Sebuah rasa malu, karena perkataan Angel juga dapat bermakna. "Bisakah jangan terlalu ikut campur".Di sela rasa hormat dan kekagumannya, atas kesopanan dan juga kejujuran sosok pria itu dalam proses perawatan Bagas, bukan berarti Angel harus menerima semua tindakan orang lain, yang di rasanya sedikit menyimpang dan menyentuh batas miliknya.Menghormati, dan mengagumi adalah sisi yang bersanding dengan kesopanan dalam memperlakukan orang tersebut.Namun, tetap saja itu bukan sebuah hal yang bisa menjadi harga toleransi, untuk menyinggung hal privasinya.Angel diam setelah mengatakan hal tersebut, dan dengan ketenangan yang tidak di buat-buat, ia masih menunggu sosok di depannya untuk memulai pembicaraan.Dan setelah beberapa saat, akhirnya pak Radjiman mulai membuka suara."Den Bagas tidak ingin memanggil keluarganya, ia hanya menunggu non Angel datang sejak kemarin." Pria itu menceritakan dari awal ia membawa Bagas ke rumah sakit, hingga sampai ketika kedatangan Angel di sana.Ia jug
"Dan saya juga tengah memperjuangkan kebahagiaan, dengan bertahan seperti sekarang." Sambung Angel lagi.Pada akhirnya, perbincangan tersebut berakhir ketika di rasa semuanya telah jelas.Tentu saja, hal itu berbeda dalam kategori bahasan untuk takaran masing-masing.Seperti kejelasan dalam pemahaman pak Radjiman tentang Angel, bahwa apa yang dipikirkan dalam dua hari ini, ternyata bukanlah kebenaran yang sesungguhnya.Sosok wanita yang di ketahui sebagai istri dari Bagas, semula merupakan wanita acuh dan mengabaikan sang suami, nyatanya memliki polemik tersendiri yang mungkin telah mampu di tebak sebabnya..Sementara untuk Angel yang enggan mengulas perihal kehidupan pribadinya secara langsung, merasa lega ketika mengetahui pria yang dianggapnya tulus dan baik ini memahami apa kesulitan yang dia hadapi, serta alasan dari tindakan yang di lakukan.Setelah perbincangan tersebut, Angel lebih dulu beranjak pergi dari gazebo.Dengan langkah kaki yang jau
"Mas...sepertinya kita harus bicara, aku mohon demi hari-hari baik yang terlewati selama ini, bisakah kita bicara dengan baik sekarang?." Ucap Angel, setelah menarik sebuah kursi, serta mendudukkan tubuhnya disana, tepat di samping ranjang. Ada sedikit ragu tercetak dalam hati wanita itu saat mengatakan semua.Namun, melihat Bagas yang kian membaik, serta mengingat penjelasan pak Radjiman tentang kebenaran kondisi Bagas yang tidak seburuk perkiraan, Angel kembali berdamai dengan keraguan itu.Sementara Bagas yang menjadi pendengar di sana, tidak menunjukkan perubahan yang terlalu signifikan.Wajahnya yang tampan dan sedikit lesu, masih menampilkan raut yang sama seperti ketika ia masuk keruangan beberapa saat yang lalu.Hanya saja, tatapan mata itu sedikit berubah dengan tambahan kilasan kecil, sebuah kesedihan yang tengah di tekan.Bagas menunduk, setalah beberapa saat menatap sosok di depannya.Saat ini hanya hatinya dan tuhan saja yang tahu, sebe
Untuk kita!, untuk kita!. Itu untukmu, hanya untukmu, bagaimana kau mengatakan itu untuk kita?." Bagas ingin meneriakkannya dengan keras.Sebesar apa kekuatan kemarahan dan kecewa yang di miliki, sebesar itu dorongan dirinya untuk segera bersuara.Namun, mengingat apa dan mengapa kehidupan rumah tangganya berakhir hingga di titik sekarang, tenggorokan Bagas seolah mengatup kuat. Tak ada perkataan apapun yang meluncur dari sana, bahkan ketika hati dan pikiran tidakak setuju.Bagas hanya bisa bungkam dan tidak menyahuti sama sekali.Seketika ruang menjadi hening sejenak, keduanya hanya saling tatap dengan pikiran masing-masing.Hingga beberapa saat kemudian, dengan perasaan marah yang berusaha untuk di tekan, Bagas kembali membuka suara. "Een...Aku lelah, biar aku pikirkan dulu. Kita lanjutkan lagi nanti."Bagas membaringkan tubuh, serta memunggungi sosok Angel yang terpaku di tepi ranjang."Tapi mas." Sahutnya reflek, Angel menolak mengakhiri pembicaraan.Ia tahu bahwa Bagas sengaja in
"Apa kau akan bahagia jika kita berpisah?." Tanyanya lirih. Namun, sepelan apapun itu terdengar bagi telinga orang lain, pada kenyataannya adalah sebuah guntur yang menggelegar dahsyat, di dalam hati Bagas.Bahkan, dapat di katakan kini ia tengah mengiris hati sendiri demi untuk menegaskan kata rela dalam benaknya, sekedar pembuktian bahwa ia tulus 0eduli padanya.Dan demi mewujudkan hal tersebut, ia harus bisa memberi kebahagian bagi sosok wanita ini meskipun hati sendiri yang tersakiti.Ada sesak yang menghimpit dada bidang Bagas dengan kuat. Dalam kesadaran dan pemahamannya sekarang, mungkin kedekatan dan interaksi tanpa jarak seperti itu, adalah kali terakhir untuk mereka.Di sela dirinya yang berusaha mengukuhkan hati untuk berlapang dada, Bagas juga tengah berjuang untuk tidak meloloskan air mata.Oleh karena itu tanpa di sadari, ia semakin menekan kuat pelukan, meskipun tubuh dalam dekapan memberi dorongan perlawanan.
