Hagen menjatuhkan kecupan yang lembut di bibir gadis itu sembari menyingkirkan tangan Camellia yang perlahan turun menutupi bagian tubuh sensitifnya. Dengan penuh perasaan, dia seakan hendak membisikkan bahwa semua akan baik-baik saja.
“Please,” bisik gadis itu dengan sedikit desah tertahan.
“Sure, Princess. Percaya padaku,” gumam Hagen, bersikap hati-hati saat memindahkan tubuh gadis itu sedikit ke tengah-tengah ranjang.
Dia membelai pelan sisi paha yang memamerkan kulit mulus Camellia, dan dengan gerakan pelan Hagen pun menuruni tubuh gadis itu sembari mendaratkan ciuman di antara pangkal pahanya, hingga membuat Camellia melenguh dengan tangan mencengkram punggung telanjang pria itu.
Dari balik bulu mata lentiknya, Camellia mendapati tubuh kekar Hagen yang perlahan menaiki tubuhnya sehingga kini wajah mereka saling berhadapan kembali. Dan dengan kedua tangan berada di masing-masing kepala gadis itu, dia pun mengulas senyuman hing
Camellia terjaga dari tidurnya begitu dia mendengar suara pintu yang ditutup. Gadis itu pun melirik ke arah sumber suara, dan sekilas dia mendapati seseorang dengan baju pelayan wanita baru saja keluar dari ruangan kamar. Untuk sesaat gadis itu terdiam sambil mengumpulkan kesadaran. Dan tidak lama setelahnya, dia pun mengulet dengan kedua tangan terentang ke atas.“Ugh,” desahny sembari menarik selimut untuk menutupi tubuh, namun seketika saja matanya membuka kembali begitu ingatan malam tadi menyerang secara bertubi-tubi.Sembari memegangi kepala, Camellia pun membenamkan wajah ke atas bantal, kemudian menjerit di atasnya dengan suara teredam.“Stupid … stupid …,” geramnya yang berharap bayangan itu segera pergi, karena dia merasa tidak akan mampu untuk menatap pria itu bila nanti mereka bertemu.Dan saat pemikiran tersebut memasuki kepala, Camellia pun dengan cepat menoleh ke sisi ranjang satunya. Yang pada akhirnya
Tatapan Hagen pada wanita yang berdiri di hadapannya begitu tajam dan menusuk, membuat dua pria yang berada di dalam ruangan berdiri dengan posisi waspada. Sementara itu, pelayan yang tadi mereka seret dalam ruangan tampak menatap liar ke segala arah. Jelas sekali bahwa wanita itu seakan ingin lari dari sana.Tanpa sedikit pun melepas pandangannya dari wanita tersebut, Hagen pun berjalan mendekati meja kerja lalu bersandar di salah satu sisinya.Kedua tangan pria itu masuk ke saku celana, untuk menyembunyikan kepalan tangan yang membuat setiap buku-buku jarinya memutih.Awalnya ruangan tersebut hening. Menimbulkan ketegangan yang seakan mencekik si pelayan muda. Bahkan, berkali-kali dia tampak menelan saliva hingga kedua tangan gemetarnya itu bertaut antisipasi.Dengan kegugupan yang terlukis jelas di wajah dan gesture ringkihnya, Hagen memilih untuk memperpanjang keheningan di antara mereka.Setelah puas membuat gadis itu bergerak sangat gelisah,
Setelah beberapa menit berlalu, Hagen pun duduk di kursi kerjanya. Dia tidak memedulikan pecahan dari salah satu hiasan yang tadi menghiasi meja, serta kertas dan dokumen yang memenuhi lantai.Dengan kepala menyandar, Hagen memandang pada langit-langit ruangan.Satu per satu ingatan memasuki kepala, dan sebuah kejadian perlahan-lahan membayangi dirinya yang saat itu masih sangat muda. Sebuah kenangan masa lalu yang ingin dia hapus dari kepala, serta semua hal setelahnya. Bahkan, hari-hari yang dia lalui saat itu membuatnya merasa menjadi anak paling malang sedunia.Tentu saja Blake Hagen beranggapan seperti itu, terutama ketika dia melihat di depan matanya sendiri kedua orang tuanya yang berbaring di atas lantai telah bersimbah darah.Seketika Hagen memegangi bahu, karena tiba-tiba saja sesuatu berdenyut dari bekas luka sebuah peluru yang telah samar dimakan waktu.“Ugh,” ringisnya sembari menekan bekas luka itu, seakan-akan rasa sakitn
