Ninik cukup cerdik dalam hal ini. Dia menggunakan akun fake dan sudah mengirim pertemanan dengan friends list-ku. Sepertinya dia sudah merencanakan semua ini sejak lama.
Komentar bermacam-macam, ada yang membela dan masih bisa berpikir waras. Namun, banyak yang langsung menghujat.
"Gak nyangka. Asli. Kukira dia perempuan baik-baik."
"Perempuan gak bersyukur!"
"Cari apa lagi, sih?"
"Yakin itu ayah tiri bakal sayang sama anaknya?"
"Berjilbab, tapi kelakuan!"
"Nanti juga bakal nyesel!"
"Aku kenal cewek ini, gak nyangka!"
"Gak mungkin. Yang kutahu dia perempuan baik-baik. Hoax, nih!"
"Tabayyun dulu, siapa tahu fitnah."
Masih ada ratusan komentar lagi, mungkin sebentar lagi akan menjadi ribuan.
Aku
Aku melangkah enggan memasuki rumah. Dalam kondisi seperti ini, rasanya bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengan keluarga Mas Harsa. Apalagi merekalah pangkal semua masalah ini. Andai mereka tidak membawa Ninik di tengah pernikahan kami.Di karpet ruang tamu, aku tertegun menatap dua wanita yang sedang bercengkrama hangat dengan Emyr. Ibu mertua tampak sedang menyuapi Emyr sesuatu. Terlihat penuh kasih sayang, tidak seperti biasa. Sedangkan Santi mengulurkan potongan puzzle kepada Emyr, karena bocah itu makan sambil menyusun puzzle.Ketika langkahku mendekat, keduanya menoleh bersamaan. Ibu menatap sendu."Safira ....""Mbak Fira ...."Mereka menyapa, lagi, nyaris bersamaan."Ibu ...." Kuraih tangan tua itu. Sesakit apa pun hatiku padanya, tidak boleh melupakan tata krama dari seorang muda kepada yang lebih tua."Saya kira Ibu sama Bap
"Banyak yang membatalkan pesanan, Ra," ucap Nur ketika Ibu dan Santi sudah pulang. Aku sedang menyantap sarapan yang telah menjadi dingin."Alasannya?""Mereka gak kasih alasan. Tapi kayaknya karena kasusmu ini, deh."Aku menjeda suapanku."Terus banyak reseller setia yang minta konfirmasi," lanjutnya."Konfirmasi apa?""Ya tentang berita itu, benar apa tidak? Katanya sangat disayangkan jika benar.""Lantas?""Sepertinya mereka juga bakal berhenti jadi reseller di sini."Aku terdiam."Balas saja, nanti malam aku akan melakukan klarifikasi di akunku. Teruskan juga informasinya kepada mereka yang membatalkan pesanan tadi," ucapku. Nur mengangguk.Huft ....Aku mengembuskan napas panjang.Ninik ....
Hubunganku dengan Bibi tidaklah dekat. Alih-alih nyaman, aku sering merasa takut. Oleh karena itu, aku terbiasa menyimpan masalah darinya.Hal ini memang tidak benar, sebab bagaimanapun juga, beliau adalah satu-satunya waliku. Hancurnya bahtera rumah tanggaku bukanlah suatu hal sepele, sudah seharusnya sejak awal kuceritakan semua kepadanya.Aroma proll tape memenuhi seisi rumah. Sudah lama aku tidak membuat aneka kue. Kurang lebih selama perpisahanku dengan Mas Harsa.Hari ini aku akan berkunjung ke rumah Bibi. Proll tape adalah buah tangan yang kusiapkan untuk keluarga beliau. Mereka sekeluarga sangat suka, "Beda dari yang dijual," ungkap mereka."Bikin lebih gak, Ra?" tanya Endang ketika menghampiriku ke dapur."Kenapa? Ngiler, ya?" tanyaku sambil cekikik, "Cuma bikin dua, tuh.""Apa dua-duanya dibawa?""Iya. Satu mana cuku
“Prostitusi online.”“Hah? Bapak serius?” tanyaku tidak percaya. Pak Pasha mengangguk.Ninik? Wanita yang dipuja Mas Harsa kasus prostitusi?Akan tetapi, jika mendengar cerita Ibu dan Santi, di mana wanita itu bisa-bisanya mempunyai affair dengan Bapak, sepertinya hal itu mungkin saja.Langkah kami kembali menuju bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), tempat di mana sebelumnya kami melaporkan perkara.“Selamat siang. Saya Pasha, pendamping Ibu Safira dalam kasus pencemaran nama baik atas dirinya oleh sebuah akun Facebook yang dilaporkan semalam. Kami mendapat informasi bahwa pelaku sudah berhasil diamankan,” tutur Pak Pasha pada salah seorang petugas di sana.Petugas itu mengangguk sopan, “Ya benar, Pak. Terlapor sedang dimintai keterangan,” jawab petugas sambil mengarahkan tangan pada salah satu rua
