*** Puas melihat wajah Yerinsa berubah berbagai bentuk di tangan, baru Gabriella melepaskan. "Karena hari ini kita pulang lebih awal, bagaimana kalau mampir ke toko dessert dulu?" ajaknya. Meski tau ada yang aneh dengan Yerinsa dan ada hal rumit yang dipikirkan sang adik, Gabriella tidak akan bertanya, karena menurutnya Yerinsa akan bercerita jika memang ingin, tidak perlu dipaksa ditanyai. "Toko dessert? Tentu saja aku mau!" balas Yerinsa semangat duduk kembali di kursinya. *** Dengan perasan lebih baik, Yerinsa bisa menikmati sisa hari setelah dari acara sekolah, dan makan makanan manis di toko yang direkomendasikan Gabriella. "Kalian baru kembali?" Margareth menyambut dua anak gadisnya yang baru memasuki rumah dengan saling berbincang. Wanita itu duduk di sofa berpangku kaki membaca majalah keluaran terbaru. "Kami kembali, Ibu." Gabriella dan Yerinsa kompak berseru, mendekati sang ibu untuk memberikan pelukan hangat. "Cepat ganti baju, seragam kalian harus segera dicuci. S
*** "Ayah pernah bertemu Tuan Besar Roosevelt sebelumnya?" tanya Yerinsa sebelum memasukkan bagian kecil makan malam di sendok ke mulut. Tatapan terarah pada Abrady yang duduk di kursi tunggal, sambil mengunyah. Makan malam tengah berlangsung disertai obrolan ringan, entah sejak kapan topik sedikit condong ke keluarga Roosevelt saat membicarakan acara di sekolah hari ini. Abrady menggeleng menjawab pertanyaan Yerinsa. "Tidak. Sejauh ini hanya beberapa putra dan cucu Tuan Besar Roosevelt yang pernah Ayah temui. Itu pun sangat sulit," katanya. "Sebenarnya sebesar apa bisnis mereka?" tanya Gabriella ikut penasaran. "Sangat besar, itu bahkan tidak sebanding dengan milik kita. Tuan Besar Roosevelt bahkan sudah pensiun tapi semua aset dan sahamnya dikelola oleh tiga putra dan beberapa orang cucunya," jelas Abrady santai. "Ibu sempat dengar ada isu bahwa Tuan Besar Roosevelt bermain di bisnis bawah, tapi itu sudah bertahun-tahun lalu, dan semua dianggap tidak benar karena tidak ada bukt
***Yerinsa tidak menghitung sudah berapa kali Anastasya melabrak seperti ini, jika bukan untuk merundung Yerinsa dengan kata-kata, maka mempermalukannya. Sampai Yerinsa bosan dan akhir-akhir ini mencari tau seluk-beluk hidup gadis itu.Fiona bahkan sampai terlonjak karena sedang khusyuk makan sambil membalas pesan. Handphone hampir terlepas dari tangan dan tersedak sebelum menatap pelaku penggebrakan meja. Mata biru keabuan itu memicing tajam melihat sekelompok gadis berdiri angkuh di depan."Apa masalahmu?!" bentak Fiona langsung berdiri.Tersulut kesal pada gadis di depan meja, pasti ingin membuat masalah dengan mereka lagi. Baru ingin bangkit berdiri, tapi tidak jadi karena Yerinsa menahan agar tetap diam."Kamu, dasar perusak hubungan!"Tidak menggubris bentakan Fiona, Anastasya langsung menuding wajah Yerinsa tajam, tampak begitu marah."Ap-""Aku tau kamu masih mencintai Raven walaupun kalian sudah putus. Tapi, bukan berarti kamu bisa merebutnya dariku setelah semua yang kulaku
***Yerinsa pikir, mendapat hukuman skorsing satu minggu tidak akan menjadi masalah, karena akan memiliki banyak waktu berleha-leha di rumah. Tapi, nyatanya di hari ke dua saja Yerinsa sudah bosan sendirian di mansion mewah itu, lantaran semua penghuninya tidak ada di rumah, selain para pelayan.Orangtua dan sang kembaran juga sudah tau hukuman yang diterima Yerinsa dari sekolah itu. Meski sempat mendapat teguran tegas dari Abrady, nyatanya itu tidak membuat Yerinsa dimarahi habis-habisan.Hanya uang jajan dalam seminggu ini yang akan Margareth kurangi, tapi itu juga tidak terlalu berdampak serius untuk Yerinsa, uang di kartu debitnya masih sanggup untuk belanja seperti hari-hari normal.Abrady seperti biasa ke kantor, Gabriella ke sekolah, dan Margareth hari ini ada acara pertemuan sosialita dengan teman. Yerinsa jadi ditinggalkan ditemani sejumlah besar pelayan, tapi tetap tidak membuat kebosanan Yerinsa hilang."Yola, aku mau pergi sebentar, kalau ada tamu yang datang segera hubung
***Itu adalah Luga.Laki-laki yang sudah Yerinsa temui beberapa kali saat pergi dengan Gabriella.Bagaimana bisa ada di sini?Tiba-tiba?Luga menarik sudut bibir, bertumpu lengan di sisi tubuh Yerinsa membuat posisi seperti sedang mengurung gadis itu di bawahnya."Kamu ... berhutang," kata Luga dengan jeda sesaat."Anda- ... Anda, apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Yerinsa tercekat, celingak-celinguk melihat sekitar yang sudah ramai orang lagi.Ada darah di dahi Luga, mengotori sedikit anak rambut agak keriting laki-laki itu, mengalir ke kening, menuju pangkal hidung."Bukankah kamu harusnya menanyakan keadaanku?" Luga bertanya balik, meski terkesan minta diperhatikan, nyatanya wajah itu tetap tampak tidak merasakan apapun.Yerinsa seakan baru tertampar, posisi menjadi duduk tergesa-gesa. "Anda terluka, saya akan cari bantuan untuk membawa ke rumah sakit," katanya cepat.Masih menggunakan bahasa formal, Yerinsa berpatokan pada usia mereka yang terpaut beberapa tahun, ditambah Luga
***Makan siang yang Yerinsa telan terasa sealot sandal karet karena pemandangan wajah tampan laki-laki di depan. Duduk berhadapan hanya terpisah meja bundar di tengah, dalam sebuah restoran cepat saji.Setelah dua jam istirahat tanpa benar-benar menghabiskan cairan infus, Yerinsa meminta pulang dari rumah sakit karena sudah ditanyai Gabriella –sudah pulang jam sekolah–, segera dituruti karena memang tidak ada penyakit yang kambuh pada tubuh gadis itu.Yerinsa tidak mengatakan sedang di rumah sakit, hanya memberi alasan bahwa sedang berjalan-jalan di taman kota, dan menjawab akan segera pulang.Niat Yerinsa pergi dari rumah sakit adalah meninggalkan Luga, tapi gagal total, saat ingin menyetop sebuah taksi, lengannya ditahan dan ditarik menjauh.Penolakan Yerinsa seakan bukan apa-apa bagi Luga yang menarik ke sebuah mobil hitam, tidak tau sejak kapan juga mobil itu ada, Yerinsa dipaksa masuk mobil."Pilih, setuju untuk kuantar, atau kuberitahu orangtuamu kejadian hari ini?"Sebait pert
Sudah Yerinsa duga, jika sampai Luga mengantar ke rumah, maka besar kemungkinan akan bertemu Gabriella dan semakin sering adegan pertemuan mereka.Seperti saat ini, pasangan itu saling mengulas senyum formal, mengabaikan Yerinsa yang memutar bola mata menahan kesal di samping pilar teras."Maaf kalau kembaranku merepotkanmu," ucap Gabriella setelah mendengar penjelasan dari Luga tentang mengapa Yerinsa ikut dengannya."Tidak masalah sama sekali," balas Luga entengSetiap bicara dengan Gabriella, senyum Luga cenderung lebih manis dan hangat, berbeda saat bersama Yerinsa tadi, senyum itu selalu terlihat menakutkan seperti seringai penjahat.Tidak adil.Yerinsa mencebik menatap interaksi dua orang itu yang kalau dilihat lagi sangat bertolak belakang. Luga terlalu badass, sedangkan Gabriella feminim, tapi mungkin perbedaan mencolok itulah yang membuat mereka cocok di novel."Kalau begitu aku pergi sekarang," kata Luga berpamitan singkat.Gabriella mengangguk. "Ya, hati-hati," balasnya den
***"Oh iya, Yerin ..." Margareth mengangkat suara setelah meja makan sempat hening sebentar. "Akhir pekan nanti Ibu akan ada gathering lagi, di rumah Nyonya Zuarenz. Kami berencana membawa putra dan putri masing-masing," lanjutnya dengan tatapan ke arah putri bungsu.Pisau yang memotong daging di piring Yerinsa selesai, balas menatap sang ibu. "Lalu? Ibu berencana membawaku?" tanyanya santai sebelum memasukkan potongan daging ke mulut.Mereka tengah menikmati makan malam bersama tanpa Abrady, karena sang kepala keluarga sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri untuk dua minggu."Ya, apa bisa?" angguk Margareth dengan pertanyaan memastikan.Yerinsa tampak berpikir sejenak. "Satu minggu ini aku memang full tanpa kegiatan apapun. Tapi kenapa aku? Bukan Gabby?" jawabnya sekaligus bertanya balik."Kamu lupa? Akhir pekan nanti Justin datang." Gabriella menyahut dengan lirikan pada sang adik sambil mengunyah makanan."Oh, aku tidak memperhatikan," balas Yerinsa enteng mengangkat ba
***"Vie, tenanglah," bisik Luga kesulitan menahan lonjakan tenaga gadis itu."Sakit! Sakiitt! Sakiitt!" Yerinsa tidak menahan jeritan untuk mengeluarkan segala keluhan yang hanya bisa diwakili satu jenis kata itu saja.Memeluk erat gadis yang menggeliat seperti cacing kepanasan, Luga tidak mengatakan apapun selain membantu menekan kepala itu ke dadanya, juga membiarkan kemeja kusut direnggut Yerinsa.Bercak kemerahan timbul di kemeja, Luga mendesis rendah merasakan luka jahitan pasti terbuka kembali karena tersikut lengan Yerinsa, membuat kain kasa ikut bernoda darah."Gerald!" teriak Luga ke arah pintu masuk.Hanya butuh satu detik untuk seorang pria masuk terburu-buru. "Saya, Tuan Muda," sahutnya."Bantu aku," kata Luga sambil mengeluarkan sebuah botol kecil dan suntikan dari saku celana.Pria bernama Gerald mendekati tempat tidur, membantu memindah isi cairan dari botol ke dalam suntikan, lalu menyerahkan kembali pada Luga, membiarkan sang tuan muda menyuntik sendiri.Tubuh Yerins
***Abrady menegang di posisi memangku Yerinsa, merasakan moncong dingin revolver menyentuh tepat di pelipis sama seperti sebelumnya dialami Luga. Selain itu, tanpa diduga sederet pria kekar bersenjata yang sebelumnya mengancam Luga, kini malah berpaling mengancam Abrady.Pertemuan mengharukan yang diimpikan akan berakhir indah nyatanya tidak semulus yang dibayangkan. Rencana diam-diam memang sudah disusun sebelum keberangkatan, membayar sejumlah penembak jitu sebagai pelindung dan bisa digunakan mengancam.Namun, siapa menyangka Luga tau satu langkah di depan Abrady."Kupikir manusia, ternyata memang serangga yang tidak memiliki akal," desis Luga dengan sorot mata kelewat dingin."Apa yang sudah kamu lakukan pada orang-orangku?" tanya Abrady geram.Seringai Luga tersungging lebar. "Sejak kapan mereka orang-orangmu?" tanyanya mengejek."AYAH!" teriak Gabriella saat situasi dua pria itu mendadak terbalik.Margareth menangis melihat sang suami berada di bawah target ancaman Luga sekaran
***"Luga!" pekik Yerinsa kencang melihat Luga ambruk di tanah dengan memegang satu kaki.Tubuh Yerinsa gemetar, menatap sang ayah yang baru saja memberikan perintah menembak. Bagaimana bisa ayahnya memerintahkan hal sekejam itu dilakukan pada Luga, bahkan tanpa pembicaraan apapun di antara mereka."Yerin, jangan ke mana-mana! Tetap di sini!" Margareth menyusul berteriak saat Yerinsa benar-benar akan turun dari kursinya."Lepaskan aku, Bu. Ayah melukai Luga," pinta Yerinsa tanpa sadar mata sudah berkaca-kaca."Dia pantas mendapatkannya, Yerin. Bahkan harusnya lebih dari itu," sentak Gabriella, menarik kasar Yerinsa agar kembali duduk.Yerinsa menoleh tercengang. "Apa maksudmu dia pantas mendapatkan itu? Kamu mendukung Ayah melakukan kejahatan?" tanyanya tidak percaya."Sayang, percayalah pada Ayahmu, dia ingin kita semua kembali, seperti dulu lagi, mengertilah," ujar Margareth lembut mengusap pipi basah Yerinsa."Tapi, tidak perlu dengan hal keterlaluan seperti ini, Bu. Jangan melukai
***Kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan membuncah di mata biru itu, segera pandangan Yerinsa buram akibat berkaca-kaca. Bahagia menggelegak dari lubuk hati begitu melihat sosok Gabriella, Margareth, lalu disusul Arbady turun dari helikopter dibantu beberapa orang berpakaian hitam tebal seperti jaket boomber.Mereka benar-benar di sini, melihatnya, bertatapan dengannya penuh rindu, dalam jarak yang hanya terpaut lebih dari sepuluh meter.Satu langkah pertama Yerinsa ambil saat helikopter dimatikan dan udara sekitar menjadi tenang, lupa bahwa tadi berlari bersama Luga hingga tautan tangan itu terlepas untuk menyongsong menyambut keluarga tercinta.Luga menatap tangan sendiri yang menggantung di udara, kehangatan kecil dari tangan lembut menghilang perlahan. Menatap punggung sempit bak peri yang berlari menuju gerbang kehidupan alam bebas, tangan Luga mendadak terkepal."Ibu," lirih Yerinsa dengan setetes linangan air mata jatuh di pipi, menatap sang ibu yang juga mendekat."A
***Yerinsa mengangguk sambil menerima jabat tangan itu, bangkit berdiri di atas kekuatan kaki sendiri. Aroma musk yang familiar di hidung Yerinsa sekarang tercium dari tubuh Luga bersama campuran wangi mint dari sabun mandi."Ayo turun sekarang," ajak Yerinsa saat tangan sudah digenggam erat.Baru saja akan melangkah lebih dulu memimpin jalan ke arah pintu keluar, niatnya tidak bisa terlaksana karena kaki Luga masih terpaku kuat di lantai, tidak bergeser saat ditarik."Ada apa?" tanya Yerinsa heran, menoleh menatap Luga yang masih diam."Morning kiss, kamu belum memberikannya," kata Luga dengan dahi berkerut samar."A- ... Oh," gumam Yerinsa gugup, masih ada dua pelayan selain mereka di kamar ini, jadi mendadak canggung oleh kalimat Luga yang diucapkan tanpa malu.Luga melirik Chang Mei dan Ruan Ruan yang menjadi sumber kegugupan Yerinsa. Dengan gerakan bola mata saja sudah cukup membuat mereka mengerti dan merundukkan tubuh."K-Kalau begitu kami permisi, Nona, Tuan." Chang Mei berka
***Hari yang dinanti Yerinsa selama dua hari belakangan, tidak, lebih tepatnya tujuh bulan ini, akhirnya tiba. Bangun pagi dengan semangat empat-lima bahkan sebelum Chang Mei dan Ruan Ruan membangunkan.Saat dua pelayan itu memasuki kamar, Yerinsa sudah berendam di air hangat dalam bathup. Bersenandung kecil sambil memainkan busa sabun yang menggunung di permukaan air hingga wangi semerbak memenuhi kamar mandi.Jadi, setelah Yerinsa keluar kamar mandi, Lolita dress hitam beserta seluruh aksesoris dari atas kepala hingga ujung kaki sudah disiapkan Ruan Ruan, sementara Chang Mei menunggui di depan pintu ruang ganti."Anda sangat senang, Nona," komentar Chang Mei sambil membantu mengeringkan sisa bulir air di wajah dan leher Yerinsa."Tentu, hari ini akhirnya aku dijemput keluargaku," balas Yerinsa lebih bersemangat dari hari biasanya.Dua pelayan yang membantu Yerinsa mengenakan pakaian itu saling tatap sejenak, ada sepintas keresahan di sorot mata mereka sebelum menatap Yerinsa dengan
***Untuk sementara Luga hanya diam membalas senyum itu dengan tatapan tenang, tak lama ikut tersenyum dan mengangguk sebelum menarik kepala Yerinsa untuk jatuh ke dalam pelukan."Aku tau," kata Luga singkat.Sesaat Yerinsa berkerut dahi, balasan Luga bukankah sedikit tidak nyambung?Tapi, tidak masalah, selagi laki-laki itu tidak tersinggung, Yerinsa aman.Luga menatap dinding dengan pandangan kelewat tajam seakan ingin melubangi menggunakan laser dari mata, sesaat kemudian menyeringai sinis sebelum menutup mata dan mengecup puncak kepala gadis dalam pelukan."Aku tidak khawatir dibenci siapapun," ujar Luga sambil mengurai pelukan."Ya. Ya. Tuan tidak takut apapun. Aku tau, bahkan kalau seluruh dunia membencimu, kamu tidak akan khawatir," cibir Yerinsa sambil bersandar di sofa dan mengayunkan kaki.Luga terkekeh rendah, mengusak puncak rambut gadis itu. "Kecuali kebencianmu," ujarnya.Yerinsa melirik dengan bersidekap di dada, "jangan mencoba menggoda, kamu sangat tidak cocok."Kekeh
***Lolita dress biru muda lembut dengan renda di ujung rok dan berlengan panjang, hari ini dikenakan Yerinsa. Panjang hanya mencapai lutut, dan bagian lengan berwarna putih.Jepit rambut burung bangau dari permata disematkan ke sisi telinga sebelah kiri Yerinsa, sementara sejumlah kecil rambut di sisi kanan dikepang menjuntai hingga ujung.Suara jatuhnya belenggu menghantam lantai membuat Yerinsa mendesah lega tanpa sadar, saat ini duduk di pangkuan Luga yang baru saja melepas rantai di kaki hingga terasa lebih ringan."Lebih nyaman?" tanya Luga sambil mengelus bekas kemerahan di pergelangan kaki itu yang selama dua bulan ini menyandang pengekang.Yerinsa mengangguk. "Ini jadi lebih ringan," jawabnya.Chang Mei datang dari ruang ganti membawa sepasang high heels jenis ankle straps tidak terlalu tinggi, haknya hanya sekitar lima senti berwarna biru muda senada dress, dan kaus kaki putih transparan berenda.Berlutut di kaki Yerinsa, pelayan itu memasangkan kaus kaki sebelum sepatu, den
***Siapa yang tidak akan terkejut jika mendapati jari dimasukkan ke mulut seseorang seakan itu sebuah lolipop.Luga tertawa pelan. "Sudah kubilang untuk memelukku," katanya sambil merebahkan diri kembali.Kening di antara alis Yerinsa bertaut sebal sebelum menjatuhkan diri dalam pelukan Luga, meletakkan kepala di atas dada bidang itu dan membiarkan laki-laki itu mengusap pundaknya.Kamar menjadi hening saat keduanya tidak ada yang membuka mulut untuk bicara, Luga menikmati waktu nyaman mereka, sementara Yerinsa setengah melamun.Apa yang Luga urus selama pergi dua bulan ini?"Vie," panggil Luga memecah keheningan, yang dibalas dengan gumaman samar."Kalau aku ... mempertemukanmu dengan keluargamu, apa kamu senang?" tanya Luga dengan suara rendah seakan ragu.Yerinsa mengerjab, kemudian mengangkat pandangan untuk menatap Luga yang rupanya hanya menatap lurus ke atas lampu di langit-langit."Tentu saja. Apa kamu akan melakukan itu? Kamu akan mengembalikanku? Kapan?" Pertanyaan Yerinsa