Hagen mencium punggung telanjang Camellia, bibir hangatnya menyentuh kulit sensitive gadis itu yang seketika membuat Camellia memejamkan mata, lalu membukanya kembali. Kini, gadis itu berbaring dengan posisi telungkup. Kedua kelopak matanya menatap sayu ke arah Hagen yang perlahan-lahan berdiri dari ranjang.Entah apa yang merasukinya sehingga dia pun menahan lengan pria itu ketika hendak pergi.Melihat tangan Camellia yang melingkar di pergelangan tangan, Hagen pun mengulas senyuman sembari duduk di atas ranjang dan memberikan perhatian pada gadis itu secara penuh.“Apa kau masih merindukanku, Princess?” goda Hagen yang seketika membuat gadis itu memutar bola mata dan bergerak hendak membelakanginya, namun dengan capat pria itu menahan wajah Camellia hingga mereka pun saling melihat dengan jarak teramat dekat. Kemudian, pria itu pun berbisik pelan; “Atau kau masih merasa belum puas?”Satu tangan gadis itu seketika mendorong dada H
“Anda tampak bersahaja hari ini, Miss Duncan,” ucap Erlinda yang tiba-tiba saja masuk ke ruang perpustakaan, mengagetkan Camellia hingga nyaris menjatuhkan buku di atas pangkuan.Gadis itu pun menoleh cepat ke arah pelayan yang selalu mengikutinya selama di Kastil Petunia.“Astaga, langkah kakimu halus sekali sampai-sampai aku tidak bisa mendengarnya,” sungut gadis itu yang hanya ditanggapi tawa oleh pelayannya.Dengan alis saling bertaut, Erlinda menatap Camellia seolah dia tahu apa yang gadis itu pikirkan.“Jika anda tidak terlalu fokus dengan lamunan, mungkin suara pintu dan langkah kakiku bisa didengar sebelum masuk ruangan, Miss.”Menyadari bahwa pelayan wanita itu seolah menyentilnya, seketika saja pipi Camellia merona merah dan dia pun berdehem sembari menyingkirkan buku yang sama sekali tidak dibaca.“Aku tidak melamun, tetapi perhatianku ada pada buku ini,” elaknya yang semakin m
Dalam perjalanan menuju salah satu kantornya yang berada di Lancester, Hagen dikejutkan dengan panggilan berisyarat tanda bahaya dari salah satu penjaga keamanan di Kastil Petunia. Itu sebabnya dia meminta pada Frank untuk memutar arah. Dan apa yang Hagen takuti pun benar-benar terjadi, yaitu kedatangan Alfred Ryder.Kini, berhadap-hadapan dengan pria itu membuatnya merasa sesak. Rasanya dia ingin pergi dari sana dan membawa Camellia secepatnya.“Aku tidak punya waktu untuk bersitegang urat, jika kau memiliki kepentingan, mari ikut aku ke tempat yang lebih privat,” ucapnya, sengaja mengatakan hal tersebut dengan nada rendah agar tidak menakuti Camellia.Dari gesture tubuh feminimnya, Hagen tahu bahwa sebelum dia tiba, mungkin saja paman yang tidak akan pernah dia akui itu telah melakukan sesuatu.Dengan pembawaannya yang sombong, Alfred pun menatap pria itu sembari mengangkat kepala tinggi-tinggi.“Akhirnya kau punya common sense
Hagen berjalan menaiki tangga dengan langkah satu-satu dan pelan. Kepala pria itu tampak penuh akan sesuatu, namun dia menghentikan kakinya pada anak tangga terakhir, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan perjalanan kembali.Saat ini, tujuannya adalah master bedroom yang telah dirapikan setelah kejadian malam pertama waktu lalu. Dengan kedua tangan berada di saku celana, Hagen pun seakan menahan diri untuk melayangkan pukulan pada dinding di sepanjang jalan setelah pertemuan dengan paman yang terjalin karena pernikahan.Seharusnya, dia pukul saja pria itu sebelum benar-benar keluar dari Kastil Petunia. Tetapi, mengingat Bibi Stella akan bertanya, Hagen pun mengurungkan niat tersebut. Lebih baik diam dan menunggu rencana busuk pria itu selanjutnya, daripada harus menerima omelan dari wanita yang telah membantunya sejak remaja.Dan begitu dia tiba di depan pintu, langkah Hagen berhenti seketika begitu dia mendengar suara halus Camellia yang sedang
Hagen membukakan pintu untuk Dokter Timothy yang telah berdiri di beranda bersama Gideon Rose. Wajah dokter tersebut tampak masam, dan tentu saja terpaksa yang tidak sedikit pun Hagen pedulikan. Pria itu bahkan menyambut kedua tamunya seolah itu merupakan kunjungan biasa, bukannya sebuah keharusan.“Jika bukan karena Jaxon yang meminta, aku tidak akan mau datang ke tempat ini,” ucap Timothy yang jelas tampak menahan marah.Setelah sambungan telepon keduanya terputus, Hagen langsung menghubungi Jaxon dan membuat kesepakatan dengan pria itu dengan syarat Timothy membantunya untuk memuluskan hubungan dengan Camellia. Tentu saja kepala organisasi di Denver itu langsung menyetujui. Dia bahkan menawarkan untuk meninggalkan Timothy di Lancester, yang untungnya Hagen tolak secara halus.Lagi pula, jarak Denver dan Lancester tidak begitu jauh, sehingga Timothy bisa pulang pergi jika dibutuhkan nanti.Sementara itu, Gideon yang berdiri di belakangnya me