Laki-laki tua itu menatap kami sayu.“Terima kasih kalian mau datang,” ucapnya memecah hening. Mas Harsa, meski hanya diam, tetapi terlihat amarah menyala dalam dirinya. Tentu saja. Aku paham bagaimana perasaan jika orangtua berurusan dengan hukum, untuk kasus asusila pula.“Maafkan bapak, Sa. Kamu pasti marah dan sangat malu. Bapak memang bejat, tetapi bapak sangat menyayangimu dan ingin kamu bahagia,” ucap laki-laki tua itu sendu sambil menatap Mas Harsa dalam.“Bicaralah yang lugas, Pak. Tidak usah berbelit-belit,” balas Mas Harsa dingin.“Tolong dengarkan cerita bapak sampai selesai.” Laki-laki itu meletakkan kedua tangan di atas meja, lalu menghela napas beberapa kali.“Kamu tahu, Sa? Awal pernikahan bapak dengan ibumu hingga masa kanak-kanakmu, bapak tidaklah seperti sekarang. Bapak sangat menyayangi keluar
Meninggalkan mereka, aku melangkah tergesa menuju tempat parkir. Lalu melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang mengarah jalan pulang.Benar-benar tidak mengerti untuk apa Bapak menceritakan semua aibnya kepadaku dan Mas Harsa. Mungkin Mas Harsa berkepentingan mengetahui cerita masa lalunya. Namun, aku? Tidak sama sekali. Apa pentingnya bagiku?Mas Harsa mungkin perlu tahu alasan laki-laki itu berubah menjadi tidak setia. Beliau ayahnya, figur penting dalam dirinya. Segala rahasia mungkin perlu dibuka agar tidak salah menilai dan menimbulkan kebencian.Sebagai laki-laki Mas Harsa pasti paham rasanya dituduh selingkuh tanpa bukti. Banyak laki-laki berprinsip, daripada sakit karena tuduhan tidak berdasar, lebih baik berbuat sekalian agar apa yang dikatakan itu memang benar.Laki-laki juga cenderung memiliki ego lebih tinggi. Tentu saja kaum mereka akan merasa sangat direndahkan jika dianggap tidak pe
“Maaf baru diantar,” ucapnya sambil menyerahkan kunci sepeda motorku. Kutunggu sejak siang, malam baru laki-laki itu muncul.Tanpa kupersilakan, dia masuk dan langsung duduk di dekat Emyr yang sedang tenggelam dalam mainan, menunjukkan satu bungkusan pada bocah itu yang disambut dengan suka cita. Sesaat kemudian, mereka tenggelam dalam kegiatan bersama.“Papa ayo naik kuda ...,” teriak Emyr girang sambil menepuk punggung Mas Harsa.“Naik kuda? Ayo!” sambutnya tak kalah riang. Lalu membungkuk dan mengambil posisi. Laki-laki itu begitu semangat memenuhi setiap permintaan Emyr. Binar bahagia jelas terukir pada matanya. Seketika gurat kacau pada wajahnya pupus.Aku menghela napas dalam. Selalu saja ada yang menggores di hati tatkala melihat mereka bersama, saat saling melempar canda, lalu tertawa penuh ceria. Di sela canda, sesekali keduanya saling memelu
Langkahku tersurut. Cerita yang dia perdengarkan tentang hidupnya di masa lampau, juga perbuatannya bersama Ninik seketika terngiang kembali. Tidak bisa disangkal, aku takut dia berbuat yang tidak senonoh."Boleh bapak masuk, Nduk?" Suaranya lembut. Namun, jijik kudengar. Kutahan daun pintu agar tidak terbuka lebih lebar."Bapak mau apa?" tanyaku gemetar. Jantungku berdebar takut."Bapak ingin bicara sedikit," jawabnya sambil tetap berdiri tenang.Ingin membicarakan apa lagi? Belum tuntaskah pembicaraan di kantor polisi tadi pagi? Mengapa harus datang malam-malam?"Maaf. Tidak elok Bapak datang malam-malam. Bapak laki-laki, saya perempuan. Jika ingin bicara, datang saja besok siang."Merasa khawatir, aku mencari alasan agar laki-laki itu tidak masuk."Laki-laki yang ini bapakmu, Nduk," sahutnya seperti tidak terima.&
Haykal berjalan beriringan bersama Harsa dan Safira, melintasi makam demi makam untuk mencari nama seseorang pada salah satu nisan di sana.Rencana Haykal dan Nur ke Bali saat itu batal. Keinginan Nur tidak terwujud. Akhirnya Safira dan Harsa yang memutuskan kembali ke Kalimantan demi mengucapkan kata maaf kepada sahabat terbaik atas apa yang terjadi, meski harus menunggu tiga bulan setelah lahiran.Selain rindu pada sanak kerabat, Safira dan Harsa merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada dia yang kini berada di dalam pusara sana. Terutama Harsa, boleh dikatakan semua berawal darinya.Setelah mengirimkan doa-doa, meminta agar nama itu diampuni dosa-dosanya, mereka meninggalkan area pemakaman."Tidak mampir?" tanya Haykal ketika mereka memutuskan akan berpisah."Tadi 'kan sudah. Lain kali kami akan berkunjung kembali," sahut Safira."Ya,
Nur terjaga lebih awal. Mata beningnya mengerjap ketika azan subuh berkumandang. Tidur terlalu larut, ditambah lelah akibat aktivitas semalam membuatnya melewatkan rutinitas sebelum subuh.Perempuan itu meregangkan otot, lalu melirik pada tubuh setengah polos yang melingkarkan tangan padanya. Ia tersenyum menatap wajah yang juga menyisakan gurat lelah itu, tetapi binar bahagia jelas terlihat di sana."Abang bangun ...," ucap Nur sambil menggoyang pelan bahu laki-laki itu. Haykal bergeming. Sepertinya ia benar-benar lelah dan mengantuk."Abang," panggil Nur lagi. Kali ini goyangan pada bahu itu ia perkuat."Hmm ... kenapa? Mau lagi?" tanya laki-laki itu serak. Ia tampak berat untuk membuka mata. Tangannya menggapai tubuh Nur."Ish, apaan, sih?" Seketika pipi Nur menghangat."Ayo .... Gak usah malu-malu begitu." Laki-laki itu menarik pin
Haykal tercenung beberapa saat. Sarafnya seketika membawa nama itu pada otak pusatnya, menerjemahkan rasa yang ada di hati. Lalu yang ada hanya kosong, tidak ia temukan makna yang nyata.Ditatapnya wajah Nur yang sedikit berubah. Seolah ada gumpalan pekat yang coba gadis itu tutupi. Haykal mengerti."Angkatlah. Bilang jangan lama-lama, ditunggu suami," ucapnya. Diusapnya pelan punggung istrinya untuk menyingkirkan gumpalan pekat itu."Apa boleh kasih tahu Safira bahwa kita sudah menikah?" tanya Nur ragu."Lho, kamu belum kasih tahu?""Belum." Nur menggeleng, 'Kan Abang melarang," ucapnya.Laki-laki itu mengusap wajah. Ia minta hal itu saat awal pernikahan karena benar-benar belum siap menghapus nama Safira, tidak disangkanya Nur terus memegang rahasia itu hingga kini.Perasaan bersalah seketika menjalari hatinya, b
"Kamu nanti mau punya anak berapa?" tanya Haykal.Malam ini dia mengajak Nur mencari udara segar di luar, menikmati waktu berdua sembari menunggu malam sedikit beranjak.Tangannya melingkar ringan di pinggang Nur. Sedangkan matanya menatap jauh ke depan, memperhatikan dengan penuh binar bahagia anak-anak yang bermain riang. Sudut bibirnya melengkung mengikuti setiap raut ceria para bocah yang berlari mengitari taman kota. Silih berganti memilih mainan yang disukai, perosotan, ayunan, jungkat jungkit, dan entah permainan apa lagi namanya."Hah?" sahut Nur kaget. Tidak menyangka akan menerima pertanyaan seperti itu dari Haykal. Dia terlalu fokus dengan debar-debar halus dalam hatinya akibat tangan kekar yang melingkar di pinggangnya itu. Sejak kejadian tadi siang, jangankan Haykal menyentuhnya, membayangkan disentuh saja hatinya berdesir geli. Seolah ada yang menggelitik."Kamu nanti
"Kenapa?" Haykal terkejut melihat polah Nur. Ia mencoba membuka selimut yang menutup seluruh tubuh istrinya itu. Namun, Nur menahan. Perempuan itu menggeleng kencang."Kamu belum siap?" tanyanya lembut. Nur bergeming."Ya, sudah. Kalau belum siap gak apa. Abang gak akan memaksa. Tunggu kamu siap saja," ucap laki-laki itu, "Tapi dibuka, ya?" Ia mencoba menarik selimut itu."Jangan!" Nur berseru dari dalam sambil menahan."Kenapa?"Gadis itu hanya menggeleng kencang. Tanpa bersuara."Malu?"Tidak ada jawaban lagi dari wanita manis itu."Nur?"Hening.Haykal menghela napas. Meski kecewa, sesuatu di dalam dadanya yang sudah terlanjur membuncah, coba ia redam. Laki-laki itu memejam.Cukup lama, Nur bahkan nyaris kesulitan bernapas.
Pintu dibuka. Tampak Nur terkulai lemah di atas ranjang. Laki-laki tua dengan tubuh setengah terbuka berada di atasnya. Separuh gaun Nur juga sudah turun hingga ke dada."Baj*ngan!" Haykal menerobos di antara tiga petugas. Serta merta satu bogem darinya melayang untuk laki-laki yang sudah menjamah istrinya itu. Ia kalap, satu pukulan lagi kembali melayang sebelum salah satu petugas menahannya.Segera ia menghampiri Nur yang tak berdaya di atas ranjang."Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanyanya sembari memeluk gadis itu. Melindunginya dari tubuh yang terbuka, cepat ia meraih selimut, lalu membalutkannya pada tubuh istrinya."Kamu gak apa-apa 'kan?" tanyanya lagi sambil menangkupkan kedua tangan pada pipi Nur.Tidak menjawab, Nur sesenggukan."Sudah, jangan menangis. Abang di sini. Semua sudah berakhir. Kita pulang," ucapnya lem
Setelah bebas dari lembaga pemasyarakatan, Ninik dan Nai bersekongkol untuk membalas sakit hati kepada Safira, apapun caranya. Namun, ia mendapat informasi bahwa Safira telah kembali merajut rumah tangga bersama Harsa dan pindah ke NTT. Hati kian memanas, dendamnya semakin membara.Mereka mencari informasi tentang usaha Safira dan diketahui telah dilimpahkan kepada Nur. Beberapa lama mengintai, mereka paham keseharian gadis itu yang selalu dijemput Haykal saat menjelang sore. Momen itu dimanfaatkan untuk menjebak Nur dan membawanya paksa.Nur menelan saliva. Keadaan sedang tidak baik. Gadis itu berlari hendak menuju ke arah pintu, hendak membuka. Namun, pintu telah dikunci. Nur berteriak minta tolong. Kedua perempuan itu tertawa menyeringai."Ruangan ini kedap suara. Tidak akan ada yang mendengar suaramu," ucap Nai sambil terkekeh mengejek."Kalian mau apa?" Nur bertanya panik. Wajahnya
Haykal mendesah resah. Beberapa kali ia menganjur napas berat, mencoba menenangkan pikiran, tetapi nihil. Kecemasannya pada Nur membuatnya tidak bisa tenang sedetik pun.Namun, kemana dia akan mencari?Laki-laki itu mengambil ponsel. Refleks tangannya menggulir gallery, membuka foto Nur yang ia simpan dalam folder sendiri.Sebagai upaya mencintai gadis itu, setiap hari Haykal mengambil gambar Nur dalam banyak posisi, lalu memerhatikan segala yang dia miliki, mencari nilai lebihnya dibandingkan Safira. Akan tetapi, selama ini urung dia temukan."Kemana kamu, Nur. Abang khawatir sekali. Pulanglah, Nur. Atau telpon. Kasih kabar," lirihnya sembari terus menatapi layar.Kemana lagi dia akan mencari? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya?Lagi, pria itu menghela napas panjang."Ya Allah. Astagfirullahal'azim. Nur ... kamu di m
Kalut, Haykal mengarahkan motornya menuju Cafe Rajawali dengan kecepatan tinggi. Ia harap cemas. Untuk apa orang itu mengatas-namakan dirinya?Pikiran buruk berkelebat. Ia berharap ini hanya prank dari Nur aja. Ia ikhlas dikerjai, asal istrinya itu tidak kenapa-kenapa.Gegas, ia memarkirkan kendaraan di pelataran cafe. Sembarang saja. Kemudian berlari ke dalam. Netranya memindai ruangan secara menyeluruh, mencari sosok Nur. Namun, nihil. Langkahnya segera menuju meja kasir yang terletak tidak jauh dari pintu masuk. Posisi duduk kasir sangat strategis untuk melihat siapa saja tamu yang datang."Wajahnya manis. Kulit kuning langsat. Bersih. Ada lesung pipi. Berjilbab. Hari ini pakai pasmina warna baby pink. Rok plisket, blouse navy masuk ke dalam. Sekitar satu jam yang lalu katanya mau ke sini," terang Haykal dengan napas yang memburu. Hatinya cemas bukan kepalang. Tidak sanggup rasanya jika sesuatu yang buruk