"Bunda...." Disya menyembulkan wajahnya dibalik pintu kamar, setelah sebelumnya mengetuk pintu."Ada apa sayang... sini masuk!"Disya melengkah masuk, dan duduk di tepi kasur tepat di samping Dina."Sedang apa, Bunda?"Dina terkekeh, perempuan itu menunjukkan layar ponselnya kepada Disya. "Kamu ingat Anton? Anak panti yang pernah kamu bilang menyebalkan dan sedikit tidak pintar itu—""Anton yang bodoh itu?""Sya?" Dina menatap putrinya memperingati, padahal ia sudah menggunakan bahasa yang lebih enak di dengar, tapi Disya malah berbicara seperti itu."Iya maaf... kenapa Anton?""Dia dapat nilai seratus di ulangan matematikanya, lihat dia meminjam handphone Mba Kanti buat kirim fotonya ke Bunda," jelas Dina menunjukkan foto yang dikirim oleh seseorang yang sedang dibicarakan.Disya menyunggingkan senyumnya. "Sepertinya ia sangat bekerja keras."Dina mengangguk. "Oh iya, ada apa sayang? Butuh sesuatu?" Dina bertanya tentang tujuan Disya yang datang ke kamarnya."Disya ijin pergi hari in
"Saya tidak pantas berjuang untuk kembali menjadikan kamu istri saya, Sya."Lelaki itu mengatakan dengan nada sangat lirih, menatap Disya yang sedari tadi hanya diam menundukkan wajahnya."Saya jahat sekali ya... bahkan harusnya saya tidak pantas berada di depan kamu saat ini.""Kamu pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik, yang lebih bisa menghargai dan mencintai kamu, yang paling penting lelaki itu harus bisa selalu membahagiakan kamu... selalu."Semangat juga tekad yang sangat berkobar ketika Diky dan Naisya menyemangatinya untuk mendapatkan kembali hati Disya, entah mengapa semakin ciut saja setiap harinya. Bayangan Disya yang menangis sesenggukkan di hadapannya, bayangan Disya yang menangis histeris di pelukan Dina sembari berbicara bahwa Disya ingin bercerai dengannya. Semuanya masih terekam jelas di kepala Devan, membayangkannya saja membuat denyut nyeri di dadanya. Itu lebih terasa menyakitkan dibanding saat Naisya meninggalkannya beberapa tahun silam."Saya tidak akan berju
Cinta itu buta?Sepertinya kalimat seperti itu sudah sering sekali di dengar atau dibaca oleh banyak orang. Kenapa bisa disebut seperti itu? Disya juga salah satu orang yang bertanya-tanya tentang itu.Yang ia tahu... Devan adalah seorang laki-laki yang berhasil bersemayam di hatinya. Kenapa? Jika ada yang bertanya seperti itu, Disya juga tidak mengerti.'Bukankah cinta juga tidak mengenal alasan apapun?'Benar. Kesalahan Devan memang tidak pantas untuk dimaafkan, lelaki itu sudah sangat jahat sedari awal, menjadikan Disya alat untuk balas dendam, namun ujung-ujungnya Disya yang disakiti, dan di selingkuhi. Bahkan, calon buah hati mereka pergi meninggalkan mereka tanpa diketahui kehadirannya sebelumnya.Harusnya Disya bisa membuka hati, mencari lelaki yang jauh lebih baik sebagai pengganti Devan. Namun, itu sangat sulit sekali. Disya hanya mencintai Devan."Pak Devan pelet Disya ya?"Devan yang baru selesai memarkirkan mobilnya di parkiran rumahnya, lansung mengalihkan pandangannya se
"Saya masuk saja ya, Sya?"Disya menggeleng dengan bibir yang dikerucutkan. "Antar Disya sampai di sini saja, Pak Devan langsung pulang saja ya....""Kamu tadi di jemput saya, Bunda juga sudah tahu kamu pergi dengan saya. Saya justru merasa tidak enak jika tidak berpamitan dengan Bunda."Lagi-lagi Disya menggeleng, tidak mengijinkan Devan untuk masuk ke dalam rumahnya. Saat ini, mereka berdua masih berada di dalam mobil, mobil milik Devan terparkir cukup jauh dari rumah Disya—terparkir tepat di rumah keempat dari sebelah kanan rumah Disya. Devan berniat untuk mengantar Disya sampai masuk ke dalam rumah, lelaki itu juga berniat akan menemui dulu kedua orangtua Disya dengan maksud menyapa dan sekedar basa-basi—maksudnya tidak mungkin 'kan Devan mengantar Disya tapi tidak ada omongan apapun kepada kedua orang tuanya?"Pak Devan pulang saja ya. Dan... tentang hubungan kita, bisa tidak jika kita merahasiakannya dulu?" Saat mengatakan kalimat itu, Disya menundukkan wajahnya dalam, dengan ja
"Mommy!" Kai berbinar ketika matanya menangkap sosok Disya yang sedang berjalan ke arah mobil yang ditumpanginya. Membuka pintu mobil, keluar dari dalam lalu berlari memeluk Disya."Selamat pagi sayang!" Disya mengelus kepala Kai lembut dengan senyum lebar yang menghiasi bibirnya."Pagi, Mom!""Sudah sarapan?" tanya Disya, menggandeng tangan Kai untuk kembali berjalan menuju ke mobil.Kai menggeleng. "Nanti kita ajak Daddy sarapan bubur ayam yang dekat sekolahan, Mom. Daddy belum pernah mencobanya."Disya mengangguk, lalu menatap Devan yang sedari tadi berdiri di samping badan mobil, memperhatikan interaksi Disya dan Kai dengan penampilan sudah rapih mengenakan kemeja berwarna hitam dipadukan celana bahan berwarna senada. Tampan, Disya selalu terpesona."Daddy harus mencicipi bubur ayam favorit kita, ya," kata Disya semangat sambil tersenyum menatap Devan."Tentu saja!" Kai menjawab.Mereka langsung masuk ke dalam mobil."Tidak ada yang mau duduk di samping Daddy?" Devan menengokkan w
Devan menengokkan wajahnya ke kiri dan ke kanan, memperhatikan sekitaran rumah. Setelah memastikan keadaan aman, tangan kanannya terangkat untuk mengetuk pintu kayu di depannya."Sya? Ini saya," kata Devan disela kegiatan mengetuk pintu rumah."Pak Devan. Masuk saja pintunya ngga dikunci," kata Disya dari dalam rumah dengan suara yang cukup kencang.Devan memegang handle pintu, membukanya perlahan. Benar, pintu tidak dikunci, lelaki itu langsung masuk ke dalam, mengendap-endap, menatap ke setiap penjuru rumah berlaga seperti seseorang yang akan mencuri saja. Tersadar dari gelagat aneh yang lelaki itu lakukan, Devan menegakkan tubuhnya, kembali memanggil Disya, "Sya?""Disya di kamar, Pak Devan masuk aja."Dengan langkah pasti Devan melangkahkan kakinya menuju ke kamar Disya. Sekitar tiga tahun yang lalu, Devan pernah mengunjungi rumah ini, tentu dia hafal di mana letak kamar Disya. Pintu kamarnya terbuka lebar, saat Devan baru melangkahkan kakinya di depan pintu, dia melihat Disya yan
"Setelah pulang dari sini, kita bisa menemui Bang Sam. Membicarakan tentang hubungan kita."Disya pada akhirnya mengatakan itu saat masih berada di Jogja di rumah nenek dan kakeknya. Sebelum membicarakan hubungan mereka kepada masing-masing kedua keluarga, Disya memutuskan membicarakannya kepada samudra terlebih dahulu. Setelah Samudra setuju, baru kedua keluarga akan diberi tahu.Devan jelas langsung setuju. Lelaki itu semangat sekali.Besok, Disya sudah ada janji dengan Samudra untuk bertemu. Katanya lelaki itu akan menjelaskan hubungannya dengan Naya. Itu bagus, setelah itu Disya akan menyuruh Devan untuk datang, dan mereka akan membicarakan tentang hubungan keduanya. Mereka butuh kejelasan dari hubungan mereka 'kan? Tidak mungkin mereka berdua akan terus bersembunyi seperti ini.Semoga Samudra akan mengerti, dan luluh.Omong-omong tentang hubungan Samudra dan Naya yang katanya sudah berakhir sejak lama, apakah Devan tidak akan terkejut mengetahuinya? Apakah benar sikap Disya yang
"Setelah pulang dari kantor Abang free ngga? Atau ada janji, atau ada urusan?" Naya sudah bergelayut manja melingkarkan tangannya di lengan Devan. Mereka sedang menuruni anak tangga menuju ke ruang makan untuk sarapan pagi tadi."Jam delapan sudah ada janji. Kenapa memangnya?" tanya Devan penasaran."Yah." Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Urusan pekerjaan?" lanjutnya bertanya.Devan menggeleng. "Bukan urusan pekerjaan sih, tapi ini urusan cukup penting, sangat penting. Ada apa?"Jam delapan, Disya memberi informasi jika akan bertemu dan membicarakan tentang kembalinya hubungan mereka kepada Samudra. Tentu saja pertemuan ini sangat penting untuk Devan dan Disya."Malam ini, niatnya Nay mau ngenalin calon Nay, sama Abang."Devan langsung menatap Naya dengan kening mengkerut bingung. Namun, detik berikutnya sebuah senyuman kecil tercetak jelas di bibirnya. "Calon?" ulang Devan memastikan kembali ucapan adiknya.Naya mengangguk sambil mengulum bibirnya. "Jangan bilang dulu sama Mamah
Devan tidak berhenti memperhatikan wajah istrinya yang sudah terlelap tidur setengah jam yang lalu, mengusap sisa peluh yang membasahi kening istrinya dengan lembut—entah itu karena kegiatan bercinta sebelumnya, atau memang suhu di ruangan yang memang cukup panas karena pendingin ruangan di dalam sini tidak terlalu berfungsi. Devan juga kegerahan sebenarnya, sedari tadi matanya tidak kunjung mau terpejam. Menyunggingkan senyum ketika mengingat kegiatan keduanya, mereka belum pernah bercinta menggunakan alat kontrasepsi, pengalaman baru, dan itu berakhir begitu saja, baik Devan dan Disya setuju tidak menyukainya. Segala sesuatu tentang Disya selalu membuat Devan candu—semuanya, tidak akan pernah membuatnya bosan. Devan begitu sangat mencintai istri kecilnya itu. Mencium kening Disya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari atas kasur, lelaki itu memutuskan untuk ke luar dari kamar, berniat mencari udara segar karena demi Tuhan di dalam kamar menurutnya sumpek sekali. "B
Hening Mungkin bisa menggambarkan situasi di dalam mobil saat ini, tidak ada yang mengeluarkan suara seolah keempatnya punya dunia masing-masing—sebenarnya Disya dan Naya yang merasa tidak nyaman dengan situasi canggung ini, keduanya sudah mencoba mencairkan suasana, beberapa kali mencari topik obrolan, tetapi kedua lelaki di sana tidak terlalu menanggapi, yang satu sibuk dengan kemudinya, yang satu sibuk dengan i-Pad di tangannya. "Mumpung lagi lewat sini, ayo kita ke caffe Rainbow, aku kangen cakenya...," rengek Naya menyentuh lengan suaminya manja. "Sudah jam segini, nanti kamu pulang kemaleman. Abang kan sudah bilang kamu menginap saja di rumah untuk malam ini, tidak usah langsung berangkat ke Bandung." Devan yang menjawab, tidak memperbolehkan untuk mengunjungi caffe yang tadi disebut oleh adiknya. Naya terlihat memanyunkan bibirnya. "Kita aja nurutin kemauannya Bang Devan yang mau makan di restonya Bu Eliza ya!" "Kalian kan masih bingung ingin makan di mana, saya hanya meny
"Yakin tidak papa jika saya berangkat kerja, sayang?" tanya Devan, ini adalah pertanyaan kesekian yang lelaki itu berikan kepada istrinya. Yang semulanya Disya menjawab 'Tidak papa' perempuan itu kini menatap Devan dengan bibir yang ditekuk sembari menampilkan puppy eyesnya. "Kamu ingin saya tidak berangkat kerja?" Kali ini Disya mengangguk, merentangkan kedua tangannya meminta pelukan dari sang suami. Devan menyunggingkan senyum, menyimpan jasnya di atas sofa, lalu melangkah untuk duduk di tepi kasur, setelahnya memberikan pelukan kepada istrinya. "Manja sekali, sedang datang bulan, hm?" Disya menggeleng pelan dalam dekapan suaminya, lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya, bahkan mengusap rambut Disya lembut. Sedari tadi Disya belum menuruni kasur, perempuan itu sudah bangun tetapi memilih berdiam di kasur lengkap dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya. Devan sudah bertanya apakah dia boleh berangkat kerja, atau Disya ingin dirinya tetap di rumah menemani istrinya
Alif menjelaskan bahwa dia bertemu dengan Layla di salah satu club malam, keduanya tertarik secara fisik satu sama lain sehingga terjadihal hal yang tidak diinginkan, apalagi keduanya dalam pengaruh alkohol malam itu, nafsu benar-benar menguasai mereka. Disya percaya? Tidak— Yang benar saja? Bisa jadi Alif hanya ingin menutupi kesalahan Samudra. Tidak masuk ke dalam apartemen yang ditinggali Layla, Disya memilih untuk pergi dari sana setelah Alif menjelaskan tentang Layla dan bayinya. Hatinya masih gundah. "Maaf menunggu lama sayang," kata Devan yang baru saja memasuki ruang kerjanya, tersenyum menatap sang istri, lalu melangkah menghampiri Disya yang sedang duduk di sofa seorang diri. Disya menatap Devan, memanyunkan bibirnya, bahkan maniknya sudah berkaca sekarang. "Kenapa, hm?" Perempuan itu menggeleng pelan, kedua tangannya terulur untuk meminta pelukan dari suaminya yang baru tiba setelah menyelesaikan meeting dengan beberapa pekerjanya. Disya memilih untuk me
Sekali lagi Devan memperhatikan wajah Disya, keningnya mengernyit seolah sedang menelisik wajah cantik itu yang tampak terlihat sendu—mendung, seperti cuaca di luar pagi ini. "Sya, kamu benar tidak apa-apa?" Kembali mengajukan pertanyaan yang jelas mendapatkan jawaban yang sama dari Disya— "Aku ngga papa, Pak Devan." Disya mendongak untuk menatap suaminya sambil tersenyum manis, lalu detik berikutnya kembali fokus pada kegiatannya yang sedang memasangkan dasi di leher sang suami. "Selesai!" ucap Disya menatap puas hasil tangannya, mengusap bagian pundak Devan dengan lembut. "Semoga hal-hal baik selalu menyertai Pak Devan, dan semua urusan Pak Devan hari ini dilancarkan." "Terimakasih sayang," balas Devan mengusap bagian atas kepala Disya, lalu memeluk tubuh perempuan itu. "Kamu berjanji akan menceritakan apapun yang kamu rasakan kepada saya, jangan memendamnya sendiri ya." Disya terkekeh pelan. "Pak Devan, Disya beneran ngga papa kok," jawabnya, perempuan itu tahu ini masih tentan
"Tokcer juga ya Pak Devan," ucap Fani menatap lembaran hasil USG milik Disya dengan senyuman lebar menghiasi bibirnya. "Iyalah tokcer! Kamu ngga lihat Pak Devan tuh aura-auranya hyper—" "Al!" Yumna menyenggol lengan Alya, memperingati agar ia berhati-hati dengan ucapannya. Tidak masalah jika hanya mereka berempat di sana, tetapi ini ada Bundanya Disya. Mengulum bibirnya, Alya menatap Dina lalu menampilkan cengiran tanpa dosa. "Maksud aku, Pak Devan auranya ganteng banget, Bun... hehehe." Dina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, lalu mengacak bagian atas rambut Alya dengan gemas. "Jadi, kalian mau langsung pulang atau bagaimana?" tanya Dina mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Masa langsung pulang sih, Bun. Makan dulu yuk!" ajak Fani. Alya, Yumna, dan Fani tadinya berniat untuk berkunjung ke rumah Disya, tetapi Disya memberi tahu jika ia sedang tidak ada di rumah, tanpa sengaja juga ia memberikan informasi jika sedang berada di salah satu rumah sakit—mereka yang jelas khawat
Tidak ada acara honeymoon dan sejenisnya. Disya menolak ketika Devan memberi pernyataan seperti ini—"Saya tidak masalah dengan tempat honeymoon yang akan kita kunjungi, terserah ke mana kamu ingin pergi, satu hal yang pasti, kita akan lebih banyak menghabiskan waktu di kasur nantinya." Disya menggeleng pelan mendengar jawaban Devan ketika ia bertanya tentang tujuan dan rencana keduanya untuk honeymoon sesuai saran dari kedua orangtuanya waktu itu. Toh belum ada tempat yang ingin Disya kunjungi, untuk saat ini memulai hidup baru dengan Devan saja sudah cukup baginya. Bangun pagi dengan posisi berada dalam pelukan Devan, lalu memasak untuk sarapan bersama, suaminya yang mengantarnya ke store sebelum berangkat bekerja, lalu pulang ke rumah bersama, memasak untuk makan malam, lalu berbagi cerita sebelum tidur—walaupun sebelumnya pasti akan melakukan hal 'itu' terlebih dahulu sebelum benar-benar tertidur, Disya tidak mengira Devan akan seperti seorang hyper, jangan mengira hanya sekali d
Disya mengerjapkan matanya perlahan, menatap jam yang sudah menunjukkan pukul satu siang, bukannya bangun dari tidurnya Disya malah semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Devan, semakin menyamankan posisi tidurnya. "Sudah siang sayang," ucap Devan mengecup bagian atas rambut Disya. "Disya lapar, tapi males bangun." "Delivery makanan, lagi?" "Boleh....." "Jangan junkfood ya, Sya. Kemarin kan sudah, jangan terlalu sering makan makanan seperti itu." Devan tetaplah Devan dengan ke-antiannya memakan junkfood—bukan anti sih, tetapi sangat menjaga pola makannya, masih sering memperingati Disya untuk mengurangi makanan yang tidak sehat. "Iya Pak Devan." Devan mengambil handphonenya yang berada di atas nakas, membuka salah satu aplikasi untuk memesan makanan secara online. Selama tiga hari ini, kedua pasangan pengantin baru itu sama sekali tidak meninggalkan rumah, bahkan lebih sering menghabiskan waktunya di kamar. Membeli makan secara online, Disya bahkan belum menyentuh are
"Untuk yang terakhir, say happy wedding!" "Happy Wedding!" Serempak semuanya menuruti perintah si fotografer diakhiri dengan foto gaya bebas. Pelaminan yang cukup panjang dan lebar itu rupanya tidak bisa menampung keseluruhan anggota kedua keluarga mempelai, ada beberapa anak muda yang berdiri di depan pelaminan untuk ikut masuk ke dalam foto keluarga. "Thankyou guys!" Selesai. Acara resepsi sudah selesai, para tamu undangan sudah meninggalkan area venue, menyisakkan keluarga besar kedua mempelai juga crew wedding yang akan membereskan area venue. "Capek, Sya?" tanya Dina menghampiri Disya yang sedang duduk di pelaminan, mencoba melepaskan heels yang dipakainya. Disya mendongak menatap Dina lalu menggeleng pelan dengan senyuman manis menghiasi bibirnya. "Saya kan sudah bilang lepas saja heelsnya kalau memang tidak nyaman...," ucap Devan yang sudah berlutut membantu Disya melepaskan heels yang sedaritadi dipakainya selama acara resepsi. "Padahal saya sudah menyuruh Sasya untuk me