***Yerinsa mengerang pelan merasa pegal kesemutan di sekujur tubuh akibat tidak bergerak di satu posisi tidur dalam waktu lama. Kesadaran mengawang-awang berusaha dikumpulkan sekuat tenaga untuk bisa membuka mata.Buram ...Hanya siluet langit-langit yang berhasil Yerinsa tangkap dengan susah payah, itupun tidak jelas apa warna dan motif bentuknya. Apakah masih ruangan medis seperti terakhir kali Yerinsa lihat, atau sudah di rumah sendiri."Bu," lirih Yerinsa serak, tidak terlalu jelas, sama seperti penglihatan sekarang yang seakan tertutupi kabut tebal.Tangan sekecil batang anak bambu itu terangkat menggenggam udara dengan gelisah, tapi sesaat kemudian sebuah tangan besar menyambut dan membalas genggaman itu.Yerinsa mendesah lega tanpa sadar dalam tidurnya, perasaan hangat yang masih menyelimuti sekujur tubuh membuat sulit membuat diri tersadar.Gue udah di rumah, kan?Masih sempat membatin sebelum benar-benar tertidur kembali karena tidak sanggup bertahan memperjuangkan kesadaran
***Tidak tau berapa lama sudah menutup mata dan diombang-ambingkan antara mimpi dan kenyataan, Yerinsa untuk ke sekian kali membuka mata tanpa mengetahui sedang berada di mana.Suasana lebih asing membuat gadis itu linglung, memaksakan diri bangkit duduk di tengah kasur untuk lebih jelas melihat sekitar dalam ruangan itu. Kamar itu sangat berbeda dari kamar di kediaman De Vries, ini jauh berkali lipat lebih besar."Ini di mana?" monolog Yerinsa dengan suara parau.Kasur luxury queen size berseprei biru langit, dan selimut biru muda yang dia tempati sangat nyaman, tekstur kain lembut sama seperti di kamarnya di rumah De Vries. Bahkan, ranjang itu berkanopi dengan ukiran cantik dan kelambu putih seperti tempat tidur putri raja.Desain warna semua hal di kamar itu didominasi varian biru, dinding berwarna biru laut, sementara plafon warna biru langit. Lemari pakaian lima pintu di sebelah kanan ranjang dengan warna biru malam membuat kamar itu terasa padat tapi tetap tidak membuat ruang s
***"Yerin, di mana kamu, Sayang."Gabriella mengurungkan niat mengetuk pintu kamar tidur sang ibu saat mendengar lirihan putus asa itu terdengar begitu menyayat hati, diiringi isak tangis tertahan.Bukan kali pertama Gabriella malam ini mendengar tangisan lirih Margareth tentang keberadaan Yerinsa. Semua karena penyelidikan polisi tidak membuahkan hasil sedikitpun, tidak kunjung berhasil membawa kabar baik.Dalam satu bulan ini bagi mereka bukan waktu singkat harus dilalui dengan begitu banyak masalah, berawal dari batalnya pertunangan Gabriella, goyahnya perusahaan, dan kondisi memburuk Abrady, lalu hilangnya Yerinsa.Semua ditanggung mereka sambil berusaha terus terlihat baik-baik saja, meskipun di luar Margareth terlihat seperti wanita yang sanggup menanggung semua persoalan yang terjadi, tapi faktanya saat malam hari Gabriella selalu memergoki sang ibu menangis tersedu di dalam kamar.Berita hilangnya Yerinsa juga berdampak semakin buruk pada kesehatan Abrady, pria itu jatuh koma
***Meski satu bulan sudah berlalu, tidak ada gelagat Luga akan kembali ke Belanda dalam waktu dekat, kondisi Yerinsa juga di mansion sangat lambat membaik, padahal sudah tidak diberikan obat tidur lagi. Meski begitu, yang membuat Luga tidak bisa pergi kembali ke negara tempat menuntut ilmu adalah karena menunggu reaksi kesadaran Yerinsa.Gadis itu dalam dua minggu ini sudah bisa mempertahankan kesadaran semakin lama, mengendalikan diri hingga tidak tidur sembarang seperti awal-awal pindah. Dan, menerima makanan tanpa banyak bicara karena masih lemah, semua tirai kamar selama ini ditutup hingga Yerinsa tidak bisa melihat keadaan di luar.Itu juga demi melindungi Yerinsa dari sorot matahari yang harus dihindari untuk beberapa bulan ke depan.Langkah lebar Luga dari ujung lorong mansion berhenti di depan sebuah pintu kamar dan membuka kasar, tidak menemukan siapapun di sana selain dua pelayan yang berwajah pucat."Bagaimana bisa kalian tidak melihatnya pergi?!" bentak Luga langsung di p
***"Nyonya, ada tamu di luar." Mauren memberitahu dengan suara pelan tidak ingin mengganggu ketenangan sang nyonya yang sebenarnya hanya melamun.Margareth mengalihkan perhatian dari setumpuk kecil salju di luar kaca jendela untuk menatap pelayan setia itu. "Apa itu dari detektif lagi?" tanyanya dengan sedikit binar harapan dalam manik madu itu.Pagi ini seperti hari-hari sebelumnya akan Margareth lalui dengan memperhatikan butiran salju yang jatuh dari langit, sambil melamun.Selain tidak pernah lagi pergi keluar dari kediaman, rumah De Vries hampir tidak menerima tamu dari manapun, kecuali kepolisian dan detektif sewaan. Mereka benar-benar menghindari media setempat untuk waktu yang tidak ditentukan.Sayangnya, pertanyaan Margareth mendapat gelengan dari Mauren, membuat secercah harapan di mata itu meredup."Ini teman sekolah Nona Yerin, Nyonya. Dia mengatakan ada hal penting tentang Nona Yerin yang harus diberitahu," kata Mauren sangat hati-hati dalam setiap mengucapan kata.Marga
"Apa? Tapi, kita tidak bisa asal melakukan penyelidikan pada seseorang tanpa bukti yang kuat," balas Margareth segera, mendongak menatap gadis di sampingnya yang berdiri."Aku bisa bersaksi, Bibi. Hari itu saat kami di sekolah, dia mengolok-olok Yerin hingga Yerin menangis di atap sekolah. Setelah itu tidak lama telpon diterima Yerin tentang kondisi Paman Abrady, lalu, malamnya bukankah waktu hilangnya Yerin?" urai Fiona panjang lebar sedikit berlebihan pada kata Yerinsa menangis, telunjuk kemudian mengarah pada Anastasya."Itu kamu! Jangan-jangan selama ini kamulah-""Tidak! Itu tidak benar! Fiona, apapun yang kamu katakan, dan apapun yang kalian pikirkan, itu salah!" potong Anastasya sambil bangkit berdiri menyangkal tudingan tiba-tiba itu.Padahal, untuk bicara dengan ibu Yerinsa saja membutuhkan waktu bagi Anastasya menyakinkan tekad, tapi disudutkan seperti ini membuatnya tidak terima."Heh, kamu ingin melakukan apa ke sini jika bukan untuk menutupi bukti kejahatanmu?" Fiona tert
***Hangat ...Setelah sebelumnya merasakan suhu dingin yang sanggup membekukan darah di sekujur tubuh, sekarang Yerinsa merasakan sesuatu kehangatan menyelimuti dari atas kepala hingga ujung kaki.Mengerang perlahan sebelum membuka mata dengan kerjapan lambat, mendapati langit-langit kamar yang sudah tidak terlalu asing lagi. Yerinsa memaki dalam hati menyadari kembali lagi ke kediaman mewah ini, pasti seseorang berhasil menemukannya saat pingsan tadi.Menyibak selimut, Yerinsa memaksa diri bangkit, denyutan langsung menyerang kepala menimbulkan erangan menahan sakit. Sambil mencengkeram rambut, gadis dengan sweater rajut warna coklat itu meniti di dinding berjalan ke arah pintu kamar.Yerinsa sadar kemungkinan sudah pergi terlalu lama dari rumah, tidak bisa terus mengalah pada rencana-rencana licik Luga.Membuka pintu, lorong sepi sekali lagi menyambut Yerinsa seperti sebelumnya, berjalan sambil memegang kepala yang sakit bukan hal mudah, keringat dingin mengalir dari dahi ke arah p
***Menyeret Yerinsa ikut serta bergeser, membuat wajah gadis itu tertekuk. "Akan lebih baik kalau aku dibiarkan mati kelaparan," katanya enteng.Gerakan Luga ingin mencapai tombol interkom terhenti, menatap tajam gadis itu yang tidak berani menatap langsung matanya."Selain tidak boleh keluar ataupun pergi dari sini, kamu juga tidak bisa mati meninggalkanku," ujar Luga rendah.Yerinsa diam hingga Luga berhasil menekan tombol interkom di dinding. "Bawakan sup hangat dan coklat panas," katanya memerintah."Baik, Tuan." Sahutan terdengar sedetik kemudian, lalu alat dimatikan."Kenapa tidak lepaskan aku saja," gumam Yerinsa mencebik."Tidak." Luga berujar datar."Maksudku lepas pelukanmu," ralat Yerinsa kembali mendengkus, merasa tidak nyaman tubuh begitu menempel pada Luga."Dan membiarkanmu mencoba kabur lagi? Tidak akan." tanya Luga sengit.Yerinsa memilih diam dengan wajah teramat datar, melirik tajam laki-laki itu yang sekali lagi hanya menarik sudut bibir tidak terpengaruh ketidaks