Setelah kepergian Hagen dari Kastil Petunia, Camellia mencoba untuk berjalan-jalan di dekat taman bunga. Gadis itu mengenakan dress putih selutut yang memberikan volume pada pinggul serta bokong dan dada. Ada begitu banyak detail pada dress itu yang memamerkan kulit Camellia. Bahkan, belahan dada pada dress itu begitu rendah hingga sedikit mengekspos gundukan di baliknya yang membuat beberapa penjaga harus menatap lurus ketika berhadapan dengan Camellia.
Hal itu tentu saja membuat Erlinda sedikit gelisah.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Camellia yang berjalan lebih dulu di depan.
Gadis delapan belas tahun itu menoleh dan menatap pada pelayan muda yang mengobservasi penampilan Camellia penuh kritis.
Sembari menghela napas, Erlinda pun mengutarakan isi pemiki
Beberapa kali Camellia menatap jam di dinding sembari mendengarkan langkah kaki yang mendekati pintu kamar. Dengan sedikit gelisah, dia pun berjalan mondar-mandir di dekat kaki ranjang.Tangannya saling memilih, sementara matanya melirik ke arah pintu yang tertutup.Dan ketika jam menunjukkan pukul sebelas malam itu, barulah Camellia mendengar suara tumit sepatu yang mendekat.Sembari menata hati dan pikiran, gadis itu pun bermaksud keluar dari ruangan.“Apa yang kau lakukan di depan pintu?” tanya Hagen yang berjalan menuju kamar tamu di ujung lorong.Pria itu berhenti begitu mendapati Camellia tengah berdiri dengan mata terfokus padanya. Dan dari cara gadis itu memandang, Hagen tahu bahwa Camellia menunggu kedatang
Pengakuan pria itu membuat mata Camellia membuka seketika. Dia pun memutar tubuhnya secara paksa hingga keduanya saling berhadapan dengan wajah berdekatan.Tampak mata gadis itu yang mendelik tajam dengan kemarahan tercetak jelas di sana.“CCTV?” tanya Camellia tajam. “Kau menaruh CCTV di kamarku?!”Satu tangan gadis itu memukul dada Hagen keras hingga membuat pria itu meringis. Jelas sekali Camellia hendak menjerit histeris, sehingga Hagen menahan lengan gadis itu yang terus memukul dadanya tanpa henti.“Mengapa kau begitu suka menginvasi privasiku?”Dengan membawa rasa marah, Camellia pun berusaha bangkit dari atas ranjang, namun Hagen menahan tubuh gadis itu untuk tetap berbaring di samping. Dia bahkan membingkai wajah gadis itu yang matanya terlihat sedikit basah.“Aku melakukannya karena kau bisa saja dalam bahaya,” ucap Hagen dengan nada sedikit datar, yang semakin membuat kemarahan gadis
Camellia menatap makanan di piringnya dengan pandangan kosong, sedangkan kepalanya dipenuhi oleh kejadi malam tadi, di mana Hagen tampak sangat berbeda dari biasanya. Pria itu bahkan memperlakukannya dengan begitu lembut dan perhatian.Karena begitu terhanyut dengan bayangan semalam, Camellia sampai tidak menyadari kehadiran pria itu yang baru saja memasuki ruang makan.Dia juga tidak mendengar deheman serta suara jari telunjuk pria itu yang menekan meja kaca, berusaha menarik perhatiannya dari lamunan.“Camellia!”Seketika saja gadis itu tersentak dan menoleh cepat ke arah Hagen yang telah memanggil namanya lebih dari empat kali.Dengan kening berkerut dan pipi sedikit merona, Camellia menatap pria itu bertanya-tan
“Kau membayar seluruh pengobatan ayah?” tanya Camellia ketika mereka keluar dari bangunan rumah sakit.Hagen yang saat itu berjalan bersisian dengan Camellia hanya mengangguk pelan. Dia tidak ingin mengatakan lebih.“Tapi … kenapa?”Langkah gadis itu terhenti, dan hal itu membuat Hagen juga mengikutinya. Kini, pria itu pun menoleh ke arah Camellia yang menatap dirinya dengan seksama, membuat Hagen menatap gadis itu balik.“Karena aku tidak ingin kau melakukan hal yang bodoh jika terjadi sesuatu pada ayahmu,” jawab pria itu sembari menggenggam lengan Camellia dan menuntunnya kembali menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat keduanya berdiri.Kembali mereka diselimuti keheningan, namun kali ini ada denyut ketenangan yang menjadikan keduanya berjalan lebih berdekatan.Dan tidak lama kemudian, Camellia yang hendak memasuki mobil pun berbisik pelan; “Terima kasih.”Yang Hagen
Mendapati arah pandang pria itu, seketika Camellia menundukkan wajah, sengaja menghindari kontak mata mereka.Dia menarik selimut hingga ke dada yang tadinya menutupi sekitar kaki. Hal itu Camellia lakukan karena tatapan intens yang Hagen berikan seolah menguliti dirinya.Dengan wajah memerah dan sedikit canggung, Camellia pun mencoba mencairkan suasana yang sempat membeku sesaat tadi.“Kupikir kau tidak akan datang,” ucapnya basa-basi, membuat Hagen pun melangkah masuk ke dalam ruangan sembari menutup pintu yang berada di balik tubuh.Pria itu berjalan dengan langkah ringan mendekati kaki ranjang, sedangkan matanya tidak henti menatap ke arah Camellia yang memilih untuk menunduk dengan selimut membungkus tubuh.“Bagaimana mungkin aku tidak datang,” balas pria itu dengan suara berat baritone yang dalam, menunjukkan bahwa dia tengah kesulitan mengontrol diri.Tidak tahu harus melakukan apa, Camellia pun bergerak mundur
Hagen menjatuhkan kecupan yang lembut di bibir gadis itu sembari menyingkirkan tangan Camellia yang perlahan turun menutupi bagian tubuh sensitifnya. Dengan penuh perasaan, dia seakan hendak membisikkan bahwa semua akan baik-baik saja.“Please,” bisik gadis itu dengan sedikit desah tertahan.“Sure, Princess. Percaya padaku,” gumam Hagen, bersikap hati-hati saat memindahkan tubuh gadis itu sedikit ke tengah-tengah ranjang.Dia membelai pelan sisi paha yang memamerkan kulit mulus Camellia, dan dengan gerakan pelan Hagen pun menuruni tubuh gadis itu sembari mendaratkan ciuman di antara pangkal pahanya, hingga membuat Camellia melenguh dengan tangan mencengkram punggung telanjang pria itu.Dari balik bulu mata lentiknya, Camellia mendapati tubuh kekar Hagen yang perlahan menaiki tubuhnya sehingga kini wajah mereka saling berhadapan kembali. Dan dengan kedua tangan berada di masing-masing kepala gadis itu, dia pun mengulas senyuman hing
Camellia terjaga dari tidurnya begitu dia mendengar suara pintu yang ditutup. Gadis itu pun melirik ke arah sumber suara, dan sekilas dia mendapati seseorang dengan baju pelayan wanita baru saja keluar dari ruangan kamar. Untuk sesaat gadis itu terdiam sambil mengumpulkan kesadaran. Dan tidak lama setelahnya, dia pun mengulet dengan kedua tangan terentang ke atas.“Ugh,” desahny sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh, namun seketika saja matanya membuka kembali begitu ingatan malam tadi menyerang secara bertubi-tubi.Sembari memegangi kepala, Camellia pun membenamkan wajah ke atas bantal, kemudian menjerit di atasnya dengan suara teredam.“Stupid … stupid …,” geramnya yang berharap bayangan itu segera pergi, karena dia merasa tidak akan mampu untuk menatap pria itu bila nanti mereka bertemu.Dan saat pemikiran tersebut memasuki kepala, Camellia pun dengan cepat menoleh ke sisi ranjang satunya. Yang pada akhirnya
Tatapan Hagen pada wanita yang berdiri di hadapannya begitu tajam dan menusuk, membuat dua pria yang berada di dalam ruangan berdiri dengan posisi waspada. Sementara itu, pelayan yang tadi mereka seret dalam ruangan tampak menatap liar ke segala arah. Jelas sekali bahwa wanita itu seakan ingin lari dari sana.Tanpa sedikit pun melepas pandangannya dari wanita tersebut, Hagen pun berjalan mendekati meja kerja lalu bersandar di salah satu sisinya.Kedua tangan pria itu masuk ke saku celana, untuk menyembunyikan kepalan tangan yang membuat setiap buku-buku jarinya memutih.Awalnya ruangan tersebut hening. Menimbulkan ketegangan yang seakan mencekik si pelayan muda. Bahkan, berkali-kali dia tampak menelan saliva hingga kedua tangan gemetarnya itu bertaut antisipasi.Dengan kegugupan yang terlukis jelas di wajah dan gesture ringkihnya, Hagen memilih untuk memperpanjang keheningan di antara mereka.Setelah puas membuat gadis itu bergerak sangat gelisah,
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid