Angel yang masih berusaha memahami situasi di sana, terkejut saat Handoko merapatkan jarak diantara keduanya, sedikit mencondongkan tubuh, dan berbisik pelan. "Map biru." Mendengar hal itu, Angel dengan cepat meraih map biru yang berada di jok mobil belakang di antara tumpukan beberapa map lain yang di serahkan kepadanya oleh Handoko tadi. Setelah mengambil map dengan cepat ia kembali ke posisi semula, berdiri tepat di belakang Handoko dan Anggara. Angel sejenak mendekat kearah punggung Handoko yang tegak berdiri di sana, sembari bersuara lirih. "Terimakasih." Dan di jawab senyum tipis oleh sosok sang pria. Anggara yang mendengar komunikasi di antara keduanya sejak tadi, hanya bisa terdiam dan meneguk rasa jengah hati. Ketiganya di persilahkan untuk masuk kedalam ruangan besar, dengan beberapa meja panjang yang telah di tata sedemikian rupa, dengan minuman dan hidangan pemanis, tersedia di atasnya. Anggara mengambil duduk pada kursi depan, yang menghadap meja lain dengan kursi b
"Perkenalkan nama saya Panji. Dan kebetulan perwakilan dari asosiasi pemuda di desa ini." "Sesuai dengan rencana yang di sampaikan, bahwa lahan tersebut nantinya akan di bangun sebuah perumahan, bisakah penduduk desa kami ikut untuk berpartisipasi?." Mendengar pertanyaan tersebut, Angel yang memang masih ragu tentang pemahaman untuk perkataan yang di sampaikan, menjawab. "Dengan saudara Panji?." "Ia..." Dan disahuti secara reflek oleh pria di depannya, yang juga berdiri sembari memegang Microfon. "Bisakah Anda menggambarkan dengan jelas, arti dari berpartisipasi di sini?." Angel. "Terimakasih sudah di beri kesempatan." Panji. "Yang kami maksudkan di sini, adalah ikut berkerja di dalam proyek pembangunan nantinya. Mohon maaf, ini juga telah dirundingkan, dan mencapai persetujuan bapak lurah, dan setiap perangkat yang terkait. Mengenai tenaga yang dipilih atau yang akan diperkerjakan nantinya, kami berharap untuk di utamakan lebih dulu dari lingkungan desa kami. Selain untuk m
Angel yang tidak sarapan tadi pagi, mengambil sebuah lumpia di atas piring, dan memakannya. Meneguk air mineral di atas meja, untuk melarutkan obat yang seharusnya sudah di minum pagi ini, melewati tenggorokannya yang kering. Anggara mengernyitkan dahi, ketika melihat tindakan wanita di samping Handoko. 'Bagaimana ada orang yang begitu ceroboh, dan sialnya lagi itu adalah sekretarisnya.' Pikir Anggara dalam diam. Pria itu mulai menyesali keputusannya yang absurd, dengan menjadikan wanita itu sekertaris pribadinya. Menurut penilaian Anggara, Angel bahkan bisa ceroboh dengan tubuh sendiri, bukankah itu jauh lebih mudah dengan urusan lainnya. Handoko yang memperhatikan arah tatapan Anggara terfokus pada wanita di sampingnya, mencondongkan tubuh sedikit mendekat ke Anggara, dan bertanya dengan suara pelan. "Ada apa?, apa sekarang kau merasa dia cantik?." Anggara hanya menatap kebodohan sahabat di sampingnya, dan kembali beralih menatap ke arah para perunding. Kurang lebih 1 jam la
Anggara meraba dada kiri atasnya dengan perlahan, dan berpikir "Mengapa ia seperti ini?." Pria tersebut sempat termenung sejenak di depan ruangan. Dan membutuhkan beberapa detik kemudian sebelum mendorong pintu sebelum masuk kedalam. Melihat kedatangan Anggara dengan wajah yang sedikit tak baik, Handoko menggeser tubuh meringsek lebih dekat kearah Angel. Dan menyisakan ruang untuk di tempati oleh Anggara. Di depannya, sebuah meja panjang dengan aneka masakan lengkap tertata. Ada nasi dalam bakul, ayam panggang, udang bakar madu, gurami goreng, cumi kuah hitam, tempe dan tahu bacem, aneka sambal serta lalapan. Melihat tampilan di atas meja yang masih rapi, Anggara menyadari bahwa keduanya belum mulai makan, untuk menunggu dirinya. Ia segera mencuci tangan pada mangkok air, yang berisi irisan jeruk nipis di atas meja. Membuka piring di depannya, dan hendak mengambil nasi untuk mulai makan. Namun karena bakul nasi berada agak jauh dari jangkauan, Anggara melihat sosok Angel yang k
"Pelajari saja proyek berikutnya dengan baik." Anggara hanya menatapnya sekilas, dan begitu perkataan itu selesai terucap, ia mengalihkan pandangan menatap kearah punggung kursi di balik Handoko. Angel kembali duduk pada posisi sebelumnya, meski ada sedikit tanda tanya atas perubahan sikap Anggara, ia tidak memikirkannya hingga dalam. Bagiamanpun, ia bukan sosok yang tepat untuk bertanya lebih jauh, karena Angel harus fokus untuk perkejaan serta harus memperhatikan kebutuhan sang Presdir menyangkut lingkup teratur dan berjalan baiknya perkejaan tersebut, maka keutamaan dan kenyamanan pria di sampingnya juga terpaut. Dan bertanya tentang kondisi dari sosok sang atasan, sudah merupakan perhatian terbaik sebagai kewajiban lain dari tugasnya. Namun, jika yang di perhatikan menolak untuk berbicara, sudah tentu hal itu di luar tanggung jawabnya. Angel tidak kecewa, ataupun merasa kecewa dengan perubahan Anggara. Pribadinya yang tidak suka di usik, ataupun mengusik polemik orang lain me
