Saat sarapan pagi itu, Kai meminta ijin kepada Devan untuk ikut bersama Husein dan Maya mengunjungi kediaman Samudra dan Naya di Bandung. Tentu saja Devan memberi ijin, akhir-akhir ini Kai pasti kesepian sekali, tidak ada Disya juga Naya—walaupun banyak bertengkar dengan Naya, tetapi tetap saja Kai pasti merindukan Auntynya itu. Pukul lima sore mereka akan berangkat ke Bandung, menunggu Husein selesai dengan pekerjaannya—informasi itu yang Devan dapat, tetapi semuanya tidak sesuai rencana, butuh waktu lebih lama dari itu untuk menunggu Husein kembali ke rumah. Pada akhirnya tepat pukul delapan malam mereka baru memulai perjalanannya menuju ke Bandung. Devan awalnya juga menyarankan untuk besok pagi saja berangkatnya, tetapi sarannya tidak didengar dengan alasan jarak kota Bandung tidak sejauh itu dari kotanya. Mereka pergi mengendarai mobil yang dikendarai oleh Husein malam itu, lelaki paruh baya itu tidak membuat kesalahan saat mengemudi, tetapi takdir siapa yang tahu 'kan? Seb
Butuh waktu untuk ke luar dari rasa terpuruk karena duka mendalam. Disya masih merasa bersedih, kehilangan, menyesal, atas kepergian ketiga orang yang sudah menjadi bagian tersendiri di hidupnya. Husein, Maya, dan terlebih Kai—bolehkah waktu diputar kembali? Disya ingin memperbaiki hubungannya dengan Kai yang beberapa Minggu lalu renggang. "Bunda... Kai maafin Disya ngga ya?" Entah sudah berapa kali pertanyaan itu diajukkan kepada Dina beberapa hari ini. Tidak ada jawaban selain senyuman kecil dibarengi anggukkan kepala dari Dina untuk pertanyaan putrinya. "Nanti kalau kamu sedih terus Kai juga bakalan sedih di sana Sya.... sudah ya, coba ikhlaskan. Setiap yang bernyawa pasti akan kembali kepada pencipta-Nya." Disya kembali mengeratkan pelukannya di tubuh Dina, matanya sembab, sudah hampir satu Minggu, tetapi Disya masih sering menangis. "Bunda...," sapa seseorang yang sangat jelas sekali siapa pemilik suara itu. Dina dan Disya yang sedang berpelukan di halaman samping m
Disya, Fani, juga Alya saling menatap satu sama lain ketika mobil yang jelas mereka hapal betul siapa pemiliknya berhenti tepat di depan pelataran lobby pintu masuk mall. Si pemilik ke luar dari mobil dengan senyuman hangat yang menghiasi bibirnya, maniknya fokus menatap salah satu dari mereka. "Hai!" "Aku bilang ngga usah jemput kan," kata Yumna menatap Dio yang sudah mengambil alih beberapa paper bag miliknya. "Ngga papa, sekalian lewat tadi...." Disya ikut menampilkan senyum melihat interaksi Dio dan Yumna, begitu juga dengan Fani dan Alya yang terlihat senyum mesem-mesem. Dio baru menampilkan senyum sapaan kepada Disya, Fani dan Alya setelah selesai menyapa Yumna. "Sekalian lewat atau sekalian lewat?" tanya Alya dengan nada tengil yang dibuat-buat. Jelas sekali itu adalah alasan klise yang dibuat oleh Dio. Dio menanggapinya hanya dengen kekehan pelan. "Yumna balik sama gue ya," katanya. "Monggo dibawa saja, Mas," jawab Alya masih sambil terkekeh pelan. Fani, Alya
Duduk setengah berbaring di atas karpet dengan alas tumpukan beberapa selimut bedcover yang menjadi satu, punggungnya bersandar di sofa, Devan memperhatikan kuku jari jemarinya yang sedang dipotong oleh Disya. "Sini Disya potongin kukunya, udah pada panjang itu." Hanya kalimat itu yang sebelumnya diucap oleh Disya, dan Devan menjawab dengan anggukkan kepala mengiyakan. Sudah, tidak ada obrolan lagi setelahnya, keduanya sama-sama terdiam. Hampir tiga Minggu keduanya tidak bertemu bahkan berkomunikasi, tentu saja ada rasa canggung berada dalam situasi ini, apalagi ketika mengingat pertemuan terakhir keduanya yang bisa dibilang tidak baik sama sekali. "Sudah malam, Pak Devan harus istirahat. Semoga besok lebih mendingan ya sakitnya," kata Disya setelah selesai dengan kegiatan memotong kuku Devan. Devan mengangguk pelan lalu berkata, "Terimakasih." "Pak Devan beneran ngga mau tidur di kamar tamu aja?" tanya Disya kembali memastikan. "Saya ingin tidur di kamar saya—" "Tapi Pa
Hening. Hanya ada suara detak jarum jam yang terdengar, menjelaskan situasi canggung saat ini. Disya mengulum bibir, kembali meremas pakainnya gugup, masih enggan menatap lelaki yang sedang duduk di sofa memperhatikannya dengan tatapan yang—entah sedang kesal atau bagaimana, Disya tidak bisa menebak karena sedari tadi lelaki itu juga hanya diam. "Saya salah, saya minta maaf," kata Devan memulai obrolan, memecah kesunyian yang sebelumnya tercipta. "Semalaman kalian bersama?" tanya Samudra dengan tatapan mengintimidasi, bersedekap dada, menatap Disya dan Devan yang masih duduk di atas alas tidur semalam. "Iya." Devan mengiyakan, lelaki itu jelas lebih bisa bersikap tenang jika dibandingkan dengan Disya yang tampak gelisah dalam duduknya. "Demi Tuhan kita ngga ngelakuin apapun, Bang Sam," ucap Disya menjelaskan. "Sya, Abang—" Disya menggeleng, kembali berbicara memotong cepat ucapan yang akan dilontarkan Kakak lelakinya. "Pak Devan sakit Bang, kasihan ngga ada yang nemenin di sin
Disya berjalan mondar-mandir di dalam kamar sembari memegang handphonenya, sesekali mengulum bibirnya yang tidak bisa menahan senyum sedari tadi. Masih memikirkan tentang ucapan Samudra, bukankah secara tidak langsung Samudra mengijinkan Devan ke rumah untuk melamarnya kembali? Itu artinya Samudra memberikan restu nantinya? Disya berniat untuk menghubungi Devan, tetapi masih ragu—ini sudah sangat larut malam, Devan baru pulih dari sakitnya, lelaki itu harus istirahat. Tapi Disya terlalu bersemangat sekarang, ingin memberitahukan tentang ini kepada Devan. Menggeleng pelan, menyimpan handphonenya di atas nakas samping tempat tidur, Disya memutuskan untuk menghubungi Devan besok. Ia harus menahan kegembiraannya ini untuk sementara. Pak Devan |Mari bertemu besok, Sya. Handphone yang sebelumnya tergeletak di atas nakas, secepat kilat sudah berpindah kembali berada di tangan Disya, senyumnya kembali merekah ketika membaca pesan dari Devan. Kemarin malam, keduanya menangis memb
Devan menyunggingkan senyum kecil ketika melihat wajah Disya yang memberengut sedih karena mendengar perkataannya. "Saya bercanda, Sya. Ayo...." Lelaki itu kembali mengusap bagian atas kepala Disya, mengajaknya untuk kembali melangkah memasuki caffe. Langsung memesan es krim kesukaannya, Disya sedang dalam mood yang baik hari ini. Bertemu Devan, dan es krim kesukaannya adalah perpaduan luar biasa. "Kenapa baru ke caffe ini lagi kalau memang kamu sangat menyukai salah satu menu es krim di sini, Sya?" tanya Devan mengusap bagian bibir Disya yang sedikit belepotan karena perempuan itu memakan es krimnya dengan sedikit tergesa. Tidak menjawab, Disya hanya menggelengkan kepala pelan sembari tetap melahap es krim miliknya. "Maaf ya." "Maaf buat apa?" "Saya menjadi alasan kamu tidak pernah ke caffe ini lagi." "Tapi Disya hari ini ke sini sama Pak Devan kan," jawab Disya sembari menampilkan senyumnya. Devan balas tersenyum, kembali mengusap bibir Disya yang belepotan karena s
Devan menatap gaun pengantin di depannya dengan binar bahagia. Semoga gaun itu tidak lama lagi hanya akan terpajang di balik etalase ruang wardrobe kamarnya saja, tetapi akan dipakai oleh Disya di acara pernikahannya nanti.Lelaki itu tersenyum, kembali menatap cermin untuk melihat penampilannya, membenarkan dasi yang sedikit miring lalu melangkah meninggalkan ruangan dengan jas yang tersampir di tangan.Pagi ini dia sudah ada janji menjemput Disya, mereka akan sarapan bersama, lalu mengantar Disya ke store, begitu juga dengan Devan yang akan menghadapi beberapa pekerjaan di kantor, dan.... malam harinya Devan akan menemui kedua orangtua Disya.Semoga hari ini berjalan baik."Selamat pagi Pak Devan...," sapa Disya tersenyum cerah ketika sudah berada di hadapan Devan."Selamat pagi, Queen...," balas Devan, tangan kanannya terulur untuk mengusap bagian atas rambut Disya lembut.Membukakan pintu mobil untuk Disya, setelahnya lelaki itu juga masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi.