Dari kebohongan kecil yang di lakukan diri sendiri, kini semakin membesar dengan melibatkan kedua orang tuanya, bahkan sosok Nadia dan satu rekannya lagi juga harus di tambahkan dalam hitungan. Kembali saat di daerah pembangunan hunian milik APC.Bagas yang tidak mengerti, bahwa dirinya tengah menjadi bagian dari rencana Vanessa menghitung sang istri, dengan sabar menemani wanita itu kesana.Ia berpikir bahwa tidak salah dengan hal tersebut, karena telah memutuskan untuk fokus pada Angel saja, serta mencurahkan sedikit perhatian untuk sang calon anak dalam perut. Jadi sudah sewajarnya ia harus mengetahui di mana tempat tinggal mereka. Bagaimanapun itu memang bayi dan darah daging dari tubuh sendiri.Di tambah lagi, dengan perut Vanessa yang terlihat semakin membesar, Bagas mengerti bahwa dalam kondisi yang demikian, wanita tersebut harus memerlukan dampingan. Bagas berpikir sah-sah saja, menemani datang kesana sekedar untuk melihat
Seolah aliran listrik kuat menyentaknya hebat.Menghisap darah dan tenaga yang di miliki hingga tubuhnya bergetar, serta berimbas pada hati yang berdenyut tak terkontrol seketika.Mematung...mematung dan membeku. Angel diam tak bergeming tanpa sebuah kata beberapa saat, hingga. "Aaahh....Tuhaaaan bangunkan aku.." Perkataan pertama yang keluar dari bibir tersebut, dengan Isak tangis yang mulai terdengar.Mungkin, air mata-lah justru yang berjalan keluar terlebih dahulu, sebelum penggalan baris kata meluncur penuh pilu.Namun, sosok di depan sana, telah menghilang dengan punggung kecil mobil yang kian menjauh. Meninggalkan dirinya, dengan kehancuran yang tak lagi terhalau.Bagas yang berlalu dari hunian tersebut, masih dengan tenang dan sikap penuh kesabaran menemani wanita di sampingnya.Keduanya tidak kembali kekantor, melainkan langsung menuju rumah sakit menemui dokter yang telah di jadwalkan, untuk pemeriksaan bulanan kehamilan Vanessa.........................................*Bac
Dan itu benar sekali. Bahkan jika nanti ia kembali datang, mungkin pintu itu tidak akan dibukakan untuk dirinya lagi. Di sini, masih di halaman tempat tinggal Angel, Bagas semakin pesimis dengan apa yang akan terjadi di antara mereka...........................................Di dalam rumah.Setelah kepergian Bagas, Angel berniat untuk melanjutkan mendamaikan hatinya dengan tidur penuh sepanjang hari, bila perlu itu akan di lakukan nya sampai besok. Tidur, mandi, makan, dan tidur lagi. Angel benar-benar ingin melakukan apa yang tengah berada dalam pikirannya.Berjalan menuju tempat tidur, dan melemparkan tubuh itu diantara tumpukan bantal selimut dan guling.Memejamkan mata perlahan, serta berusaha menyusup kembali dan menghilang, diantara buaian lembut kenyamanan pulau kapuk.Angel memang pandai dalam hal ini. Sekalinya ia kelelahan, baik itu secara fisik ataupun pikiran, maka kemampuan istimewanya untuk tidur akan datang
Namun, sebesar apapun kemarahan dan kekesalannya saat ini, Angel tetap harus membuka tautan email ke dua.Dan seperti yang pertama, surat kedua juga semakin membuatnya naik pitam. Bagaimana tidak, itu adalah susunan jadwalnya selama seminggu ke depan di kota D, dan jam keberangkatan telah di tetapkan siang ini."Aaaahhkk...kalian kakak beradik benar-benar ingin membuatku gila." Angel berteriak dengan keras, namun dengan tubuh dan tangan yang segera bangkit dari ranjang, untuk menyambar koper besar yang di sandarkan di samping lemari baju.Koper tersebut, berisi beberapa baju yang di ambilnya dari rumah keluarga Pambudi 2 hari yang lalu.Karena kesibukan dan rasa lelah serta penat dalam hati beberapa hari ini, ia belum sempat membereskannya kembali.Dan hal itu menjadi titik keberuntungan tersendiri, karena ia tak lagi perlu berkemas.Angel mau tak mau harus menuruti perintah yang ada, karena nominal uang di rekening bank miliknya masih jauh dari cuk
Anggara yang melihat hal itu sejak awal tak memberikan reaksi yang berarti, kecuali sepenggal klimat dengan makna yang tak berguna. "Sudah lamban bodoh pula."Angel yang mendengar kata-kata kurang mengenakkan tersebut, dengan cepat menoleh kearah samping. Menatap sosok yang baru di kenalnya kemarin, dengan pandangan yang ingin memakan orang hidup-hidup.Bahkan, jika sudah menjebloskannya kedalam box hitam di hati, ia masih ingin menimbunnya dengan seluruh benda benar di dunia ini."Dan orang bodoh mana ingin memperkejakan sekertaris bodoh ini, sampai dengan menggunakan trik kotor?." Angel ingin mengatakan itu, untuk menjawab perkataan kasar Anggara yang duduk di sampingnya. Akan tetapi, belum juga wanita itu membuka bibir, suara Handoko kembali mengalihkan perhatian Angel."Bu..bisa pinjam kunci pagar?." Handoko.Mendengar pertanyaan sosok di samping mobil, Angel mengernyit sejenak. Ia bingung Untuk apa kunci pagar di perluk
Angel yang masih berusaha memahami situasi di sana, terkejut saat Handoko merapatkan jarak diantara keduanya, sedikit mencondongkan tubuh, dan berbisik pelan."Map biru."Mendengar hal itu, Wanita tersebut dengan cepat meraih map biru yang berada di jok mobil belakang, di antara tumpukan beberapa map lain yang di serahkan kepadanya oleh Handoko tadi. Setelah mengambil map tersebut, dengan cepat pula ia kembali ke posisi semula, berdiri tepat di belakang Handoko dan Anggara.Angel sejenak mendekat kearah punggung Handoko yang tegak berdiri di sana, sembari bersuara lirih. "Terimakasih." Dan di jawab senyum tipis oleh sosok sang pria.Anggara yang mendengar komunikasi di antara keduanya sejak tadi, hanya bisa terdiam dan meneguk rasa jengah hati, yang kian tebal dalam diam.Ketiganya di persilahkan untuk masuk kedalam ruangan besar, dengan beberapa meja panjang yang telah di tata sedemikian rupa, dengan minuman dan hidangan pemanis, tersedia di
"Perkenalkan nama saya Panji. Dan kebetulan perwakilan dari asosiasi pemuda di desa ini." "Sesuai dengan rencana yang di sampaikan, bahwa lahan tersebut nantinya akan di bangun sebuah perumahan, bisakah penduduk desa kami ikut untuk berpartisipasi?."Mendengar pertanyaan tersebut, Angel yang memang masih ragu tentang pemahaman untuk perkataan yang di sampaikan, menjawab. "Dengan saudara Panji?.""Ia...Panji." Dan disahuti secara reflek oleh pria di depannya, yang juga berdiri sembari memegang Microfon."Bisakah Anda menggambarkan dengan jelas, arti dari berpartisipasi di sini?." Angel."Terimakasih sudah di beri kesempatan." Panji."Yang kami maksudkan di sini, adalah ikut berkerja di dalam proyek pembangunan nantinya. Mohon maaf, ini juga telah dirundingkan, dan mencapai persetujuan bapak Kades, dan setiap perangkat yang terkait. Mengenai tenaga yang dipilih atau yang akan diperkerjakan nantinya, kami berhara
Angel yang tidak sarapan tadi pagi, mengambil sebuah lumpia di atas piring, dan memakannya.Meneguk air mineral di atas meja, untuk melarutkan obat yang seharusnya sudah di minum pagi ini, melewati tenggorokannya yang kering.Anggara mengernyitkan dahi, ketika melihat tindakan wanita di samping Handoko."Bagaimana ada orang yang begitu ceroboh, dan sialnya lagi itu adalah sekretarisnya." Pikir Anggara dalam diam.Pria itu mulai menyesali keputusannya yang absurd, dengan menjadikan wanita itu sekertaris pribadinya.Menurut penilaian Anggara, Angel bahkan bisa ceroboh dengan tubuh sendiri, bukankah itu jauh lebih mudah dengan urusan lainnya.Handoko yang memperhatikan arah tatapan Anggara, yang terfokus pada wanita di sampingnya, mencondongkan tubuh sedikit mendekat ke Anggara, dan bertanya dengan suara pelan. "Ada apa?, apa sekarang kau merasa dia cantik?." Anggara hanya menatap kebodohan sahabat di sampingnya, dan kembali beralih
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan
"Njel...Apa kau percaya jika ku katakan aku tertarik kepadamu?."Angel terdiam sejenak, menatap wajah di depannya dengan sedikit raut terkejut. "Apa yang kudengar barusan?." Kurang lebih demikian makna dari diamnya.Tetapi ketika mengingat siapa Anggara, dan bagaimana kebiasaannya berhubungan dengan wanita, Angel kembali tenang dan bersikap wajar. Wanita itu mengangguk serta kembali menampilkan senyum kecil, sebelum menjawab dengan ringan. "Ya pak." Sekarang, giliran Anggara yang terdiam dan menatap serius wajah Angel dengan sorot mata tak percaya, bahkan secara reflek pria itu mengulangi perkataannya kembali. "Kubilang aku tertarik kepadamu, apa kau percaya?."Ada rasa ragu dalam baris kalimat kali ini, seperti rasa enggan, heran, dan mungkin sedikit campuran rasa "aneh" yang tak di mengerti sebabnya. Namun kapan seorang Anggara akan menjaga perkataan dan tindakan.Pria tersebut justru menatap sosok cantik di depannya lebih cermat. Sedetik kemudian, gejolak rasa ingin tahu serta se