Hening. Hanya ada suara detak jarum jam yang terdengar, menjelaskan situasi canggung saat ini. Disya mengulum bibir, kembali meremas pakainnya gugup, masih enggan menatap lelaki yang sedang duduk di sofa memperhatikannya dengan tatapan yang—entah sedang kesal atau bagaimana, Disya tidak bisa menebak karena sedari tadi lelaki itu juga hanya diam. "Saya salah, saya minta maaf," kata Devan memulai obrolan, memecah kesunyian yang sebelumnya tercipta. "Semalaman kalian bersama?" tanya Samudra dengan tatapan mengintimidasi, bersedekap dada, menatap Disya dan Devan yang masih duduk di atas alas tidur semalam. "Iya." Devan mengiyakan, lelaki itu jelas lebih bisa bersikap tenang jika dibandingkan dengan Disya yang tampak gelisah dalam duduknya. "Demi Tuhan kita ngga ngelakuin apapun, Bang Sam," ucap Disya menjelaskan. "Sya, Abang—" Disya menggeleng, kembali berbicara memotong cepat ucapan yang akan dilontarkan Kakak lelakinya. "Pak Devan sakit Bang, kasihan ngga ada yang nemenin di sin
Disya berjalan mondar-mandir di dalam kamar sembari memegang handphonenya, sesekali mengulum bibirnya yang tidak bisa menahan senyum sedari tadi. Masih memikirkan tentang ucapan Samudra, bukankah secara tidak langsung Samudra mengijinkan Devan ke rumah untuk melamarnya kembali? Itu artinya Samudra memberikan restu nantinya? Disya berniat untuk menghubungi Devan, tetapi masih ragu—ini sudah sangat larut malam, Devan baru pulih dari sakitnya, lelaki itu harus istirahat. Tapi Disya terlalu bersemangat sekarang, ingin memberitahukan tentang ini kepada Devan. Menggeleng pelan, menyimpan handphonenya di atas nakas samping tempat tidur, Disya memutuskan untuk menghubungi Devan besok. Ia harus menahan kegembiraannya ini untuk sementara. Pak Devan |Mari bertemu besok, Sya. Handphone yang sebelumnya tergeletak di atas nakas, secepat kilat sudah berpindah kembali berada di tangan Disya, senyumnya kembali merekah ketika membaca pesan dari Devan. Kemarin malam, keduanya menangis memb
Devan menyunggingkan senyum kecil ketika melihat wajah Disya yang memberengut sedih karena mendengar perkataannya. "Saya bercanda, Sya. Ayo...." Lelaki itu kembali mengusap bagian atas kepala Disya, mengajaknya untuk kembali melangkah memasuki caffe. Langsung memesan es krim kesukaannya, Disya sedang dalam mood yang baik hari ini. Bertemu Devan, dan es krim kesukaannya adalah perpaduan luar biasa. "Kenapa baru ke caffe ini lagi kalau memang kamu sangat menyukai salah satu menu es krim di sini, Sya?" tanya Devan mengusap bagian bibir Disya yang sedikit belepotan karena perempuan itu memakan es krimnya dengan sedikit tergesa. Tidak menjawab, Disya hanya menggelengkan kepala pelan sembari tetap melahap es krim miliknya. "Maaf ya." "Maaf buat apa?" "Saya menjadi alasan kamu tidak pernah ke caffe ini lagi." "Tapi Disya hari ini ke sini sama Pak Devan kan," jawab Disya sembari menampilkan senyumnya. Devan balas tersenyum, kembali mengusap bibir Disya yang belepotan karena s
Devan menatap gaun pengantin di depannya dengan binar bahagia. Semoga gaun itu tidak lama lagi hanya akan terpajang di balik etalase ruang wardrobe kamarnya saja, tetapi akan dipakai oleh Disya di acara pernikahannya nanti.Lelaki itu tersenyum, kembali menatap cermin untuk melihat penampilannya, membenarkan dasi yang sedikit miring lalu melangkah meninggalkan ruangan dengan jas yang tersampir di tangan.Pagi ini dia sudah ada janji menjemput Disya, mereka akan sarapan bersama, lalu mengantar Disya ke store, begitu juga dengan Devan yang akan menghadapi beberapa pekerjaan di kantor, dan.... malam harinya Devan akan menemui kedua orangtua Disya.Semoga hari ini berjalan baik."Selamat pagi Pak Devan...," sapa Disya tersenyum cerah ketika sudah berada di hadapan Devan."Selamat pagi, Queen...," balas Devan, tangan kanannya terulur untuk mengusap bagian atas rambut Disya lembut.Membukakan pintu mobil untuk Disya, setelahnya lelaki itu juga masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi.
"Kok ngga sama Bang Sam?" Disya bertanya ketika menyambut Naya di depan pintu rumah. Naya merentangkan kedua tangannya untuk berpelukan dengan Disya lalu menjawab pertanyaannya, "Dokter Sam ke rumah Mamah Gina katanya, mau nganterin pesenannya, aku minta dianterin dulu ke sini...." Disya mengangguk paham. Ia tidak tahu pasti bagaimana hubungan antara Gina juga Naya, tapi sepenglihatannya keduanya tidak terlalu akrab padahal berstatus sebagai mertua dan menantu. "Bang Devan udah pulang?" tanya Naya ketika keduanya sudah melangkah masuk ke dalam rumah. Disya mengangguk. "Udah, ada di halaman samping sama Ayah, lagi ngobrol urusan lelaki katanya." Naya mengangguk. "Btw, congrats ya untuk lamarannya! Akhirnya ya, Sya!" Naya merangkul lengan Disya dengan wajah gembira. "Semoga semuanya lancar sampai hari pernikahan." Disya mengusap punggung tangan Naya yang masih merangkulnya, mengangguk sembari tersenyum hangat. "Thanks, Nay." "Pak Devan lamar kamu di mana?" "Hmm... caffe
"Untuk yang terakhir, say happy wedding!" "Happy Wedding!" Serempak semuanya menuruti perintah si fotografer diakhiri dengan foto gaya bebas. Pelaminan yang cukup panjang dan lebar itu rupanya tidak bisa menampung keseluruhan anggota kedua keluarga mempelai, ada beberapa anak muda yang berdiri di depan pelaminan untuk ikut masuk ke dalam foto keluarga. "Thankyou guys!" Selesai. Acara resepsi sudah selesai, para tamu undangan sudah meninggalkan area venue, menyisakkan keluarga besar kedua mempelai juga crew wedding yang akan membereskan area venue. "Capek, Sya?" tanya Dina menghampiri Disya yang sedang duduk di pelaminan, mencoba melepaskan heels yang dipakainya. Disya mendongak menatap Dina lalu menggeleng pelan dengan senyuman manis menghiasi bibirnya. "Saya kan sudah bilang lepas saja heelsnya kalau memang tidak nyaman...," ucap Devan yang sudah berlutut membantu Disya melepaskan heels yang sedaritadi dipakainya selama acara resepsi. "Padahal saya sudah menyuruh Sasya untuk me
"Wah! Disya lo benar-benar luar biasa! Bisa buat seseorang kaya Bang Devan jadi bucin banget gini," komentar Gio yang baru saja membuka pintu kamar kakak sepupunya.Kamar luas dengan nuansa monokrom, hampir semua furniture dan segala pernak-pernik di dalamnya berwarna gelap. Namun, siapapun yang memasuki kamar ini pasti matanya akan langsung tertarik untuk menatap beberapa boneka yang ada di atas kasur. Warnanya bermacam ada pink, biru, purple—tentu saja warna-warna cerah seperti itu akan terlihat menonjol.Gio menggeleng-gelengkan kepalanya menatap sekitar, namun kakinya kembali melangkah menuju pintu yang akan mengantarkannya ke dalam ruang kerja Devan. Lelaki itu ditugaskan oleh Devan untuk mengambil map berwarna merah maroon di meja kerjanya.Gio mengeluarkan handphonenya, memotret kamar Devan sambil terkekeh lucu. "Ini kalau gue sebar di media bakal geger nih, seorang Devan Zayn Ganendra ngoleksi boneka-boneka warna pink di kamarnya...." Setelah selesai dengan kegiatan memotretny
Seluruh keluarga sudah mengetahui kabar perceraian Disya dan Devan—termasuk kelakukan gila Devan, serta rahasia yang pada akhirnya terkuak tentang siapa Ibu kandung Kai, pasalnya dulu Devan adalah lelaki yang sangat dingin, cuek, sama sekali seperti tidak tersentuh. Sepulangnya dari London, lelaki itu membawa seorang bocah yang diakui sebagai anak kandungnya, tapi Devan tidak pernah membicarakan tentang siapa dan bagaimana ibu kandung Kai sendiri.Devan itu tidak pernah mengenalkan seorang perempuan kepada keluarga besar. Disya adalah perempuan pertama yang Devan kenalkan sebagai istrinya, gadis itu juga baik, dan sudah akrab dengan keluarga besar Ganendra. Jadi, tentu saja mereka sangat menyayangkan jika mereka berpisah. Tapi... itu adalah konsekuensi yang Devan harus terima.Devan kembali menatap arlojinya, lalu menatap sekitar, menunggu kedatangan seseorang di Bandara. Senyumnya langsung merekah ketika kedua maniknya menemukan seseorang yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum