"Lihat saja, sejauh apa kau akan bertindak malam ini."
Angel bergumam untuk diri sendiri, di sela langkah kakinya yang kian memasuki lobi utama gedung apartemen."Selamat malam, bisa tunjukkan nomor reservasi anda." Sapa seorang wanita cantik, yang berdiri di depan pintu masuk dengan ramah."Reservasi?." Angel mengerutkan kening, dengan pertanyaan wanita cantik di depannya."Maaf maksud......"Perkataan Angel tidak terselesaikan dengan baik, ketika Handoko kembali berbalik, dan mendekat kearahnya, dan berkata. "Dia bersamaku."Melihat sosok mendekat, wanita cantik dengan pakaian resmi kantor, ala resepsionis bernuansa warna ungu disana, membungkuk dan tampak sedikit terkejut."Maaf tuan...Selamat menikmati malam Anda." Ucap sang wanita tersebut, dengan rasa gugup yang terlihat jelas di wajahnya."Selamat menikmati nona, semoga menjadikan malam Anda berkesan." Kali ini wanita dengan pakaian ungu di sana, berbalik ke arah"Tenang saja, semua akan baik-baik saja."Hati Angel menjerit dengan kuat dalam hati, bagaimana ia akan baik-baik saja dengan sosok yang siap mencaploknya.Meskipun dirinya wanita yang telah menikah, bahkan akan menjadi sosok janda kedepannya. Lalu apakah ia akan dengan mudah melakukan hal itu dengan sembarang orang.Seandainya Handoko bisa membaca pikiran orang lain, mungkin ia akan muntah darah saat itu juga. Namun, dengan ikat baik dan pikiran murni membantu, pria tersebut justru semakin mengeratkan pegangan tangan, ketika sosok disana masih terlihat sedikit pucat.Bahkan, ia masih menggandeng wanita itu setelah keluar dari lift, hingga menuju sebuah pintu besar di depan mereka.Sementara Angel yang di perlakukan demikian, hanya bisa menunduk dengan kepedihan hati yang kian miris. Dalam kebisuannya ia tak habis pikir, mengapa dirinya di pandang serendah ini?, seburuk dan serendah itukah harga dirinya di depan pria tersebut?.
"Lihat...aku juga sudah membeli teropong bintang yang kau inginkan..Lihat bukankah ini indah?." Keduanya memang tengah memasang wajah senyum, namun tentu saja dengan makana yang berbeda.Wanita tersebut, masih belum dapat menarik senyum canggung atas rasa malu, akibat pikiran buruk sendiri tentang sosok Handoko di depannya,b yang tampak antusias ketika menatap wajahnya."Anggi?, siapa lagi yang ia sebut?." Gumamnya dalam pikiran. Angel tambah bingung dengan sikap dan interaksi dari sosok Handoko."Apa kau gila...siap..." Belum sempat perkataannya terselesaikan, sebuah ingatan yang telah tertutup lama, seolah kembali menyambangi pikiran wanita itu.Ibarat sebuah kabut yang seakan tersibak secara tiba-tiba, Angel melebarkan mata."Tu..tung..tunggu...Anggi?, kau memanggilku Anggi?." Angel semakin menajamkan tatapan mata itu kearah Handoko.Dan hal itu, di tanggapi dengan anggukan antusias oleh pria tersebut.Mata Angel semakin membulat, dan tarikan garis lengkung bibirnya lebih lebar l
"Kapan kita bertemu kak?,maksudku kapan kau mulai mengenali bahwa ini aku?." Angel.Entah mengapa dalam hatinya berpikir, bahwa Handoko lebih mengacu kearah kehidupan pribadinya.Meski juga tengah di lilit kontrak kerja yang hanya sepihak, namun tetap saja pikirannya tidak menyambungkan perihal itu.Insting Angel, menggambarkan perkataan Handoko lebih merujuk kearah polemik kehidupan di luar kantor, bahwa pria di sana mengetahui semua yang telah ia alami.Handoko mengusap punggung tangan Angel lembut, seolah mengatakan bahwa ia ada di sampingnya, jangan bersedih, atau sedang memberinya sebuah kekuatan untuk tetap tegar.Namun, perasaan Angel tiba-tiba saja menjadi sedikit tidak nyaman. Ia merasa seperti seorang anak kecil, yang tengah di pergoki, lantaran melakukan sebuah kesalahan.Dan secara reflek menarik kedua tangannya, serta menghindari tatapan pria tersebut, dengan berusaha menampilkan senyum yang penuh ketenangan."Apa maksudmu kak, bukannya kalian yang membuatku seperti ini?."
Di langit, bulan kian mengecil dengan tertutup bayang hitam, yang semakin menutup seluruh permukaan.Dan di atas teras griya tawang apartemen, Handoko benar-benar menelan ucapannya. Ia hanya menatap sosok yang kini berdiri di sampingnya, dengan wajah mendongak ke atas menatap bulan yang semakin menghilang.Keseriusan wajah keduanya tampil sempurna.Entah apa yang di pikirkan oleh sosok Handoko dengan pandangan mengarah ke pada Angel, dan apa yang di pikirkan oleh wanita di sana dengan tatapan lurus ke arah bulan.Bahkan hingga bulan kembali membuka tabir cahaya yang menyinari bumi kembali, baik Handoko maupun Angel telah melupakan sisi baik dan fungsi dari teropong yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri."Sudah selesai, duduk dan makanlah." Handoko mengajak Angel untuk kembali duduk, ia berharap semuanya menjadi lebih mudah untuk berbicara.Setelah Angel menempatkan bagian belakang tubuhnya dengan baik."Sebenar
"Jika begitu...Mengapa ia masih dengan buruk, mengatakan hal kejam untuk calon anakku." Wanita itu kembali menunduk, Suara yang ia luncurkan juga tidak terlalu terdengar jelas. Seolah itu hanya gumaman untuk diri sendiri.Handoko mampu melihat dengan jelas, kesedihan tengah membayangi hati Angel.Ia juga tak memahami, gumaman terakhir dari perkataan Angel barusan.Yang terpikirkan saat ini, ia hanya ingin segera merengkuhnya dalam dekapan, untuk meringankan kesedihan hatinya saat ini.Entah mengapa melihat wanita tersebut terlihat rapuh serta hancur, ada ketidakrelaan dalam diri Handoko.Perlahan ia bangun dari duduk dan hendak melakukan apa yang terlintas di benaknya. Namun belum juga tangan itu terulur, ia kembali mendengar wanita itu berucap dengan suara yang lirih."Jangan melakukan apapun, dan jangan mengasihani aku." Handoko menghentikan gerakan tubuhnya yang tinggal selangkah mendekati sosok wanita di sana."Lihatlah..Aku baik-baik saja,
"Kakak benar.....Dia orang terbaik sedunia. Bahkan mungkin sejagad raya. Anggara Aditama Prawirya yang tersohor dan mulia.""Hahahaha...hahahhaha...hahaha." Mendengar nada bicara dan penyampaian dari Angel yang begitu di dramatisir, Handoko tak dapat menahan gelak tawa, pria tersebut bahkan hingga memegang perut bagian bawahnya, lantaran terasa sedikit kaku.Gelak tawa yang sengaja tidak di tahan itu, memenuhi sekitar. Dan tak sedikit dari mereka yang berada satu lantai di bawah mereka, melongok ke atas untuk menatap ke arah keduanya."Nggi..mengapa kau begitu membencinya?, bahkan jika kontrak tersebut hanya sepihak, itu tidak terlalu buruk." Handoko mengangkat punggungnya yang tersandar, ia menatap kearah Angel yang tampak mengerucutkan bibir."Pikirkan berapa ratus, bahkan mungkin ribuan orang yang datang untuk posisimu?, dan pria tersohor serta sempurna itu justru memberikannya kepadamu tanpa syarat." Handoko masih berusaha meyakinkan bahw
Anggara menyalakan pancuran air, dan mengguyur seluruh tubuhnya, mengacak-acak rambut cepak miliknya yang telah basah, seraya bergumam lirih. "Aku pasti sudah gila, mengapa harus memikirkan wanita lamban itu." Kurang lebih hampir 30 menit, Anggara menghabiskan waktu di kamar mandi.Dan ketika ia keluar dari sana, wanita temannya bergulat ekstremnya beberapa waktu lalu, tengah tertidur pulas.Ada ketidaksukaan dalam benak pria tersebut, pemandangan di atas ranjang saat ini sungguh membuatnya jengah, berbanding balik 360° dengan di awal wanita itu membaringkan tubuh di sana.Anggara berjalan menuju tepi ranjang, menarik selimut yang membungkus sebagian tubuh polos di sana dengan kasar. Namun, entah itu karena kelelahan, atau memang kebiasaan, tubuh di atas ranjang diam tidak merespon.pria tersebut menjadi tambah kesal, dan ingin segera membangunkan untuk memintanya segera pergi dari sana. Akan tetapi, ketika melihat wanita itu t
"Siapa kamu?, beraninya kamu memasuki kamar orang lain!." Seru Angel setelah beberapa saat memperhatikan dari atas dan bawah sosok di depannya.Angel menjadi waspada untuk sosok di depannya. Ia berpikir dengan perusahan APC yang besar, kemungkinan terjadi pencurian berkas juga tidak mungkin kecil.Meski ia kesal atas pemaksaan kontrak, bagaimanapun ia adalah karyawan di sana, setidaknya untuk 3 tahun ke depan dirinya juga berkewajiban melindungi rahasia ataupun setiap dokumen dari perusahaan tersebut."Bagaimana kau bisa masuk kesana?." pertanyaan Angel bukan tidak beralasan, bahkan dalam pikiran flash kilatnya, ia juga hampir berasumsi bahwa pihak hotel mungkin ikut campur tangan.Di balik imajinasinya yang mulai melambung, sosok wanita di sana justru terkesan lebih santai."Saya tamu yang di undang oleh tuan di kamar ini." Jawabnya singkat, sembari menekan kata tamu. Namun bukannya mengerti, Angel justru semakin mempercayai pikiran bodo
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan