BRAK!"Argh!"Nirmala yang tengah sibuk mengepel segera menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya ia begitu melihat seorang wanita bersimpuh, dengan sebuah ponsel tergeletak di lantai basah yang baru saja ia pel."Ya ampun! Nona, apakah anda baik-baik saja?" pekik Nirmala dengan panik menghampiri dan mencoba membantu.Ia mengambil ponsel yang tergeletak tak jauh darinya dan ketika melihat kondisi ponsel itu, jantungnya mencelos nyaris berhenti berdetak."Apa yang kau lakukan, sialan!"Umpatan itu seketika membuatnya tersadar. Bagai orang linglung, ia bergegas mendekat dan memberi uluran tangan."Bi—biar saya bantu, Nona," ucap Nirmala dengan gagap menawarkan diri membantu sang wanita dengan tangan setengah bergetar.Namun, uluran tangannya langsung ditepis kasar. Ponsel yang tadi ia ambil segera direbut paksa oleh sang empu. Saking kasarnya, kuku panjang wanita tersebut mencakar tangan Nirmala hingga membuatnya meringis."APA SIH! JAUHKAN TANGAN KOTORMU!"Tubuh gadis OG itu bergetar
Perkataan anak bosnya beberapa saat lalu terus saya terngiang-ngiang di dalam kepala Nirmala. Ia kerap kali kedapatan tidak fokus bekerja karena pikirannya yang melanglang buana. "Nirmala! Apa kau akan terus terdiam seperti orang idiot?! Kamu ini buta atau gimana sih kami ini sudah kelaparan dan kamu malah sibuk ngelamun gak jelas." Mata Nirmala melebar dan cepat-cepat melangkah maju menyadari dirinya yang melamun tadi membuat antrean di kantin mengular. "Eh— maafkan aku." Ia yang merasa bersalah dengan karyawan lain segera menunduk dan membungkukkan badannya sebagai gestur meminta maaf. Orang-orang di sekitarnya tentu tak menggubris gestur minta maafnya itu, mereka justru bergunjing membicarakan sikap bodoh yang Nirmala lakukan. "Dia wanita yang sempat bertengkar dengan Nona Viola di lobi tadi kan?" "Iya betul. Denger-denger dia memang orang aneh. Makanya jangan heran kalau kau selalu melihat dia sendirian tanpa seorang teman." "Pantas aja. Liat aja tuh rambutnya kusu
Kukuruyuuuk .... Meskipun langit masih gelap, ayam jantan telah menunaikan tugas membangunkan banyak insan di tengah dingin dan kesunyian pagi. Pada pukul 4 pagi, berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya yang memilih bergulat dengan selimutnya, Nirmala, gadis berusia 24 tahun kini justru sudah sibuk membereskan rumah juga mengurus adiknya yang sakit. "Hari ini kakak antarkan surat izin ke sekolah lagi ya, kamu masih demam jadi di rumah dulu," ucap Nirmala lembut sembari memasang kain kompres pada kening adiknya yang berbaring tak berdaya. "Tapi, Kak, nanti Anes ketinggalan pelajaran gimana? Anes gak mau kakak sia-sia biayain sekolah Anes kalo nilainya turun." Ucapan polos gadis remaja itu membuat senyuman Nirmala mengembang. "Ganesha dengerin, selama dua tahun ini kamu berhasil bertahan di peringkat pertama kakak udah bangga banget tau. Jadi stop membebani diri ya. Ini udah jadi kewajiban kakak biayain Anes sekolah." Siapa sangka jawaban sang kakak membuat Anes berlinang
"APA?! Ja ... ja ... jalan kaki kau bilang?!" pekik Baladewa melotot merasa dibohongi padahal sedari awal sebenarnya Nirmala sudah mengungungkapkan jalanan yang harus dilewati hanya setapak. Nirmala tertunduk untuk menutupi raut wajahnya yang menahan tawa. Sungguh disaat seperti ini ia merasa Baladewa sekarang merupakan sosok yang berbeda dari Baladewa tempo hari yang dingin dan sarkas. "Kau tertawa?" sindir Baladewa seketika membuat Nirmala seketika kicep. "Oh maafkan saya, Tuan. Kalau begitu bagaimana?" Nirmala melirik arlojinya dan melihat waktu telah menunjukkan pukul 6.20. Ia sebenarnya juga merasa khawatir karena seharusnya ia sudah tiba di kantor pukul 06.30 namun karena tiba-tiba anak bosnya memanggilnya membuat perjalanannya tertahan. Meskipun ragu, akhirnya Baladewa pun pasrah mengiyakan untuk berangkat ke kantor dengan jalan kaki. "Baiklah tak apa selama aku bisa tiba di kantor lebih cepat," putus Baladewa dengan lemah. Akhirnya mereka pun mulai berjala
