"Ayah, tapi tidak benar seperti ini. Bagaimana jika nanti Nirmala bertemu pria berengsek? Bagimana jika nanti lelaki yang Nirmala pilih justru memanfaatkannya?" ucap Bhaskara justru merasa semakin khawatir dengan kondisi wanita itu. Surya berdecak kesal merasa sia-sia berbicara dan membujuk anaknya yang selalu keras kepala. Namun mau bagaimana pun dia harus melakukan hal ini sebelum terlambat."BHASKARA, PERNIKAHAN ITU BUKANLAH MAINAN!"Dari arah pintu, terlihat Vani yang ikut menyimak dari balik pintu. Ia khawatir jika anak dan suaminya justru berakhir saling cekcok dan baku hantam."Ayah, apa ayah sungguh berpikir menjodohkan Nirmala dengan pria asing itu lebih baik? Nirmala telah melewati semua hal berat, apa Ayah tidak khawatir jika ada yang memanfaatkannya?" sentak Bhaskara tanpa sadar telah ikut meninggikan suaranya.Surya menatap nanar anaknya yang tampak emosional. Ia menghela napas kemudian menjawab dengan nada suara lebih rendah. "Lalu apa bedanya dengan kamu yang rela meni
Seorang pria tengah termenung menatapi hamparan langit hitam. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya membuat hawa dingin seketika terasa pada sekujur tubuhnya. Tangan kanannya terangkat berusaha meraup bulan yang tengah menampakkan eksistensi keelokan bulat sempurnanya."Siapa sangka bulatan kecil seperti permen itu memiliki wujud jauh lebih besar dari jangkauanku," gumamnya sembari menutup bulatan bulan itu hingga tenggelam dalam telapak tangan besarnya itu."Dan siapa sangka bulan yang digambarkan menerangi gelapnya malam itu sebetulnya bukanlah sinarnya sendiri," lanjutnya menengadahkan kepalanya.------"Dunia memang penuh dengan penipu, kau jangan mudah percaya dengan orang asing, okey?" ucap seorang gadis kecil berkucir kuda mengulurkan tangannya pada seorang bocah laki-laki yang terduduk menangis.Bocah lelaki itu tak kunjung menyambut uluran tangan sang gadis hingga akhirnya gadis itu nekat menarik lengan bocah itu memaksa untuk berdiri."Jangan jadi cengeng nanti air di rumahmu c
Pagi itu seperti biasa, Surya menjalani rutinitas kerja seperti hari-hari sebelumnya. Hari ini ia tak punya janji dengan klien, jadi ia bisa menghabiskan waktu sepenuhnya di kantor. Meski pekerjaan hari ini terasa lebih ringan, pikirannya tak kunjung tenang. Kejadian kemarin terus saja menghantuinya. Semakin ia mencoba mengabaikannya, rasa cemas itu malah makin menghimpit."Uhuk!"Sebuah dehaman tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Surya menoleh dan mendapati Jiman, salah satu rekan kerjanya, sudah duduk di sampingnya dengan ekspresi penasaran.Merasa ketahuan melamun, Surya segera membalik berkas laporan yang sedari tadi hanya ia pandangi kosong.Sedangkan Jiman yang peka dengan perubahan sikap Surya, langsung bersuara pelan."Ada masalah apa?" tanyanya sambil menatap tajam, seolah ingin menembus pikiran rekannya itu.Surya tak menjawab, ia berusaha membenamkan diri dalam laporan yang nyaris sudah ia hafal di luar kepala.Jiman tersenyum kecil, lalu bersandar santai. "Biar kutebak... Ka
“Uhuk... uhuk...”Nirmala tersedak hebat, ucapan Bhaskara tadi menghantamnya begitu keras hingga ia hampir tak bisa bernapas.“Pelan-pelan, Nirmala!” Bhaskara yang panik segera menepuk-nepuk punggungnya, mencoba menenangkan. Tapi baru beberapa kali tepukan, Nirmala menghempas tangannya.Setelah menarik napas panjang, Nirmala buru-buru meneguk air mineral di hadapannya, berharap rasa syok itu segera mereda. Ia lalu lalu mendadak berdiri tanpa menatap Bhaskara. “Aku... aku sudah selesai. Aku pergi dulu," ucaonya terburu-buru.Namun, tanpa sengaja ia menyenggol gelasnya. Air yang masih tersisa tumpah dan membasahi rok Nirmala. Dengan buru-buru ia mencoba mengibaskan rok yang basah. Sementara Bhaskara hendak membantu, tapi Nirmala mendorongnya menjauh.Hanya bisa memandang, Bhaskara merasa semakin bingung melihat Nirmala yang tiba-tiba gugup dan salah tingkah. Apa yang membuatnya segelisah ini? gumam Bhaskara dalam hati. Tak habis pikir, ia berbisik pelan, “Padahal aku cuma bilang akan me
Sebuah motor sport berhenti di depan sebuah rumah bernuansa hijau yang tampak tenang. Setelah mematikan mesinnya, sang pengemudi melepas helm full-face yang menutupi wajahnya. Tidak seperti biasanya, sorot matanya menyiratkan rasa bahagia yang membuncah bahkan senyum lebarnya terlihat di kaca spion motornya.“You did well, Bhaskara!” serunya kepada dirinya sendiri, disertai lirikan penuh rasa bangga.Tak menunggu lama, ia melangkah riang memasuki rumahnya. “Mama! Bhaskara pulang!” serunya dengan nada penuh kemenangan.Baru selangkah memasuki pintu, suara langkah terburu-buru mendekat, dan sesaat kemudian Vani, ibunya, muncul dari dalam rumah. Wajah wanita paruh baya itu terlihat panik. Tanpa basa-basi, ia mensejajarkan posisi dan langsung memukul lengan Bhaskara dengan keras.“Masih ingat pulang kamu, ya?” omelnya tajam. Bhaskara meringis, memegangi lengannya yang terasa sakit.“Awww... Mama! Sakit!” protes Bhaskara, mencoba menghindar pada pukulan berikutnya.Bukannya berhentu, Vani
Ceklek. Dengan hati-hati, Nirmala menutup pintu ruang rawat sang adik. Baru beberapa saat lalu, ia menerima panggilan dari Pak Gergio di luar ruangan agar tidak mengganggu tidur adiknya yang baru saja terlelap. Namun, suara pintu yang perlahan tertutup ternyata masih cukup membuat Ganesha, adiknya, terusik hingga terbangun kembali. “Kak, dari mana?” tanyanya sambil menggosok matanya yang masih setengah terpejam. Nirmala tersenyum, berusaha membuat suaranya selembut mungkin. “Tadi ngangkat telpon bentar. Udah gih tidur lagi,” jawabnya singkat kemudian duduk di sofa dekat tempat tidur adiknya. Ia menata bantal dan bersiap merebahkan diri. Ganesha tidak segera memejamkan mata. “Kalau kakak pergi, coba deh ajak Kak Bhaskara. Anes khawatir kalau—” Nirmala langsung menahan ucapan Ganesha dengan mendesis kecil. Nirmala tahu betul ketakutan yang dirasakan adiknya akibat trauma dari mantan kekasihnya yang kemarin datang dan melukai mereka. “Tenang aja, Anes. Selagi Kak Bhaskara senggang
Sepanjang perjalanan, candaan Bhaskara terus meluncur tanpa henti. Nirmala yang duduk di sebelahnya tergelak mendengar lelucon-lelucon itu. Meski lelucon itu sederhana, nyatanya cukup membuat Nirmala terpingkal karena selera humornya yang begitu rendah.“Aduh… stop, Bhaskara! Perutku sakit,” ucap Nirmala, menahan tawa sambil memegangi perut yang kram akibat terlalu banyak tertawa.Bhaskara menoleh sekilas, memastikan keadaan Nirmala yang masih tergelak. “Ish… apa salahku? Kamu itu yang terlalu gampang ketawa, masa cuma karena aladin tanding quiditch bareng harry potter aja ketawa,” jawab Bhaskara dengan senyum jahil.“Jangan salahkan humorku! Kau sendiri yang terlalu lucu,” protes Nirmala, mengerucutkan bibirnya, pura-pura kesal.Gantian Bhaskara yang tertawa, dan kali ini Nirmala hanya bisa tersenyum menggelengkan kepala, menikmati keceriaan kecil yang terasa hangat.“Fokus nyetir aja, aku nggak mau mati muda,” canda Nirmala sambil menggoda Bhaskara.Bhaskara lantas menahan tawa dan
Di sebuah ruangan bernuansa klasik dengan dinding kayu berwarna gelap, Baladewa duduk dengan tenang di sebuah kursi kulit. Ia menatap Aditama yang berdiri di hadapannya dengan sorot mata yang penuh perhitungan."Bagaimana perkembangannya?" tanya Baladewa dengan suaranya rendah namun terkesan tegas.Aditama terlihat menarik napas dalam, lalu menjawab, "Sejauh ini aman. Nirmala berhasil terperdaya sandiwaraku. Bahkan tadi ketika di ruang rapat dia begitu antusias bertanya kepadaku."Baladewa tersenyum tipis, tapi di balik senyum itu ada sinar tajam yang mengintimidasi. "Bagus. Hahaha bisa-bisanya ia percaya diri menjadi seorang CEO padahal tak mengerti apapun tentang bisnis," gumamnya bersuara lirih. "Baiklah lanjutkan saja rencananya, Paman. Sebisa mungkin aku akan membantu dari belakang.""Tentu untuk selanjutnya aku sudah tahu apa yang harus kulakukan," balas Aditama dengan nada yakin. Tapi, ada keraguan kecil di matanya yang luput dari pandangan Baladewa.Baladewa menyandarkan tubuh
Malam itu, Bhaskara duduk sendirian di kamarnya, menatap ponsel yang tergeletak di meja. Pandangannya kosong, tetapi sorot matanya menunjukkan hatinya tengah penuh kegelisahan. Kegelisahannya bukan tanpa alasan, iatelah mengirimkan pesan demi pesan kepada Nirmala, tetapi tak satu pun yang mendapat balasan.Pikirannya terus melayang ke arah percakapan terakhir mereka, ketika Nirmala, dengan nada lelah dan penuh tekanan, mengatakan bahwa dia butuh waktu untuk sendiri. Bhaskara tahu betul bahwa semuanya bukan karena cinta mereka memudar, melainkan karena tekanan yang mereka hadapi selama berbulan-bulan terakhir ini—dari skandal Aditama, ditambah dengan dirinya harus menstabilkan kembali keadaan perusahaan, hingga beban tanggung jawab yang tak pernah surut.“Apa aku terlalu menekannya?” gumam Bhaskara, menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya.Ponselnya bergetar, tetapi hanya notifikasi pesan otomatis dari operator. Tidak ada pesan dari Nirmala. Tidak ada kabar sama sekali.Bhaskara men
Hari itu tibalah waktunya untuk rapat dewan pemegang saham di Rajya Corp. Suasana dalam rapat itu berlangsung tegang. Aditama duduk di kursinya dengan senyum penuh kemenangan, sementara Nirmala, Bhaskara, dan kini hadir pula Surya berdiri di depan ruangan.“Baiklah,” ujar Aditama dengan nada sinis. “Anda mengatakan memiliki sesuatu yang ingin disampaikan kepada dewan, Pak Surya?”Surya menatap Aditama dengan dingin. “Aku tahu apa yang kau lakukan selama ini, Aditama. Dan aku di sini untuk memastikan semua orang tahu.”Nirmala melangkah maju, meletakkan dokumen di meja dewan. “Ini adalah bukti bahwa Aditama telah memanipulasi proyek Narpati dan menggunakan dana perusahaan untuk keuntungan pribadinya.”Para pemegang saham mulai bergumam, suasana ruangan menjadi semakin gaduh.Aditama tetap tenang. “Bukti ini tidak cukup untuk menjatuhkanku. Kalian tidak punya saksi yang dapat mendukung klaim kalian.”Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka, dan seorang pria masuk dengan langkah mantap. Semua o
Di sebuah ruangan yang remang-remang, Aditama duduk di belakang meja besar dengan segelas anggur di tangannya. Senyumnya dingin, menandakan keyakinannya bahwa permainan ini hampir mencapai puncaknya. Di hadapannya, beberapa dokumen berserakan, sementara layar komputer menampilkan data-data rahasia dari Rajya Corp. “Apa laporan terakhir?” tanya Aditama kepada Arya, yang berdiri di sudut ruangan. Arya, dengan raut wajah serius, mendekat dan menyerahkan sebuah map berisi laporan terkini. “Surya telah kembali bersama Nirmala. Mereka pasti sedang menyusun langkah untuk melawan kita.” Aditama membaca laporan itu dengan seksama, lalu menutup map tersebut dengan keras. “Kita tidak bisa membiarkan mereka mendapatkan kendali atas informasi ini. Waktunya memutar balikkan fakta.” “Bagaimana caranya?” tanya Arya dengan hati-hati. Aditama mengangkat salah satu dokumen dari meja, lalu melemparkannya ke arah Arya. “Kita buat mereka terlihat seperti dalang di balik kehancuran proyek Narpati. Publ
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana yang semakin mencekam. Mobil yang dikendarai Bhaskara melaju di jalanan gelap menuju lokasi yang tertera dalam email misterius. Di dalam mobil, Nirmala duduk di kursi penumpang, sesekali menatap layar ponselnya dengan gelisah. “Ini pasti jebakan,” kata Bhaskara, memecah keheningan. Tangannya mencengkeram setir mobil erat-erat. “Aku tahu,” balas Nirmala tanpa menoleh. Ia mendesah pelan berusaha meredakan dadanya yng berdegup cepat. “Tapi kita tidak punya pilihan lain. Jika Om Surya benar-benar ada di sana, kita harus mencarinya.” Vira yang sedari tadi duduk di kursi belakang, menambahkan, “ya memang, kita harus tetap waspada. Aditama bukan orang yang akan menyerah begitu saja.” Tak butuh waktu lama, mereka akhirnya tiba di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunan itu tampak usang, dengan pintu besi besar yang hampir sepenuhnya tertutup karat. Bhaskara mematikan mesin mobil dan memandang gedung itu dengan ragu. “Seberapa yakin
Pagi yang tegang menyelimuti Rajya Corp. Di ruang rapat utama, Nirmala duduk sendirian, memandang kursi kosong di seberangnya. Pikirannya berputar, membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi. “Dia akan datang,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia masih menyimpan keraguan ketika menjalankan strategi ini, namun jika Aditama tidak dipancing, ia tak dapat memiliki bukti kuat. Jadi ini lah waktunya, ia harus yakin usahanya akam berhasil. Beberapa menit kemudian, pintu ruang rapat terbuka, dan Aditama masuk dengan langkah mantap. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri yang tinggi. Wajah penuh wibawanya itu menampakkan senyuman miring. “Kau benar-benar berani mengundangku, Nirmala,” ucapnya sambil mengambil tempat di seberang meja. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Tak ingin terintimidasi, Nirmala menatapnya dengan penuh tekad. “Aku ingin tahu di mana kau menyembunyikan Pak Surya.” Aditama tersenyum tipis, seolah menikmati momen itu. “Surya? Aku
Vira masuk dengan ekspresi serius, membawa dokumen yang baru saja ia periksa.“Kita punya bukti kuat,” katanya. “Namun, untuk menjatuhkan Aditama, kita butuh lebih dari ini. Dia punya banyak pengaruh di luar sana.”Bhaskara mengangguk. “Kita harus memastikan bahwa semua bukti ini dipublikasikan secara luas. Tidak ada jalan keluar baginya.”“Tapi bagaimana dengan Om Surya?” tanya Nirmala. “Aku merasa dia tahu lebih banyak daripada yang ia ceritakan. Dan aku tidak bisa mengabaikan keterlibatan ayahku dalam semua ini.”Vira menghela napas. “Kita memang membutuhka Surya untuk bersuara. Jika dia tidak berbicara, permainan ini tidak akan pernah berakhir.”"Tapi di mana ayahku. Aku juga tak tahu sekarang dia ada dimana," ujar Bhaskara frustrasi."Kita harus menemukan ayahmu, Bhaskara," tandas Nirmala tak terbantahkan.***Langit malam tampak kelabu, seolah menandakan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Bhaskara duduk di ruang tamu apartemen dengan wajah tegang, matanya terus menatap layar po
Nirmala dan Bhaskara saling bertukar pandang tanpa sadar menahan napas saat langkah kaki Aditama semakin mendekat. Suara pintu besi yang terbuka sepenuhnya bergema di ruangan kecil itu. Cahaya lampu senter menyapu dinding, nyaris mengenai tempat mereka bersembunyi.“Aku tahu kalian ada di sini,” ujar Aditama dengan nada rendah, tetapi penuh ancaman. “Kalian pikir bisa menggali masa lalu tanpa konsekuensi?”Pria yang bersama Aditama menyisir ruangan dengan cermat. Sementara itu, Nirmala menggenggam tangan Bhaskara erat-erat, berharap keheningan mereka cukup untuk menghindari deteksi.“Apa kalian ini ingin menjadi anak kecil? Aku tidak suka bermain petak umpet,” lanjut Aditama. “Tapi aku juga tidak keberatan. Semakin lama kalian bersembunyi, semakin aku menikmati permainan ini.”Nirmala menatap Bhaskara, memberikan isyarat agar mereka bersiap. Namun, sebelum mereka sempat bergerak, pria yang bersama Aditama berbicara.“Pak, ada dokumen di sini. Sepertinya mereka sudah menemukannya.”Adi
Nirmala dan Bhaskara berdiri di tengah ruang kerja Surya yang berantakan. Dokumen-dokumen berserakan di lantai, kursi terbalik, dan tanda-tanda mencurigakan terlihat jelas.“Dia tidak mungkin pergi begitu saja meninggalkan ruangannya seberantakan ini,” lirih Bhaskara, matanya penuh kekhawatiran.Nirmala memungut sebuah dokumen dari lantai, lalu menatap surat Rajendra yang tertinggal di meja. Sesuatu terasa tidak beres.“Kita harus menemukannya, Bhaskara,” kata Nirmala, suaranya gemetar. “Kepergian Om Surya dalam keadaan seperti ini, ditakutkan karena ulah seseorang. Kau tahu kan Aditama orangnya nekat, dia bisa saja merencanakan penculikan ayahmu untuk menggagalkan rencana kita.”Bhaskara nampak termagu sejenak. “Aku akan menghubungi orang-orang kepercayaan Ayahku. Mungkin mereka tahu di mana dia berada.”Namun, jauh di dalam hati, Bhaskara merasa cemas. Jika benar Surya telah diculik, maka ini bukan lagi sekadar permainan kekuasaan. Ini adalah perang total.***Keesokan harinya, Nirm
Di tengah malam, di sebuah kafe kecil yang sepi di pinggir kota, Bhaskara dan Nirmala bertemu dengan Vira lagi. Kali ini, mereka sedang menyusun rencana yang lebih berani yaitu memanfaatkan bukti-bukti sementara untuk menjebak Aditama dan memancingnya ke langkah berikutnya.“Aku telah menelusuri lebih dalam,” ujar Vira sambil membuka laptopnya. Ia lantas memutarkan laptopnya membuat Nirmala juga Bhaskara mampu melihat isinya. “Ada jaringan transaksi gelap yang melibatkan Aditama, PT Laksana Bhumi, dan sebuah perusahaan cangkang di luar negeri. Tapi ini hanya pucuk dari keseluruhan jaringan.”Nirmala dan Bhaskara melihat secara saksama.“Berapa banyak waktu yang kita punya sebelum mereka menyadari kita sudah menemukan ini?” tanya Bhaskara.Sejenak wanita berambut panjang itu menganalisa. “Tidak lama,” jawab Vira. “Tapi kita bisa memanfaatkan waktu ini untuk melancarkan serangan kecil.”“Serangan kecil seperti apa?” tanya Nirmala yang sedari tadi memilih bungkam.Vira tersenyum tipis. “