Akan tetapi, ketika melihat anggukan pelan dari Handoko dengan senyuman kecil kening Angel sedikit berkerut, semakin bingung. 'Nggak jelas kenal saja baru hari ini, sok akrab.' Angel bergumam dalam hati. Wanita itu merasa sikap Handoko sedikit berlebihan dengan secara spontan mengajaknya keluar sekarang, terlebih lagi ia telah berencana untuk beristirahat. Namun, sebagai orang baru dan masih belum mengenal dengan baik rekan kerja di APC, Angel tak bisa bertindak sembrono. "Bagaimana ya?." Dengan wajah yang sedikit enggan ia berdiri tegak, menggerakkan tangan perlahan untuk membuka pintu sedikit lebih lebar, sehingga tampilan dirinya yang tengah mengenakan handuk kimono terlihat di hadapan Handoko. Dan dengan mengarahkan manik mata ke arah diri sendiri, seraya mengangkat pundak keatas sejenak. Dengan kata lain ia baru saja selesai mandi, dan bersiap untuk beristirahat. Dalam diam dan isyarat gerak manik mata itu, Angel berharap Handoko merasa sungkan dan mengurungkan niat un
Selama perjalan menuju rumah makan, Angel berpikir bahwa kontrak kerja ini tidak sepenuhnya buruk. Ia bisa melenggang santai bersama seseorang yang mungkin bukan siapa-siapa di hidupnya beberapa waktu lalu, menikmati kebersamaan nyaman, tanpa beban sebuah pertalian hubungan. "Teman", mungkin kata itu, kedepannya dapat ia pertimbangkan untuk sosok pria di sampingnya sekarang. Tepat pukul 7 malam, keduanya keluar dari rumah makan yang mereka pilih. Handoko yang tampak menikmati waktu makan kali ini, tanpa sadar telah beberapa kali menyembulkan senyum tipis di bibir. Sungguh, sebuah gerakan kecil di wajah itu akan mampu mengguncang keterkejutan pikiran dari setiap pekerja di kantor induk APC, jika saja mereka mengetahui. "Masuklah, ada satu tempat yang ingin ku kunjungi." Handoko membuka pintu mobil, meminta Angel untuk segera masuk dengan senyum tipis yang terpasang. Angel kembali bingung, lebih tepatnya heran serta sedikit takut. Dalam benak banyak gambaran buruk serta prasangk
Handoko tak menyahuti perkataan itu, justru ia hanya menyunggingkan senyum tipis. Dan tentu saja, hal itu di lewatkan oleh Angel. "Gedungnya tinggi." Ucap Handoko, seolah tengah membahas hal lain yang tak bersangkutan, dengan perkataan wanita di samping barusan. "Hah!..Apa?." Angel secara reflek menoleh ke arah Handoko. "Tempat yang akan kita datangi tinggi, jadi jika kau masih takut ketinggian katakan saja dengan jujur." Handoko mengulangi perkataan beberapa saat lalu, serta berusaha menjelaskan. Angel yang merasa sedikit terkejut dengan penjabaran barusan, semakin di buat bingung. "Siapa yang takut ketinggian?." Mendengar jawaban reflek dari sosok di sampingnya, kini giliran Handoko yang mengernyitkan kening. 'Bukannya itu kamu?.' Ia ingin menjawab demikian, tapi dengan pikiran yang kembali tersadar, segera di urungkan nya. "Maksudku, jika takut ketinggian jangan gengsi untuk bicara." Suara Handoko masih terdengar tenang, seolah perkataan serta ekspresi wajah Angel tidak
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati. Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, sebab di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke depan. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir, wanita itu berpikir bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah ia memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu beberapa saat tadi, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa sesak menyeruak dalam dada, yang perlahan menghimpit hati Angel, mungkin ini mengacu pada rasa malu, kesal pada diri sendiri, atau mungkin merasa rendah sert
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan. "Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dia merasa kesal melihat orang lain menertawakan sekertaris nya, meskipun dia juga sempat merasa lucu tadi. Tapi itu berbeda jika dia yang mentertawakan makhluk bodoh ini, dan hanya dia yang boleh orang lain tidak. Anggara tidak menyadari semua sikap dan tindakannya saat ini. Maklumlah seorang Anggara kapan akan mempertimbangkan ucapan d
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan