''Dan dia juga sama membosankan seperti wanita itu, yang gagal mempertahankan suaminya. Jadi bayi itu jauh lebih baik menghilang, agar tidak ada sosok pembenci lain yang terlahir."Anggara mengatakan semuanya dengan bayang ingatan untuk beberapa sosok wanita, yang kini bergelayut dalam pikiran.............................................Sementara itu, Vanessa yang tengah berlinang air mata dengan cepat berlari menuju kearah toilet wanita yang berada di lantai tersebut.Masuk ke dalam satu ruangan, dan menguncinya rapat-rapat.Ia menyalakan keran air dengan penuh, dan menangis sejadi-jadinya.Hati kecil yang biasa di manjakan oleh sang ibu dan ayah, kini hancur berkeping-keping karena ucapan sang kakak.Bahkan sosok pria acuh tak acuh terhadap sang ibu di rumah, masih memanjakannya selama ini, dan tidak memberikan reaksi berlebih sama sekali, setelah mengetahui kondisi dirinya.Justru pria yang tak lain adalah Aditama Prawiry
Di sisi lain kota, saat senja menjamah Mayapada.Vanessa yang berusaha berdamai dengan hati, akhirnya telah membawa mobil yang di kendarai, masuk kedalam halaman rumah Aditama.Ia melangkah masuk dengan wajah yang masih menyiratkan kemelut hebat.Bahkan dari garis pandang sosok pelayan kecil di rumah, yang secara tak sengaja bertemu di sana, telah dapat menangkap perasaan buruk wanita itu."Selamat datang nona." Sapa Reno sang pelayan kecil, dengan wajah yang berusaha tampil seceria mungkin.Dalam keseharian para pelayan kediaman, memang jarang bertemu dengan sosok sang nona. Bahkan beberapa detik lalu, ia sempat terkejut dengan pertemuan saat ini.Meski mereka tinggal dalam satu atap naungan kediaman yang sama, untuk saling berpapasan adalah hal yang jarang.Hal ini terjadi, karena kediaman tersebut yang begitu besar, dan dengan tata letak bangunan yang memisahkan ruangan utama, serta tempat untuk para pelayan, apa yang tidak mungkin terjadi.DI tambah lagi, ada juga beberapa aturan y
"Berhenti di sana Anes." Seru sang ibu, ketika melihat Vanessa hendak menuruni anak tangga, dengan langkah yang terburu-buru..Ia ketakutan melihat kecerobohan sang putri, dan tanpa sadar sedikit meninggikan suara untuk mencegahnya turun."Biar Mama saja yang datang, jangan turun sayang."Nadia, wanita yang menjadi istri kedua Hariadi Aditama Prawirya tersebut, berjalan menapaki tangga itu dengan penuh kecemasan.Sosoknya yang ramping dengan kulit kuning Langsat miliknya, mampu menciptakan sebuah kontras dengan rona wajah yang mengernyit saat ini."Mengapa kau begitu ceroboh?, bagaimana jika terjatuh?." Tambah Nadia lagi, sembari memegang tangan sang putri penuh perhatian.Melihat dan menerima perlakuan yang demikian, tanpa di sadari mata Vanessa mulai berkaca-kaca."Maaf ma...entah mengapa aku seperti ini."Hati keibuan Nadia seolah ditarik keluar dengan cepat, ketika melihat bulir bening mengalir di pipi Vanessa.Ia seol
"Ba..baik tuan." Jawabnya dengan sedikit terbata.Wanita itu mengikuti Haryadi kedalam kamar mandi, dan menutup rapat ruangan tersebut setelah keduanya masuk.........................................Waktu berlalu tanpa terasa, sudah hampir satu jam lamanya setelah kedatangan sang tuan pemilik kediaman Aditama datang, sekarang pintu pagar depan kembali berderit lirih menandakan, bahwa penghuni lain juga sudah memasuki gerbang panjang yang kokoh, pembatas kediaman dengan dunia luar yang hiruk pikuk.Anggara memarkir mobil di halaman depan dengan sekenanya. Seorang pelayan tua dengan wajah cerah datang menghampiri seraya menyapanya penuh hormat, ketika pintu mobil mulai terbuka. ''Selamat datang Den."Anggara tak menoleh untuk melihat sosok dengan sapaan tersebut, karena ia telah mengetahui dengan jelas siapa gerangan pria tersebut. "Sore pak Diman, apa papa sudah pulang." Jawabnya masih dengan titik fokus bukan untuk sosok yang ia ajak bicara saat ini.
Sementara itu di kediaman lain.Angel yang tertidur di tengah kesedihannya, membuka mata dengan keterkejutan.Karena dalam ingatan sekilas setelah terbangun, ia sempat berpikir bahwa Bagas telah berbuat sesuatu terhadap dirinya. Namun, ketika melihat dan memperhatikan bahwa kini tubuh itu masih mengenakan pakaian yang sama, seperti di awal ia berganti pakaian setelah mandi sore tadi, hatinya sedikit lega.Angel melirik jam yang bertengger gagah di dinding kamar, jarum-jarum enerjik di dalamnya, telah menunjukkan pukul 19.46. "Pantas aku lapar sekarang." Gumamnya lirih.Wanita itu sedikit mengerucutkan bibir, dan meraba perut yang mulai berteriak minta jatah untuk di isi.Perlahan, ia bangun dari ranjang dan menuju kamar mandi. Mencuci muka, serta menatap cermin kecil di depanya, seraya menatap wajah sendiri dengan seksama untuk beberapa saat.Dalam hati masih sedikit merasa sesak, dengan kejadian sore tadi.Ia masih memikirkan sosok sang suami, yang biasa lembut serta penuh perhatian
"Bahkan kalian mencemo'ohku dengan kebahagian ini."Angel ingin melontarkan perkataan tersebut dengan keras, namun ketika melihat wajah kecil imut di atas pangkuan sang wanita, tangan Angel yang hendak melakukan tindakan ekstrim, kepada sepasang muda-mudi di sana terjeda sejenak. Dan sedetik kemudian, berbalik arah fokus lain, untuk menyentuh pucuk kepala kecil itu dengan lembut.Bibir Angel, berusaha menyunggingkan senyuman lembut untuk sosok mungil dan gemoy di sana.Namun, dengan kemelut yang berusaha di redam dalam hati, hal itu tidak mencapai ke dasar mata dan rasa.Bagaimanapun, ia masih memiliki keburukan dengan kebencian untuk sosok orang lain di dalamnya, bagaimana akan mampu merilis sebuah ketulusan.Jujur, saat ini Ia juga merasa takut atas pemikiran sendiri, ketika mengingat tindakannya yang tidak relevan beberapa detik lalu. Bagaimana ia bisa melihat sosok orang lain, dalam diri orang yang berbeda."Tante juga mau beli nasi goleng?." Tanya bocah kecil itu, dengan suaranya
Beberapa saat sebelum Angel keluar dari kamar, untuk mencari makan malam.Bagas yang di penuhi oleh rasa bersalah, masih berdiri di depan pintu kamar sang istri, hingga suara tangisan tak terdengar lagi. Pria tersebut bahkan masih terus berdiri di sana hingga beberapa menit setelahnya.Ia hanya diam mematung, termenung dan bergulat dengan hati dan pikiran sendiri, tidak mengetuk pintu, atau juga kembali masuk untuk memastikan kondisi sang Angel di dalam kamar.Sejak kapan air mata yang sempat meleleh dari manik mata miliknya mengering, dirinya sendiri juga tidak menyadari.Untuk waktu yang terlewati di depan ruangan kamar, ia tidak merasakan bahwa semuanya adalah salah dan teraniaya.Mungkin, ia memang patut melakukan hal tersebut, atau memang sengaja di lakukan untuk sedikit mengurangi rasa bersalah dalam hati.Entahlah, apa yang teronggok di pikiran Bagas sekarang, yang jelas dia di sana masih diam tak bergeming. Hingga sebuah lengkungan kecil muncul di bibirnya, balutan sorot mata
Waktu bergulir tidak menunggu siapapun, bahkan jika itu untuk sosok yang tengah gelisah, akibat pertengkaran di ruang makan beberapa saat yang lalu.Ia dia adalah Vanessa, yang tidak bisa tidur hingga pukul satu malam, wanita itu masih memikirkan perkataan Anggara saat di meja makan.°^ Flash back on. ^°Anggara yang datang kemeja makan setelah kehadiran Hariadi dan Nadia, tampak acuh kepada keduanya.Bukan hal yang aneh itu di lakukan oleh sosok dirinya di sana, mengingat selama ini ia memang tidak pernah bersikap manis kepada mereka.Akan tetapi, ketika pria tersebut telah mendudukkan tubuh, wajah tampannya sedikit mengernyit manakala manik mata miliknya, tak sengaja menangkap sosok kedua orang di depannya.Hariadi yang melihat ekspresi itu menghentikan gerak sendok makan yang ia pegang, dan bertanya. "Ada apa?."Anggara yang memahami pertanyaan barusan, masih meneruskan gerakan tangan untuk membalik piring makan di depanny
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan
"Njel...Apa kau percaya jika ku katakan aku tertarik kepadamu?."Angel terdiam sejenak, menatap wajah di depannya dengan sedikit raut terkejut. "Apa yang kudengar barusan?." Kurang lebih demikian makna dari diamnya.Tetapi ketika mengingat siapa Anggara, dan bagaimana kebiasaannya berhubungan dengan wanita, Angel kembali tenang dan bersikap wajar. Wanita itu mengangguk serta kembali menampilkan senyum kecil, sebelum menjawab dengan ringan. "Ya pak." Sekarang, giliran Anggara yang terdiam dan menatap serius wajah Angel dengan sorot mata tak percaya, bahkan secara reflek pria itu mengulangi perkataannya kembali. "Kubilang aku tertarik kepadamu, apa kau percaya?."Ada rasa ragu dalam baris kalimat kali ini, seperti rasa enggan, heran, dan mungkin sedikit campuran rasa "aneh" yang tak di mengerti sebabnya. Namun kapan seorang Anggara akan menjaga perkataan dan tindakan.Pria tersebut justru menatap sosok cantik di depannya lebih cermat. Sedetik kemudian, gejolak rasa ingin tahu serta se
"Haah...akhirnya aku bisa menikmati hidupku." Gumam Angel dalam hati dengan binar mata cerah, sembari berjalan mendekat kearah Anggara."Mohon di tentukan pak." Ucapnya ringan sembari menyodorkan ponsel, yang telah menampilkan beberapa foto wanita cantik."Ini Rania 19 tahun mahasiswi di kota ini, cantik, putih, tinggi 169cm. Kalau yang ini Daisy 20 tahun, putih, indo cina 168cn, mahasiswi juga, dan yang ini..." Angel terus menggeser layar ponsel serta memberikan penjelasan tentang profil foto yang di lihat, tanpa menyadari kelainan ekspresi wajah Anggara, yang kini sudah bisa di bilang hampir menempel kepadanya. "Evangeline." Jawab Anggara dengan suara sedikit dalam, ketika Angel selesai menyebut nama salah satu profil foto pada layar.Iya...Evangeline, janda cantik satu anak berpose jauh lebih berani dari yang lainnya, wajahnya cantik, dengan kulit kuning Langsat mampu membuat pria manapun bertekuk lutut."Hah?." Jawab Angel reflek seraya menoleh kearah Anggara. Tentu saja wanita i