“Tipe gue oke ngga, Bang?”Devan menengok, menatap Gio yang juga sedang menatapnya dengan senyuman lebar juga kedua alisnya yang dinaik turunkan setelah mengajukan pertanyaannya.“Hm.”“Cantik banget Sarah—”“Sudah sedekat itukah kalian sampai kamu tidak memanggil Sarah dengan sebutan Mba—dia lebih tua dari kamu ‘kan,” ucap Devan, kembali menyuapkan potongan daging ke dalam mulutnya.“Sarah ngga mau dipanggil Mba sama gue.”Devan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Seleramu perempuan yang umurnya lebih tua, kenapa?”“Wih! Sejak kapan Pak Devan tertarik sama urusan percintaan saya?” Gio bertanya, sembari mengulum bibirnya agar dia tidak tersenyum.“Saya hanya ingin tahu saja, ada masalah?” tanya Devan bertanya dengan delikan tajamnya menatap Gio.“Hehehe... ngga sih, Bang,” jawab Gio sambil terkekeh pelan, ciut jika ditatap begitu oleh Kakak sepupunya.“Kamu cenderung memilih sifat submissive dalam hubungan percintaan?”“Ohok—ohok! Uhh!” Gio terbatuk hebat mendengar pertanyaan Devan, memb
Alif—Devan ingat dengan jelas siapa lelaki itu. Salah satu mahasiswa yang pernah dia ajar di kelasnya, melamar Disya tepat di hadapannya waktu itu—tidak mengajak Disya untuk menjalin hubungan hanya sekedar pacaran saja, tetapi langsung mengajak Disya untuk menikah. Luar biasa bukan? Kembali bertemu setelah sekian lama di sekolah Kai waktu itu, lelaki itu jelas masih terlihat menyukai Disya, walaupun Alif sudah mengetahui tentang hubungannya dengan Disya, tetapi sepertinya hal itu sama sekali tidak ada masalah untuk Alif. Tidak berubah—Alif masih menyukai Disya. Secara tidak terduga Kai juga memutuskan untuk tinggal di rumahnya, tidak tinggal dengan Disya lagi. Alif kembali, dan juga Kai yang memutuskan untuk tinggal di rumahnya lagi membuat Devan semakin yakin untuk melepaskan Disya. Dia tahu Disya mencintainya, tetapi mereka memang tidak akan pernah bisa bersama lagi. Maka dari itu dia kembali bersikap seolah acuh dan dingin kepada Disya, meyuruh Disya membuka hati untuk Alif. Te
“Akhir-akhir ini muka lo kusut banget, kalau sakit istirahat aja dah.” Alif menengok sekejap, lalu kembali fokus dengan kameranya, melihat beberapa hasil jepretan sebuah produk yang sedang dikerjakannya. Dio yang tidak mendapatkan jawaban apapun dari Alif membuatnya mendengkus kesal. Menutup laptopnya, lalu berdiri melangkah ke luar dari ruangan itu. “Makan di luar yu!” ajaknya tanpa menunggu jawaban dari Alif dulu sebelumnya. Memilih sebuah restoran padang yang berada tidak jauh dari studio mereka, hanya dipisahkan oleh tiga bangunan yang berada di samping kanan studio mereka. Dio dan Alif berjalan beriringan menuju tempat itu, tidak ada obrolan dari keduanya hingga sampai di sana. “Kenapa?” tanya Dio memulai obrolan. “Disya pergi, dia bahkan bilang sama gue buat berhenti cinta sama dia. Gue fine fine aja kok kalau harus nunggu, tapi Disya sendiri yang nyuruh gue buat berhenti nunggu.” Pada akhirnya Alif menceritakan kegundahan hatinya selama beberapa hari ini kepada Dio. Dio m
Menatap ke luar jendela mobil untuk melihat jalanan lalu lintas yang dipadati banyak pengendari roda empat maupun roda tiga, bahkan tidak sedikit kendaraan besar ikut serta memadati jalanan. Disya baru tiba di bandara beberapa menit yang lalu. Dijemput Kakak lelakinya—awalnya Disya juga heran kenapa Samudra mengabari jika dia yang akan menjemputnya di bandara, karena setahunya Kakaknya kini tinggal di Bandung setelah menikah. Bahkan ketika keberangkatannya ke Jogja hari itu merupakan keberangkatan Samudra dan Naya juga ke Bandung. Tidak terlalu banyak mengobrol di dalam mobil, wajah Samudra terlihat sangat lelah, bahkan suasana sangat hening di dalam mobil. Samudra yang fokus dengan kemudinya, dan Disya memilih untuk menatap ke luar jendela. Disya juga sadar diri ia telah membuat kesalahan dengan tidak menceritakan tentang alasannya pergi dari rumah dan memilih tinggal di Jogja bersama Nenek dan Kakeknya. Semalam ketika Bundanya menelepon, Bundanya hanya meminta Disya untuk datang
Saat sarapan pagi itu, Kai meminta ijin kepada Devan untuk ikut bersama Husein dan Maya mengunjungi kediaman Samudra dan Naya di Bandung. Tentu saja Devan memberi ijin, akhir-akhir ini Kai pasti kesepian sekali, tidak ada Disya juga Naya—walaupun banyak bertengkar dengan Naya, tetapi tetap saja Kai pasti merindukan Auntynya itu. Pukul lima sore mereka akan berangkat ke Bandung, menunggu Husein selesai dengan pekerjaannya—informasi itu yang Devan dapat, tetapi semuanya tidak sesuai rencana, butuh waktu lebih lama dari itu untuk menunggu Husein kembali ke rumah. Pada akhirnya tepat pukul delapan malam mereka baru memulai perjalanannya menuju ke Bandung. Devan awalnya juga menyarankan untuk besok pagi saja berangkatnya, tetapi sarannya tidak didengar dengan alasan jarak kota Bandung tidak sejauh itu dari kotanya. Mereka pergi mengendarai mobil yang dikendarai oleh Husein malam itu, lelaki paruh baya itu tidak membuat kesalahan saat mengemudi, tetapi takdir siapa yang tahu 'kan? Seb
Butuh waktu untuk ke luar dari rasa terpuruk karena duka mendalam. Disya masih merasa bersedih, kehilangan, menyesal, atas kepergian ketiga orang yang sudah menjadi bagian tersendiri di hidupnya. Husein, Maya, dan terlebih Kai—bolehkah waktu diputar kembali? Disya ingin memperbaiki hubungannya dengan Kai yang beberapa Minggu lalu renggang. "Bunda... Kai maafin Disya ngga ya?" Entah sudah berapa kali pertanyaan itu diajukkan kepada Dina beberapa hari ini. Tidak ada jawaban selain senyuman kecil dibarengi anggukkan kepala dari Dina untuk pertanyaan putrinya. "Nanti kalau kamu sedih terus Kai juga bakalan sedih di sana Sya.... sudah ya, coba ikhlaskan. Setiap yang bernyawa pasti akan kembali kepada pencipta-Nya." Disya kembali mengeratkan pelukannya di tubuh Dina, matanya sembab, sudah hampir satu Minggu, tetapi Disya masih sering menangis. "Bunda...," sapa seseorang yang sangat jelas sekali siapa pemilik suara itu. Dina dan Disya yang sedang berpelukan di halaman samping m
Disya, Fani, juga Alya saling menatap satu sama lain ketika mobil yang jelas mereka hapal betul siapa pemiliknya berhenti tepat di depan pelataran lobby pintu masuk mall. Si pemilik ke luar dari mobil dengan senyuman hangat yang menghiasi bibirnya, maniknya fokus menatap salah satu dari mereka. "Hai!" "Aku bilang ngga usah jemput kan," kata Yumna menatap Dio yang sudah mengambil alih beberapa paper bag miliknya. "Ngga papa, sekalian lewat tadi...." Disya ikut menampilkan senyum melihat interaksi Dio dan Yumna, begitu juga dengan Fani dan Alya yang terlihat senyum mesem-mesem. Dio baru menampilkan senyum sapaan kepada Disya, Fani dan Alya setelah selesai menyapa Yumna. "Sekalian lewat atau sekalian lewat?" tanya Alya dengan nada tengil yang dibuat-buat. Jelas sekali itu adalah alasan klise yang dibuat oleh Dio. Dio menanggapinya hanya dengen kekehan pelan. "Yumna balik sama gue ya," katanya. "Monggo dibawa saja, Mas," jawab Alya masih sambil terkekeh pelan. Fani, Alya
Duduk setengah berbaring di atas karpet dengan alas tumpukan beberapa selimut bedcover yang menjadi satu, punggungnya bersandar di sofa, Devan memperhatikan kuku jari jemarinya yang sedang dipotong oleh Disya. "Sini Disya potongin kukunya, udah pada panjang itu." Hanya kalimat itu yang sebelumnya diucap oleh Disya, dan Devan menjawab dengan anggukkan kepala mengiyakan. Sudah, tidak ada obrolan lagi setelahnya, keduanya sama-sama terdiam. Hampir tiga Minggu keduanya tidak bertemu bahkan berkomunikasi, tentu saja ada rasa canggung berada dalam situasi ini, apalagi ketika mengingat pertemuan terakhir keduanya yang bisa dibilang tidak baik sama sekali. "Sudah malam, Pak Devan harus istirahat. Semoga besok lebih mendingan ya sakitnya," kata Disya setelah selesai dengan kegiatan memotong kuku Devan. Devan mengangguk pelan lalu berkata, "Terimakasih." "Pak Devan beneran ngga mau tidur di kamar tamu aja?" tanya Disya kembali memastikan. "Saya ingin tidur di kamar saya—" "Tapi Pa
Devan tidak berhenti memperhatikan wajah istrinya yang sudah terlelap tidur setengah jam yang lalu, mengusap sisa peluh yang membasahi kening istrinya dengan lembut—entah itu karena kegiatan bercinta sebelumnya, atau memang suhu di ruangan yang memang cukup panas karena pendingin ruangan di dalam sini tidak terlalu berfungsi. Devan juga kegerahan sebenarnya, sedari tadi matanya tidak kunjung mau terpejam. Menyunggingkan senyum ketika mengingat kegiatan keduanya, mereka belum pernah bercinta menggunakan alat kontrasepsi, pengalaman baru, dan itu berakhir begitu saja, baik Devan dan Disya setuju tidak menyukainya. Segala sesuatu tentang Disya selalu membuat Devan candu—semuanya, tidak akan pernah membuatnya bosan. Devan begitu sangat mencintai istri kecilnya itu. Mencium kening Disya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari atas kasur, lelaki itu memutuskan untuk ke luar dari kamar, berniat mencari udara segar karena demi Tuhan di dalam kamar menurutnya sumpek sekali. "B
Hening Mungkin bisa menggambarkan situasi di dalam mobil saat ini, tidak ada yang mengeluarkan suara seolah keempatnya punya dunia masing-masing—sebenarnya Disya dan Naya yang merasa tidak nyaman dengan situasi canggung ini, keduanya sudah mencoba mencairkan suasana, beberapa kali mencari topik obrolan, tetapi kedua lelaki di sana tidak terlalu menanggapi, yang satu sibuk dengan kemudinya, yang satu sibuk dengan i-Pad di tangannya. "Mumpung lagi lewat sini, ayo kita ke caffe Rainbow, aku kangen cakenya...," rengek Naya menyentuh lengan suaminya manja. "Sudah jam segini, nanti kamu pulang kemaleman. Abang kan sudah bilang kamu menginap saja di rumah untuk malam ini, tidak usah langsung berangkat ke Bandung." Devan yang menjawab, tidak memperbolehkan untuk mengunjungi caffe yang tadi disebut oleh adiknya. Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Kita aja nurutin kemauannya Bang Devan yang mau makan di restonya Bu Eliza ya!" "Kalian kan masih bingung ingin makan di mana, saya hanya meny
"Yakin tidak papa jika saya berangkat kerja, sayang?" tanya Devan, ini adalah pertanyaan kesekian yang lelaki itu berikan kepada istrinya. Yang semulanya Disya menjawab 'Tidak papa' perempuan itu kini menatap Devan dengan bibir yang ditekuk sembari menampilkan puppy eyesnya. "Kamu ingin saya tidak berangkat kerja?" Kali ini Disya mengangguk, merentangkan kedua tangannya meminta pelukan dari sang suami. Devan menyunggingkan senyum, menyimpan jasnya di atas sofa, lalu melangkah untuk duduk di tepi kasur, setelahnya memberikan pelukan kepada istrinya. "Manja sekali, sedang datang bulan, hm?" Disya menggeleng pelan dalam dekapan suaminya, lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya, bahkan mengusap rambut Disya lembut. Sedari tadi Disya belum menuruni kasur, perempuan itu sudah bangun tetapi memilih berdiam di kasur lengkap dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya. Devan sudah bertanya apakah dia boleh berangkat kerja, atau Disya ingin dirinya tetap di rumah menemani istrinya
Alif menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Layla di salah satu club malam, keduanya tertarik secara fisik satu sama lain sehingga terjadihal hal yang tidak diinginkan, apalagi keduanya dalam pengaruh alkohol malam itu, nafsu benar-benar menguasai mereka. Disya percaya? Tidak— Yang benar saja? Bisa jadi Alif hanya ingin menutupi kesalahan Samudra. Tidak masuk ke dalam apartemen yang ditinggali Layla, Disya memilih untuk pergi dari sana setelah Alif menjelaskan tentang Layla dan bayinya. Hatinya masih gundah. "Maaf menunggu lama sayang," kata Devan yang baru saja memasuki ruang kerjanya, tersenyum menatap sang istri, lalu melangkah menghampiri Disya yang sedang duduk di sofa seorang diri. Disya menatap Devan, memanyunkan bibirnya, bahkan maniknya sudah berkaca sekarang. "Kenapa, hm?" Perempuan itu menggeleng pelan, kedua tangannya terulur untuk meminta pelukan dari suaminya yang baru tiba setelah menyelesaikan meeting dengan beberapa pekerjanya. Disya memilih untuk me
Sekali lagi Devan memperhatikan wajah Disya, keningnya mengernyit seolah sedang menelisik wajah cantik itu yang tampak terlihat sendu—mendung, seperti cuaca di luar pagi ini. "Sya, kamu benar tidak apa-apa?" Kembali mengajukan pertanyaan yang jelas mendapatkan jawaban yang sama dari Disya— "Aku ngga papa, Pak Devan." Disya mendongak untuk menatap suaminya sambil tersenyum manis, lalu detik berikutnya kembali fokus pada kegiatannya yang sedang memasangkan dasi di leher sang suami. "Selesai!" ucap Disya menatap puas hasil tangannya, mengusap bagian pundak Devan dengan lembut. "Semoga hal-hal baik selalu menyertai Pak Devan, dan semua urusan Pak Devan hari ini dilancarkan." "Terimakasih sayang," balas Devan mengusap bagian atas kepala Disya, lalu memeluk tubuh perempuan itu. "Kamu berjanji akan menceritakan apapun yang kamu rasakan kepada saya, jangan memendamnya sendiri ya." Disya terkekeh pelan. "Pak Devan, Disya beneran ngga papa kok," jawabnya, perempuan itu tahu ini masih tentan
"Tokcer juga ya Pak Devan," ucap Fani menatap lembaran hasil USG milik Disya dengan senyuman lebar menghiasi bibirnya. "Iyalah tokcer! Kamu ngga lihat Pak Devan tuh aura-auranya hyper—" "Al!" Yumna menyenggol lengan Alya, memperingati agar ia berhati-hati dengan ucapannya. Tidak masalah jika hanya mereka berempat di sana, tetapi ini ada Bundanya Disya. Mengulum bibirnya, Alya menatap Dina lalu menampilkan cengiran tanpa dosa. "Maksud aku, Pak Devan auranya ganteng banget, Bun... hehehe." Dina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, lalu mengacak bagian atas rambut Alya dengan gemas. "Jadi, kalian mau langsung pulang atau bagaimana?" tanya Dina mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Masa langsung pulang sih, Bun. Makan dulu yuk!" ajak Fani. Alya, Yumna, dan Fani tadinya berniat untuk berkunjung ke rumah Disya, tetapi Disya memberi tahu jika ia sedang tidak ada di rumah, tanpa sengaja juga ia memberikan informasi jika sedang berada di salah satu rumah sakit—mereka yang jelas khawat
