DIRAJA
Diraja akhirnya melepaskan genggaman tangannya ketika pintu lift terbuka dan mereka berjalan menuju unit apartemennya. Setelah membuka pintu dan masuk, Diraja membawa Ambar menuju sofa yang menghadap jendela besar yang menghadap jalan protokol utama Jakarta di sore ini.
Dia mengambil triple espresso on the rock miliknya dan menyerahkan matcha frappe untuk Ambar yang menerima minuman tersebut sambil menggerutu pelan.
“Duduk saja.” Dengan kepalanya, Diraja mengarahkan Ambar agar tidak segan-segan duduk. Tapi sepertinya gadis itu memasang kewaspadaan tingkat tinggi dan menolaknya dengan cepat.
“Berdiri seperti ini saja,” balasnya dengan keras kepala.
Diraja menghembuskan napasnya.
Akhirnya dia duduk sambil menyeruput espresso-nya.
“Diskusi kita akan panjang, dan saya capek mengangkat kepala kalau kamu berdiri seperti itu terus,” jawab Diraja dengan tenang.
“Duduk,” titah Diraja yang membuat Ambar semakin kesal dan menghentakkan kakinya. Tapi tak lama dia menuruti keinginan Diraja dan duduk bersebrangan darinya.
Sambil menyeruput matcha miliknya dia menatap Diraja penuh pertimbangan. Melempar bola kembali ke arahnya, menunggu Diraja membuka suara dan memulai diskusi.
“Kita harus menikah,” ujar Diraja tanpa basa-basi.
Ambar tersedak dan terbatuk-batuk saat mendengar ucapannya barusan.
“Hah?” Itu adalah kata pertama yang diucapkan Ambar sesaat setelah batuknya dan rasa keterkejutannya reda.
“Kita hanya perlu melakukan pernikahan kontrak selama beberapa tahun agar saya bisa memastikan proses merger dan akuisisi antara perusahaan kakak iparmu dengan perusahaan saya berjalan lancar,” jelas Diraja sesimpel mungkin.
“Itu nggak ada hubungannya dengan saya! Kalau bicara bisnis ya diskusinya sama Mas Darius, dong! Kenapa malah jadi merembet ke masalah pernikahan?” Ambar membantahnya dengan keras.
“Hentikan omong kosong ini, Mas Diraja! Saya nggak mengerti di mana urgensinya masalah bisnis antara kalian dengan kehidupan saya!” Ambar bersiap untuk bangkit dari duduknya, namun Diraja sekali lagi menahannya.
“Bisakah kita berdiskusi seperti orang dewasa? Atau saya berharap terlalu tinggi dari kamu supaya bisa berdiskusi dengan kepala dingin?” ujar Diraja yang sukses membuat Ambar terhenyak.
Ucapannya memang tajam dan cenderung kejam jika dipikir-pikir, apalagi diucapkan untuk Ambar yang masih sangat muda. Ucapan menohoknya tersebut tepat menyentil ego gadis itu karena memang dia masih sangat muda dan kemampuan berpikirnya tentu berbeda dengan dirinya yang lebih tua 10 tahun.
Namun sebelum sempat Diraja meminta maaf–ragu bersarang hingga akhirnya dia urung dan memilih diam, Diraja justru menatap kedua manik mata Ambar secara langsung. Menunggu respons dari Ambar selanjutnya.
Bibir Ambar bergetar, entah menahan tangis atas menahan amarah. Wajahnya pun perlahan memerah, tanda menahan malu atau lagi-lagi–menahan amarah, Diraja tak bisa menebaknya. Tapi sepertinya ucapan tajamnya berhasil mengusik Ambar hingga dia memunculkan emosi seperti itu dari wajah Ambar.
"Duduk, kita bicara sampai selesai. Jangan dipotong-potong dengan argumen nggak berguna seperti ini, Ambar," desak Diraja sekali lagi.
Ambar menarik napas dan menghelanya perlahan. Mencoba meregulasi emosinya dan akhirnya dia duduk dengan wajah datar, sekali lagi menunggu Diraja untuk melanjutkan percakapan mereka.
“Saya terpaksa menerima permintaan merger dan akuisisi dari Danudihardjo Enterprise, karena kompetitor perusahaan kakakmu itu berniat menggunakan perusahaan saya untuk menghancurkan kakakmu dan juga perusahaan saya dalam prosesnya.” Diraja melanjutkan poin argumennya. Mencoba menjelaskan secara runtut mengapa pernikahan antara mereka berdua itu sangat penting dan berkelindan dengan bisnis Darius dan dirinya.
“Jika ini masalah MA, kenapa harus ada pernikahan? Sesulit itukah menangkap pertanyaan saya dari awal?” Ambar bertanya balik. Namun kali ini nadanya lebih teratur tanpa emosional seperti tadi.
“Kamu terlalu naif, Ambar,” jawab Diraja.
“Pernikahan ini bertujuan agar Danudihardjo dan Sudibyo terkonsolidasi, dan kekuatan kami lebih besar untuk menghalau serangan kompetitor itu.” Diraja menambahkan ucapannya.
“Kalian semua akan menandatangani kontrak, bukan? Kontrak kan memiliki efek legal dan juga mengikat para pihak! Kenapa dipersulit lagi dengan adanya pernikahan yang nggak relevan ini!” tepis Ambar. Dia masih belum bisa mengikuti jalan pikiran Diraja.
"Kontrak saja tidak cukup, Ambar. Perlu pengikatan yang lebih mendasar dan prinsipil lagi. Sesuatu yang dianggap kekal dan permanen. Makanya pernikahan bisnis itu sudah ada sejak zaman dahulu kala," Diraja menjelaskan dengan sabar.
Ambar menggigit bibir bawahnya dan bersedekap. Pandangannya teralih ke arah jendela luas yang menampilkan pemandangan jalan protokol ibukota. Gadis itu terlarut dalam pikirannya sendiri. Sikap diamnya menciptakan keheningan selepas perkataan Diraja barusan.
“Tapi kenapa harus saya? Saya bahkan nggak ada hubungannya sama sekali dengan kalian,” tutur Ambar lemah, meskipun demikian Diraja masih menangkap ucapannya.
“Simply because no marriageable woman in Darius’s lineage and family. Mungkin ada dari garis keluarga Nyonya Angela Danudihardjo. Tapi itu akan lebih rumit karena keluarga Sastrowilogo bahkan lebih serius dan strict lagi jika menyangkut dengan pernikahan dan perjodohan. Kebanyakan dari mereka sudah dijodohkan dari lahir,” Diraja menjawab blak-blakan tanpa filter.
Ambar membelalak kaget mendengar penuturannya.
“Segila itukah?” tanyanya sambil berbisik tak percaya.
Diraja kembali menaikkan sebelah alisnya. Pemikiran antara dirinya dan Ambar memang bertolak belakang. Realitas hidup dan lingkungan tempat mereka dibesarkan memang berbeda sejak mereka lahir. Perspektif yang mereka bawa dalam menjalani hidup pun akhirnya berbeda.
“Bagimu mungkin gila, tapi itu bukan hal aneh di lingkungan kami,” ujar Diraja sambil terkekeh kecil.
“Bagaimana kalau saya tetap menolak?” Ambar masih keras kepala dan belum bisa diyakinkan oleh Diraja.
Diraja lalu ingat kalau dia belum memberitahu apa saja keuntungan yang akan dia berikan kepada Ambar kalau gadis itu menyetujui rencana pernikahan ini.
“Apa cita-citamu, Ambar?” tanya Diraja tiba-tiba.
Ambar mengerjapkan matanya, kaget dengan perubahan topik pembicaraan.
“Lanjut kuliah S2 ke luar negeri mungkin, bekerja, membeli rumah sendiri, traveling keliling dunia bersama ibu dan bapak, banyak mimpi yang ingin saya raih. Menikah itu ada di daftar kesekian dan bukan prioritas saya.” Ambar menjawab pertanyaan Diraja.
Diraja mengangguk setuju.
“Kamu bisa mendapatkan semuanya dengan mudah jika setuju menikah denganku,” tawar Diraja.
“Maksudnya?” tanya Ambar kebingungan.
“Jika kita menikah, kamu bisa pilih melanjutkan kuliah di manapun yang kamu mau. Biaya tidak masalah karena saya yang akan tanggung, selama menikah kamu memiliki kesempatan untuk networking dan selepas lulus akan lebih mudah mendapat pekerjaan, atau saya bisa buatkan perusahaan untukmu bekerja, whatever suits you. Dan untuk rumah, nanti akan kuberikan apartemen dan mobil untukmu sendiri setelah menikah. Dengan atau tanpa supir, bisa disesuaikan nanti. Tentu saja itu semua bisa menjadi milikmu setelah kita bercerai nanti.” Diraja menjelaskan panjang lebar.
“Ah ya, tentu saja nanti akan ada uang bulanan–kita akan tentang nominalnya setelah kamu setuju menikah denganku. Tapi syaratnya kita tak perlu mencampuri kehidupan pribadi masing-masing. Anggap saja kita roommate selama beberapa tahun ke depan sebelum akhirnya kita bercerai,” tambalnya.
Ambar menggelengkan kepalanya tak mengerti.
"Masih kurang menarik penawarannya?" Diraja menelengkan kepalanya. Menanti apa jawaban Ambar selanjutnya.
"Bukan begitu, tunggu dulu... " ujar Ambar terbata-bata.
“Tapi… menikah kan sesuatu yang sakral! Nggak bisa dianggap lalu begini aja. Apalagi Mas Diraja bicara seperti ini, kayak menawarkan kacang goreng ke pembeli!” tukas gadis itu.
Tentu saja Ambar tak bisa melihat betapa pentingnya pernikahan ini bagi Diraja. Begitu banyak yang dipertaruhkan baginya, sedangkan Ambar tak akan kehilangan apapun jika dia menolak Diraja.
Dia tahu saat ini dialah yang berada di posisi yang terjepit. Tapi tentu saja dia tak akan memperlihatkan bagaimana putus asanya Diraja agar Ambar menerima pinangannya. Maka itu dia memutar otak, dan akhirnya memutuskan untuk mencari alasan yang lebih dramatis.
“Sebenarnya saya nggak mau bicara tentang ini, tapi saya rasa ini penting agar kamu tahu seberapa urgent pernikahan kita–” ucap Diraja yang dipotong oleh Ambar.
“Jika saya menyetujuinya! Jangan bicara seolah-olah pernikahan ini hal pasti di antara kita!” tepis Ambar dengan cepat.
Diraja memilih menghiraukannya, dan melanjutkan ucapannya.
“Darius berada dalam bahaya. Jika dia tidak melakukan merger dengan Sudibyo Corporation–dan ayahku menolak tawarannya karena tak ada ikatan pernikahan dibalik merger tersebut, maka nyawa kakakmu bisa terancam.”
AMBAR “Mas Darius dalam bahaya?” Ambar menyipitkan matanya. “Kamu tahu siapa kompetitor yang ingin menghancurkan Darius? Dan siapa mereka sebenarnya?” Diraja melempar pertanyaan kepadanya. Ambar menggeleng lemah. Jantungnya berpacu cepat mendapatkan informasi terbaru ini. Apakah Mbak Amira juga berada di dalam bahaya? Pikirannya kembali mundur ketika dirinya dan Mbak Amira diculik di Pulau Laguna oleh ayahnya Mas Darius. Belum lagi ketika ada peristiwa penembakan di lobi hotel Royal Ruby yang mengakibatkan satu orang tertembak dan terluka. Sebenarnya itu peristiwa besar, namun karena kekuasaan kakak iparnya–berita tersebut terkubur dan tak ada media massa nasional yang secara serius meliput peristiwa tersebut karena campur tangan Mas Darius dan kedua sahabatnya, Mas Raka dan Mas Nero untuk ‘membungkam’ media. “Siapa mereka?” tanyanya penuh ketegangan. “Apa Mbak Amira akan baik-baik saja?” Ambar tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Pria yang duduk dengan tenang di hadapa
Hari ini ayah kembali menanyakan apa yang akan Diraja lakukan mengenai proses merger dan akuisisi dengan perusahaan Darius. Pembicaraan sejak beberapa bulan lalu memang belum ada perkembangan berarti hingga sekarang. “Lalu bagaimana dengan saran ayah waktu itu?” tanya ayahnya saat mereka berdiskusi di ruang chairman milik ayahnya. Mereka berdua sedang membicarakan Sudibyo Corporation secara keseluruhan sebagai bentuk salah satu proses suksesi dan penyerahan tongkat estafet kepemimpinan dari Amir Sudibyo kepada anaknya–Diraja Sakala Sudibyo. “Tentang Ambar?” Diraja menegaskan pertanyaan sang ayah. Beliau mengangguk tenang meskipun terlihat jelas dia menanti perkembangan dan berita baik dari masalah ini. “Aku sudah berbicara dengan Ambar minggu lalu,” ungkapnya. “Lalu? Bagaimana hasilnya?” todong ayah. “Aku memberinya waktu hingga minggu ini untuk berpikir. Biar bagaimanapun Ambar tidak akan mengalami kerugian kalau dia menolak pernikahan ini. Berbeda denganku. Makanya aku ngga
“Untuk meeting nanti? Iya, Bian akan mengecek progress kinerja The Converge sebelum mereka mengaplikasikannya dalam rencana bulanan mereka. Bian bilang pengecekan terakhir sebelum promo marketing rilis secara nasional.” Nina menjelaskan panjang lebar. Diraja secara refleks berdecak ketika mendengar nama sepupunya. Biantara Martana Sudibyo. Pria tengil di mata Diraja yang sayangnya menjadi the rising star di kantor ini. Pria itu bergabung dalam Sudibyo Corporation empat tahun lalu di bawah bimbingan Chandra Sudibyo. Ayah kandung Biantara dan juga paman Diraja. Ayah dan Paman–Chandra Sudibyo memang berkongsi untuk membesarkan Sudibyo Corporation. Meskipun Om Chandra fokus kepada anak perusahaan mereka yang lain di bidang perkebunan, agrikultur, dan sawit. Persaingan antara Diraja dan Biantara awalnya hanyalah persaingan juvenile tak bahaya khas remaja. Tapi sepertinya, Biantara semakin lama semakin menganggap Diraja sebagai saingannya nomor satu dan selalu bersemangat untuk berkomp
AMBAR Biasanya pulang kampus sore hari seperti ini, dia suka mampir sejenak di taman RPTRA dekat rumahnya yang begitu rindang dan sejuk. Di sana, Ambar suka duduk di sebuah ayunan kayu yang kokoh sambil membaca buku, atau membuka aplikasi novel online, atau sesimpel menghabiskan jajanan sekolah dekat kampus sebelum kembali ke rumah. Dia seringkali melakukan hal tersebut karena taman ini dekat sekali dengan persimpangan jalan di mana dia turun dari pangkalan angkutan umum untuk masuk ke dalam gang rumahnya. Tapi sejak dia bergabung dengan keluarga Danudihardjo, agendanya sore hari setelah pulang kampus atau ketika akhir pekan semakin padat karena Tante Angela Danudihardjo–ibunda Mas Darius, atau Mbak Amira dan Mas Darius seringkali mengajaknya pergi bersama ke tempat-tempat baru yang belum pernah Ambar kunjungi. Hari ini Ambar masih dengan kaus santainya dijemput oleh Mbak Amira dan Tante Angela dari kampus ke sebuah pusat perbelanjaan mewah dekat kantor Mas Darius. Saat ini mere
Di sisi lain, setelah mereka–atau lebih tepatnya Tante Angela puas mengelilingi pusat perbelanjaan mewah dan membawa banyak tas jinjing berbagai brand sehingga membuat asisten pribadi Tante Angela kewalahan, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi makan malam ke The Opulent Restaurant yang berada di hotel The Royal Ruby. Mas Darius mengomel kepada mamanya sendiri yang mengusulkan tempat lain untuk dinner ketika Darius Danudihardjo sendiri adalah pemilik hotel dan restoran. Kenapa tidak datang ke restoran miliknya dan makan sepuasnya di sana. Bahkan kepala chef-nya bisa saja disuruh untuk membuatkan menu privat sesuai permintaan mereka. “Kapan anak itu kan tiba? Sudah Mama bilang supaya dia pulang lebih awal dan bergabung sama kita, tapi kok belum terlihat batang hidungnya!” Tante Angela beberapa kali melirik ke arah pintu ruang privat mereka, menunggu anak semata wayangnya, Mas Darius tiba di sini. “Pasti sebentar lagi tiba, Ma. Baru saja Darius mengabari kalau dia sudah jalan dar
DIRAJA Pikirannya berkecamuk dan bercabang ke mana-mana selepas dia menghubungi Michelle. Saat dia tahu kalau asthma attack Michelle kumat di tengah perdebatan mereka, tanpa pikir panjang Diraja langsung cabut dari kantor meskipun beberapa waktu ke depan dia harusnya mengikuti rapat marketing dengan The Converge. Tapi menurutnya masalah kesehatan Michelle jauh lebih penting dan saat dia dengan tergesa-gesa keluar dari ruangannya, dia meminta Tito dan Nina untuk membereskan jadwalnya yang pasti akan berubah. “Tapi.. Pak? Apa saya perlu mendampingi Pak Diraja?” Tito bergegas mengikutinya namun Diraja berhenti sejenak. “Nggak usah, kamu sama Nina wakili saya saja di rapat nanti dengan The Converge. Nanti kabari saya bagaimana hasilnya. Dan kalau butuh keputus
Setelah ditinggal Michelle, ada perasaan kosong yang membuatnya merasa begitu gamang. Diraja menghela napasnya. Menelan kepahitan yang berasal dari rencana pernikahan bisnis yang akan dia lakukan bersama Ambar. Suara klakson mobil di belakang mereka akhirnya membuat Diraja tersadar dan meminta sang supir untuk kembali ke kantor. Diraja mencoba menghubungi Michelle untuk memastikan kalau dia baik-baik saja selepas pembicaraan mereka di dalam mobil tadi. Tapi sepertinya Michelle memblokir nomornya sehingga dia tak bisa menghubunginya. Saat membuka ponselnya, Diraja baru menyadari kalau dia tadi mendapatkan pesan singkat dari Ambar ketika dia bertengkar dengan Michelle. [Saya sudah bicara dengan keluarga besar saya, mereka nggak percaya kalau saya mempertimbangkan usul ini. Jika keluarga saya menolak
AMBAR “Kenapa kamu mempertimbangkan untuk menikah sama Diraja? Memang dia bicara apa saja sama kamu?” desak Mbak Amira dengan kekhawatiran yang tak dapat ditutupi. Ambar dilema, apakah dia perlu menceritakan semua yang dikatakan Diraja kepadanya, tentang masalah bisnis yang kemudian bisa saja membahayakan keluarganya karena kompetitor mereka yang jika didengar dari sudut pandang Diraja terdengar begitu gila. “Hmm… dia bilang ini demi kelangsungan perusahaan Mas Darius dan juga perusahaannya. Lebih baik konsolidasi dan menjadi lebih kuat,” ujar Ambar akhirnya. Kakaknya mengernyitkan dahinya, masih tak percaya dengan jawaban Ambar yang terdengar begitu generik. “Tante
“Selamat ulang tahun!” Suara yang mengagetkan Ambar ketika membuka pintu apartemennya membuatnya terhenti sejenak. Tangan kanannya masih memegang gagang pintu, sedangkan tangan kirinya sontak mengurutkan dadanya karena terperanjat kaget. Confetti dan suara terompet bersahutan menyambutnya masuk ke dalam apartemen malam ini. Wajah-wajah familiar menyapanya dengan senyuman dan tawa lebar. “Ya ampun, kok ada surprise segala?” ujarnya penuh haru. Dia menatap Diraja yang berjalan dengan langkah pelan dan pasti ke arahnya. Di tangan sang suami ada kue ulang tahun lengkap dengan lilin angka 20 yang sudah terbakar di atasnya, menunggu untuk ditiup olehnya. “Yang penting surprise-nya berhasil, ‘kan!” jawab Diraja penuh dengan kebanggaan. Ini memang sebuah pencapaian tersendiri untuk suaminya. Sebelumnya dia tak pernah melakukan ini. Ini merupakan surprise event perayaan ulang tahun pertama sejak mereka menikah. “Repot-repot banget, makasih banyak loh, sayang!” Ambar menjawab deng
AMBAR Dua bulan kemudian, Apakah mungkin keinginan menjadi ibu itu menular, apalagi jika sudah memegang bayi kecil, imut dan lucu di pelukannya sendiri? Ini sebenarnya yang dirasakan Ambar ketika dia melihat anaknya Mbak Amira dan Mas Darius yang akhirnya tiba juga menyapa mereka di dunia ini. Kakaknya baru saja selesai melahirkan putra pertama mereka yang diberi nama Maximilian Naradipta Danudihardjo. Nama keponakan pertama Ambar ini berdasarkan kompromi ayah dan ibu Maxi. Mbak Amira ingin tetap membawa nama lokal yang membumi sedangkan sang ayah ingin sesuatu yang memiliki sentuhan modern namun tetap terdengar regal. Ambar ingat sekali bagaimana mereka berdebat sedemikian rupa ketika satu waktu Ambar mengunjungi mereka. “Maxi… Maxi baby… ya ampun kamu lucu bangeeet! Mbak! Aku bawa pulang ya!” Ambar berceletuk asal tatkala melihat baby Maxi terlelap di tangan Mas Darius. Rasanya baru sekejap saja dia menggendong Maxi, tapi ayahnya sudah melebarkan tangannya agar Ambar men
Makan siangnya dengan Ambar di sebuah restaurant Chinese Food yang terletak di sebuah gedung perkantoran lantai teratas di kawasan dekat kampus Ambar berjalan begitu cepat di mata Diraja.Dua jam yang dihabiskan bersama sang istri terasa seperti sekedipan mata saja. Ketika hidangan selesai disantap dan dia melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 13.45 siang.“Aku habis ini masih ada kelas, Mas.” Ambar pun terlihat bolak-balik mengecek jamnya, berharap dia tak telat untuk kelas selanjutnya.“Jam berapa? Perjalanan dari restoran ini ke kampus kan nggak terlalu lama,” balas Diraja seraya memberikan sinyal kepada waitress untuk mengirimkan bill ke meja mereka.Sang waitress mengangguk dan mempersiapkan bill sambil membaw
DIRAJABreaking news, Sebuah penggerebekan terjadi di kawasan pedalaman Myanmar dan Kamboja oleh aparat setempat dibantu dengan koordinasi interpol dan kepolisian Republik Indonesia. Disinyalir gudang tersebut merupakan headquarter, atau markas besar tindakan kriminal judi online dan penipuan online dengan target masyarakat Indonesia. Menurut perkembangan terbaru, ada fakta yang lebih mengejutkan dibaliknya. Jika ditelusuri lebih dalam, ternyata terungkap banyak tindakan kejahatan transnasional yang bernaung dibalik operasi tersebut. Ada indikasi human trafficking atau penjualan manusia yang dipekerjakan secara ilegal dengan kondisi memprihatinkan tanpa adanya kesejahteraan dan hak asasi manusia yang dipenuhi. Pihak kepolisian masih mendalami dugaan kejahatan organ harvesting dan sex trafficking lintas negara dan benua dalam pemeriksaan lebih lanjut. Yang cukup mengejutkan, terendusnya jaringan kejahatan transnasional ini bermuara pada seorang konglomerat asal Singapura berinisia
RAKA Selama beberapa hari belakangan ini, dia selalu kembali ke apartemennya di atas jam dua malam. Begitu banyak yang harus dia kerjakan setelah mereka berhasil membawa Joseph Ong untuk diinterogasi di markas kepolisian. Tentu saja tarik ulur begitu hebat terjadi di balik layar. Pihak Joseph Ong lewat kedutaannya secara formal meminta pria itu diekstradisi segera kembali ke Singapura untuk menjalani pemeriksaan di sana. Yang turun tangan membereskan masalah berkaitan dengan hukum, legalitas, melihat loophole dari aturan tentu saja dirinya. Raka bertugas di belakang layar membersihkan dan menguraikan kusutnya benang birokrasi, ditambah dengan berbagai channel dan networking yang luas dari Darius, mereka akhirnya berhasil memberikan waktu lebih banyak untuk kepolisian Indonesia serta interpol mengulik sampai dalam dan menarik bukti sebelum tim kuasa hukum beserta backingnya Joseph Ong menutup akses penyelidikan, atau yang paling parah–menghilangkan alat bukti. Dan orang yang cuku
Ibu bersikeras jika mereka kembali ke kediaman beliau di daerah Dharmawangsa. Bersama Mbak Rengganis dan ayah, mereka bertiga menolak keinginan Diraja untuk kembali ke apartemen dan memulihkan diri di sana. Ambar pun setuju dengan keputusan tersebut. Ini sudah hari ketiga sejak Diraja diputuskan bisa kembali ke rumah dan memulihkan diri di kediamannya. Kemarin tim dokter selesai melakukan kontrol pertama dan memastikan proses penyembuhan Diraja berjalan seperti yang semestinya. “Sayang, aku bosan makan bubur terus,” ujar Diraja saat Ambar membantunya mengeringkan rambut suaminya setelah dia bersikeras untuk mandi karena sudah lebih dari dua hari dia tidak melakukannya. “Tapi–takutnya kamu sulit mengunyah, makanya ibu dari kemarin menyiapkan bubur untukmu, Mas!” balas Ambar dengan sabar. Sebenarnya bahkan sejak kembali dari rumah sakit, sikap Diraja jauh lebih manja dan terkadang dia tak ingin ditinggal oleh Ambar. Setiap saat jika Ambar keluar kamar untuk melakukan sesuatu, d
AMBARDerap langkahnya menggema sepanjang koridor rumah sakit. Ibu mertuanya pun bergandengan tangan dengannya berjalan dengan langkah cepat, membawa kekhawatiran yang tak dapat diungkapkan tatkala Mas Darius menghubunginya malam tadi. Pikirannya kalut, bahkan selepas Diraja berpamitan dan meminta Ambar untuk menyampaikan pesan singkatnya kepada Pak Rama. Ambar sempat membaca secarik kertas tersebut, isinya meminta agar Pak Rama menghubungi kakak iparnya–Mas Darius dan meminta mereka untuk tracking lokasinya. Dari pesan itu saja Ambar bisa menakar jika Diraja melakukan hal yang berbahaya. Makanya dari tadi dia harus menyembunyikan kegelisahannya di hadapan ibu mertuanya dan menganggap semuanya baik-baik saja. Pak Rama dan Mas Darius pun tak bisa dihubungi sehingga tak ada kepastian akan apa yang sebenarnya terjadi. Pertahanannya runtuh tatkala kakak iparnya mengabari jika Mas Diraja berada di rumah sakit. Saat ini Pak Rama sudah on the way untuk menjemput Ambar untuk ke rumah saki
DARIUSRaka akhirnya memberikan lokasi tujuan Diraja pergi tepat sebelum mereka keluar pintu tol. Setelah mendapatkan lokasi, dengan cepat dirinya mengatur alamat tersebut pada sistem GPS mobil Nero sehingga mereka bisa langsung melaju menuju tempat Michelle disekap oleh Joseph Ong. “Tim terbaik kita ada di belakang, estimasi sekitar lima menit akan bisa menyusul kita,” ujar Nero memberikan update kepadanya. “Bagaimana dengan tim kepolisian dan medis?” Darius bertanya. Kali ini Raka yang menjawab pertanyaannya. “Sudah diinfokan ke pusat, mereka sekarang sedang koordinasi dengan pihak kepolisian setempat. Kontak kita juga sudah berangkat dari Mabes agar bisa berkomunikasi dengan jaringan interpol,” jawab Raka dengan mendetail. “Keep us updated,” ucapnya sebelum memutus sambungan dan kembali fokus untuk menyelamatkan Michelle dan Diraja. Entah apa yang harus Darius katakan kepada Diraja atas tindakan impulsifnya itu. Pergi begitu saja tanpa menyusun langkah dan rencana matang denga
DIRAJA Diraja memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju tempat yang sudah ditentukan oleh Joseph Ong. Dia yakin jika Ambar mengerti instruksinya dengan baik dan dia menunggu mobilisasi tim Darius dan Nero untuk membantunya kelak dalam menghadapi Joseph Ong nanti. Dia tiba di tempat yang diminta, sebuah rumah yang masih setengah jadi. Kanan kiri masih berupa kavling kosong. Namun dia yakin ini tempat yang benar karena ada beberapa orang preman berbadan tegap sudah berjaga di sekitar tempat tersebut. Ini berbahaya. Semoga saja pesannya tersampaikan dan tim Darius memberikan bantuan untuknya, agar dia tak mati konyol di sini menyelamatkan Michelle. Diraja turun dari mobilnya dan secepat kilat tiga orang mengelilinginya, dengan satu orang langsung mengikat tangannya dengan borgol dan menempelkan plester agar dia tak dapat berbicara. Ah, sial! Diraja benar-benar berada dalam keadaan terpojok datang ke tempat ini seorang diri. “Masuk! Bos sudah nunggu dari tadi!” ujar salah