Mendengar perkataan barusan, Bagas terhenyak sejenak dan perlahan mulai melonggarkan kedua lengan kokohnya, dengan sorot mata keengganan.Namun, siapa yang menyangka, bahwa ketika tangan itu sedikit meloloskan kekuatan tubuhnya segera mendapat dorongan dari tangan Angel.Bagas yang tanpa persiapan, tak mungkin lagi untuk memaksanya kembali masuk kedalam pelukan.Ia hanya bisa menatap kearah tubuh yang kian menyusut menjauh dari dirinya, dan melihat sosok lembut di depannya menyeka sendiri beberapa bulir bening, yang masih tersisa di atas pipi putih itu.Mata cantik yang dulu sering membuatnya tertegun dengan keceriaan, kini sering berkabut dengan bulir bening air mata.Menyaksikan kesedihan di sana, jujur hati Bagas merasakan nyeri serta kepedihan yang jauh lebih besar.Namun, akankah Angel percaya jika hal itu katakan sekarang?. Bagas memahami betul, bahwa sosok di depannya mungkin terlihat lemah, namun ia adalah wanita dengan ketegasan hati yang menarik garis jelas, antara cinta dan
"Tapi untuk saat sekarang, hal yang paling ku inginkan adalah kita berjalan masing-masing." Lanjutnya lagi, dengan wajah seta sorot mata penuh keyakinan.Angel mencengkram kedua ujung lutut dengan lima jari penuh.Seakan ia tengah melumat sesuatu, atau mungkin menempatkan penekanan segala beban berat, serta keraguan hati di sana."Jika nantinya aku tidak bahagia karena keputusan hari ini, maka itu sudah bagian dari jalan hidup serta keputusan yang ku pilih." Angel.Bagas sedikit melirik samping ranjang, dimana sosok Angel tengah duduk kokoh pada sebuh kursi. Dalam sekali lihat mungkin wanita disana seakan menjadi sebuah pribadi yang kuat serta mampu tegas menentukan keputusan.Namun, Bagas adalah suami yang telah hidup bersamanya bukan hanya dalam kurun waktu sehari dua hari saja, sehingga apapun pergerakan kecil dari dirinya tak akan mudah luput dengan leluasa dari pandangan pria tersebut.Seperti saat ini, dapat di katakan bahwa Angel tengah tertangkap
"Bagaimana aku begitu bodoh, dan mana mungkin akan ada hal baik di antara kita setelah ini." Ucap Bagas lirih, ketika membalikkan tubuh dan memunggungi Angel, seraya merebahkan tubuhnya kembali. Pada detik ini, Bagas menyadari bahwa segalanya tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.Sehebat apapun orang merekatkan pecahan sebuah gelas, retakan yang tertinggal masih menjadi bagian dari benda tersebut.Angel berdiri dari duduk dengan enggan. Ia tahu bahwa sosok pria di atas ranjang tidak bisa lagi diajak bicara saat ini.Dengan keheningan ruangan yang kian baku, tubuh Angel kembali duduk pada kursi yang ia gunakan untuk tidur pagi tadi.Wanita itu kembali menatap punggung bisu di atas ranjang. Dalam hati memang masih ada rasa sakit, ketika melihat sosok di sana terlihat muram dan bersedih.Namun, sebuah masa depan yang telah ia rencanakan tanpa sosok itu, harus menegaskan bahwa kesedihan Bagas sekarang bukanlah sebuah kesalahan.Dengan keputusan ini, mungkin Bagas dan dirinya akan
"Maa..maaf pak." Dengan secepat kilat ia kembali menarik tangan dari tatakan cangkir, Wajah cantiknya memerah dengan rasa hangat yang seolah merambat di sekujur tubuhnya. 'Benar-benar memalukan.' Teriaknya dalam hati.Di awal ia berpikir bahwa teh tersebut untuknya, pasalnya di dalam ruangan tersebut hanya ada mereka berdua saja, jadi dengan tanpa ragu Angel menerima cangkir yang di sodorkan ke arahnya. Namun dengan tindakan sang bos yang masih mempertahankan cangkir tersebut, wanita itu sadar bahwa pemahamannya salah. "Ya tuhan...." Jeritnya lagi dalam hati. Angel kembali merasa malu, mungkin dia harus mengingat tanggal dan bulan hari ini, agar bisa di tetapkan sebagai hari malu nasional baginya, ataukah dirinya memang lebih bodoh dari keledai. Belum juga hilang rasa malu sebelumnya, dan kini sudah membuat kesalahan lain. Ada rasa
"Jangan lakukan itu lagi", terutama di depan orang lain. Ucap Anggara ringan, dengan baris kalimat diakhir tidak di utarakan. Jika Angel tidak kembali menunduk, mungkin ia bisa menangkap sekilas ragu pada tampilan wajah Anggara di depannya. "Baik." Sahut Angel cepat, secepat menundukkan kepala.Ada rasa malu yang tak terukur dalam benak, benar saja bagaimana mungkin seorang sekertaris dari Aditama bisa membuat kesalahan konyol seperti barusan. "Maaf pak, saya berjanji tidak akan ada lain kali." Sambung Angel lirih. 'Tentu saja tidak akan lagi, bagaimana mungkin akan melakukan kesalahan yang memalukan seperti ini?, apa dia lebih bodoh dari keledai.' Lanjut Angel dalam pikiran. Anggara merasa ada yang salah dengan perkataan Angel barusan, namun di pikir berapa kali pun tidak tah
"Bawakan "Beauty Phoenix" dengan extra biji teratai." Ucap Anggara ringan, setelah berhenti tertawa. Pria itu menatap wanita dengan kepala tertunduk di depannya. Ada rasa gemes seperti yang terlontar dari bibir sang pelayan, namun ada juga selingan cemas saat sekilas menangkap rasa malu tergambar di wajah Angel barusan. "Baik tuan, terimakasih." Ucap wanita pelayan, sebelum bergerak cepat menjauh dari ruangan mereka, seolah kedua orang disana adalah dewa kesialan. Anggara tidak memperdulikan itu, ia hanya fokus pada sosok di depannya yang kini sedang menunduk dalam. 'Mengapa aku cemas?, 'apa aku sudah benar-benar tertarik dengan wanita ini?.' Anggara masih menatap sosok yang menundukkan kepala. Namun, tatapan itu tidak memiliki ketajaman seperti biasanya, justru kelembutan tulus yang bahkan dia tidak akan mempercayai jika itu di ucapkan oleh orang lain. Melihat Angel yang masih menundukkan kepala, entah mengapa ada rasa tak nyaman, dan sedikit gugup. "Kau.....dengarkan t
" Ada alergi makanan?." Tanya Anggara. "Oh...tidak pak, saya pemakan segala." Jawab Angel reflek, dan sedetik kemudian dia menyesalinya. "Hah bodohnya aku...maluuu..." Sambungnya dalam hati. Anggara mengangkat daftar menu lebih tinggi, hampir menutupi semua wajahnya dari pandangan Angel. Namun sedetik kemudian terdengar tawa kecil dari sisi kanan meja. Dan benar saja, ketika Anggara dan Angel menoleh, sang pelayan cantik yang berdiri di sana membekap bibir sendiri dengan kedua tepak tangan, berusaha dengan keras menahan tawanya. Anggara menurunkan daftar menu dan menatap tajam sosok sang pelayan."Mengapa tertawa?." Tanya Anggara singkat. Dan sontak ruangan menjadi hening, bahkan Angel yang beberapa saat lalu hendak mencari lubang sembunyi, ikut terkejut serta merasa gugup. "Maaf tuan, saya sudah lancang." Jawab sang pelayan dengan rau
"Kenal?." Anggara. "Ah...siapa pak?." Jawab Angel sedikit bingung, setelah menoleh kearah Anggara. Anggara terdiam sejenak, menelisik wajah itu lekat dan kembali berkata. " Sepertinya kau bukan hanya lapar." Pria itu berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua tidak menunggu jawaban dari Angel, atau memiliki rasa bersalah, meninggalkan wanita itu mematung beberapa detik dengan kebingungan. "Apa maksudnya?." "Haah....benar saja, sulit memahami pikiran orang lain." Gumam Angel lirih, sembari mengikuti langkah Anggara yang sudah tidak terlihat bayang punggungnya. Sesampainya di lantai dua, Angel melihat Anggara sudah menunggu di depan sebuah pintu ruangan diantara 5 deretan pintu di sisi kiri. Disana ada sekitar 12 ruangan pribadi, dengan 5 deret
"Ayo kita cari sarapan"Sepanjang perjalanan Anggara hanya diam, tidak menanyakan aktifitas untuk hari ini, atau memberikan kesan ia sedang marah.Jadi Angel merasa jauh lebih rileks, dan sesekali melihat keluar melalui kaca mobil di sampingnya.Hanya 10 menitan dengan mobil, keduanya telah memasuki pelataran rumah makan.Angel sedikit terkesiap dan berceletuk ringan "Ini tempatnya?." "Menurutmu?." Jawab Anggara ringan juga."Turun." Sambung pria itu lagi."Oh." Jawab Angel singkat, sembari membuka pintu mobil dan keluar dengan cepat. Angel berjalan masuk ke rumah makan lebih dulu sesuai perintah Anggara, dan tentu saja ini masih sesuai dengan pemikirannya sendiri. Padahal yang sebenarnya Anggara meminta wanita itu turun dari mobil lebih dulu, menunggunya di depan rumah makan sementara ia memarkirkan mobil. Anggara juga tidak menjelaskan apapun atau memintanya menunggu di depan, hanya menyuruh Angel
"Jangan khawatir di jamin bapak akan kembali bugar, dan tenaga yang terkuras akan terisi kembali." Ucap Angel ringan. Tak ada maksud apapun dari perkataan yang meluncur, ia hanya ingin menyampaikan kepedulian secara transparan apa adanya, tentu saja tulus perduli sebagai seorang sekertaris pribadi. Namun dalam penerimaan Anggara jelas sangat berbeda, pria tersebut diam sejenak berusaha untuk mencari penjabaran baik dari inti perkataan barusan. Akan tetapi semakin di cermati kalimat tersebut, semakin jelas kekesalan hatinya. "Apa wanita ini sedang meragukan kemampuanku?", Kurang lebih demikian pemikiran Anggara. Ia menatap wanita di depannya dengan tajam sembari bertanya. "Apa maksudmu?". "Apa ini lelucon?." Sambungnya dalam hati. Seolah tidak mendengar, Angel tidak menjawab dan masih fokus pada dasi di lehernya. "Sudah pak." Ucap wanita itu setelah selesai membantu memakaikan dasi. "Apa menurutmu aku lemah?." Tanya Anggara lagi dengan nada dalam, serta wajah yang se
"Sudah berapa lama kau berkerja seperti ini?." Anggara membuka pembicaraan. Namun, hanya baris kalimat." Sudah berapa lama?yang keluar dari bibir, baris yang lain di rasa tidak perlu. Dan seperti sebelum-sebelumnya, Eva sudah bisa mengerti, memahami arah pembicaraan serta pertanyaan Anggara. "2 tahun." Jawabnya singkat. Eva kembali meneguk minuman dalam gelas, namun kali ini ia tidak langsung menghabiskannya. Wanita itu memutar-mutar gelas pelan seraya kembali melanjutkan perkataan. "Aku pernah beberapa kali kerja di tempat lain, tapi karena status sia*an ini semua tak bertahan lama." Anggara menatap mata jernih sosok di sampingnya, seakan mencoba menelisik lebih jauh dengan apa yang di dengar barusan. "Ada apa dengan itu?, bagaimana status janda bisa mempengaruhi pekerjaan?." Anggara berdiri dari duduk, membayangkan sosok janda lain dan berjalan menuju meja kecil untuk mengambil gelas satu lagi. Sejenak Anggara menatap gelas tersebut dengan tatapan lembut yang tak bisa di paha
Dan benar saja, kurang dari 2 menit dari waktu yang di janjikan, pintu kamar hotel di ketuk dari luar."Evangeline." Ucap sosok sang wanita, ketika pintu terbuka.Ia sengaja menyebut "Evangeline", untuk memperkenalkan diri seperti yang biasa ia lakukan.Anggara memperhatikan sosok di sana sejenak, sebelum berbalik masuk dan membiarkan wanita itu mengikuti.Ia sudah menebak bahwa sosok di sana adalah teman kencannya kali ini."Evangeline, Angeline." Nama itu berputar sejenak di pikiran, ketika melangkah masuk ruangan.Ada senyum sinis singkat tercetak pada bibir Anggara.Ia tak habis pikir mengapa harus memilih wanita itu dalam kencan singkatnya kali ini, padahal banyak pilihan lain yang jauh lebih baik. Anggara berjalan menuju lemari pendingin kecil, yang berada di sudut ruangan sejajar dengan tempat tidur, mengeluarkan sebuah botol minuman serta mengambil gelas kecil tak jauh dari lemari pendingin, seolah tidak memperdulikan