Namun, seperti sebuah ketebalan muka telah mengakar pada darah dan tulang Vanessa, wanita itu tetap berjalan masuk ke dalam ruangan dengan santai, serta tak ambil pusing tetang pendapat Anggara perihal kehadirannya di sana. Bagaimanapun, ia telah menerima perlakuan tersebut sejak masih kecil. "Ayolah...aku hanya sebentar saja." Wanita itu berjalan mendekat kearah meja kerja Anggara, mendudukkan tubuh tepat di depan sang presdir muda tersebut. Sementara Anggara yang kurang suka dengan sosok sang adik, semakin jengah melihat tingkah lakunya. Anggara hanya diam dan tetap fokus dengan berkas yang di pegang, tanpa harus repot untuk melirik sosok yang kini telah duduk di depannya tersebut. "Sepertinya proyek hunian di pinggiran kota milik kakak sudah 80% selesai." Vanessa memulai percakapannya dengan Anggara, meski tidak di anggap sama sekali. "Kurasa, Ayah akan memberikan proyek hutan hijau kepadamu setelah ini." Anggara masih diam tak menghiraukan dirinya. Dan ini s
Namun belum sempat meratap untuk perih di hati, ucapan lain kembali di dengar. "Termasuk wanita itu, selama ia berkerja di sini jangan mencoba melakukan trik apapun lagi." Vanessa tidak percaya dengan apa yang di terima oleh pendengarannya, sehingga dengan gerak reflek ia berbalik dan menatap wajah dingin di balik meja kerja. "Apa kau bilang?, siapa yang masih bekerja di sini?." Bibir Vanessa membuat sebuah pertanyaan, yang bahkan meski telah menebak jawabannya. Wanita itu menekan kegetiran dalam hati dengan sekuat tenaga. 'iya...ini adalah satu-satunya saudara yang dia miliki, bagaimana mungkin ia lupa seperti apa sikap dan perlakuan untuk dirinya selama ini, meski banyak keraguan serta tanda tanya apa penyebabnya, namun bukankah dirinya adik sendiri?.' 'Yang terlebih penting, bagaimana mungkin Angel masih berkerja disana?, bukankah sosok hantu jejadian di dalam toilet adalah wanita itu?, ataukah sosok gambaran sebagai penerjemah kata "Wanita itu" berbeda deskripsi di antara m
''Semakin kau membenci, semakin banyak alasan untukku mempertahankannya di sini. Dan melihatmu seprti sekarang, aku mulai menyukai wanita itu.'' Lanjut pria tersebut lagi. Vanesa merasa tak bisa menerima apa yang didengar, atau lebih tepatnya ia menolak perkataan itu. Haruskah mulai berhenti berharap dan membenci, sosok saudara yang sangat ia inginkan sejak kecil dulu. Ataukah tetap bertahan untuk bersabar meski segalanya adalah mustahil, harapan Vanessa tak ubahnya seperti menunggu rumput yang akan menjulang kan padi suatu hari nanti. ''Apa kau pikir dengan otakmu yang dangkal bisa menipuku?." Anggara terdiam sejenak, dan mengalihkan tatapan kearah perut Vanessa sejenak, dan kembali berkata. "Lihatlah, bahkan jika kau hamil saat ini, pria itu tetap tak memandangmu, mengapa kau tidak bersembunyi atau mengganti wajahmu saja.'' Mungkin, jika di bandingkan dengan rebusan air mendidih di atas kompor, saat ini perasaan wanita itu jauh lebih panas. Baris kalimat disana memang mengata
''Dan dia juga sama membosankan seperti wanita itu, yang gagal mempertahankan suaminya. Jadi bayi itu jauh lebih baik menghilang, agar tidak ada sosok pembenci lain yang terlahir." Anggara mengatakan semuanya dengan bayang ingatan untuk beberapa sosok wanita, yang kini bergelayut dalam pikiran, sosok sang ibu yang telah meninggal, serta sosok Angel dengan wajah penuh amarah pagi tadi. ............................................ Sementara itu, Vanessa yang tengah berlinang air mata, dengan cepat berlari menuju kearah toilet wanita yang berada di lantai tersebut. Masuk ke dalam satu ruangan dan menguncinya rapat-rapat. Ia menyalakan keran air dengan penuh, seraya menangis sejadi-jadinya. Hati kecil yang biasa di manjakan oleh sang ibu dan ayah, kini hancur berkeping-keping karena ucapan Anggara. Bahkan jika ayahnya acuh tak acuh terhadap sang ibu di rumah, tetap saja masih memanjakannya selama ini, dan tidak memberikan reaksi berlebih sama sekali, setelah mengetahui kondisi dirin
Di sisi lain kota, saat senja menjamah Mayapada. Vanessa yang berusaha berdamai dengan hati, akhirnya telah membawa mobil yang di kendarai, masuk kedalam halaman rumah Aditama. Ia melangkah masuk dengan wajah yang masih menyiratkan kemelut hebat. Bahkan dari garis pandang sosok pelayan kecil di rumah, yang secara tak sengaja bertemu di sana, telah dapat menangkap perasaan buruk wanita itu. "Selamat datang nona." Sapa Reno sang pelayan kecil, dengan wajah yang berusaha tampil seceria mungkin. Dalam keseharian para pelayan kediaman, memang jarang bertemu dengan sosok sang nona. Bahkan beberapa detik lalu, ia sempat terkejut dengan pertemuan saat ini. Meski mereka tinggal dalam satu atap naungan kediaman yang sama, untuk saling berpapasan adalah hal yang jarang. Hal ini terjadi, karena kediaman tersebut yang begitu besar, dan dengan tata letak bangunan yang memisahkan ruangan utama, serta tempat untuk para pelayan. DI tambah lagi, ada juga beberapa aturan yang tidak mengijinkan
"Berhenti di sana Anes." Seru sang ibu, ketika melihat Vanessa hendak menuruni anak tangga, dengan langkah yang terburu-buru.. Ia ketakutan melihat kecerobohan sang putri, dan tanpa sadar sedikit meninggikan suara untuk mencegahnya turun. "Biar Mama saja yang datang, jangan turun sayang." Nadia, wanita yang menjadi istri kedua Hariadi Aditama Prawirya tersebut, berjalan menapaki tangga itu dengan penuh kecemasan. Sosoknya yang ramping dengan kulit kuning Langsat miliknya, mampu menciptakan sebuah kontras dengan rona wajah yang mengernyit saat ini. "Mengapa kau begitu ceroboh?, bagaimana jika terjatuh?." Tambah Nadia lagi, sembari memegang tangan sang putri penuh perhatian. Melihat dan menerima perlakuan yang demikian, tanpa di sadari mata Vanessa mulai berkaca-kaca. "Maaf ma...entah mengapa aku seperti ini." Hati keibuan Nadia seolah ditarik keluar dengan cepat, ketika melihat bulir bening mengalir di pipi Vanessa. Ia seolah merasakan sesuatu yang sangat tak nyaman dalam sekej
"Ba..baik tuan." Jawabnya dengan sedikit terbata. Wanita itu mengikuti Haryadi kedalam kamar mandi, dan menutup rapat ruangan tersebut setelah keduanya masuk. ........................................ Waktu berlalu tanpa terasa, sudah hampir satu jam lamanya setelah kedatangan sang tuan pemilik kediaman Aditama datang, sekarang pintu pagar depan kembali berderit lirih menandakan bahwa, penghuni lain juga sudah memasuki gerbang panjang yang kokoh, pembatas kediaman dengan dunia luar yang hiruk pikuk. Anggara memarkir mobil di halaman depan dengan sekenanya. Seorang pelayan tua dengan wajah cerah datang menghampiri seraya menyapanya penuh hormat, ketika pintu mobil mulai terbuka. ''Selamat datang Den." Anggara tak menoleh untuk melihat sosok dengan sapaan tersebut, karena ia telah mengetahui dengan jelas siapa gerangan pria tersebut. "Sore pak Diman, apa papa sudah pulang." Jawabnya masih dengan titik fokus bukan untuk sosok yang ia ajak bicara saat ini. "Sudah Den....Tuan sudah d
Meninggalkan keluarga Aditama dan beralih kekediaman lain. Angel yang tertidur di tengah kesedihannya, membuka mata dengan keterkejutan. Karena dalam ingatan sekilas setelah terbangun, sempat berpikir bahwa Bagas telah berbuat sesuatu terhadap dirinya. Namun, ketika melihat dan memperhatikan bahwa kini tubuh itu masih mengenakan pakaian yang sama seperti di awal ia berganti pakaian setelah mandi sore tadi, hatinya sedikit lega. Angel melirik jam yang bertengger gagah di dinding kamar, jarum-jarum enerjik di dalamnya telah menunjukkan pukul 19.46. "Pantas aku lapar sekarang." Gumamnya lirih. Wanita itu sedikit mengerucutkan bibir, dan meraba perut yang mulai berteriak minta jatah untuk di isi. Perlahan, ia bangun dari ranjang dan menuju kamar mandi, membasuh muka, melihat kearah cermin dan menatap wajah sendiri dengan seksama untuk beberapa saat. Dalam hati masih sedikit merasa sesak, dengan kejadian sore tadi, gambaran sosok sang suami yang biasa lembut serta penuh perhatian,
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan