kamu pergi. Jangan buat masalah ini semakin rumit,” keluh Dewi.
“Dewi, saya tak butuh cinta palsumu. Tunggu saya di meja sidang perceraian,” sambung Rino sambil melangkah lebar beranjak pergi dari kamar tersebut.
Perempuan berkulit putih itu mengejar Rino, lalu dia menghadang sambil merentangkan kedua tangannya. Menghalangi jalan Rino.
“Maaf aku khilaf.” Bibir memakai gincu berwarna merah itu mulai melontarkan penyesalan.
“Khilaf adalah kesalahan yang diakui karena salah satu kali. Tapi, jika kesalahan itu berulang-ulang bukan khilaf namanya. Kamu justru doyan menikmati indahnya selingkuh. Tiga hari tak pulang ke mana? Argh, kamu main sama lelaki itu ‘kan!” Rino mencengkal lengan Dewi begitu erat. Semarah-marahnya Rino, lelaki itu tidak melakukan kekerasan.
“Aku bisa jelasin. Aku kesepian.” Dewi lolos menjawab itu seperti tidak ada beban sama sekali.
“Kalau begitu kamu bukan wanita baik-baik dan saya menyesal menikah denganmu,” sahut Rino melerai pegangannya dan melewati Dewi. Berderap keluar rumah.
Dewi terhenyak dan dia terduduk lesu menyesal karena telah menghianati kepercayaan Rino.
Sementara itu Rino mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Marah dan kecewa menjadi satu. Harusnya ini hari saling merajut kerinduan, tetapi yang dia dapati adalah penghianatan.
Lelaki itu menghentikan mobilnya di tepi jalan. Tempat itu sangat sepi hanya pohon-pohon tinggi menjulang memanjakan mata. Rino sengaja datang ke taman tersebut untuk menenangkan pikiran yang kalut. Dia turun dari mobil dan melangkah lebar masuk ke taman dan mendekati danau.
Tangan lelaki itu terulur mengambil batu dan merutuk diri sendiri karena tidak bisa menjadi suami yang baik. Bisa-bisanya Dewi selingkuh hanya dengan alasan karena kesepian.
Sungguh klise sekali jika perceraian terjadi karena satu kata yaitu kesepian.
“Saya kurang apa, Dewwiiiiii?!!!” teriak Rino sekencang-kencangnya meluapkan emosi yang bergemuruh di dada.
Dia terduduk menyentuh tanah dan membeku seraya mendongak ke langit merutuki wanita yang disayanginya memberikan sejuta kekecewaan. Sorot matanya menajam.
Dua minggu kemudian.Lelaki berperawakan tinggi itu berdiri di depan rumah bercat putih tulang. Lalu dia melanjutkan langkahnya. Setelah masuk ke rumah yang berdesain Eropa tampak Raffi Suradin---kakek Rino melempar senyum lebar sudah duduk di kursi. Kedatangan Rino memang sudah ditunggu sedari tadi.“Kau yakin mau bercerai?” tanya Raffi yang sudah tahu kabar itu dari pengacara keluarga.“Iya, Kek,” jawab Rino menyulam senyum penuh keyakinan.“Tapi, Dewi itu adalah amanat dari ibumu. Apakah kamu tak akan memberikan kesempatan kedua untuknya?” tukas Raffi yang mengingatkan bahwasanya pernikahan Dewi dan Rino adalah sesuai permintaan Dahlia---ibu Rino sudah meninggal.“Kek, saya sudah menunaikan amanat itu menikah dengan Dewi. Lantas jika salah satu dari kami yang salah, maka tak ada ampunan lagi atau tak ada kesempatan kedua,” hardik Rino tegas.“Ibumu baru meninggal satu tahun. Tapi, rasa
“Bagaimana keadaan kakek saya?” tanya Rino melihat Raffi terbaring di tempat tidur dengan ukuran king size.“Rino, kakekmu mengalami serangan jantung. Untungnya segera ditangani dan saya kebetulan ada di tempat yang sama dengan Pak Raffi.” Dokter yang usianya kepala tiga menjadi dokter pribadi Raffi yang mempunyai penyakit jantung dan darah tinggi.Rino mengembuskan napas lega mendengar kondisi sang kakek yang baik. Dia sempat berpikir aneh-aneh saat di mobil. Tidak terbayang jika dia harus kehilangan Raffi. Lelaki itu sangat menyayangi kakeknya. Kemudian Rino duduk di tepi ranjang dan mengusap wajah Raffi begitu lembut.“Rino,” lirih Raffi sembari membuka matanya perlahan.“Kakek, istirahat dulu. Kenapa Kakek harus datang ke acara pembukaan lukisan yang ada di Kemang?” dumel Rino menatap sendu lelaki berambut putih tersebut.“Kakek suka seni.”“Kondisi Kakek harus diperhatika
Di tepi jalan-jalan, banyak ditanami pohon-pohon menjulang tinggi memanjakan mata, seperti pohon pinus yang berfungsi sebagai penyerapan air ketika musim hujan. Di pagi hari udara di daerah pegunungan itu sangat dingin sekali. Udara di sana masih bersih dan segar. Lelaki berhidung bangir itu berdiri di tepi jalan dan ia mengembuskan napas panjang. Satu lolos kata yang keluar dari mulut Rino adalah kata sejuk karena belum banyak bercampur dengan polusi. Bahkan embun dan kabut masih menutupi hijaunya daun-daun. Suara burung burung yang berkicau terdengar sangat indah bak menyambut kedatangan Rino. Iya, lelaki itu sengaja pergi dari rumah pagi-pagi buta tanpa sepengetahuan sang kakek. Pemandangan alam yang indah, sejauh mata memandang tampak terdapat gunung yang tinggi, besar, dan biru. senyum lelaki terbit melihat pemandangan pedesaan. Sungguh jauh berbeda dengan di kota. Lalu-lalang kendaraan dan gedung-gedung tinggi. Kini yang Rino lihat sepanjang perjalanan adalah p
PerselisihanKedatangan Rino di kampung Sukasari itu menjadi buah bibir para gadis yang terpesona oleh ketampanan dan kegagahan Rino saat lelaki itu dibawa jalan-jalan ke pasar malam oleh Tomi.Suasana di tempat itu ramai. Riuh orang-orang berjalan lalu-lalang. Bianglala pun menjadi magnet bagi yang baru datang ditambah dengan lampu-lampu warna-warni bak pelangi mengundang decak kagum. Banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya untuk mencari sesuap nasi. Rino menyisir setiap sudut pasar malam yang selalu ada di malam minggu. Dia mengulas senyum saat melihat anak-anak raut wajahnya terpancar sumringah bermain riang karena permainan di pasar malam itu beraneka ragam.Tomi meminta Rino agar menunggunya di dekat bianglala karena Tomi ada kepentingan mendadak panggilan alam. Maka lelaki berhidung bangir itu berdiri bergeming sembari melihat orang-orang berpasangan naik bianglala.Namun, tiba-tiba seseorang meneriakinya maling. Sontak Rino terkesiap d
"Argghhhhhhh, diam. Jangan bohong." Wulandari memelotot sembari memukul lengan Rino oleh sapu. "Hayo, ngaku!!" lanjutnya cerocos.Suara Wulandari yang cempreng membuat Tomi terbangun dan lelaki itu terkesiap terkejut melihat Rino yang sedang dipukuli oleh Wulandari, lekas lelaki itu berlari kecil menjadi penengah meraih sapu yang hendak melayang ke lengan Rino.Rino berdiri bergeming tanpa protes atau pun melawan. Mata lelaki tersebut menajam ke arah Arunika. Sorot tatapannya penuh kebencian. Bisa-bisanya Wulandari menuduh Rino menghamili Arunika.Bahkan Rino tidak mengindahkan ucapan Tomi, dia lebih fokus menatap nyalang Arunika yang menunduk sambil meremas-remas baju. Sampai Tomi menepuk pundak Rino dan lelaki tersebut melirik sekilas kepada sang sahabat."Saya tak menghamili Arunika," ucapnya tegas."Tuh, Ibu Wulandari. Kalau ngomong itu dijaga jangan seperti petasan itu mulut
Punya Saingan“Buka saja,” ucap Sri melempar senyum manis dan rambut pirangnya yang kerap kali dikucir satu, kini digerai. Biasanya pun pakaian Sri kemeja atau kaus serta memakai celana levis atau celan pendek. Namun, kini Rino sedikit tercengang melihat perubahan Sri yang menjadi feminim memakai rok selutut dan baju atasan. Gadis itu baru pulang main dari rumah temannya.Rino mengulum senyum tipis ketika membaca surat undangan tersebut. Inisialnya bukan A nama calon pengantin perempuannya, dia menghela napas lega sembari menatap teduh Sri.“Maksudmu berikan undangan ini apa?” tanya Rino mengernyit.“Om, mau nggak temenin Sri ke undangan sebagai pasangannya,” jawab gadis itu tanpa basa-basi langsung mengajak Rino.Sri kerap kali memanggil Rino dengan sebutan Om, entah kenapa Sri pun merasa nyaman bila berada di dekat Rino dan gara-gara Rino pun gadis tersebut ingin merubah penampilannya. Makanya hari ini penampil
Perjuangan PertamaSri memegangi lengan Rino begitu erat. Gadis itu sesekali berteriak sekencang-kencangnya saking kagetnya melihat penghuni rumah hantu. Meski sudah tahu jika itu manusia yang berpura-pura menjadi manusia, tetapi tetap saja bisa membuat jantung Sri dan Rino mencelos dari tempatnya. Rino memasang wajah datar tidak tampak ketakutan hanya terkejut bila tiba-tiba muncul hantu tanpa muncul di depannya.Tiga puluh menit mereka berdua belum menemukan pintu keluar masih berkeliling mencari pintu karena banyak gangguan dari penghuni rumah hantu itu yang menggoda.Brugh!!Rino seperti menabrak punggung seseorang karena sudah masuk ke area zona gelap, tantangan terakhir agar menemukan pintu keluar.“Argh, siapa kamu?” bentak suara wanita yang sudah tidak asing lagi bagi Rino.“Arunika,” tegur Rino lembut.“Kakak,” sambung Sri sambil tangannya mengibas seakan mencari sosok sang kakak.&l
Pukul sebelas siang. Rino baru turun dari mobil sudah menjadi sorotan orang banyak. Apalagi saat ini Sri menggandeng tangan lelaki itu sambil menampilkan barisan gigi putihnya. Mereka berdua berjalan bersisian memasuki area resepsi pernikahan. Rino memasang wajah semanis mungkin agar Sri bahagia. Hari ini dia benar-benar harus berakting menjadi pacar sehari gadis tersebut.Sri mengajak Rino untuk menaiki panggung pelaminan dan mereka mengucapkan selamat bahagia kepada pasangan pengantin yang berbahagia.“Mateng, nih,” sapa pengantin wanita melempar senyum kepada Sri.“Bukan mateng lagi. Ini namanya rezeki nomplok,” balas Sri terkekeh kecil sembari menggelayut mesra di bahu Rino, menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Sri tidak peduli dengan penilaian orang atau teman-temannya yang penting dapat membawa pasangan tampan dan mapan itu yang ingin ditonjolkan oleh Sri agar teman-temannya tidak mengejek jika gadis itu kelamaan menjadi jomlo
Jantung Talita seakan mencelos dari tempatnya seketika itu juga tubuhnya mendadak bergemetar hebat."Maksudmu apa?" tanya balik Talita."Mau jujur nggak?" Tantang Rino menatap lekat manik mata Talita.Atmosfer di ruangan tersebut terasa sangat menegangkan. Bahkan, butiran keringat mendadak berjatuhan dari wajah Talita. Wanita itu pun menghela napas berat sembari memilin rambut hanya sekadar untuk menghilangkan rasa groginya.Ruangan AC itu tak membuat Talita merasa sejuk. Tatapan Rino semakin menyelisik dalam seakan masuk ke dalam jendela hati Talita."Aku mau jujur," jawab Talita tersenyum getir. Lalu dia pun menarik tangan Rino dan diarahkan ke dadanya."Di sini ada Arunika. Apakah kamu marah padaku? Jika aku hidup karena kebaikan Arunika."Hening.Rino mengurai pegangan tangan Talita. Sorot mata lelaki itu berubah setajam silet. Seakan menyayat hati Talita. Usai berbicara jujur. Talita menundukkan wajahnya tak berani menatap
"Tapi, jika kamu tahu kalau aku mempunyai----" Talita menghentikan ucapannya. Dia menunduk sedih. Tak sanggup untuk jujur."Kenapa?" Rino pun mengangkat wajah Talita. "Lihat saya. Kamu mau bicara apa? Katakan saja.""Anu--it--u so--al." Talita terbata-bata. Dia tak mampu melanjutkan ucapannya lagi. Rasanya dadanya terasa sesak. Akan tetapi, raut wajah Rino meneduhkan tak ada sama sekali amarah yang terpancar dari wajah Rino karena Talita tak melanjutkan ucapannya.Tangan lelaki itu pun meraup wajah Talita dan kembali menyerang wanita itu dengan ciuman bertubi-tubi. Namun, Talita melepaskan pagutan liar dari Rino."Aku capek," ucapnya beralasan. Talita pun langsung memunggungi Rino."Kamu kenapa? Kalau ada sesuatu yang mau dibicarakan katakan saja," urai Rino sambil memeluk pinggang Talita dari belakang.Bibir wanita itu mengatup rapat dan matanya berusaha terpejam. Deguban jantungnya cepat seolah sedang lari maraton. Kendatipun d
Lelaki itu terus melayangkan tinju kepada Rino. Untungnya lelaki berhidung bangir itu mampu menangkis semua serangan dari lawannya.Lalu kali ini giliran Rino menyerang. Dia layangkan tendangan bebas untuk lelaki berjaket hitam kulit. Rino adu jotos dengan preman yang menghadang perjalanannya."Jauhi istri gue!" bentak lelaki yang tiba-tiba muncul sambil turun dari motor."Kamu, jadi ini anak buahmu.""Iya, jangan macam-macam. Apalagi dekat sama istri gue!""Maaf, saya tak bermaksud untuk ikut campur urusan dengan rumah tangga Gisel. Tapi, yang kamu lakukan itu sudah berlebihan.""Sial, banyak ngomong!" tukas suami Gisel sambil menodongkan pisau kepada Rino.Melihat pisau di depan mukanya. Tak membuat nyali Rino menciut. Maka dia pun lekas menepis pisau itu, hingga terjatuh ke sembarang arah."Seraaaaang!" titah suami Gisel.Dua preman itu pun langsung menyerang Rino dengan membabi-buta. Untungnya Rino jago bela di
Gisel berlari sekencang mungkin. Dia menghindar dari kejaran orang yang menagih hutang suaminya. Sungguh malang nasib Gisel. Pasca tak bersama lagi dengan Rino dan wanita itu dibawa berobat agar tak depresi memikirkan Rino. Namun sayangnya, saat di tempat penyembuhan Gisel bertemu dengan lelaki yang salah berpura-pura mencintai wanita itu. Padahal hanya ingin menumpang hidup enak di keluarga Gisel.Wanita berhijab itu pun merasa jika suaminya mempunyai niat terselubung menikahinya. Akhirnya, Gisel memutuskan untuk pergi dari rumah dari zona nyaman tak meminta materi dari kedua orangtuanya. Berharap hidup berdua mengontrak akan membuat suami Gisel sadar agar menjadi sosok lelaki dan suami yang tanggung jawab mau bekerja. Ini justru gila judi dan pemain wanita.Ini adalah titik di mana Gisel sudah muak diteror oleh banyak preman yang menagih hutang suaminya. Bahkan, saat ini Gisel dikejar oleh lelaki berusia lima puluh rintenir yang menginginkan Gisel menjadi istri kelim
"Pagi," sapa Rino seraya melempar senyum.Namun, tak diindahkan oleh Talita. Wanita itu sibuk menyiapkan sarapan di atas meja. Lisna sudah duduk manis sembari menonton ponsel."Hari ini lagi ada yang marah?" sindir Rino.Mau marah bagaimana coba? Kalau menjadi posisi Talita, pasti marah karena di saat mau ke puncak kenikmatan. Justru yang disebut oleh Rino nama wanita lain."Hemmmm." Talita berdeham."Siapa, Om?" tanya Lisna sembari mendongak."Itu Bundamu yang cantik," jawab Rino sambil menarik kursi. Dia duduk di samping Lisna."Aku cuma nyuapin nasi goreng. Kamu mau makan nasgor atau roti?" tanya Talita datar."Nggak apa-apa sama nasgor saja," balas Rini sembari mengulum senyum simpul.Lantas Talita langsung menaruh nasi goreng di piring Rino. Lelaki itu menatap nanar Talita."Terima kasih," ucapnya.Namun, Talita tak mengindahkan ucapan Rino. Wanita tersebut kembali menyelesaikan cucian yang
"Mau tahu banget?" ejek Rino sambil menyetir mobil."Terima kasih, yah. Sudah mau menolongku.""Ini sudah berapa kali kamu bilang seperti itu."Talita pun tersenyum simpul. Pipinya merona memerah seketika itu juga di saat Rino mulai mau berdialog hangat dengannya. Sebagai mengalihkan pembicaraan. Lantas Talita kembali melontarkan tanya tentang cara Rino dapat berhasil masuk ke apartemen Wiro.Ternyata Rino sudah mempunyai jadwal yang di mana Wiro akan melakukan bisnis kotor yang tersambung dengan para wanita. Lelaki itu mendapatkan kabar itu dari salah satu kolega Wiro adalah kolega Rino juga dengan memberikan uang yang nominalnya cukup besar. Makanya, Rino dapat masuk ke acara Wiro di pesta topeng bersama beberapa polisi. Iya, lelaki itu telah melaporkan kehilangan Talita.Mencerna cerita dari Rino. Talita manggut-manggut dan mengulum senyum tipis. Dia tak menyangka bahwa lelaki itu mau menolongnya.Jalanan lengang. Sorot lampu jalanan menj
Wiro penyuka wanita cantik yang untuk didekati lalu dijual ke teman-teman kolega kerjanya sebagai bentuk kerja sama agar terhubung dengan baik. Memiliki ketampanan dan kemampuan merayu. Siapa yang tak akan jatuh ke pelukan Wiro kecuali Talita yang tak mudah jatuh termakan rayuan gombal maut Wiro. Begitulah yang dicerna oleh Talita saat mendengar cerita dari wanita yang duduk di depannya. Menceritakan awal pertemuannya dengan Wiro, dengan iming-iming akan dinikahi dan diberi mobil. Akan tetapi, ternyata justru wanita-wanita itu dijebak oleh Wiro untuk dijual."Dasar bedeebah," ucap Talita yang geram mendenga cerita itu."Lalu bagaimana ini? Kita tak bisa kabur dari sini. Teman kita pasti sudah digrepek sama laki-laki tua bangka," kilah salah satu wanita yang sudah memakai baju tidur sexi sesuai permintaan Wiro.Talita tertegun dan dia berusaha berpikir tenang. Agar dapat keluar dari kamar apartemen Wiro. Dia pun tak mau dijual. Suasana menjadi hening.
"Kamu mau bawa aku ke mana?!" pekik Talita berontak melawan.Wiro terus menarik paksa tangan Talita. Dia tak peduli pekikan Talita. Sampai wanita itu dipaksa masuk ke dalam mobil."Diam, ikut saja. Jangan melawan. Jika tidak anakmu akan jadi korbannya!" sentak Wiro."Jangan macam-macam. Jangan pernah sentuh Lisna." Talita memelotot. Dia pun harus mematuhi perintah Wiro. Akhirnya, Talita duduk tenang di belakang sambil meremas-remas buku-buku jarinya sendiri. Bahkan, dia sudah tak peduli lagi dengan dirinya sendiri yang penting Wiro tak menyakiti Lisna.Perjalanan mereka hampir satu jam. Tiba di tempat tujuan. Talita terbelalak saat turun dari mobil. Gedung pencakar langit di depan mata dan dia pun menelan ludah untuk menilimisir rasa takutnya. Wiro benar-benar mengintimidasinya, sampai Talita diam seribu bahasa saat tangannya digandeng oleh Wiro."Pokoknya kamu patuhi apa yang saya perintahkan."Talita mengangguk pelan dengan raut wajah send
"Kamu berani sama saya!" bentak Wiro.Talita terhuyung limbung jatuh ke lantai. Dia meringis kesakitan. Wiro menyeringai iblis tatapannya seolah-olah ingin menelaanjangi Talita.Lantas tangannya terulur mencengkram erat lengan Talita. "Malam ini kamu akan menjadi milik saya," bisik Wiro."Lepaasssssin aku!" Talita berontak melawan dengan susah payah. Namun, memang tenaga Wiro lebih kuat. Maka Talita tak bisa melawan. Wanita itu didorong ke kasur sampai Talita meringis menahan sakit.Saking kasarnya Wiro memperlakukan Talita. Terbit senyum jahat dari bibir Wiro. Lelaki mengerlingkan mata dan merayap naik ke ranjang.Sontak Talita beringsut mundur menghindari dengan tatapan sendu dan tampak ketakutan sekali.Wiro mendekati dan tangannya sudah menangkap tangan Talita. "Diam saja. Tinggal nikmati jangan berontak."Tiba-tiba terdengar suara bariton mengetuk pintu. Siapa lagi jika bukan teman Wiro. Maka lelaki tersebut mengurungkan niatnya