Samuel masuk ke dalam kamar diikuti oleh Arin. "Pak, Pak Sam," panggil Arin yang tidak di gubris Samuel. "Saya mohon jangan potong gaji mereka, mereka tidak salah saya yang salah," sambung Arin yang masih membujuk Samuel. "Jangan melampaui batas, Baby," tegur Samuel. Arin melangkah ke arah Samuel ia lalu membantu Samuel melepaskan dasi dan kemejanya. "Kenapa harus mereka yang nanggung?" tanya Arin yang menatap Samuel. "Mulai saat ini jika kamu membuat masalah maka mereka yang akan menanggungnya," jelas Samuel. "Tapi Pak, itu tidak adil," protes Arin. Samuel tetap tidak mau mendengarnya, membuat bibir Arin cemberut. "Mas," panggil Arin tiba-tiba. Samuel memicingkan matanya, "Mas Sam, ayolah kali ini saja maafkan aku," tutur Arin. Ia sudah membuang jauh harga dirinya karena dia tidak mau merugikan orang lain. "Jadi seperti ini cara kamu bernegosiasi denganku?" tanya Samuel yang melingkar tangannya di pinggang Arin. "Please, jangan potong gaji mereka," ucap Arin lagi. "Mas... " Sa
Arin duduk di ruang keluarga dia menonton televisi yang saat itu sebuah berita muncul. "Felicia Rania Safira model terkenal yang kecelakaan lima tahun yang lalu kini muncul kembali." Arin mendengarkan berita itu dengan seksama karena dia dulu mengidolakan model itu. "Wow pacarnya setia banget, beruntung banget dia," gumam Arin yang mendengar berita itu. "Apa kalian tahu, saya dari dulu mengidolakan dia. Dia sangat cantik andai saya secantik dia," gumam Arin kepada Fani dan Sinta. "Anda jauh lebih cantik, Nyonya," balas Sinta. "Terimakasih sudah menghibur saya," ucap Arin dengan terkekeh. "Jadi wanita karir pasti menyenangkan," sambung Arin yang terlihat iri dengan Felicia. Dia membandingkan hidupnya dengan Feli, Feli uang terlihat bebas untuk pergi dan memiliki kekasih yang setia berbanding terbalik dengan Arin. Hati-hati Arin hanya dihabiskan di dalam rumah yang tentu saja ia sangat bosan. Meskipun rumah itu besar yang tersedia kolam renang dan taman tetap saja ia merasa bosan.
Arin baru saja selesai mandi dia memakai dress di bawah lutut dengan rambut yang di gerai. "Baby, kok kamu mandi? Bukankah masih sakit kenapa bangun?" tanya Samuel yang masuk ke dalam kamar ia baru saja dari ruang kerjanya. "Aku sudah membaik, Mas," jawab Arin yang tersenyum ke arah Samuel. Samuel berjalan mendekat ke arahnya ia mengusap rambut Arin. "Yaudah ayo kita sarapan nanti setelah sarapan kamu kembali istirahat ya, aku harus ke kantor tapi aku usahakan pulang lebih cepat," jelas Samuel dengan lembut. Mendengar Samuel yang terus bersikap lembut kepadanya membuat jantungnya sering kali berdetak tak terkendali. Jatuh cinta? Entahlah tapi Arin berharap itu tidak terjadi. Samuel dan Arin pun turun menuju ke ruang makan, saat pintu lift terbuka terlihat Sinta yang berdiri di sana dengan wajah pucat. "Ada apa?" tanya Samuel dengan wajah datar. "Sayang," suara seorang wanita menggema di telinga Arin. Samuel yang mendengar itu langsung berjalan cepat meninggalkan Arin. "Kenapa k
Arin turun ke lantai satu dia bosan berada di dalam kamar memilih mencari kesibukan yang lain. Namun, saat baru keluar dari lift langkahnya terhenti. Wanita cantik dengan baju seksi itu menatapnya. Sinta yang berada di belakang Arin pun terkejut, "Siapa wanita ini?" tanya Felicia menatap Sinta. Sinta diam membeli ia bingung harus menjawab apa, pasalnya dia tahu siapa Felicia sebenarnya. Arin pun nampak diam menatap Felicia yang menurutnya begitu cantik. "Arin, cucuku," panggil seseorang membuat Feli menoleh. "Kakek, bagaimana bisa Kakek tiba-tiba datang?" tanya Arin karena beberapa jam lalu ia baru berbicara dengan Kakek Indra melalui telepon. "Kakek dengar cucuku tadi merindukanku," jawab Kakek Indra saat Arin memeluknya. "Kakek apa kabar?" tanya Feli. Kakek Indra hanya menatapnya sekilas lalu beralih ke Arin. "Bagaimana kabarmu? Apa sudah membaik?" tanya Kakek Indra. "Sudah sembuh total karena bertemu Kakek." Arin dan Kakek Indra menuju ke ruang keluarga mer
Arin masuk ke dalam kamarnya bersama dengan Samuel, Kakek Indra sudah pulang. Sebenarnya Arin memintanya untuk menginap tetapi Kakek tidak mau. Arin pun tidak bisa memaksanya walaupun sebenarnya ia kecewa. "Barang-barangmu sudah aku letakan di walk in closet," ujar Samuel membuat Arin tersadar dari lamunannya. "Ah iya makasih Mas dan maaf telah merepotkan," ujar Arin yang tersenyum canggung. "Aku harus pergi, kamu tidak perlu menungguku pulang karena mungkin aku akan larut malam pulangnya," ujar Samuel. Ini bukan untuk pertama kalinya tetapi kali ini membuat dada Arin terasa sakit. Pikirannya sudah kemana-mana, Arin mencoba menyingkirkan pikiran itu dengan menggelengkan kepalanya. "Kamu kenapa? Pusing?" tanya Samuel yang mendekat ke arah Arin. Ia menatap Arin dengan lembut. Biasanya Arin akan merasa pipinya memanas saat Samuel seperti itu. Tetapi kali ini dadanya terasa sakit, "Kenapa seakan tidak melakukan kesalahan? Apa tidak ada yang mau di jelaskan padaku?" tanya Arin yang ha
"Kakek," panggil Arin yang masuk ke dalam rumah Kakek Indra. "Sayang kamu sama siapa kemari?" tanya Kakek Indra yang terkejut mendapati cucunya datang. "Sendiri," jawab Arin yang mendekati Kakek Indra. "Kek boleh minta tolong?""Kenapa Arin?" tanya Kakek Indra dengan lembut. "Belum Arin bayar taxinya," ucap Arin dengan hati-hati. Kakek Indra langsung mengisyaratkan kepada kepada Erwin untuk membayar taxi Arin. "Terimakasih Kakek," ucap Arin. "Apa Samuel tahu kamu kemarin?" tanya Kakek Indra menatap Arin dengan serius. Arin menggelengkan kepalanya dengan lemah. "Kek please jangan kasih tahu Mas Samuel," pinta Arin. Kakek Indra diam sejenak membuat Arin mengerucutkan bibirnya. "Baiklah, kamu istirahat pasti lelah," ujar Kakek Indra membuat senyum terukir di wajah Arin. Arin langsung memeluk Kakek Indra untuk berterima kasih. "Istirahat ya, jangan memikirkan hal lain kakek akan mengurusnya untukmu," tutur Kakek Indra mengusap kepala Arin. Arin sungguh terharu dengan apa yang Kake
"Selamat malam Nyonya, saya membawakan makan malam untuk Nyonya Kata Tuan Besar Anda belum makan," jelas maid itu membuat Arin terpaku. "Bu Santi?" ucap Arin yang mengenali wanita paruh baya di depannya itu. Bu Santi tersenyum, "Makanannya mau diletakan dimana?" tanya Bu Santi. "Ibu kok bisa berada disini?" tanya Arin yang penasaran. "Sejak kapan Bu Santi bekerja di sini?" sambung Arin. "Saya sudah lama bekerja dengan Tuan Samuel, Nyonya," jawab Bu Santi membuat Arin semakin bingung. "Maksudnya?" tanya Arin kembali. "Maaf Nyonya, bukan wewenang saya untuk menjelaskan." Arin menerima makanan itu dan Bu Santi pun pamit untuk pergi dari sana. Arin segera meletakkan makanannya di atas meja lalu dia keluar untuk mencari Kakek Indra. "Paman Erwin, Kakek dimana?" tanya Arin karena tidak mendapati Kakek Indra di ruang makan. "Beliau ada di ruang kerjanya, Nyonya."Arin langsung berlari ke menuju ke ruang kerja Kakek Indra. Tanpa mengetuk pintu Arin langsung masuk ke ruangan itu. "Ad
Selesai sarapan Arin naik ke atas tempat tidur, dia bersandar di kepala tempat tidur. Arin menyalakan ponselnya, banyak pesan dari Samuel saat Samuel mencari dirinya. Arin kemudian membuka sosial media, ada berita yang menjadi trending topik sekarang. "Felicia Rania Safira seorang model terkenal yang baru saja kembali kini di tangkap polisi pagi tadi atas tuduhan pembunuhan berencana yang menewaskan James Xalvandor dan Istrinya Agnes Charlotte yang mengalami kecelakaan enam tahun yang lalu. Dalam kecelakaan itu menewaskan juga Noah dan Agnes Juanita."Jantung Arin berdegup dengan kencang saat membaca berita itu. Tangannya bergetar, pasalnya Noah dan Agnes Juanita adalah kedua orang tuanya. "Xalvandor?" ucap Arin bersamaan dengan Samuel yang masuk ke dalam kamar. "Kamu kenapa, baby?" tanya Samuel saat Arin menatapnya dan terlihat istrinya itu yang bergetar. Samuel langsung menghampirinya dan memeluknya erat. "Ada apa?""Apa maksudnya ini?" tanya Arin menunjukkan berita yang baru saj
Langit pagi itu mendung, seolah menyelimuti bumi dengan kesedihan yang tenang. Angin bertiup lembut, menyapu dedaunan yang jatuh di sepanjang jalan menuju pemakaman. Arin berdiri diam di depan dua nisan yang tertata rapi, dengan nama kedua orang tuanya terpahat di atas batu marmer putih. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya menyunggingkan senyuman kecil yang penuh makna. Di sampingnya, Samuel berdiri memegang Noah yang tertidur dalam pelukannya. Bayi mungil itu tampak tenang, seolah memahami bahwa hari ini adalah momen penting bagi mamanya. Sementara itu, Fani berdiri beberapa langkah di belakang mereka, menjaga jarak, tapi tetap waspada seperti biasanya. Arin menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. “Akhirnya, aku kembali ke sini, Ayah, Ibu,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bergetar, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. “Aku tahu... sudah terlalu lama aku tidak datang. Tapi sekarang, aku punya banyak hal yang ingin aku ceritakan.” Samuel
Mila masuk ke apartemen bersama dengan Rocky, Rocky langsung berlutut untuk melepaskan heels yang Mila kenakan. “Aku bisa sendiri, Mas.”“Tapi selama ada aku, kamu tidak boleh melakukannya sendiri,” ucap Rocky yang menarik hidung Mila. “Bagaimana apa kamu lelah? Atau mual?“Tidak Mas, aku baik-baik saja. Gerah sekali, aku mau mandi dulu ya.”“Jangan mandi malam-malam,” larang Rocky.Dari dulu Rocky memang perhatian tapi setelah mengetahui jika Mila hamil dia semakin perhatian.“Gerah Mas.”“Nanti sakit Sayang, sudah ayo ganti baju lalu tidur,” tutur Rocky yang langsung menggendong Mila. Mila dengan refleks mengalungkan tangannya di leher Rocky. Mila akhirnya patuh dengan perkataan Rocky yang melarangnya untuk mandi. Dia hanya mengganti pakaiannya dengan baju tidur. “Loh Mas kok mandi?” protes Mila. “Gerah.”“Curang!”Rocky mencium pipi Mila dengan gemas, “Aku khawatir kamu sakit, Sayang. Kita tidur ya.”Rocky menuntun Mila naik ke atas tempat tidur, dengan lengan Rocky sebagai bant
Malam itu begitu tenang. Samuel duduk di samping Arin yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, tetapi senyum kecil tak pernah lepas dari bibirnya. Di pelukannya, seorang bayi mungil yang baru saja lahir beberapa jam lalu. "Noah," bisik Samuel, matanya menatap lembut ke wajah anak itu. "Aku ingin menamainya Noah. Untuk menghormati Ayahmu, Arin. Dia pasti bangga." Arin tersenyum meski lelah. Air mata hangat mengalir dari sudut matanya. "Noah... Nama yang indah.”Samuel membelai rambut Arin dengan penuh kasih. Di dalam hatinya, ia berjanji untuk menjaga dua orang yang paling ia cintai ini dengan segenap jiwa raganya. "Kamu tahu, aku tidak pernah seberharap ini sebelumnya," ujar Samuel, suaranya pelan tapi penuh emosi. "Melihat kamu dan Noah… rasanya seperti semua perjuangan selama ini terbayar." Arin mengangguk kecil. Tubuhnya masih lemah setelah proses persalinan yang cukup panjang. Tapi melihat bayi mereka yang sehat dan Samuel yang selalu ada di sisinya, ia meras
Mentari pagi menyelinap dari celah-celah tirai jendela kamar tidur mewah milik Samuel dan Arin. Suara burung yang berkicau terdengar lembut, seolah menyambut hari baru yang penuh kebahagiaan. Arin membuka matanya perlahan. Dia menoleh, menemukan Samuel yang sudah duduk di tepi ranjang, mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengannya. Tatapan pria itu hangat, penuh cinta. “Pagi, istriku,” sapa Samuel sambil tersenyum. Arin tersenyum kecil, matanya masih setengah mengantuk. “Pagi, suamiku. Kenapa bangun pagi-pagi sekali? Biasanya kamu kan malas-malasan dulu.” Samuel tertawa kecil, lalu membelai rambut Arin dengan lembut. “Aku cuma ingin memastikan kamu istirahat dengan cukup. Lagipula, ada sesuatu yang spesial hari ini.” Arin mengerutkan kening, bingung. “Spesial? Apa? Hari ini bukan ulang tahun kita, kan?” Samuel mengangguk pelan, wajahnya penuh rahasia. “Nanti juga kamu tahu. Yang penting sekarang, kamu siap-siap, ya. Aku mau kita habiskan hari ini dengan santai, cu
Pagi itu, Arin berdiri di depan gedung utama Venus Corporation. Bangunan megah itu terlihat kokoh, tapi di matanya, gedung itu seperti menyimpan luka lama. Perusahaan yang dulu milik kedua orang tuanya telah mengalami begitu banyak perubahan buruk di tangan Irawan. Namun sekarang, semuanya ada di tangannya. Arin menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya. Ini adalah langkah besar, dan dia tidak boleh gagal.Di sampingnya, Samuel berdiri dengan tenang. Wajahnya seperti biasa, penuh ketegasan, tapi ada senyum kecil yang membuat Arin merasa lebih percaya diri.“Kamu yakin bisa handle semuanya?” tanya Samuel, memecah keheningan.Arin menoleh, tersenyum tipis. “Aku harus bis. Ini perusahaan orang tuaku, Mas. Aku tidak bisa biarin apa yang mereka bangun terbuang sia-sia.”Samuel mengangguk. “Kalau kamu butuh bantuan, Mas selalu ada. Mas tahu ini berat, tapi kamu tidak sendirian.”Mendengar itu, Arin merasa lebih lega. Ada kekuatan dalam kata-kata Samuel yang membuatnya yakin la
Clara berdiri di depan cermin besar di kamar pribadinya. Gaun merah yang membalut tubuhnya terlihat sempurna, namun wajahnya menyimpan kelelahan yang sulit disembunyikan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, meskipun hatinya penuh amarah. Samuel. Nama itu terus berputar di kepalanya. Dia ingat betul bagaimana pria itu menatapnya dingin beberapa hari yang lalu, menolak kehadirannya tanpa sedikit pun ragu.“Dia tidak bisa terus seperti ini,” gumam Clara pada dirinya sendiri, suaranya hampir seperti bisikan. Matanya menatap pantulan dirinya dengan tajam, seolah mencoba meyakinkan diri bahwa dia masih punya kendali. ---Di ruang tamu, Irawan berdiri dengan wajah merah padam. Di depannya, Bella berdiri dengan koper besar di tangannya. Wanita itu mengenakan pakaian sederhana, tidak seperti biasanya. Wajahnya yang biasanya penuh senyum kini terlihat dingin dan penuh kebencian. “Kamu mau ke mana?” suara Irawan terdengar keras, hampir seperti teriakan. Bella menatapnya dengan tenang, tapi sorot
Pagi itu, suasana kantor pusat Venus terasa berbeda. Setelah konfrontasi besar yang terjadi kemarin, berita tentang keberanian Arin menyebar seperti api. Namun, meski kemenangan awal itu membuat hatinya sedikit lega, ia tahu ancaman belum berakhir. Irawan dan Clara tidak akan tinggal diam. Arin duduk di ruangannya, memandangi secangkir teh yang sudah dingin. Matanya menatap kosong ke luar jendela besar, pikirannya melayang pada langkah selanjutnya yang harus ia ambil. Fani mengetuk pintu perlahan sebelum masuk dengan membawa beberapa dokumen.“Nyonya Arin, ini proposal yang harus Nyonya tandatangani untuk rapat siang nanti,” ujar Fani sambil meletakkan map di meja. “Dan tadi ada kabar dari Tuan Samuel. Katanya beliau sudah di jalan ke sini.”Arin tertegun, menoleh cepat ke arah Fani. “Mas Samuel... akan datang ke sini?”“Iya, Nyonya. Katanya mau mendukung Ibu langsung di hadapan para pemegang saham,” jawab Fani dengan senyum kecil. “Sepertinya beliau tidak mau cuma diam melihat Nyony
Langit pagi itu cerah, tapi hati Arin penuh badai. Di balik ketenangan wajahnya, ada amarah yang telah lama ia simpan. Hari ini, ia akan menyelesaikan semuanya, mengembalikan apa yang seharusnya menjadi miliknya—Venus, perusahaan yang dibangun oleh kedua orang tuanya dengan penuh cinta dan kerja keras. Terakhir dia memang berhasil membuat Irawan dan Clara diusir tapi dengan licik mereka memanipulasi semua lagi. Para pemegang saham lebih percaya dengan omongan mereka daripada ArinArin berdiri di depan cermin besar di kamar utama. Gaun formal berwarna hitam yang ia kenakan memancarkan aura kekuatan. Rambutnya disanggul rapi, memberi kesan elegan namun tegas. Di belakangnya, Fani berdiri dengan tangan di pinggang, seperti biasa dengan ekspresi serius.“Bu Arin, semua dokumen sudah siap. Rekaman suara dan bukti saham yang Ibu minta sudah saya simpan di tas kerja. Kalau ada yang coba macam-macam, saya juga sudah siap.” Fani.Arin tersenyum tipis. “Terima kasih, Fani.”Ruang rapat di lant
Pernikahan Mila dan Rocky berjalan dengan sangat lancar. Arin yang ikut menyaksikan pernikahan mereka pun ikut merasa senang. Pernikahan yang penuh kebahagiaan dan rasa haru itu mampu membuat Arin sedikit iri. Iri karena kedua orang tua Mila yang hadir, kasih sayang orang tua Mila membuat Arin merindukan kedua orang tuanya. Samuel yang menggandeng tangan Arin merasakan tangan itu semakin dingin. "Apa kamu baik-baik saja, Baby?" tanah Samuel yang nampak cemas. Arin menganggukan kepalanya dengan tersenyum kecil. Samuel tak bisa ia bohong dia mengerti jika Arin sedang tidak baik-baik saja. Tapi Samuel tak mau bertanya lebih karena mereka belum kembali ke rumah. Keduanya berjalan keluar dari gedung pernikahan itu, Alec membukakan pintu mobil untuk mereka. Arin dan Samuel pun segera masuk ke dalam mobil. Samuel membawa Arin agar bersandar di dadanya. Pria itu mencium puncak kepala Arin membuat Arin merasa nyaman. Diusapnya perut Arin yang sudah membesar itu. "Baik-baik ya Sayang di dal