“Uhuk... uhuk...”Nirmala tersedak hebat, ucapan Bhaskara tadi menghantamnya begitu keras hingga ia hampir tak bisa bernapas.“Pelan-pelan, Nirmala!” Bhaskara yang panik segera menepuk-nepuk punggungnya, mencoba menenangkan. Tapi baru beberapa kali tepukan, Nirmala menghempas tangannya.Setelah menarik napas panjang, Nirmala buru-buru meneguk air mineral di hadapannya, berharap rasa syok itu segera mereda. Ia lalu lalu mendadak berdiri tanpa menatap Bhaskara. “Aku... aku sudah selesai. Aku pergi dulu," ucaonya terburu-buru.Namun, tanpa sengaja ia menyenggol gelasnya. Air yang masih tersisa tumpah dan membasahi rok Nirmala. Dengan buru-buru ia mencoba mengibaskan rok yang basah. Sementara Bhaskara hendak membantu, tapi Nirmala mendorongnya menjauh.Hanya bisa memandang, Bhaskara merasa semakin bingung melihat Nirmala yang tiba-tiba gugup dan salah tingkah. Apa yang membuatnya segelisah ini? gumam Bhaskara dalam hati. Tak habis pikir, ia berbisik pelan, “Padahal aku cuma bilang akan me
Sebuah motor sport berhenti di depan sebuah rumah bernuansa hijau yang tampak tenang. Setelah mematikan mesinnya, sang pengemudi melepas helm full-face yang menutupi wajahnya. Tidak seperti biasanya, sorot matanya menyiratkan rasa bahagia yang membuncah bahkan senyum lebarnya terlihat di kaca spion motornya.“You did well, Bhaskara!” serunya kepada dirinya sendiri, disertai lirikan penuh rasa bangga.Tak menunggu lama, ia melangkah riang memasuki rumahnya. “Mama! Bhaskara pulang!” serunya dengan nada penuh kemenangan.Baru selangkah memasuki pintu, suara langkah terburu-buru mendekat, dan sesaat kemudian Vani, ibunya, muncul dari dalam rumah. Wajah wanita paruh baya itu terlihat panik. Tanpa basa-basi, ia mensejajarkan posisi dan langsung memukul lengan Bhaskara dengan keras.“Masih ingat pulang kamu, ya?” omelnya tajam. Bhaskara meringis, memegangi lengannya yang terasa sakit.“Awww... Mama! Sakit!” protes Bhaskara, mencoba menghindar pada pukulan berikutnya.Bukannya berhentu, Vani
Ceklek. Dengan hati-hati, Nirmala menutup pintu ruang rawat sang adik. Baru beberapa saat lalu, ia menerima panggilan dari Pak Gergio di luar ruangan agar tidak mengganggu tidur adiknya yang baru saja terlelap. Namun, suara pintu yang perlahan tertutup ternyata masih cukup membuat Ganesha, adiknya, terusik hingga terbangun kembali. “Kak, dari mana?” tanyanya sambil menggosok matanya yang masih setengah terpejam. Nirmala tersenyum, berusaha membuat suaranya selembut mungkin. “Tadi ngangkat telpon bentar. Udah gih tidur lagi,” jawabnya singkat kemudian duduk di sofa dekat tempat tidur adiknya. Ia menata bantal dan bersiap merebahkan diri. Ganesha tidak segera memejamkan mata. “Kalau kakak pergi, coba deh ajak Kak Bhaskara. Anes khawatir kalau—” Nirmala langsung menahan ucapan Ganesha dengan mendesis kecil. Nirmala tahu betul ketakutan yang dirasakan adiknya akibat trauma dari mantan kekasihnya yang kemarin datang dan melukai mereka. “Tenang aja, Anes. Selagi Kak Bhaskara senggang
BRAK!"Argh!"Nirmala yang tengah sibuk mengepel segera menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya ia begitu melihat seorang wanita bersimpuh, dengan sebuah ponsel tergeletak di lantai basah yang baru saja ia pel."Ya ampun! Nona, apakah anda baik-baik saja?" pekik Nirmala dengan panik menghampiri dan mencoba membantu.Ia mengambil ponsel yang tergeletak tak jauh darinya dan ketika melihat kondisi ponsel itu, jantungnya mencelos nyaris berhenti berdetak."Apa yang kau lakukan, sialan!"Umpatan itu seketika membuatnya tersadar. Bagai orang linglung, ia bergegas mendekat dan memberi uluran tangan."Bi—biar saya bantu, Nona," ucap Nirmala dengan gagap menawarkan diri membantu sang wanita dengan tangan setengah bergetar.Namun, uluran tangannya langsung ditepis kasar. Ponsel yang tadi ia ambil segera direbut paksa oleh sang empu. Saking kasarnya, kuku panjang wanita tersebut mencakar tangan Nirmala hingga membuatnya meringis."APA SIH! JAUHKAN TANGAN KOTORMU!"Tubuh gadis OG itu bergetar
Perkataan anak bosnya beberapa saat lalu terus saya terngiang-ngiang di dalam kepala Nirmala. Ia kerap kali kedapatan tidak fokus bekerja karena pikirannya yang melanglang buana. "Nirmala! Apa kau akan terus terdiam seperti orang idiot?! Kamu ini buta atau gimana sih kami ini sudah kelaparan dan kamu malah sibuk ngelamun gak jelas." Mata Nirmala melebar dan cepat-cepat melangkah maju menyadari dirinya yang melamun tadi membuat antrean di kantin mengular. "Eh— maafkan aku." Ia yang merasa bersalah dengan karyawan lain segera menunduk dan membungkukkan badannya sebagai gestur meminta maaf. Orang-orang di sekitarnya tentu tak menggubris gestur minta maafnya itu, mereka justru bergunjing membicarakan sikap bodoh yang Nirmala lakukan. "Dia wanita yang sempat bertengkar dengan Nona Viola di lobi tadi kan?" "Iya betul. Denger-denger dia memang orang aneh. Makanya jangan heran kalau kau selalu melihat dia sendirian tanpa seorang teman." "Pantas aja. Liat aja tuh rambutnya kusu
Kukuruyuuuk .... Meskipun langit masih gelap, ayam jantan telah menunaikan tugas membangunkan banyak insan di tengah dingin dan kesunyian pagi. Pada pukul 4 pagi, berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya yang memilih bergulat dengan selimutnya, Nirmala, gadis berusia 24 tahun kini justru sudah sibuk membereskan rumah juga mengurus adiknya yang sakit. "Hari ini kakak antarkan surat izin ke sekolah lagi ya, kamu masih demam jadi di rumah dulu," ucap Nirmala lembut sembari memasang kain kompres pada kening adiknya yang berbaring tak berdaya. "Tapi, Kak, nanti Anes ketinggalan pelajaran gimana? Anes gak mau kakak sia-sia biayain sekolah Anes kalo nilainya turun." Ucapan polos gadis remaja itu membuat senyuman Nirmala mengembang. "Ganesha dengerin, selama dua tahun ini kamu berhasil bertahan di peringkat pertama kakak udah bangga banget tau. Jadi stop membebani diri ya. Ini udah jadi kewajiban kakak biayain Anes sekolah." Siapa sangka jawaban sang kakak membuat Anes berlinang
"APA?! Ja ... ja ... jalan kaki kau bilang?!" pekik Baladewa melotot merasa dibohongi padahal sedari awal sebenarnya Nirmala sudah mengungungkapkan jalanan yang harus dilewati hanya setapak. Nirmala tertunduk untuk menutupi raut wajahnya yang menahan tawa. Sungguh disaat seperti ini ia merasa Baladewa sekarang merupakan sosok yang berbeda dari Baladewa tempo hari yang dingin dan sarkas. "Kau tertawa?" sindir Baladewa seketika membuat Nirmala seketika kicep. "Oh maafkan saya, Tuan. Kalau begitu bagaimana?" Nirmala melirik arlojinya dan melihat waktu telah menunjukkan pukul 6.20. Ia sebenarnya juga merasa khawatir karena seharusnya ia sudah tiba di kantor pukul 06.30 namun karena tiba-tiba anak bosnya memanggilnya membuat perjalanannya tertahan. Meskipun ragu, akhirnya Baladewa pun pasrah mengiyakan untuk berangkat ke kantor dengan jalan kaki. "Baiklah tak apa selama aku bisa tiba di kantor lebih cepat," putus Baladewa dengan lemah. Akhirnya mereka pun mulai berjala
"Terima kasih banyak, Tuan Emmm— Pak. Tanpa bantuan anda pasti saya sudah kehilangan pekerjaan. Terima kasih." Seorang OG membungkuk hormat kepada pria berambut coklat di depannya. Usai tadi sang pria berhasil membantunya keluar dari situasi sulit, gadis itu membuntuti dan mencegat hanya untuk berterima kasih. "Sudahlah tak usah berlebihan. Aku hanya tak ingin ayahku memarahiku karena membuat salah satu pegawainya dipecat," elak Baladewa menghela napas lelah. "Sudah kan? Kalau gitu minggirlah aku sedang sibuk!" lanjut Baladewa setengah membentak karena merasa tak nyaman melihat banyaknya pasang mata yang memandang ke arahnya. Nirmala yang paham pun bergegas menyingkir dari hadapan Baladewa. "Apapun alasan anda, saya sungguh berterima kasih," lirih Nirmala menatap dengan penuh binar punggung Baladewa yang semakin lama bergerak menjauh. "Hey, Mala ada urusan apa kamu sama anaknya Pak Raja?" Mendengar seseorang berbicara dengannya, Nirmala menoleh. "Tidak, hanya ada insiden k