"Terima kasih banyak, Tuan Emmm— Pak. Tanpa bantuan anda pasti saya sudah kehilangan pekerjaan. Terima kasih." Seorang OG membungkuk hormat kepada pria berambut coklat di depannya. Usai tadi sang pria berhasil membantunya keluar dari situasi sulit, gadis itu membuntuti dan mencegat hanya untuk berterima kasih. "Sudahlah tak usah berlebihan. Aku hanya tak ingin ayahku memarahiku karena membuat salah satu pegawainya dipecat," elak Baladewa menghela napas lelah. "Sudah kan? Kalau gitu minggirlah aku sedang sibuk!" lanjut Baladewa setengah membentak karena merasa tak nyaman melihat banyaknya pasang mata yang memandang ke arahnya. Nirmala yang paham pun bergegas menyingkir dari hadapan Baladewa. "Apapun alasan anda, saya sungguh berterima kasih," lirih Nirmala menatap dengan penuh binar punggung Baladewa yang semakin lama bergerak menjauh. "Hey, Mala ada urusan apa kamu sama anaknya Pak Raja?" Mendengar seseorang berbicara dengannya, Nirmala menoleh. "Tidak, hanya ada insiden k
Pagi itu Nirmala menjalani rutinitas seperti biasa, berangkat kerja dipagi buta dengan berjalan menyusuri jalanan lalu menghirup udara pagi yang belum terpapar polusi. Bedanya hari ini wajahnya nampak tak begitu berseri dan tak bersemangat. Tak hanya itu, kantung matanya nampak menghitam seperti kurang tidur. Sepanjang jalan ia cenderung diam dan memandang jalanan dengan tatapan kosong. Ia pun beberapa kali mendengus keras seolah ada beban berat yang sedang ia pikul. "Boleh gak sih cuti dulu? Rasanya aku belum sanggup kalau harus ketemu Baladewa." Nirmala menatap seragam biru putih yang ia kenakan. Seragam ini masih tercium aroma kain baru, ya memang seragam ini adalah pemberian Baladewa kemarin. Saat wanita itu berjalan dengan langkah perlahan, tiba-tiba sebuah motor melaju cepat di jalanan sampingnya. Akibat kencangnya motor itu melaju, Nirmala hampir ikut terhuyung saking kuatnya angin yang menerpa. Ia lantas berteriak marah "Wey! Jangan mentang-mentang jalanan sepi jadi
"Oh iya terima kasih, Bha—Bhaskara." Nirmala melontarkan senyuman ketulusan. "Nope ... kalau nam—" "Oh astaga! Aku tak percaya dengan apa yang kulihat ini. Selain gemar menggoda pasangan orang lain, kau juga tipe wanita yang tak cukup dengan satu pria rupanya." Ucapan Bhaskara terhenti. Sedang Nirmala spontan berbalik. Matanya melebar begitu melihat wanita berpenampilan modis menatapnya remeh. "No—na Viola?" lirih Nirmala dengan degup jantung yang berdetak cepat. Bhaskara sendiri memberikan tatapan sinis pada wanita berlidah tajam itu. "Apa dia juga karyawan di sini?" bisik Bhaskara yang belum paham jika Nirmala merasa terintimidasi. Nirmala mengangguk patah-patah. "Halo apa kau kekasihnya?" tanya Viola yang tiba-tiba menodong pertanyaan kepada Bhaskara. Nirmala panik, ia khawatir jika Viola berbicara yang tidak-tidak kepada Bhaskara. "Bhaskara, kau segeralah pergi," bisik Nirmala mendorong lengan Bhaskara agar lekas menaiki motornya. Pria itu menoleh ke arah
Karena pertengkaran kecil pagi tadi, suasana hati Nirmala mendadak berubah buruk. Namun di samping segala percekcokan pagi itu, ia begitu khawatir dengan ancaman Viola. Viona adalah putri dari sekretaris Raja sehingga cukup dekat dengan sang CEO. Nirmala khawatir jika kejutan yang Viona maksud adalah surat pemecatan. Pasalnya bukan hal sulit untuk Viola mengadukan keluhan kepada ayahnya dan akan dilaporkan kepada Raja. Meskipun harinya diawali dengan bersitegang, hari itu Nirmala melaksanakan tugasnya sebagai OG dengan cukup baik. Tak ada hal yang spesial dan tak ada masalah seperti hari lalu. Dan Nirmala cukup bersyukur tak bertemu Baladewa seharian ini. Waktu jam kerja telah usai, Nirmala bergegas berkemas untuk pulang. Beberapa hari ke belakang, Nirmala harus pulang dengan berjalan kaki karena ongkosnya harus dialihkan untuk biaya berobat adiknya. Ketika Nirmala keluar gerbang, ia dikejutkan dengan atensi seorang pria tengah duduk di atas motornya. Dia adalah Bhaskara, pr