Ivy tak mengerti kenapa dia bertindak seperti ini. Cinta memang buta, berapa kali pun Daniel menyakitinya, Ivy tak sanggup melihatnya terluka.Jika dia harus mati, Ivy bersedia mati bersama Daniel. Cinta, mampu membuat orang kehilangan segalanya, bahkan nyawanya sendiri.Dor!Tembakan itu mengenai tanah karena pria bertopeng lain mendorong lengan temannya hingga sasarannya meleset."Hei! Apa yang kau lakukan?" hardik pria yang hendak menembak Daniel marah."Jangan membunuh mereka dulu. Lihat!" Ia mengedikkan kepala pada Ivy. "Kapan lagi kita bisa menikmati wanita secantik ini. Top tier."Senyum pria satunya langsung melebar, lidahnya terjulur penuh nafsu.Ivy tak bisa mendengarkan mereka, matanya fokus memperhatikan Daniel. Darah pria itu terlalu banyak keluar. Kenapa bodyguard Daniel tak mengikuti mereka? Ke mana mereka saat tuannya sekarat seperti ini? Ivy menggertakkan gigi, berusaha menahan darah keluar dengan tangannya.Bibir Daniel bergerak pelan, Ivy langsung menunduk. "Lari, d
Tatapan Ivy terfokus pada sosok Daniel yang terbaring tak berdaya. Suara alat-alat medis yang bekerja memberikan kesan bahwa waktu seakan berhenti. Lampu-lampu putih yang redup di langit-langit hanya memperburuk suasana yang penuh dengan kecemasan dan ketakutan."Ivy, Nyonya Ivy! Ayo keluar dulu, lebih baik—" Christian berusaha menarik lengan Ivy."Tidak!" Ivy mengempaskan tangannya, berlari ke arah dokter dan perawat yang sedang bekerja."Dok! Bagaimana kondisi suamiku?"Dokter menatap Christian, seolah meminta persetujuan untuk memberitahu Ivy. Christian menghela napas, mengangguk pelan. Toh Ivy sudah terlanjur melihat kondisi Daniel, berbohong juga percuma saja."Mr. Forrester mengalami koma karena syok hipovolemik."Pupil mata Ivy melebar ketakutan. "Apa maksudnya, Dok?""Mr. Forrester kehilangan banyak darah, jantungnya tidak dapat memasok darah yang cukup ke tubuh."Ivy merasa dunianya ambruk, dia terhuyung ke belakang. Beruntung Christian dengan sigap menopang tubuhnya.Christ
Amy baru berusia 14 tahun saat dia dibawa ke rumah bordil oleh ayahnya sendiri. Tidak! Ayah tirinya. Karena ayahnya sendiri entah siapa. Ibunya memilih diam ketika Amy menjerit ketakutan, berharap wanita yang melahirkannya akan menyelamatkannya. Sayangnya tidak! Amy tahu hal itu mustahil, tapi dari lubuk hatinya, dia masih berharap. Ya! Dia masih berharap."Ah, akhirnya kau membawa putrimu juga!" Wanita pemilik rumah bordil itu menyambut ayahnya dengan wajah berbinar. Pundi-pundi uang akan mengalir deras, mengingat gadis muda yang diincarnya akhirnya datang. Ya! Amy muda begitu menawan, rambut cokelatnya dan mata biru yang indah. Hidungnya mancung, bibirnya penuh, dengan lekuk tubuh memukau walaupun usianya masih sangat muda."Berikan uang yang kau janjikan padaku!""Sabar! Biar kuperiksa dulu apa dia masih perawan." Wanita pemilik rumah bordil itu menarik lengan Amy yang sudah gemetar ketakutan."Dia masih perawan!" teriak ayah tirinya berang. "Kau tak percaya padaku, Helga?""Tida
Pria itu tinggi besar, tubuhnya kekar, dengan otot-otot yang mencolok di balik pakaian yang agak kusut. Matanya tajam, penuh rasa percaya diri yang menakutkan. Rambutnya pendek dan berantakan, dan dia membawa bau khas pria yang baru saja minum, ditambah dengan aroma yang lebih tajam—sebuah campuran alkohol dan rokok.Amy melihat kancing kemeja pria itu sebagian terbuka, memperlihatkan kulit yang dipenuhi tato. “Aku dengar kamu baru di sini, ya?” Suaranya berat dan rendah, seolah menekan, memberi kesan bahwa dia tidak ingin ada penolakan. Amy merasakan perutnya mual. Dia berusaha tetap tenang. Jelas Amy tak akan punya kesempatan jika melawan pria besar ini. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban."Kau masih perawan?" Tentu saja ini hanya pertanyaan retorik karena tak mungkin si pria besar tak memastikan dulu dengan pemilik rumah bordil.Lagi lagi Amy mengangguk. "Kita langsung mulai saja ya, aku tak punya banyak waktu. Putriku merayakan ulang tahun malam ini, dia kira-kira berusia sama
Amy tak menyangka pria tampan itu akan memilihnya malam ini. Masih banyak gadis baru dan primadona berwajah cantik dibanding dirinya. Apa yang pria berpenampilan menarik itu lihat dari dirinya? Amy tak mengerti.Helga juga terkejut, tapi tak berani membantah Mr. Forrester."Lepaskan rantainya, bawa dia ke kamar paling bagus di gedung ini.""Baik, Tuan." Anak buah Helga segera bertindak, membuka rantai Amy dan membawanya ke dalam gedung di sebelah. Mr. Forrester mengikuti dengan rapat di belakang mereka. Amy selalu merasa dunia ini keras dan dingin, terutama ketika berhadapan dengan pria-pria yang hanya melihatnya sebagai objek. Sejak pertama kali bekerja di distrik pelacuran, ia tak pernah tahu apa itu perlakuan lembut atau perhatian tanpa pamrih. Setiap sentuhan yang ia terima selalu kasar, tanpa emosi, dan cenderung penuh paksaan. Namun, malam itu, semuanya berubah.Mr. Forrester, pria yang datang dengan sikap penuh percaya diri, berbeda dari semua yang pernah Amy temui. Begitu d
Amy diajari banyak hal, mengalami banyak kegiatan seksual yang bahkan tak pernah dia pikirkan sebelumya. Dari diikat, dicambuk, dipukul, sampai pada dicekik. Mr. Forrester begitu ahli sehingga Amy tak merasa tersiksa. Sensasi bercinta dengan pria itu membuatnya kecanduan. Lambat laun, Amy menjadi menyimpang. Dia tak bisa lagi melakukan hubungan sex tanpa kekerasan.Praktik masokis dari Mr. Forrester berhasil membuatnya Amy yang polos berubah. Pria itu memang menepati janjinya, membeli Amy dari Helga, tapi dia juga melatih Amy menjadi alat transaksi bagi kliennya. Amy belajar berbicara manis, bertindak manipulatif sehingga lawan mudah dilumpuhkan. Dengan kekayaan dari Mr. forrester, Amy menjadi semakin bersinar. Semua pakaian mewah, perhiasan, tas, mobil. Mr. Forrester memberikan apa yang Amy mau.Namun Amy baru menyadari, pria itu tak pernah terikat dengan satu wanita. Mr. Forrester punya beberapa wanita lain di luar sana. Mulanya Amy merasa marah, tertipu, menyangka pria ini mempe
"Kau sampai dengan cepat." Christian tertawa renyah.Amy mendorongnya menjauh. "Ah, aku mungkin sedang horny.""Kau memikirkan Daniel saat bercinta denganku?" Pria itu mengangkat alisnya, tampak muram."Tidak, apa kau tuli? Aku menyebut namamu, tak seperti dirimu yang menyebut nama gadis lain saat bersamaku." Amy berguling ke samping, lalu naik ke atas tubuh Christian."Ah, kau membahasnya lagi.""Aku masih marah setiap kali mengingatnya. Ivy ... Ivy, aahhh ...." Amy mengejek Christian.Wajah Christian memerah malu. "Jangan menyebut namanya.""Kenapa? Karena dia sudah menolakmu?""Karena kau tak pantas menyebut namanya.""Sialan kau, Ti!" Amy menjambak rambut Christian, ia menurunkan wajah dan menggigit bibirnya."Jadi kau pantas menyebut namanya?" Amy membawa keperkasaan Christian kembali memasuki dirinya. "Tidak. Aku pun tak pantas, pendosa sepertiku." Christian mendesah, leher jenjangnya terekspos saat ia mendongak ke atas. Amy mulai bergerak, turun naik, seperti menunggangi kuda
Christian menatap ke bawah, ke arah dadanya, tapi dia tak merasakan sakit. Apa yang terjadi? Christian menoleh, melihat sang gadis menatapnya nanar, memegang dadanya yang berlumuran darah segar."Apa yang—" Christian membuang uangnya, berlari menyambut tubuh gadis malang itu yang jatuh tak berdaya."Dia mau membunuhmu, ja-jadi aku menembaknya. Ini bukan salahku, aku hanya menolongmu!" Seorang pemuda berteriak histeris, dia belum pernah menembakkan pistol, tangannya masih gemetar hebat.Mata gadis itu nanat menatap Christian. "Please! Please!" Ia mencengkeram baju Christian erat, meninggalkan jejak darah di sana. "Please, aku tak mau mati, please. Ugh! Sakit! Sakit sekali!""Hei kau! Panggil ambulans!" teriak Christian, tapi pemuda yang menembak gadis itu tak bisa bergerak, tampak syok."Sialan!" Christian tak membawa ponselnya hari ini, dia berusaha menekan luka si gadis agar darah tak semakin banyak keluar."Aku akan mati, aku akan mati!" Si gadis mulai menangis histeris."Sialan! He
Cinta, benci, kecewa, marah, semua berpadu dalam hormoni bernama rumah tangga. Ivy sudah merasakan semua itu. Setiap orang bisa mengatakan bahwa dia bodoh. Ya! Dia bodoh, dia sangat bodoh karena ingin kembali bersama pria yang sudah mengkhianatinya. Tak hanya sekali, tidak ... berkali-kali.Namun, satu hal juga yang Ivy pahami, dia juga sang pendosa. Apa haknya menghakimi Daniel. Dia juga berkhianat walaupun bukan inginnya. Bersama Nicolas selama beberapa waktu membuatnya merasa nyaman. Bukankah itu juga bentuk pengkhianatan? Ketika suaminya mencarinya setengah mati, dia malah menikmati hidup.Jika Ivy hanya melihat dari perspektifnya, tentu saja ego yang akan berbicara. Ya. Bagaimana dia bisa bersama pria yang sudah membuahi wanita lain. Bahkan mereka sudah memiliki anak.Akan tetapi, hidup dalam kesendirian membuat Ivy menjadi pengamat. Dia selalu menempatkan dirinya di belakang, melihat melalui kacamata orang lain. Hal terakhir yang bisa wanita baik itu lakukan adalah menghakimi o
Mobil Christian sampai di puri. Kepala pelayan yang mengenali pria itu langsung mempersilakannya untuk masuk.Amy duduk di sofa mewahnya, mengenakan gaun satin berwarna merah anggur. Di tangannya, secangkir teh hangat berkilauan di bawah cahaya lampu gantung. Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh."Masuk saja, pintunya tidak dikunci."Pintu terbuka, menampilkan Christian yang berdiri dengan ekspresi datar, tapi matanya menyimpan bara."Kau sendirian saja, mana Mr. Forrester?"Amy tersenyum tipis, menepuk sofa di sebelahnya. "Duduklah. Aku yakin kita punya banyak hal untuk dibicarakan."Christian melangkah masuk, tapi tidak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Amy dengan tajam. "Langsung saja. Aku tahu kau yang mengirim orang-orang itu ke rumah Ivy."Amy tertawa pelan, mengangkat alisnya. "Tuduhan yang serius. Apa buktimu?"Christian mendekatkan wajahnya, ia mengecup bibir Amy. "Di antara kita, apa masih perlu bukti?""Kau menganggapku seperti penjahat, Christ." Amy meletakkan cangkir
"Jika bukan kau, Amy ....""Apa yang sebenarnya terjadi?" Nicolas masih tak mengerti jelas dengan tingkah aneh Christian. Dia kira Christian merebut Ivy darinya dan diserahkan pada Daniel, tapi pria itu malah datang mencarinya dengan raut penuh kekhawatiran.Christian menatapnya sejenak. Mungkin bisa menjadikan Nicolas sebagai rekan lagi. Dia sudah cukup menoleransi sikap gila Amy, kali tak akan lagi. Christian merasa sudah melakukan bagiannya dalam menebus rasa bersalahnya."Ada darah di rumah yang ditempati Ivy, tapi aku belum pasti darah siapa?""Apa?! Oh tidak, tidak! Bagaimana dengan Dean?" Nicolas panik, tangannya mencengkeram ujung baju, sedikit gemetar."Entahlah, aku tak tahu." Christian sama sekali tak peduli dengan nasib Dean, dia hanya khawatir dengan nasib Ivy."Aku akan meminta bantuan Mr. Sean. Apa kau yakin Amy pelakunya? Siapa tahu Daniel yang sudah menculik Ivy.""Mungkin saja, tapi Daniel tak akan pernah melukai Ivy.""Kau yakin sekali. Mungkin saja dia dendam karen
Ivy membekap mulutnya tak percaya, antara lega dan takjub. Daniel berhasil menahan serangan pria itu dan malah membalikkan serangan dengan memuntir lengan si pria hingga menusuk dirinya sendiri.Temannya tak tinggal diam, ia langsung menyerang Daniel menggunakan pisau dapur."Daniel awas!" teriak Ivy histeris.Satu hal yang mereka tak tahu, Daniel bukan orang sembarangan. Dia sudah terbiasa dengan kerasnya dunia hitam hingga mempelajari banyak jenis beladiri.Buk! Prak!Pria satunya lagi terkapar di lantai dengan tangan kanan patah. Keduanya mengaduh kesakitan.Daniel berjongkok, menjambak rambut pria yang ia patahkan lengannya. "Siapa yang menyuruhmu?"Pria itu membungkam mulutnya, tapi matanya jelas memperlihatkan ketakutan mencekam."Oh, jadi kau memilih mati daripada berbicara?" Dengan kasar, Daniel mengambil pisau dan menggores lengan pria itu.Si pria mengerang semakin keras. "Le-lepaskan kami! Kami hanya orang suruhan!" Keningnya sudah banjir oleh keringat."Siapa yang menyuruh
Ivy menarik napas panjang saat ia membuka pintu rumah kecilnya. Bau kayu tua dan aroma lavender dari lilin yang biasa ia nyalakan menyambutnya. Hari ini, ia siap menghadapi kebenaran. Ya! Semua tentang Christian dan Nicolas. Bagaimana mereka bisa saling mengenal, bagaimana Christian tahu Nicolas meracuninya.Ia meletakkan recorder di atas meja, menyalakan lampu ruang tamu yang remang, dan mulai berjalan ke dapur untuk mengambil air. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat mendengar suara aneh dari luar jendela—seperti langkah berat, diseret.Tok! Tok! Tok!Ketukan keras mengentak pintu depan. Ivy mendekat, jantungnya mulai berdebar tak karuan. Sebelum sempat bertanya siapa di balik pintu, suara keras menghantam kayu, pintu didobrak paksa.“Apa yang—?!”Dua pria bertubuh besar berpakaian gelap masuk dengan cepat. Tanpa mengucapkan sepatah kata, mereka langsung merusak isi rumah. Vas hancur, lampu terlempar ke lantai, dan recorder jatuh ke lantai, ditendang ke dinding sampai hancur.Ivy m
Amy duduk anggun di ruang baca pribadi miliknya, lampu gantung kristal memantulkan cahaya temaram ke rambutnya yang ditata rapi. Di tangannya, secangkir teh melati menghangatkan jemari. Pintu diketuk pelan, lalu seorang pria bersetelan gelap masuk membawa amplop cokelat tebal.“Saya membawa kabar terbaru, Nyonya.”Amy menaruh cangkirnya ke atas meja kecil, mengambil amplop itu dengan anggun, sorot matanya tajam penuh ekspektasi. Ia membuka perlahan dan menarik beberapa lembar foto.Satu per satu, foto-foto itu ia amati. Wajahnya datar, sampai matanya menangkap gambar Christian—berdiri di depan gerbang sebuah kompleks sederhana, mengenakan pakaian kasual. Beberapa foto lain memperlihatkannya keluar dari rumah kecil yang tampak akrab bagi Amy.Tatapannya membeku saat melihat Ivy muncul di foto berikutnya. Rambut Ivy terikat rapi, wajahnya pucat, tapi tetap terlihat memesona. Ia menggendong seorang bayi dan berdiri di depan rumah itu bersama Christian.Senyum tipis mulai membentuk di bib
Daniel terbangun dengan sakit kepala kuat, ia terkejut menyadari seseorang berada di sampingnya.Wanita itu meringkuk tak berdaya, kedua pergelangan tangannya lebam, begitu juga dengan sudut bibir yang pecah dan rambut berantakan."Siapa kau?" tanyanya heran. Sama sekali tak mengingat apa yang telah dia lakukan semalam, tangan Daniel terulur hendak menyentuhnya. Wajah wanita itu tampak familier.Si wanita menangis histeris, menggeleng kuat ketakutan."Fuck!" Daniel memaki kesal. Christian membawanya ke sini dan dia lagi lagi lepas kontrol. Ah! Kebiasaan buruknya sepertinya kembali lagi."Ivy ...," lirihnya galau.Daniel meraih bajunya buru-buru, ia membuka pintu ruang VIP itu. Anak buahnya menunggu sigap."Urus semuanya!" perintah Daniel, berjalan cepat menuju pintu keluar."Baik, Bos." Salah satu anak buahnya masuk ke dalam kamar, melemparkan uang pada wanita itu dan beranjak pergi."Mana Christ?" tanya Daniel setelah masuk ke dalam mobilnya. "Tuan Christ sudah menunggu di mansion."
Lampu-lampu neon kelab malam berpendar liar dalam bayangan gelap ruangan. Musik mengentak telinga, aroma alkohol dan parfum mahal memenuhi udara. Daniel duduk di sofa VIP, dasi longgar tergantung di leher, matanya setengah tertutup karena pengaruh alkohol.Christian duduk di seberangnya, gelas wine di tangan. Tatapannya santai, menilik pada gadis-gadis seksi yang tengah menari liar. “Kau butuh melepaskan semua itu dari pikiranmu, Tuan” ujarnya, mengisyaratkan pada pelayan untuk menuangkan lagi minuman.Daniel menghela napas berat. “Aku kehilangan Ivy, Christ. Tak ada yang lebih buruk dari itu.” Gelasnya sudah kosong, entah sudah ke berapa kali di menambah minuman keras itu.“Tuan, kau dulu tak peduli pada hal begini. Wanita bagimu hanya objek. Mereka bisa datang dan pergi, ucap Christian. Benar! Jika itu dirinya yang dulu, Daniel mungkin tak akan terpuruk begini. Ivy sudah pernah lari darinya, bukan tak mungkin dia memang sengaja menghilang lagi. Apa Nicolas berhasil meluluhkan hati
Di ruang bawah tanah mansion Forrester, cahaya lampu redup berpendar pucat. Udara lembap dan bau keringat bercampur darah memenuhi ruangan. Di tengahnya, Daniel berdiri dengan wajah garang, kemejanya kusut, dan tangan kanannya masih berlumur darah.Seorang anak buahnya tergeletak di lantai, tubuhnya memar dan berdarah. Dua orang lainnya berlutut di sudut ruangan, gemetar ketakutan.“Dua bulan,” desis Daniel, suaranya tenang, dingin. “Sudah dua bulan kalian mencari ... dan tak satu pun dari kalian bisa membawanya kembali!”“Tu-tuan Forrester, kami—”Buk!Daniel memukul anak buahnya sekuat tenaga sampai pria itu muntah darah. "Sialan! Kalian sama sekali tidak becus!"Buk!Sebuah tendangan keras menghantam pria itu, membuatnya jatuh dengan teriakan parau. Daniel mencengkeram kerah bajunya, menariknya hingga hidung mereka nyaris bersentuhan.“Ivy adalah milikku,” ucap Daniel, matanya merah penuh amarah. “Kalau kalian tak bisa menemukannya, maka kalian tak layak hidup!”Anak buah lain menc