Tidak ada acara honeymoon dan sejenisnya. Disya menolak ketika Devan memberi pernyataan seperti ini—"Saya tidak masalah dengan tempat honeymoon yang akan kita kunjungi, terserah ke mana kamu ingin pergi, satu hal yang pasti, kita akan lebih banyak menghabiskan waktu di kasur nantinya." Disya menggeleng pelan mendengar jawaban Devan ketika ia bertanya tentang tujuan dan rencana keduanya untuk honeymoon sesuai saran dari kedua orangtuanya waktu itu. Toh belum ada tempat yang ingin Disya kunjungi, untuk saat ini memulai hidup baru dengan Devan saja sudah cukup baginya. Bangun pagi dengan posisi berada dalam pelukan Devan, lalu memasak untuk sarapan bersama, suaminya yang mengantarnya ke store sebelum berangkat bekerja, lalu pulang ke rumah bersama, memasak untuk makan malam, lalu berbagi cerita sebelum tidur—walaupun sebelumnya pasti akan melakukan hal 'itu' terlebih dahulu sebelum benar-benar tertidur, Disya tidak mengira Devan akan seperti seorang hyper, jangan mengira hanya sekali d
Disya mengerjapkan matanya perlahan, menatap jam yang sudah menunjukkan pukul satu siang, bukannya bangun dari tidurnya Disya malah semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Devan, semakin menyamankan posisi tidurnya. "Sudah siang sayang," ucap Devan mengecup bagian atas rambut Disya. "Disya lapar, tapi males bangun." "Delivery makanan, lagi?" "Boleh....." "Jangan junkfood ya, Sya. Kemarin kan sudah, jangan terlalu sering makan makanan seperti itu." Devan tetaplah Devan dengan ke-antiannya memakan junkfood—bukan anti sih, tetapi sangat menjaga pola makannya, masih sering memperingati Disya untuk mengurangi makanan yang tidak sehat. "Iya Pak Devan." Devan mengambil handphonenya yang berada di atas nakas, membuka salah satu aplikasi untuk memesan makanan secara online. Selama tiga hari ini, kedua pasangan pengantin baru itu sama sekali tidak meninggalkan rumah, bahkan lebih sering menghabiskan waktunya di kamar. Membeli makan secara online, Disya bahkan belum menyentuh are
"Untuk yang terakhir, say happy wedding!" "Happy Wedding!" Serempak semuanya menuruti perintah si fotografer diakhiri dengan foto gaya bebas. Pelaminan yang cukup panjang dan lebar itu rupanya tidak bisa menampung keseluruhan anggota kedua keluarga mempelai, ada beberapa anak muda yang berdiri di depan pelaminan untuk ikut masuk ke dalam foto keluarga. "Thankyou guys!" Selesai. Acara resepsi sudah selesai, para tamu undangan sudah meninggalkan area venue, menyisakkan keluarga besar kedua mempelai juga crew wedding yang akan membereskan area venue. "Capek, Sya?" tanya Dina menghampiri Disya yang sedang duduk di pelaminan, mencoba melepaskan heels yang dipakainya. Disya mendongak menatap Dina lalu menggeleng pelan dengan senyuman manis menghiasi bibirnya. "Saya kan sudah bilang lepas saja heelsnya kalau memang tidak nyaman...," ucap Devan yang sudah berlutut membantu Disya melepaskan heels yang sedaritadi dipakainya selama acara resepsi. "Padahal saya sudah menyuruh Sasya untuk me