Bayu meninggalkan Pambudi dengan uang yang diberikan. Sejujurnya dia tahu kemampuan pembudi mengelola perusahaan tapi karena sifat Pambudi sebelumnya dan putrinya maka dia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.
Sementara itu Pambudi terbengong dengan uang satu juta yang ada di tangannya. Dia sejurus kemudian meneteskan air mata walau tidak sampai basah kuyup. Lelaki yang dia hina habis-habisan dulu, ternyata menjadi penolongnya saat ini. Jika boleh memutar waktu, bukan Stefan yang akan dia sandingkan dengan seorang Miranda. Namun ada Bayu yang sekarang sukses. Namun penyesalan tidak pernah dapat menjadi waktu berputar mundur. Penyesalan hanya akan menjadi seonggok kata yang menyesakkan dada.
Taksi online yang Bayu pesan sudah sampai. Dia melambai ke arah Pambudi dan melaju ke perusahaan hari ini. Hari ini, dia akan begitu repot dengan banyak hal. Mengurus beberapa perusahaan dengan latar belakang yang berbeda memang sed
Sedang mengadakan pertemuan dengan Ajisaka yang notabennya teman SMA-nya. Bayu mendapati telepon berdering. Dia meminta waktu untuk menerima telepon tersebut.“Silakan,” ijin Ajisaka. Bayu menepi untuk mengangkat telepon.“Iya, Sayang. Ada apa?” tanya Bayu setelah mengusap tombol terima.“Kemana, Mas. Aku sama kembar ke kantor tapi kosong. Kamu rapat ke luar?” Eliana terlihat menggendong si kecil satu, yang satu digendong Mbak Asih sang pengasuh.“Aku ada di resto Alkay di depan. Kesini saja.” Eliana mengangguk walau sejujurnya tidak akan dapat dilihat oleh suaminya. Eliana mengajak pengasuh dua putranya untuk mengikutinya. Sedangkan Bayu sudah kembali ke meja makan untuk menemui tamunya.“Jadi bagaimana? Maaf, Presiden baru menelepon.” Bayu tertawa mendapati ucapannya.“Istrimu? Masih me
“Maaf, Nona Rara. Apa saya bisa mewakili bos saya, dia sedang tidak konsen. Sebaiknya Anda kirim filenya ke kami biar bisa kami pelajari.” Tidak lama Bayu bergabung kembali dengan mereka.“Maaf, ya? Sampai mana rapatnya?” Bayu menghempaskan tubuhnya di kursi, sedangkan Rara pamit ke toilet untuk buang air kecil.Saat Rara ke toilet, sekretarisnya Ajisaka juga mengikuti. Dia paham bahwa bosnya tersebut sepertinya menyukai Rara.“Nona Rara,” panggil Davina.“Nona Davina,” sapa Rara.“Sepertinya kita terlalu kaku. Bagaimana kalau kita tinggalkan sejenak ke formaan dan mencoba menjadi pribadi yang hangat.” Rara menoleh ke arah Davina.“Begitu juga boleh, apakah rapat ini akan segera diselesaikan tanpa hasil? Atau memang akan diselesaikan lain hari.” Melihat Ajisaka yang sepe
“Tidak! Aku ingin move on.” Ajisaka menyesap kopinya.“Oke, aku akan coba bantu bilang sama Pak Handoyo sebagai sang ayah, tapi kalau ketahuan kamu hanya ingin menjadikan Rara sebagai pelarian saja, aku orang pertama yang akan membunuhmu.” Ajisaka mengangguk.Bayu mencolek tangan Ajisaka ketika dua sekretaris itu terlihat berjalan mendekati meja. Dua sekretaris itu sudah kembali kemeja makan. Mereka mulai makan sambil sesekali melemparkan candaan. Kecuali Rara yang hanya diam saja. Setelah selesai makan, mereka membahas tentang proyek tersebut. Namun beberapa kali Ajisaka tidak konsentrasi sehingga Bayu menyarankan untuk menunda rapat antara mereka. Bayu menggelengkan kepalanya. “Mungkin memang Ajisaka ada rasa dengan Rara,” batin Bayu.“Oke, rapat hari ini kita sudahi, aku juga sudah Lelah. Hari ini bangak sangat yang harus diurus. Ra, kamu ‘kan satu ar
“Tidak sama sekali, tidak merepotkan. Lagi pula kita searah, kok. Bahkan rumahku lebih jauh dari rumahmu. Tapi kita mengantarkan Davina dulu ke rumahnya nggak papa ‘kan?” Rara mengangguk tanda setuju. Walau sebenarnya penuh dnegan kegamangan. Jujur Saja Ini pertama kali setelah Bayu dia dekat dengan orang yang memiliki posisi bagus di perusahaan. Bukan dia silau, namun sangat takut di cap sebagai aji mumpung. Rara tidak punya banyak teman, dia sudah menjadi bahan gossip di semua lini di kantor. Jangan sampai kedekatannya dengan Ajisaka juga menambah daftar gossip yang dia ciptakan. Selain itu, menurut kabar burung yang diterima, para Bos itu selalu meminta lebih ketika berdekatan dengan wanita. Mereka akhirnya bersama dalam diam. Hanya Davina yang sesekali melemparkan candaan dan dibalas oleh mereka dengan senyuman. Aji merasa sedikit kesel karena hanya menjadi obat nyamuk saat Davina dan juga Rara terlibat pembicaraan. Mereka bahkan tertawa ceria Ajisaka meli
Hai Readers ... mana suaranya? Kok nggak kedengeran?“Awas!” Ajisaka banting stir ke kiri.“Kan hampir saja aku jatuh dan hampir juga kita celaka. Ini bahaya, loh.”“Oke, aku akan menepi sebentar. Kamu pindah.” Akhirnya Ajisaka menepi, membuat Rara terpaksa turun dan berpindah ke depan mengikuti kemauan Ajisaka. Jangan ditanya, efek dari hampir kecelakaan tadi. Rara masih saja bergemuruh dadanya.Ajisaka menepikan mobilnya sehingga Rara pindah ke depan lelaki itu menyunggingkan senyumnya melihat Rara yang duduk di sampingnya. Tangan kiri Ajisaka meraih radio tip dan memutar lagu, mengganti lagu menjadi lagu romantis. Karena dari tadi yang berdendang adalah lagu-lagu broken heart kesukaan dari sekretarisnya, yaitu Davina. Sejujurnya Ajisaka memang kaku dan lurus. Maka dari itu kemungkinan Sabrina tidak menyukainya. Teta
“Tidak ada, lain kali bolehkan jika aku kenalan sama Ayah kamu?” Rara mengangguk. Tidak terasa sudah sampai rumahnya. Rara tersenyum dan berterima kasih. Sebelum dia turun, Ajisaka mencegahnya.Hai Readers, komen dong. Biar aku semangat.“Boleh kita ketemu lagi?” Lelaki itu seperti tidak rela berpisah.“Ya memang harus ketemu lagi, kita ‘kan terlibat proyek, Mas?” Ajisaka tiba-tiba merasa bodoh ada di dekat wanita itu.“Pak Bayu nganterin kamu, Nduk.” Rara melonjak ketika ayahnya Tuan Handoyo menegurnya.“Ah, Papa. Bikin kaget aja. Bukan Pak Bayu, Pa. Tapi temennya hati-hati lho, Nduk? Sama orang-orang kaya itu.” Lelaki paruh baya itu memperingatkan anaknya.“Iya, Pa. Ini juga kalau nggak Pak Bayu yang maksain untuk nganterin aku juga, aku nggak mau. Masa iya
Hai Readers apa kabar? Kalian baik 'kan? Komen yuk.Lain Rara lain pula Ajisaka, dia menyetir sedikit ngebut untuk bisa sampai ke rumahnya. Rasanya dia ingin ngobrol banyak dengan Bayu tentang perkembangan PDKT-nya dengan asistennya tersebut. Senyum sumringah Ajisaka luntur ketika melihat siapa yang tengah bermain dengan Putri kecilnya.“Sudah pulang, Mas.” Ajisaka tidak merespon.“Elsa Sudah mandi, Sayang?” Anak berumur enam tahun itu berlari dan membenturkan tubuhnya ke arah lelaki yang disebutnya papa. “Sudah, Papa. Di dimandiin sama Mbok Darmi.” Ajisaka membuang wajahnya, untuk menyembunyikan marah.“Sabrina, Sabrina bahkan memandikan anak saja dia tidak mau ,” batin Aji.“Ya sudah, Papa istirahat dulu, ya, Sayang. Papa masih kotor.” Ajisaka melenggang pe
“Jadi kamu berpikir begitu? Oke baiklah. Aku lebih mantap menceraikanmu. Kou jangan khawatir, Kalau kau ingin rumah ini maka aku akan pergi dari sini.” Ajisaka melepaskan cekalan tangan Sabrina kemudian masuk ke dalam kamarnya. Sabrina hanya bisa tersenyum miring karena perubahan suaminya tapi sejurus kemudian dia menyesalinya.Sepertinya Rara memang sudah masuk ke dalam pikiran Ajisaka. Lelaki itu sekarang sedang melepas jasnya dan membuang asal ke arah keranjang pakaian. Tapi sekelebat terus saja, senyum Rara menghampiri pikirannya. Setelah itu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang nomor satu itu. ranjang yang dulu menjadi saksi pergulatannya dengan sang istri. Rancang yang menjadi madu dan malam-malam penuh keindahan bersama Sabrina. Selalu dia rindukan saat berangkat kerja, dan tidak ingin beranjak saat tubuh seksi itu ada dalam pelukannya. Tapi sekarang, tidak lagi.Dia menepuk kepalanya sendiri karena lup