“Anda tampak bersahaja hari ini, Miss Duncan,” ucap Erlinda yang tiba-tiba saja masuk ke ruang perpustakaan, mengagetkan Camellia hingga nyaris menjatuhkan buku di atas pangkuan.
Gadis itu pun menoleh cepat ke arah pelayan yang selalu mengikutinya selama di Kastil Petunia.
“Astaga, langkah kakimu halus sekali sampai-sampai aku tidak bisa mendengarnya,” sungut gadis itu yang hanya ditanggapi tawa oleh pelayannya.
Dengan alis saling bertaut, Erlinda menatap Camellia seolah dia tahu apa yang gadis itu pikirkan.
“Jika anda tidak terlalu fokus dengan lamunan, mungkin suara pintu dan langkah kakiku bisa didengar sebelum masuk ruangan, Miss.”
Menyadari bahwa pelayan wanita itu seolah menyentilnya, seketika saja pipi Camellia merona merah dan dia pun berdehem sembari menyingkirkan buku yang sama sekali tidak dibaca.
“Aku tidak melamun, tetapi perhatianku ada pada buku ini,” elaknya yang semakin m
Dalam perjalanan menuju salah satu kantornya yang berada di Lancester, Hagen dikejutkan dengan panggilan berisyarat tanda bahaya dari salah satu penjaga keamanan di Kastil Petunia. Itu sebabnya dia meminta pada Frank untuk memutar arah. Dan apa yang Hagen takuti pun benar-benar terjadi, yaitu kedatangan Alfred Ryder.Kini, berhadap-hadapan dengan pria itu membuatnya merasa sesak. Rasanya dia ingin pergi dari sana dan membawa Camellia secepatnya.“Aku tidak punya waktu untuk bersitegang urat, jika kau memiliki kepentingan, mari ikut aku ke tempat yang lebih privat,” ucapnya, sengaja mengatakan hal tersebut dengan nada rendah agar tidak menakuti Camellia.Dari gesture tubuh feminimnya, Hagen tahu bahwa sebelum dia tiba, mungkin saja paman yang tidak akan pernah dia akui itu telah melakukan sesuatu.Dengan pembawaannya yang sombong, Alfred pun menatap pria itu sembari mengangkat kepala tinggi-tinggi.“Akhirnya kau punya common sense
Hagen berjalan menaiki tangga dengan langkah satu-satu dan pelan. Kepala pria itu tampak penuh akan sesuatu, namun dia menghentikan kakinya pada anak tangga terakhir, kemudian menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan perjalanan kembali.Saat ini, tujuannya adalah master bedroom yang telah dirapikan setelah kejadian malam pertama waktu lalu. Dengan kedua tangan berada di saku celana, Hagen pun seakan menahan diri untuk melayangkan pukulan pada dinding di sepanjang jalan setelah pertemuan dengan paman yang terjalin karena pernikahan.Seharusnya, dia pukul saja pria itu sebelum benar-benar keluar dari Kastil Petunia. Tetapi, mengingat Bibi Stella akan bertanya, Hagen pun mengurungkan niat tersebut. Lebih baik diam dan menunggu rencana busuk pria itu selanjutnya, daripada harus menerima omelan dari wanita yang telah membantunya sejak remaja.Dan begitu dia tiba di depan pintu, langkah Hagen berhenti seketika begitu dia mendengar suara halus Camellia yang sedang
Hagen membukakan pintu untuk Dokter Timothy yang telah berdiri di beranda bersama Gideon Rose. Wajah dokter tersebut tampak masam, dan tentu saja terpaksa yang tidak sedikit pun Hagen pedulikan. Pria itu bahkan menyambut kedua tamunya seolah itu merupakan kunjungan biasa, bukannya sebuah keharusan.“Jika bukan karena Jaxon yang meminta, aku tidak akan mau datang ke tempat ini,” ucap Timothy yang jelas tampak menahan marah.Setelah sambungan telepon keduanya terputus, Hagen langsung menghubungi Jaxon dan membuat kesepakatan dengan pria itu dengan syarat Timothy membantunya untuk memuluskan hubungan dengan Camellia. Tentu saja kepala organisasi di Denver itu langsung menyetujui. Dia bahkan menawarkan untuk meninggalkan Timothy di Lancester, yang untungnya Hagen tolak secara halus.Lagi pula, jarak Denver dan Lancester tidak begitu jauh, sehingga Timothy bisa pulang pergi jika dibutuhkan nanti.Sementara itu, Gideon yang berdiri di belakangnya me
Hestia, si kepala pelayan Keluarga Hagen itu tampak sedang duduk di salah satu bangku pada sebuah kafe yang berada di dekat pusat kota Lancester. Wanita paruh baya tersebut terlihat sedang menunggu seseorang.Postur tubuhnya tampak gelisah, bahkan matanya seakan melirik ke segala arah, seolah-olah tengah mencari-cari satu sosok di antara ramainya pengunjung dan pejalan kaki di luar sana. Dan begitu pintu kaca pada kafe itu terbuka, kepala Hestia pun menoleh ke arahnya, namun dia sedikit kecewa karena yang masuk ke dalam kafe tersebut bukanlah orang yang sedang dia tunggu.Dalam keadaan cemas, Hestia pun mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang seketika itu juga.Pada dering ke tiga, ponsel tersebut berbunyi dan tidak lama setelahnya terdengar suara seorang wanita dari seberang panggilan.“Ada apa Bibi?” tanya Irene dengan suara serak.Gadis itu seakan baru saja bangun, dan tentu saja Hestia tidak begitu suka mengetahui kenyataan it
“Sebuah laporan baru saja tiba,” ucap Frank yang berjalan di belakang Hagen.Kedua pria itu memasuki lobby Blake Tower yang seketika membuat langkah-langkah para pekerja di sana berhenti sejenak untuk menyambut kedatangannya. Pria hanya mengangguk beberapa kali pada mereka yang memanggil ‘sir’ ketika berpapasan jalan.“Berikan padaku,” ucap Hagen, berhenti di depan lift executive sembari memeriksa jam yang melingkar di lengan.Karena itu bukanlah laporan yang memiliki bukti tertulis, maka Frank pun memajukan diri sembari membisikkan sesuatu, yang seketika mengetatkan rahang Hagen begitu mendengarnya.Dia menoleh sejenak ke arah tangan kanannya itu dengan sebelah alis naik mendekati dahi, menandakan bahwa dia menginginkan penjelasan lebih.“Mereka bertemu di star kafe,” ucap Frank, memberitahu lokasi pertemuan antara Alfred dan Hestia. “Kami tidak bisa memastikan apa yang sedang mereka bicarakan,
Setelah pekerjaannya selesai, Hagen pun menaruh beberapa dokumen ke sudut meja. Dia pun duduk sejenak sembari menarik napas, sebelum akhirnya mengambil salah satu bingkai foto Camellia dari salah satu laci.Cukup lama dia memandangi photograph gadis itu, namun beberapa saat kemudian Hagen pun menaruhnya ke tempat semula. Dia hendak melanjutkan beberapa pekerjaan saat tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintu yang membuat pria itu berhenti sejenak.“Masuklah,” ucapnya, mengetahui siapa yang berada di luar sana.Frank pun memasuki ruangan dengan wajah masam dan pandangan lelah.Mendapati bawahannya memasang ekspresi masam, seketika saja Hagen memberi tatapan bertanya, yang langsung Frank jawab dengan nada kesal.“Pria itu masih di Denver.”Sebelah alis Hagen pun mendekati dahi, dan pria itu mengangguk samar sembari terus melanjutkan pekerjaan yang tadi tertunda.Melihat sikap acuh tak acuh atasannya, Frank me
“Kenapa aku tidak dibolehkan untuk masuk? Apa kau tidak tahu siapa aku?” jerit Irene dengan wajah memerah marah.Gadis itu bahkan telah menampar satu penjaga, namun tidak ada yang berani mengusir secara terang-terangan. Yang pria-pria itu lakukan hanyalah melihat serta meminta Irene untuk pergi secara baik-baik.“Biarkan aku masuk ke dalam! Kalian tidak berhak memperlakukan seperti ini!”Beberapa kali gadis itu mencoba melukai para penjaga yang tampak berat hati untuk mengusir secara paksa.Sementara itu, Erlinda yang sejak tadi mengawasi keributan di depan gerbang melalui CCTV yang terpasang di ruang keamanan hanya bisa diam memperhatikan. Dia mencoba menghubungi Frank yang seketika menjawab panggilan.“Ada apa?”“Gadis itu datang lagi,” ujarnya, memberi pengaduan disaat mata terus memperhatikan pertengkaran antara Irene dengan seorang petugas keamanan yang baru. “Dia bahkan sudah menamp
Athena baru saja membereskan meja kerjanya. Dan dia sudah bersiap-siap hendak beranjak pergi untuk pulang ke rumah, namun tiba-tiba saja sebuah panggilan dari ruang kerja Hagen menghentikan dirinya seketika. Disela-sela perasaan gugup yang ditutupi dengan rasa percaya diri, Athen pun berjalan mendekati ruangan kerja atasannya tersebut.Wanita itu mengetuk pintu sebanyak dua kali, sebelum akhirnya terdengar suara maskulin yang mempersilahkan masuk dari dalam.Awalnya Athena memilih untuk mengintip sedikit dengan memasukkan kepala lebih dahulu, namun setelah Hagen menyuruhya menutup pintu, wanita itu pun masuk ke dalam dengan langkah perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian.Jelas sekali bahwa dia sengaja mengulur waktu, hal yang tentunya sudah Hagen ketahui.Pria itu pun menunjuk kursi yang ada di hadapannya menggunakan isyarat anggukan dagu.“Duduklah, ada hal yang ingin kudiskusikan denganmu,” jelas Hagen, yang semakin membuat sekr