"Jika kau mampu meyakinkanku akan skillmu, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk bergabung dalam kubumu."Ucapan Gergio tempo lalu membuat pikiran Nirmala hampir pecah. Ia terus-terusan mencari cara bagaimana agar dirinya mau berkembang. Selama ini ia hanya bertugas membersihkan berbagai ruangan kotor, tak mungkin kan kini harus belajar menjadi seorang pemimpin sebuah kantor?"Argh!!!""Astaga! Kakak, ngagetin ajaa!"Ganesha hampir dibuat terjungkal, ia tak menyadari keberadaan kakaknya yang rupanga telah duduk di belakangnya. Nirma melirik adiknya sekilas, kemudian kembali menghela napas lirih. "Ada apa, Kak? Dua hari ini Anes liat Kak Nirmala sering melamun." Adiknya itu duduk merapatkan diri di sebelah kakaknya yang sedang bergulat dengan pikirannya sendiri.Lagi-lagi ia menghela napas pelan. "Menurutmu apa mungkin kakak bisa mengemban apa yang ayah turunkan?"Ganesha yang mengenakan seragam putih biru itu bertopang dagu menatap kakaknya yang masih kalut dalam keraguan. "Menuru
"Apa yang harus aku tulis?"Gerutuan Nirmala terdengar nyaring di pendengaran Bhaskara. Namun lelaki itu nampak tak peduli, ia begitu acuh dengan Nirmala yang tengah mumet memikirkan tugas yang diberikannya satu jam lalu.Nirmala berdecih menatap Bhaskara yang duduk tak jauh darinya dengan pandangan tak bersahabat. "Ishhh katanya kalau yang pura-pura budeg, bakal budeg beneran," sindirnya secara halus namun bermakna tajam.Seketika itu juga Bhaskara melirik tajam. "Selesaikan tugasmu, Nirmala. Hanya menyusun beberapa kata saja kau selama ini? Bagaimana mau menghadapi banyak kata yang karyawanmu ucapkan," balas Bhaskara dengan sindiran tak kalah menohok.Wanita itu hanya menggerutu kian kesal."Jangankan visi seorang pemimpin, buat visi wawancara OSIS aja gak lolos," gumamnya menekan keyboard komputernya asal.Lama ia terdiam memandangi sebidang kertas putih yang nampak dilayar laptop, hingga sebuah ide tiba-tiba melintas."AHA!!" teriaknya lantang.Bhaskara sampai berjengit saking te
Seorang pria berkutat dengan peralatan dapur yang begitu berantakan. Dapur yang semula bersih dan tertata rapih, dalam waktu 15 menit telah berubah bak kapal pecah. Banyak tepung dan potongan sayuran berserakan. Tak lupa juga piring, panci bahkan wajan menggunung ditempat cuci piring."Akhirnya jadi juga omelet sehat," gumam pria itu membawa piring berisi telur ceplok berwarna-warni. "Walaupun sedikit gosong," lanjutnya begitu melihat bagian bawah makanan yang ia sebut omelet yang full hitam. Sepertinya bukan lagi sedikit, tapi memang sudah gosong.Ia mendudukkan dirinya di sofa sembari mencoba mahakarya makanan yang ia buat sendiri itu.Pahit!Satu kata yang menggambarkan omelet bikinannya. Entah mengapa ia tak menemukan rasa lain selain pahit, sepertinya karena ia melewatkan penggunaan garam dan micin dalam omeletnya membuat rasanya kacau balau."Aishhh padahal cuma kelewatan garam, tapi kenapa rasanya jadi amburadul. Definisi bahan yang diremehkan namun berdampak krusial dalam mas
Baladewa berjalan luntang-lantung menuju apartemennya. Jika dilihat pria itu seperti tak memiliki semangat hidup lagi. Pandangannya kosong dan wajahnya kentara nelangsa."Selamat siang, Tuan Baladewa, baru pulang dari kantor, ya?" sapa seorang security yang nampak akrab dengan Baladewa.Oh iya apartemen yang Baladewa tempati sejatinya milik ayahnya, sehingga jangan heran jika pegawai di sini mengenalnya dengan baik.Karena pikirannya sedang melanglang buana, ia hanya melambai tanpa menjawab. Wajahnya pun hanya menampilkan raut datar. Ceklek.Usai memasukkan beberapa pin, ia membuka pintu apartemen itu kemudian segera menutupnya. Ia mendongak menatap seluruh ruangan kemudian menghela napas berat. "Aku tidak bisa meminta pendapat bunda sekarang. Sepertinya aku butuh hiburan lain," gumamnya segera membanting tubuhnya lunglai.Pria itu merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan ponsel berlogo apel tergigit itu. Satu-satu hiburan yang bisa ia lakukan untuk mengembalikan moodnya hanyala
"Bhaskara .... " panggilnya menahan lengan pria yang kini tengah bersiap menaiki motornya. "Harus banget sekarang?" lanjutnya bertanya terus-terang. Pria bernama Bhaskara itu menghela napas. Ia melihat arloji yang melingkar pada tangannya sejenak. "Ya, karena sekarang udah jam 9 sesuai janji," jawabnya enteng. Sepertinya percuma juga membujuk pria ini. Ia lantas melepaskan tangannya memandang Bhaskara yang mengenakan helm dengan cemberut. "Aku belum siap tau, Ra. Kamu nih nggak nanya aku dulu," protesnya tetap menerima helm yang diberikan pria itu. Bhaskara tak menggubris, ia menganggap perkataan wanita itu sebagai angin lalu. "Kakak!" Nirmala seketika sumringah mendengar adiknya yang berseru memanggilnya diambang pintu. Ide brilian seketika muncul di kepalanya. "Oh iya ya ampun lupa!! Hari ini ada rapat di sekolah Ganesha. Jadi maaf ya aku nggak bisa sekarang," alibi Nirmala menyerahkan kembali helmnya tanpa rasa bersalah. Satu alis Bhaskara terangkat, ia menjadi curiga deng
Pertanyaan pembuka Baladewa membuat Bhaskara semakin khawatir. Ia menoleh pada Nirmala dan dapat ia lihat sorot gentar dari mata hazel itu. Jika dibiarkan sepetti ini, ia khawatir mental wanita yang selama ini telah ia bimbing itu justru hancur hanya karena hal sepele.Ia berpikir harus melakukan sesuatu untuk kembali mengangkat kepercayaan diri wanita itu."Ilmu dan kemampuan memimpin memang penting, tapi rasanya akan sia-sia jika tak memiliki adab pada bawahannya. Karena ya kau tahu sendiri Bhaskara sebagai pemimpin harus membuat orang yang dipimpinnya merasa percaya dan diayomi bukan malah dihina dan didzolimi."Air wajah Nirmala seketika berubah. Jawaban Gergio sepertinya berhasil mengangkat mental wanita itu. Pria itu cukup puas.Ketika Nirmala menoleh ke arahnya, Bhaskara menyunggingkan sedikit senyuman. Rupanya gelagat itu terbaca jelas oleh Baladewa. Hatinya terasa meradang, tidak hanya tertohok balik, Baladewa merasa kesal melihat kedekatan mantan kekasihnya itu dengan sosok
"Mala, hey tungguin."Seorang pria dengan nekatnya menuntun sepeda motor membuntuti seorang gadis yang berjalan cepat di depannya.Tadi akibat perdebatan besar Bhaskara dengan Baladewa, mereka pada akhirnya terusir termasuk Nirmala yang tak terlibat dalam percekcokan itu. Wajah saja jika kini Nirmala merajuk dan tak ingin diantar oleh Bhaskara."Apa sih ngikutin aja. Udah sana pulang sendiri, aku bisa pulang sendiri!" gertak Nirmala kala lengannya ditahan Bhaskara.Wajahnya nampak kesal dan baru kali inu Bhaskara panik menghadapi Nirmala yang merajuk.Lelaki itu menghela napas. "Ayo jangan kayak gini, Mala. Tadi berangkatnya bareng, pulangnya juga harus bareng," paksanya memelas.Tapi sayangnya wajah sok melas Bhaskara membuat Nirmala menatap jengah. "Dari awal aku emang udah feeling nggak akan bener kalau hari ini. Kamu maksa aku dan akhirnya kamu sendiri yang bikin kita terusir, hih!" Nirmala melanjutkan langkahnya usai cekalan Bhaskara terlepas. Memang benar ia awalnya terpaksa di
Seorang pria dengan setelan kemeja kerja tengah duduk dengan tenang di kursi kebesarannya. Kepalanya tertunduk menatap layar laptop yang sedang menyala. Bola matanya bergerak mendikte tiap kalimat yang tertampil pada layar laptopnya. Sedangkan tangan kanannya sesekali menekan mouse yang terlihat kecil di genggamannya.Tok ... tok ....Fokusnya teralih, ia mendongak dengan iris coklat yang menyorot pintu yang terketuk."Masuk."Derit pintu seketika terdengar begitu sang empu mempersilakan untuk masuk. Dan dari balik pintu nampak seorang wanita berambut bob menenteng sebuah map pada lengannya. "Selamat pagi, Pak Bhaskara. Saya datang untuk menyerahkan dokumen keuangan yang anda minta," tuturnya begitu sampai di depan meja bertuliskan 'Direktur Bhaskara' itu.Tangan Bhaskara terulur menerima map merah tersebut. "Terima kasih," ucapnya lantas meletakkan dokumen itu di sampingnya.Ketika Bhaskara kembali fokus berkutat dengan laptop, kepala bagian keuangan itu tak kunjung pergi."Ada apa?