Anggara meraba dada kiri atasnya dengan perlahan, dan berpikir "Mengapa ia seperti ini?." Pria tersebut sempat termenung sejenak di depan ruangan. Dan membutuhkan beberapa detik kemudian sebelum mendorong pintu sebelum masuk kedalam. Melihat kedatangan Anggara dengan wajah yang sedikit tak baik, Handoko menggeser tubuh meringsek lebih dekat kearah Angel. Dan menyisakan ruang untuk di tempati oleh Anggara. Di depannya, sebuah meja panjang dengan aneka masakan lengkap tertata. Ada nasi dalam bakul, ayam panggang, udang bakar madu, gurami goreng, cumi kuah hitam, tempe dan tahu bacem, aneka sambal serta lalapan. Melihat tampilan di atas meja yang masih rapi, Anggara menyadari bahwa keduanya belum mulai makan, untuk menunggu dirinya. Ia segera mencuci tangan pada mangkok air, yang berisi irisan jeruk nipis di atas meja. Membuka piring di depannya, dan hendak mengambil nasi untuk mulai makan. Namun karena bakul nasi berada agak jauh dari jangkauan, Anggara melihat sosok Angel yang k
"Pelajari saja proyek berikutnya dengan baik." Anggara hanya menatapnya sekilas, dan begitu perkataan itu selesai terucap, ia mengalihkan pandangan menatap kearah punggung kursi di balik Handoko. Angel kembali duduk pada posisi sebelumnya, meski ada sedikit tanda tanya atas perubahan sikap Anggara, ia tidak memikirkannya hingga dalam. Bagiamanpun, ia bukan sosok yang tepat untuk bertanya lebih jauh, karena Angel harus fokus untuk perkejaan serta harus memperhatikan kebutuhan sang Presdir menyangkut lingkup teratur dan berjalan baiknya perkejaan tersebut, maka keutamaan dan kenyamanan pria di sampingnya juga terpaut. Dan bertanya tentang kondisi dari sosok sang atasan, sudah merupakan perhatian terbaik sebagai kewajiban lain dari tugasnya. Namun, jika yang di perhatikan menolak untuk berbicara, sudah tentu hal itu di luar tanggung jawabnya. Angel tidak kecewa, ataupun merasa kecewa dengan perubahan Anggara. Pribadinya yang tidak suka di usik, ataupun mengusik polemik orang lain me
Akan tetapi, ketika melihat anggukan pelan dari Handoko yang di sertai dengan senyuman kecil, Angel semakin bingung. 'Nggak jelas?, kenal saja baru hari ini sok akrab.' Angel mengernyitkan kening sejenak, melihat sosok yang berdiri tegap di depan pintu. Ia merasa bahwa Handoko berlebihan jika secara spontan mengajaknya keluar sekarang, terlebih lagi wanita itu telah berencana untuk beristirahat. Namun, sebagai orang baru dan masih belum mengenal dengan baik rekan kerja di APC, Angel tak bisa bertindak sembrono. "Bagaimana ya?." Dengan wajah yang sedikit enggan ia berdiri tegak, menggerakkan tangan perlahan membuka pintu sedikit lebih lebar, sehingga tampilan dirinya yang mengenakan handuk kimono terlihat di hadapan Handoko. Angel mengarahkan manik mata secara sengaja ke arah diri sendiri, serta sedikit mengangkat pundak keatas seolah itu dilakukan secara reflek. Dengan maksud ingin mengatakan bahwa ia baru saja selesai mandi, dan bersiap untuk beristirahat. Dalam diam dan i
Angel berpikir selama dalam perjalannya bersama Handoko menuju rumah makan, bahwa kontrak kerja ini tidak sepenuhnya buruk. Ia bisa melenggang santai bersama seseorang, yang mungkin bukan siapa-siapa di hidupnya beberapa waktu lalu.Menikmati kebersamaan nyaman, tanpa beban sebuah pertalian hubungan. "Teman", mungkin kata itu, kedepannya dapat ia pertimbangkan untuk sosok pria di sampingnya sekarang.Tepat pukul 7 malam, keduanya keluar dari rumah makan yang mereka pilih.Handoko yang tampak menikmati waktu makan kali ini, tanpa sadar menyembulkan senyum beberapakali.Sungguh, sebuah gerakan kecil di wajah itu akan mampu mengguncang keterkejutan pikiran, dari setiap pekerja di kantor induk APC, jika saja mereka mengetahui."Masuklah, ada satu tempat yang ingin ku kunjungi." Handoko membukakan pintu mobil, meminta Angel untuk segera masuk dengan senyum lembut yang terpasang.Dalam hati dan pikiran wanita tersebut, ia mas
