“Prostitusi online.”
“Hah? Bapak serius?” tanyaku tidak percaya. Pak Pasha mengangguk.
Ninik? Wanita yang dipuja Mas Harsa kasus prostitusi?
Akan tetapi, jika mendengar cerita Ibu dan Santi, di mana wanita itu bisa-bisanya mempunyai affair dengan Bapak, sepertinya hal itu mungkin saja.
Langkah kami kembali menuju bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), tempat di mana sebelumnya kami melaporkan perkara.
“Selamat siang. Saya Pasha, pendamping Ibu Safira dalam kasus pencemaran nama baik atas dirinya oleh sebuah akun Facebook yang dilaporkan semalam. Kami mendapat informasi bahwa pelaku sudah berhasil diamankan,” tutur Pak Pasha pada salah seorang petugas di sana.
Petugas itu mengangguk sopan, “Ya benar, Pak. Terlapor sedang dimintai keterangan,” jawab petugas sambil mengarahkan tangan pada salah satu rua
Laki-laki tua itu menatap kami sayu.“Terima kasih kalian mau datang,” ucapnya memecah hening. Mas Harsa, meski hanya diam, tetapi terlihat amarah menyala dalam dirinya. Tentu saja. Aku paham bagaimana perasaan jika orangtua berurusan dengan hukum, untuk kasus asusila pula.“Maafkan bapak, Sa. Kamu pasti marah dan sangat malu. Bapak memang bejat, tetapi bapak sangat menyayangimu dan ingin kamu bahagia,” ucap laki-laki tua itu sendu sambil menatap Mas Harsa dalam.“Bicaralah yang lugas, Pak. Tidak usah berbelit-belit,” balas Mas Harsa dingin.“Tolong dengarkan cerita bapak sampai selesai.” Laki-laki itu meletakkan kedua tangan di atas meja, lalu menghela napas beberapa kali.“Kamu tahu, Sa? Awal pernikahan bapak dengan ibumu hingga masa kanak-kanakmu, bapak tidaklah seperti sekarang. Bapak sangat menyayangi keluar
Meninggalkan mereka, aku melangkah tergesa menuju tempat parkir. Lalu melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang mengarah jalan pulang.Benar-benar tidak mengerti untuk apa Bapak menceritakan semua aibnya kepadaku dan Mas Harsa. Mungkin Mas Harsa berkepentingan mengetahui cerita masa lalunya. Namun, aku? Tidak sama sekali. Apa pentingnya bagiku?Mas Harsa mungkin perlu tahu alasan laki-laki itu berubah menjadi tidak setia. Beliau ayahnya, figur penting dalam dirinya. Segala rahasia mungkin perlu dibuka agar tidak salah menilai dan menimbulkan kebencian.Sebagai laki-laki Mas Harsa pasti paham rasanya dituduh selingkuh tanpa bukti. Banyak laki-laki berprinsip, daripada sakit karena tuduhan tidak berdasar, lebih baik berbuat sekalian agar apa yang dikatakan itu memang benar.Laki-laki juga cenderung memiliki ego lebih tinggi. Tentu saja kaum mereka akan merasa sangat direndahkan jika dianggap tidak pe
“Maaf baru diantar,” ucapnya sambil menyerahkan kunci sepeda motorku. Kutunggu sejak siang, malam baru laki-laki itu muncul.Tanpa kupersilakan, dia masuk dan langsung duduk di dekat Emyr yang sedang tenggelam dalam mainan, menunjukkan satu bungkusan pada bocah itu yang disambut dengan suka cita. Sesaat kemudian, mereka tenggelam dalam kegiatan bersama.“Papa ayo naik kuda ...,” teriak Emyr girang sambil menepuk punggung Mas Harsa.“Naik kuda? Ayo!” sambutnya tak kalah riang. Lalu membungkuk dan mengambil posisi. Laki-laki itu begitu semangat memenuhi setiap permintaan Emyr. Binar bahagia jelas terukir pada matanya. Seketika gurat kacau pada wajahnya pupus.Aku menghela napas dalam. Selalu saja ada yang menggores di hati tatkala melihat mereka bersama, saat saling melempar canda, lalu tertawa penuh ceria. Di sela canda, sesekali keduanya saling memelu
Langkahku tersurut. Cerita yang dia perdengarkan tentang hidupnya di masa lampau, juga perbuatannya bersama Ninik seketika terngiang kembali. Tidak bisa disangkal, aku takut dia berbuat yang tidak senonoh."Boleh bapak masuk, Nduk?" Suaranya lembut. Namun, jijik kudengar. Kutahan daun pintu agar tidak terbuka lebih lebar."Bapak mau apa?" tanyaku gemetar. Jantungku berdebar takut."Bapak ingin bicara sedikit," jawabnya sambil tetap berdiri tenang.Ingin membicarakan apa lagi? Belum tuntaskah pembicaraan di kantor polisi tadi pagi? Mengapa harus datang malam-malam?"Maaf. Tidak elok Bapak datang malam-malam. Bapak laki-laki, saya perempuan. Jika ingin bicara, datang saja besok siang."Merasa khawatir, aku mencari alasan agar laki-laki itu tidak masuk."Laki-laki yang ini bapakmu, Nduk," sahutnya seperti tidak terima.&
"Mmm ... Ibu sehat?" Aku mencoba mengalihkan topik untuk menepis rasa malu."Sehat. Alhamdulillah," jawabnya mengangguk."Gak datang?""Ibu sudah duluan tadi sore. Bakda ashar.""Gak bareng?""Gak. Ibu sama Bapak."Dia meletakkan mangkuk yang hanya tersisa kuah, lalu menyeruput air mineral gelas.Aku mengalihkan pandangan keluar. Tertarik oleh suara deru yang terdengar tiba-tiba. Seperti deru air dan angin yang datang bersamaan."Hujan, ya?" tanyaku sedikit panik."Sepertinya."Laki-laki itu ikut menoleh. Namun, bedanya ekspresi yang ia tunjukkan biasa saja."Subhanallah," ucapku ketika deru itu benar-benar berubah menjadi hujan deras. Cuaca sekarang memang tidak bisa diprediksi."Kenapa?"
Aku mengerjap ketika merasakan satu tangan mengusap lembut pucuk kepalaku yang berbalut hijab."Subuh."Satu suara menyambut saat aku membuka mata. Ia tersenyum tipis.Aku memindai sekitar dengan netraku. Mengumpulkan informasi yang terjeda sebelum tidur. Emyr terlelap di hadapan. Satu tangannya terhubung infus. Rupanya aku tertidur sambil duduk dengan kepala tertopang pada tempat tidur Emyr.Kuusap lembut wajah mungilnya. Hasil tes darah menunjukkan trombosit Emyr turun drastis. Hanya 90.000 per mikroliter darah, jauh di bawah batas minimal yaitu 150.000.Demam berdarah. Nyaris mengarah ke Dengue Shock Sindrome, yaitu suatu kondisi komplikasi demam berdarah yang sangat berbahaya, begitu yang disampaikan dokter.Menurut penjelasan dokter, keadaan akan menjadi buruk jika terlambat sedikit lagi. Pasien yang mengalami Dengue Shock Sindrome atau
Sorot netra Mas Harsa terasa menghunjam ke relung sanubari, tajam. Apakah dia mendengar perkataan Haykal? Aku merasa dipersalahkan. Akan tetapi, bukankah dia tidak berhak untuk marah? Dia bukan siapa-siapa lagi."Nur minta ditunjukkan kamar rawat Emyr. Tadi bertemu di parkiran," ucapnya datar.Aku mengangguk."Mas pergi lagi."Ia pamit, tetapi terlihat enggan berlalu. Netranya masih menatap tajam."Iya," balasku. Laki-laki itu menghela napas dalam , sebelum akhirnya berlalu juga."Kemarin ke rumah sakitnya sama papanya Emyr?"Kini Haykal yang menatap tajam dan penuh selidik setelah mengantar Mas Harsa dengan tatapan yang tak kumengerti."Iya." Aku mengangguk. Namun, tidak berani menantang tatapnya."Kamu menghubungi dia?""Huum." Aku mengangguk lagi. Terdenga
"Bagaimana hasil tes darahnya, Dok?" tanyaku ketika jam visit dokter pagi ini.Sudah enam hari Emyr dirawat. Setiap hari selalu diambil darah untuk dianalisis laboratorium. Setiap hari itu pula dia selalu histeris menolak, menangis kencang. Belum lagi ketika infus macet. Melihatnya meronta sakit sekaligus takut, rasanya hatiku nelangsa.Hampir setiap saat minta pulang. Beruntung Mas Harsa begitu sabar menghiburnya, menggendongnya keliling taman atau koridor rumah sakit."Sudah bagus, Bu. Naiknya signifikan. 172.000 per mikroliter darah. Sudah di atas batas minimal normal.""Alhamdulillah. Berarti sudah boleh pulang, Dok?" Mas Harsa yang menyahut. Dia sudah seminggu ini mangkir dari kebun. Memang bisa ditukar dengan hari cuti setahun. Namun, sebelumnya dia juga sudah beberapa kali mangkir sehingga jika lebih lama lagi, akumulasi akan melebihi jumlah hari cuti."Boleh, Pak. J