Sepeda motorku berlalu beberapa meter. Dari balik spion, kulirik Mas Harsa yang terus memperhatikan kami. Rautnya tampak sendu. Jujur, ada sedikit rasa bersalah karena aku lupa mengabarinya sejak awal.
Akan tetapi, biarlah. Masih ada lain minggu di mana aku akan sibuk dengan kuliah. Jadi dia akan leluasa menghabiskan waktu bersama Emyr.
"Masuk, Ra." Haykal segera menyilakan ketika motor yang kami kendarai memasuki pekarangan rumahnya.
"Iya." Aku mengangguk sembari melepas helm, lalu mengikuti langkahnya dari belakang. Sementara Emyr dengan manja menggelayut dalam gendongannya.
"Sepi?" tanyaku ketika tidak kulihat Bu Mun menyambut kedatangan kami. Jangankan menemukan sosok wanita berwajah penuh kasih itu, suara lembutnya pun tidak kudengar.
"Ibu ada di dalam. Duduklah, aku panggilkan Ibu," sahut Haykal setelah kami tiba diruang tamu. Laki-laki itu segera berlalu, meninggalkanku sendirian sebab Emyr tetap turut bersamanya, tidak mau lepas.
Sed
Pertemuan tidak terlalu lama. Hanya sampai siang. Benar kata Haykal, pertemuan hanya membahas masalah teknis, bagaimana sistem pembelajaran, tugas-tugas, sistem penilaian, jumlah pertemuan, dan batas ketidakhadiran yang diperbolehkan."Emyr rewel, Kal?" Begitu keluar ruang pertemuan, aku segera menghubungi Haykal. Sebenarnya sejak tadi ada rasa tidak tenang meninggalkannya. Dia memang suka dengan Haykal, tetapi khawatir dia akan rewel jika ditinggalkan dalam waktu cukup lama."Enggak. Dia happy, kok. Kamu sudah selesai?""Sudah. Bentar lagi aku jemput Emyr.""Sepertinya dia masih mau main, Ra. Kamu ke sini lagi aja.""Tapi aku ada keperluan, Kal.""Kalau begitu selesaikan saja urusan kamu. Emyr nanti aku antar pulang.""Gak merepotkan?""Enggak ....""Ya, sudah. Terima kasih, Kal."
Gawaiku berdering kembali. Kali ini nomor baru. Tidak ada foto profil yang tampak pada layar.Kubiarkan panggilan berakhir. Aku bukan tipe orang yang leluasa menerima panggilan, kecuali dari orang terdekat.Sebuah notifikasi pesan masuk, "Safira, angkat," tulis nomor itu. Dahiku mengernyit. Berarti dia mengenalku.Kembali dering panggilan berbunyi. Penuh tanya kuangkat juga."Safira," sapa suara dari seberang.Aku mengamati sosok itu, "Ada apa, Mbak?" tanyaku dengan firasat tidak enak."Sekedar ingin menyapa, mengucapkan selamat malam sebelum tidur," jawabnya terkekeh. Antara sinis dan mengejek."Oh." Aku berusaha tetap bersikap santai."Tahu dari mana nomorku?""Itu perkara gampang," jawabnya enteng. Ekspresinya meremehkan."Mbak mau apa sebenarnya?" Aku benar-benar ingin tah
Ninik cukup cerdik dalam hal ini. Dia menggunakan akun fake dan sudah mengirim pertemanan dengan friends list-ku. Sepertinya dia sudah merencanakan semua ini sejak lama.Komentar bermacam-macam, ada yang membela dan masih bisa berpikir waras. Namun, banyak yang langsung menghujat."Gak nyangka. Asli. Kukira dia perempuan baik-baik.""Perempuan gak bersyukur!""Cari apa lagi, sih?""Yakin itu ayah tiri bakal sayang sama anaknya?""Berjilbab, tapi kelakuan!""Nanti juga bakal nyesel!""Aku kenal cewek ini, gak nyangka!""Gak mungkin. Yang kutahu dia perempuan baik-baik. Hoax, nih!""Tabayyun dulu, siapa tahu fitnah."Masih ada ratusan komentar lagi, mungkin sebentar lagi akan menjadi ribuan.Aku
Aku melangkah enggan memasuki rumah. Dalam kondisi seperti ini, rasanya bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengan keluarga Mas Harsa. Apalagi merekalah pangkal semua masalah ini. Andai mereka tidak membawa Ninik di tengah pernikahan kami.Di karpet ruang tamu, aku tertegun menatap dua wanita yang sedang bercengkrama hangat dengan Emyr. Ibu mertua tampak sedang menyuapi Emyr sesuatu. Terlihat penuh kasih sayang, tidak seperti biasa. Sedangkan Santi mengulurkan potongan puzzle kepada Emyr, karena bocah itu makan sambil menyusun puzzle.Ketika langkahku mendekat, keduanya menoleh bersamaan. Ibu menatap sendu."Safira ....""Mbak Fira ...."Mereka menyapa, lagi, nyaris bersamaan."Ibu ...." Kuraih tangan tua itu. Sesakit apa pun hatiku padanya, tidak boleh melupakan tata krama dari seorang muda kepada yang lebih tua."Saya kira Ibu sama Bap
"Banyak yang membatalkan pesanan, Ra," ucap Nur ketika Ibu dan Santi sudah pulang. Aku sedang menyantap sarapan yang telah menjadi dingin."Alasannya?""Mereka gak kasih alasan. Tapi kayaknya karena kasusmu ini, deh."Aku menjeda suapanku."Terus banyak reseller setia yang minta konfirmasi," lanjutnya."Konfirmasi apa?""Ya tentang berita itu, benar apa tidak? Katanya sangat disayangkan jika benar.""Lantas?""Sepertinya mereka juga bakal berhenti jadi reseller di sini."Aku terdiam."Balas saja, nanti malam aku akan melakukan klarifikasi di akunku. Teruskan juga informasinya kepada mereka yang membatalkan pesanan tadi," ucapku. Nur mengangguk.Huft ....Aku mengembuskan napas panjang.Ninik ....
Hubunganku dengan Bibi tidaklah dekat. Alih-alih nyaman, aku sering merasa takut. Oleh karena itu, aku terbiasa menyimpan masalah darinya.Hal ini memang tidak benar, sebab bagaimanapun juga, beliau adalah satu-satunya waliku. Hancurnya bahtera rumah tanggaku bukanlah suatu hal sepele, sudah seharusnya sejak awal kuceritakan semua kepadanya.Aroma proll tape memenuhi seisi rumah. Sudah lama aku tidak membuat aneka kue. Kurang lebih selama perpisahanku dengan Mas Harsa.Hari ini aku akan berkunjung ke rumah Bibi. Proll tape adalah buah tangan yang kusiapkan untuk keluarga beliau. Mereka sekeluarga sangat suka, "Beda dari yang dijual," ungkap mereka."Bikin lebih gak, Ra?" tanya Endang ketika menghampiriku ke dapur."Kenapa? Ngiler, ya?" tanyaku sambil cekikik, "Cuma bikin dua, tuh.""Apa dua-duanya dibawa?""Iya. Satu mana cuku
“Prostitusi online.”“Hah? Bapak serius?” tanyaku tidak percaya. Pak Pasha mengangguk.Ninik? Wanita yang dipuja Mas Harsa kasus prostitusi?Akan tetapi, jika mendengar cerita Ibu dan Santi, di mana wanita itu bisa-bisanya mempunyai affair dengan Bapak, sepertinya hal itu mungkin saja.Langkah kami kembali menuju bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), tempat di mana sebelumnya kami melaporkan perkara.“Selamat siang. Saya Pasha, pendamping Ibu Safira dalam kasus pencemaran nama baik atas dirinya oleh sebuah akun Facebook yang dilaporkan semalam. Kami mendapat informasi bahwa pelaku sudah berhasil diamankan,” tutur Pak Pasha pada salah seorang petugas di sana.Petugas itu mengangguk sopan, “Ya benar, Pak. Terlapor sedang dimintai keterangan,” jawab petugas sambil mengarahkan tangan pada salah satu rua
Laki-laki tua itu menatap kami sayu.“Terima kasih kalian mau datang,” ucapnya memecah hening. Mas Harsa, meski hanya diam, tetapi terlihat amarah menyala dalam dirinya. Tentu saja. Aku paham bagaimana perasaan jika orangtua berurusan dengan hukum, untuk kasus asusila pula.“Maafkan bapak, Sa. Kamu pasti marah dan sangat malu. Bapak memang bejat, tetapi bapak sangat menyayangimu dan ingin kamu bahagia,” ucap laki-laki tua itu sendu sambil menatap Mas Harsa dalam.“Bicaralah yang lugas, Pak. Tidak usah berbelit-belit,” balas Mas Harsa dingin.“Tolong dengarkan cerita bapak sampai selesai.” Laki-laki itu meletakkan kedua tangan di atas meja, lalu menghela napas beberapa kali.“Kamu tahu, Sa? Awal pernikahan bapak dengan ibumu hingga masa kanak-kanakmu, bapak tidaklah seperti sekarang. Bapak sangat menyayangi keluar