"Maaf... baru-baru ini banyak hal yang terjadi, saya jadi sedikit sensitif." Lanjutnya lagi.Handoko tak menyahuti perkataan itu, justru ia hanya menampilkan senyum tipis di bibirnya.Dan tentu saja, hal itu di lewatkan oleh sosok sang wanita."Gedungnya tinggi." Ucap Handoko, seolah ia tengah membahas hal lain yang tak bersangkutan, dengan perkataan wanita di sampingnya barusan."Hah!..Apa?." Angel secara reflek menoleh ke arah sosok di sampingnya."Tempat itu gedungnya tinggi, jadi jika kau masih takut ketinggian katakan saja dengan jujur." Handoko mengulangi perkataannya beberapa saat lalu, dan di imbuhi dengan penjelasan untuk klarifikasi.Angel yang merasa sedikit terkejut dengan penjabaran barusan, semakin di buat bingung."Siapa yang takut ketinggian?." Angel.Mendengar jawaban reflek dari sosok di sampingnya, kini giliran Handoko yang mengernyitkan kening."Bukannya itu kamu?." Ia ingin mengucapkannya, tapi de
"Lihat saja, sejauh apa kau akan bertindak malam ini."Angel bergumam untuk diri sendiri, di sela langkah kakinya yang kian memasuki lobi utama gedung apartemen."Selamat malam, bisa tunjukkan nomor reservasi anda." Sapa seorang wanita cantik, yang berdiri di depan pintu masuk dengan ramah."Reservasi?." Angel mengerutkan kening, dengan pertanyaan wanita cantik di depannya."Maaf maksud......" Perkataan Angel tidak terselesaikan dengan baik, ketika Handoko kembali berbalik, dan mendekat kearahnya, dan berkata. "Dia bersamaku."Melihat sosok mendekat, wanita cantik dengan pakaian resmi kantor, ala resepsionis bernuansa warna ungu disana, membungkuk dan tampak sedikit terkejut."Maaf tuan...Selamat menikmati malam Anda." Ucap sang wanita tersebut, dengan rasa gugup yang terlihat jelas di wajahnya."Selamat menikmati nona, semoga menjadikan malam Anda berkesan." Kali ini wanita dengan pakaian ungu di sana, berbalik ke arah
"Tenang saja, semua akan baik-baik saja."Hati Angel menjerit dengan kuat dalam hati, bagaimana ia akan baik-baik saja dengan sosok yang siap mencaploknya.Meskipun dirinya wanita yang telah menikah, bahkan akan menjadi sosok janda kedepannya. Lalu apakah ia akan dengan mudah melakukan hal itu dengan sembarang orang.Seandainya Handoko bisa membaca pikiran orang lain, mungkin ia akan muntah darah saat itu juga. Namun, dengan ikat baik dan pikiran murni membantu, pria tersebut justru semakin mengeratkan pegangan tangan, ketika sosok disana masih terlihat sedikit pucat.Bahkan, ia masih menggandeng wanita itu setelah keluar dari lift, hingga menuju sebuah pintu besar di depan mereka.Sementara Angel yang di perlakukan demikian, hanya bisa menunduk dengan kepedihan hati yang kian miris. Dalam kebisuannya ia tak habis pikir, mengapa dirinya di pandang serendah ini?, seburuk dan serendah itukah harga dirinya di depan pria tersebut?.
"Lihat...aku juga sudah membeli teropong bintang yang kau inginkan..Lihat bukankah ini indah?." Keduanya memang tengah memasang wajah senyum, namun tentu saja dengan makana yang berbeda.Wanita tersebut, masih belum dapat menarik senyum canggung atas rasa malu, akibat pikiran buruk sendiri tentang sosok Handoko di depannya,b yang tampak antusias ketika menatap wajahnya."Anggi?, siapa lagi yang ia sebut?." Gumamnya dalam pikiran. Angel tambah bingung dengan sikap dan interaksi dari sosok Handoko."Apa kau gila...siap..." Belum sempat perkataannya terselesaikan, sebuah ingatan yang telah tertutup lama, seolah kembali menyambangi pikiran wanita itu.Ibarat sebuah kabut yang seakan tersibak secara tiba-tiba, Angel melebarkan mata."Tu..tung..tunggu...Anggi?, kau memanggilku Anggi?." Angel semakin menajamkan tatapan mata itu kearah Handoko.Dan hal itu, di tanggapi dengan anggukan antusias oleh pria tersebut.Mata Angel semakin membulat, dan tarikan garis lengkung bibirnya lebih lebar l
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan