AMBAR
Biasanya pulang kampus sore hari seperti ini, dia suka mampir sejenak di taman RPTRA dekat rumahnya yang begitu rindang dan sejuk. Di sana, Ambar suka duduk di sebuah ayunan kayu yang kokoh sambil membaca buku, atau membuka aplikasi novel online, atau sesimpel menghabiskan jajanan sekolah dekat kampus sebelum kembali ke rumah.
Dia seringkali melakukan hal tersebut karena taman ini dekat sekali dengan persimpangan jalan di mana dia turun dari pangkalan angkutan umum untuk masuk ke dalam gang rumahnya.
Tapi sejak dia bergabung dengan keluarga Danudihardjo, agendanya sore hari setelah pulang kampus atau ketika akhir pekan semakin padat karena Tante Angela Danudihardjo–ibunda Mas Darius, atau Mbak Amira dan Mas Darius seringkali mengajaknya pergi bersama ke tempat-tempat baru yang belum pernah Ambar kunjungi.
Hari ini Ambar masih dengan kaus santainya dijemput oleh Mbak Amira dan Tante Angela dari kampus ke sebuah pusat perbelanjaan mewah dekat kantor Mas Darius. Saat ini mereka menunggu di ruang tamu eksklusif sebuah brand luxury yang menjadi langganan Tante Angela. Dia duduk di samping Mbak Amira yang sedang sibuk memperhatikan mama mertuanya mengecek tas serta beberapa aksesori yang diperlihatkan penuh kehati-hatian oleh para executive personal shopper Tante Angela.
“Kamu suka yang mana?” tanya Tante Angela kepada Amira.
“Tergantung Mama. Untuk acara apa? Aku rasa semua cocok untuk Mama,” jawab Mbak Amira dengan sabar.
“Ini bukan untuk mama! Ini untuk kamu. Mama lihat kamu bolak balik pakai tas yang dibelikan Darius dan jarang ganti. Masa nanti kamu difoto di majalah Tatler dengan baju dan tas yang sama! Pusing Mama melihatnya!” ujar Tante Angela yang membuat kakaknya terkesiap.
“Tapi Mama… kemarin Darius baru pulang dari Jepang dan Hong Kong, dia banyak sekali bawa tas dan perhiasan lainnya! Sampai beberapa koper dan Pak Rama kebingungan juga untuk menyusunnya di kloset!” Kakaknya bangkit dari sofa dan menghampiri mamanya dengan panik.
Pak Rama merujuk pada kepala asisten rumah tangga kakaknya. Mereka memutuskan untuk pindah ke rumah tapak di bilangan Kebayoran Baru, dan untuk mengurus rumah yang terlampau megah itu–Mas Darius mempekerjakan kepala asisten rumah tangga yang sudah lama mendapatkan pendidikan tata krama dan butler dari British Butler Institute.
Sebuah dunia baru bagi Ambar dan juga Amira. Ambar yang pertama kali bertemu dengan Pak Rama sempat merasa terkagum-kagum karena pelayanannya yang top notch ketika Ambar dan keluarganya pertama kali mengunjungi rumah baru kakaknya.
Bahkan sepertinya kakaknya itu belum terbiasa dengan kemewahan yang Darius berikan kepadanya.
“Lalu kenapa tidak dipakai? Kamu nggak suka modelnya karena nggak bisa pilih sendiri? Duh, memang bebal sekali Darius!” cecar Tante Angela kepada kakaknya.
Ambar memperhatikan dinamika yang terjadi di antara kedua perempuan tersebut dengan diam. Kakaknya biarpun kini telah menjadi istri dari salah satu orang terkaya di Indonesia–dia tetap bersikap membumi dan tidak pernah berubah.
Semua barang bermerk pemberian suaminya tidak dijadikan kakaknya sebagai ajang pamer. Dia justru lebih suka memakai satu atau dua barang favoritnya yang biasanya memiliki nilai sentimental dan mengingatkannya akan sang suami. Bukan karena brand itu sendiri.
Perbedaan itu yang membuat Tante Angela sering kali frustasi dengan kakaknya sehingga akhirnya Ambar yang akan dijadikan pelampiasan hasrat berbelanja Tante Angela.
Lihat saja, sebentar lagi namanya akan dipanggil–
“Ambar ayo ke sini! Coba pakai ini!”
Tuh kan, benar!
Ambar tersenyum dan melihat tas yang diberikan oleh personal shopper kepadanya.
“Tante… uh sepertinya modelnya terlalu mewah,” tua dan nggak sesuai umur–itu ungkapan yang cocok untuk menggambarkan tas yang kini berpindah ke tangannya.
“Bagus dong! Kapan lagi kamu masih kuliah tapi bawanya tas seperti ini, this is one of the kind!” Tante Angela salah menangkap ucapan Ambar.
Mbak Amira menyembunyikan senyumnya di balik tangannya dan mencoba menghindari tatapan sang mama mertua.
Ambar menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Tante, Mas Darius juga memberikanku satu Dior tote bag yang masih tersimpan rapi di kamarku, dan aku sungkan bawa itu ke kampus. Nanti kalau rusak waktu aku naik angkot bagaimana?” ujar Ambar secara jujur yang langsung mendapatkan tatapan ‘ngeri’ dari Tante Angela.
“Kamu naik angkot?” ujar Tante Angela ketakutan. “Memang Darius nggak kasih kamu mobil?” cecar Tante Angela tanpa henti. “Atau Darius nggak kasih kamu supir untuk antar jemput kamu kampus?” Wanita cantik itu masih mencerca Ambar dengan serentetan pertanyaan yang membuatnya kelabakan tersebut.
Uh oh! Ini pertanyaan yang berbahaya!
“Mama… Darius tentu sudah menawarkan, tapi Ambar dan Ibu tidak nyaman dengan itu semua, kami kan sudah terbiasa naik transportasi umum, dan kalau dibutuhkan bisa naik taksi, kok.” Amira akhirnya membuka suara dan menjadi penengah di antara mereka.
“Duh nggak bisa dibiarkan ini!”
“Gimana kalau nanti ada kasus penculikan untuk tebusan! Nggak bisa! Tunggu di sini, Mama telepon Darius dulu–”
Tanpa menghiraukan protes dari Amira dan Ambar, Tante Angela langsung menghubungi anaknya yang pasti sekarang sedang sibuk di kantor.
Mas Darius kini harus settle dan meladeni tiga perempuan yang memiliki pemikiran berbeda. Jika dipikir-pikir itu lucu juga dan akhirnya Ambar kembali tersenyum.
Hal-hal trivial seperti ini sepertinya bisa membawa pikirannya kembali rileks sejenak dari pembicaraan empat mata yang dilakukannya bersama Diraja minggu lalu. Jujur saja, Ambar masih kebingungan dan kalut dalam menghadapi situasi ini.
Sebenarnya hari ini ada alasan kenapa setuju menemui kakaknya dan Tante Angela. Dia ingin curhat kepada kakaknya sebelum menyampaikan apa yang dia rasakan kepada ibu.
Entah apakah kakaknya ada waktu nanti untuk mendengar curahan hatinya, karena sepertinya Tante Angela begitu sayang dengan kakaknya dan terlihat sekali memonopoli waktu Mbak Amira sebanyak mungkin jika Mas Darius tak ada di sisi sang kakak.
“Darius! Mulai sekarang kamu harus sediakan Ambar mobil dan supir 24 jam, setiap hari! Mama kaget waktu tadi Ambar bilang dia masih ke kampus pakai angkot! Can you imagine, darling? A Danudihardjo using a public transportation here, in Jakarta?” Tante Angela berkata dengan nada genting.
Ambar dan Amira saling berpandangan satu sama lain, mereka tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk mendebat Tante Angela yang super keras kepala. Jadi mereka akan mengikuti alurnya saja, dan ketika semua sudah mulai tenang, baru Ambar menjelaskan sekali lagi kepada Tante Angela kalau Ambar baik-baik saja hingga saat ini.
"Ya, Mama nggak mau dengar cerita Ambar naik angkot lagi! Mama ngeri mikirinnya! Ya, hari ini juga siapkan, biar besok Ambar bisa berangkat ke kampus sama supir. Alright... see you darling. Mama mungkin nanti akan dinner bersama, mungkin kita akan pergi ke Sofia di Gunawarman, atau kamu punya ide lainnya?" Tante Angela bicara panjang lebar dengan anaknya.
Amira hanya tersenyum penuh kasih melihat ibu mertuanya yang sudah kembali ceria setelah mengalami sakitnya dikhianati oleh suaminya sendiri yang berselingkuh dan akhirnya memilih pergi dari Indonesia.
Di saat Tante Angela terdistraksi dengan sambungan telepon bersama Mas Darius, Ambar mencolek lengan kakaknya dan berbisik pelan, “Mbak, kira-kira ada waktu nggak? Aku mau bicara denganmu dan mungkin juga dengan Mas Darius,” ujarnya pelan.
Kakaknya mengernyitkan dahinya dan menatapnya penuh dengan kekhawatiran.
“Ada apa?” tanya sang kakak tanpa suara. Tak ingin mama mertuanya mendengar rahasia mereka.
“Minggu kemarin aku bertemu Diraja Sudibyo,” ungkap Ambar yang sukses membuat kakaknya membelalak kaget.
“Huh? Kenapa ketemu sama dia?” Suara Mbak Amira kini terdengar sedikit panik.
Di sisi lain, setelah mereka–atau lebih tepatnya Tante Angela puas mengelilingi pusat perbelanjaan mewah dan membawa banyak tas jinjing berbagai brand sehingga membuat asisten pribadi Tante Angela kewalahan, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi makan malam ke The Opulent Restaurant yang berada di hotel The Royal Ruby. Mas Darius mengomel kepada mamanya sendiri yang mengusulkan tempat lain untuk dinner ketika Darius Danudihardjo sendiri adalah pemilik hotel dan restoran. Kenapa tidak datang ke restoran miliknya dan makan sepuasnya di sana. Bahkan kepala chef-nya bisa saja disuruh untuk membuatkan menu privat sesuai permintaan mereka. “Kapan anak itu kan tiba? Sudah Mama bilang supaya dia pulang lebih awal dan bergabung sama kita, tapi kok belum terlihat batang hidungnya!” Tante Angela beberapa kali melirik ke arah pintu ruang privat mereka, menunggu anak semata wayangnya, Mas Darius tiba di sini. “Pasti sebentar lagi tiba, Ma. Baru saja Darius mengabari kalau dia sudah jalan dar
DIRAJA Pikirannya berkecamuk dan bercabang ke mana-mana selepas dia menghubungi Michelle. Saat dia tahu kalau asthma attack Michelle kumat di tengah perdebatan mereka, tanpa pikir panjang Diraja langsung cabut dari kantor meskipun beberapa waktu ke depan dia harusnya mengikuti rapat marketing dengan The Converge. Tapi menurutnya masalah kesehatan Michelle jauh lebih penting dan saat dia dengan tergesa-gesa keluar dari ruangannya, dia meminta Tito dan Nina untuk membereskan jadwalnya yang pasti akan berubah. “Tapi.. Pak? Apa saya perlu mendampingi Pak Diraja?” Tito bergegas mengikutinya namun Diraja berhenti sejenak. “Nggak usah, kamu sama Nina wakili saya saja di rapat nanti dengan The Converge. Nanti kabari saya bagaimana hasilnya. Dan kalau butuh keputus
Setelah ditinggal Michelle, ada perasaan kosong yang membuatnya merasa begitu gamang. Diraja menghela napasnya. Menelan kepahitan yang berasal dari rencana pernikahan bisnis yang akan dia lakukan bersama Ambar. Suara klakson mobil di belakang mereka akhirnya membuat Diraja tersadar dan meminta sang supir untuk kembali ke kantor. Diraja mencoba menghubungi Michelle untuk memastikan kalau dia baik-baik saja selepas pembicaraan mereka di dalam mobil tadi. Tapi sepertinya Michelle memblokir nomornya sehingga dia tak bisa menghubunginya. Saat membuka ponselnya, Diraja baru menyadari kalau dia tadi mendapatkan pesan singkat dari Ambar ketika dia bertengkar dengan Michelle. [Saya sudah bicara dengan keluarga besar saya, mereka nggak percaya kalau saya mempertimbangkan usul ini. Jika keluarga saya menolak
AMBAR “Kenapa kamu mempertimbangkan untuk menikah sama Diraja? Memang dia bicara apa saja sama kamu?” desak Mbak Amira dengan kekhawatiran yang tak dapat ditutupi. Ambar dilema, apakah dia perlu menceritakan semua yang dikatakan Diraja kepadanya, tentang masalah bisnis yang kemudian bisa saja membahayakan keluarganya karena kompetitor mereka yang jika didengar dari sudut pandang Diraja terdengar begitu gila. “Hmm… dia bilang ini demi kelangsungan perusahaan Mas Darius dan juga perusahaannya. Lebih baik konsolidasi dan menjadi lebih kuat,” ujar Ambar akhirnya. Kakaknya mengernyitkan dahinya, masih tak percaya dengan jawaban Ambar yang terdengar begitu generik. “Tante
Mereka semua menatap Ambar keheranan.“Kok tiba-tiba begini?” Ibu bertanya dengan kekhawatiran yang tak dapat ditutupi.Ibu dan bapak menoleh ke arahnya. Menunggu jawaban atau penjelasan yang dapat diberikan kepadanya mengenai masalah yang membuat heboh keluarga mereka ini.“Aku juga bingung, Bu,” ujar Mas Darius yang memiliki sentimen yang sama dengan sang ibu.Ambar berkelit dan mengedikkan bahunya.“Aku rasa ini bukan hal yang buruk, Bu. Tante Angela juga memiliki pendapat yang sama,” ujarnya mencoba meyakinkan kedua orangtuanya.“Tapi kamu bukan tipe impulsif seperti ini, Ibu tahu itu,” balas ibunya keras kepala. Dia pasti tahu a
DIRAJASaat Diraja sampai di rumah keluarganya yang terletak di daerah Dharmawangsa. Melihat halaman rumahnya telah terparkir mobil milik Mbak Rengganis dan suaminya serta mobil ayah pun sudah rapi berjajar di carport ketika dia turun dari mobil.Setelah mengucapkan terima kasih kepada supirnya, Diraja membawa tas kerjanya dan berjalan menuju rumah.Suasana malam ini memang cukup formal ketika dia memasuki foyer menuju ruang keluarganya. Vas-vas yang berisi bunga segar semakin banyak berjejer di setiap langkah dia berjalan. Sepertinya ibunya begitu serius untuk acara makan malam keluarga hari ini.
Diraja menuruti kakaknya dan duduk di sofa samping Rengganis. “Adik iparnya Darius Danudihardjo,” celetuk Diraja singkat. Rengganis memperhatikannya dengan saksama sebelum pandangan mereka beradu. “Perjodohan?” tanya Rengganis. Mencoba memastikan apa motif dibalik pernikahan yang tiba-tiba ini. “Kamu nggak tiba-tiba menghamili anak orang, kan?” tuduh sang kakak yang membuat Diraja jengkel. “Hey! Kamu menganggap aku sebrengsek apa sih, Mbak? Sampai-sampai menuduhku seperti itu!” Diraja bersungut kesal. Rengganis tertawa lebar seraya mengedikkan bahunya. “Who knows! Biasanya anak yang paling kalem yang justru suka buat pusing keluarga,” tutur Rengganis dengan iseng. Diraja memutar kedua bola matanya. “Tuduhan yang salah alamat. Mungkin Bian yang lebih cocok image-nya dengan prasangkamu itu, Mbak.” Diraja tiba-tiba mengungkit nama sepupu mereka yang sontak membuat Rengganis mengernyitkan dahinya. “Ini ada kaitannya sama Bian ya? Kok tumben kamu sensitif sekali sama dia
AMBARAmbar mengernyitkan dahinya ketika dia keluar dari mobil yang diberikan Mas Darius untuknya, mobil Lexus berwarna hitam yang baru saja rilis di Indonesia. Parkiran kampus hari ini terlihat begitu ramai, dan ketika Ambar menekan tombol lock, beberapa mahasiswa menoleh penasaran ke arahnya.“Ada apa sih?” Ambar berujar pelan sambil menggelengkan kepalanya, bingung.Dia menyampirkan tote bag Dior yang lagi-lagi dihadiahkan oleh kakaknya itu saat Darius melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri dan berjalan menuju gedung fakultasnya.Sepanjang perjalanan singkatnya, tak kurang lebih dari selusin orang menatapnya sambil berbisik-bisik. Hal tersebut membuat
“Selamat ulang tahun!” Suara yang mengagetkan Ambar ketika membuka pintu apartemennya membuatnya terhenti sejenak. Tangan kanannya masih memegang gagang pintu, sedangkan tangan kirinya sontak mengurutkan dadanya karena terperanjat kaget. Confetti dan suara terompet bersahutan menyambutnya masuk ke dalam apartemen malam ini. Wajah-wajah familiar menyapanya dengan senyuman dan tawa lebar. “Ya ampun, kok ada surprise segala?” ujarnya penuh haru. Dia menatap Diraja yang berjalan dengan langkah pelan dan pasti ke arahnya. Di tangan sang suami ada kue ulang tahun lengkap dengan lilin angka 20 yang sudah terbakar di atasnya, menunggu untuk ditiup olehnya. “Yang penting surprise-nya berhasil, ‘kan!” jawab Diraja penuh dengan kebanggaan. Ini memang sebuah pencapaian tersendiri untuk suaminya. Sebelumnya dia tak pernah melakukan ini. Ini merupakan surprise event perayaan ulang tahun pertama sejak mereka menikah. “Repot-repot banget, makasih banyak loh, sayang!” Ambar menjawab deng
AMBAR Dua bulan kemudian, Apakah mungkin keinginan menjadi ibu itu menular, apalagi jika sudah memegang bayi kecil, imut dan lucu di pelukannya sendiri? Ini sebenarnya yang dirasakan Ambar ketika dia melihat anaknya Mbak Amira dan Mas Darius yang akhirnya tiba juga menyapa mereka di dunia ini. Kakaknya baru saja selesai melahirkan putra pertama mereka yang diberi nama Maximilian Naradipta Danudihardjo. Nama keponakan pertama Ambar ini berdasarkan kompromi ayah dan ibu Maxi. Mbak Amira ingin tetap membawa nama lokal yang membumi sedangkan sang ayah ingin sesuatu yang memiliki sentuhan modern namun tetap terdengar regal. Ambar ingat sekali bagaimana mereka berdebat sedemikian rupa ketika satu waktu Ambar mengunjungi mereka. “Maxi… Maxi baby… ya ampun kamu lucu bangeeet! Mbak! Aku bawa pulang ya!” Ambar berceletuk asal tatkala melihat baby Maxi terlelap di tangan Mas Darius. Rasanya baru sekejap saja dia menggendong Maxi, tapi ayahnya sudah melebarkan tangannya agar Ambar men
Makan siangnya dengan Ambar di sebuah restaurant Chinese Food yang terletak di sebuah gedung perkantoran lantai teratas di kawasan dekat kampus Ambar berjalan begitu cepat di mata Diraja.Dua jam yang dihabiskan bersama sang istri terasa seperti sekedipan mata saja. Ketika hidangan selesai disantap dan dia melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 13.45 siang.“Aku habis ini masih ada kelas, Mas.” Ambar pun terlihat bolak-balik mengecek jamnya, berharap dia tak telat untuk kelas selanjutnya.“Jam berapa? Perjalanan dari restoran ini ke kampus kan nggak terlalu lama,” balas Diraja seraya memberikan sinyal kepada waitress untuk mengirimkan bill ke meja mereka.Sang waitress mengangguk dan mempersiapkan bill sambil membaw
DIRAJABreaking news, Sebuah penggerebekan terjadi di kawasan pedalaman Myanmar dan Kamboja oleh aparat setempat dibantu dengan koordinasi interpol dan kepolisian Republik Indonesia. Disinyalir gudang tersebut merupakan headquarter, atau markas besar tindakan kriminal judi online dan penipuan online dengan target masyarakat Indonesia. Menurut perkembangan terbaru, ada fakta yang lebih mengejutkan dibaliknya. Jika ditelusuri lebih dalam, ternyata terungkap banyak tindakan kejahatan transnasional yang bernaung dibalik operasi tersebut. Ada indikasi human trafficking atau penjualan manusia yang dipekerjakan secara ilegal dengan kondisi memprihatinkan tanpa adanya kesejahteraan dan hak asasi manusia yang dipenuhi. Pihak kepolisian masih mendalami dugaan kejahatan organ harvesting dan sex trafficking lintas negara dan benua dalam pemeriksaan lebih lanjut. Yang cukup mengejutkan, terendusnya jaringan kejahatan transnasional ini bermuara pada seorang konglomerat asal Singapura berinisia
RAKA Selama beberapa hari belakangan ini, dia selalu kembali ke apartemennya di atas jam dua malam. Begitu banyak yang harus dia kerjakan setelah mereka berhasil membawa Joseph Ong untuk diinterogasi di markas kepolisian. Tentu saja tarik ulur begitu hebat terjadi di balik layar. Pihak Joseph Ong lewat kedutaannya secara formal meminta pria itu diekstradisi segera kembali ke Singapura untuk menjalani pemeriksaan di sana. Yang turun tangan membereskan masalah berkaitan dengan hukum, legalitas, melihat loophole dari aturan tentu saja dirinya. Raka bertugas di belakang layar membersihkan dan menguraikan kusutnya benang birokrasi, ditambah dengan berbagai channel dan networking yang luas dari Darius, mereka akhirnya berhasil memberikan waktu lebih banyak untuk kepolisian Indonesia serta interpol mengulik sampai dalam dan menarik bukti sebelum tim kuasa hukum beserta backingnya Joseph Ong menutup akses penyelidikan, atau yang paling parah–menghilangkan alat bukti. Dan orang yang cuku
Ibu bersikeras jika mereka kembali ke kediaman beliau di daerah Dharmawangsa. Bersama Mbak Rengganis dan ayah, mereka bertiga menolak keinginan Diraja untuk kembali ke apartemen dan memulihkan diri di sana. Ambar pun setuju dengan keputusan tersebut. Ini sudah hari ketiga sejak Diraja diputuskan bisa kembali ke rumah dan memulihkan diri di kediamannya. Kemarin tim dokter selesai melakukan kontrol pertama dan memastikan proses penyembuhan Diraja berjalan seperti yang semestinya. “Sayang, aku bosan makan bubur terus,” ujar Diraja saat Ambar membantunya mengeringkan rambut suaminya setelah dia bersikeras untuk mandi karena sudah lebih dari dua hari dia tidak melakukannya. “Tapi–takutnya kamu sulit mengunyah, makanya ibu dari kemarin menyiapkan bubur untukmu, Mas!” balas Ambar dengan sabar. Sebenarnya bahkan sejak kembali dari rumah sakit, sikap Diraja jauh lebih manja dan terkadang dia tak ingin ditinggal oleh Ambar. Setiap saat jika Ambar keluar kamar untuk melakukan sesuatu, d
AMBARDerap langkahnya menggema sepanjang koridor rumah sakit. Ibu mertuanya pun bergandengan tangan dengannya berjalan dengan langkah cepat, membawa kekhawatiran yang tak dapat diungkapkan tatkala Mas Darius menghubunginya malam tadi. Pikirannya kalut, bahkan selepas Diraja berpamitan dan meminta Ambar untuk menyampaikan pesan singkatnya kepada Pak Rama. Ambar sempat membaca secarik kertas tersebut, isinya meminta agar Pak Rama menghubungi kakak iparnya–Mas Darius dan meminta mereka untuk tracking lokasinya. Dari pesan itu saja Ambar bisa menakar jika Diraja melakukan hal yang berbahaya. Makanya dari tadi dia harus menyembunyikan kegelisahannya di hadapan ibu mertuanya dan menganggap semuanya baik-baik saja. Pak Rama dan Mas Darius pun tak bisa dihubungi sehingga tak ada kepastian akan apa yang sebenarnya terjadi. Pertahanannya runtuh tatkala kakak iparnya mengabari jika Mas Diraja berada di rumah sakit. Saat ini Pak Rama sudah on the way untuk menjemput Ambar untuk ke rumah saki
DARIUSRaka akhirnya memberikan lokasi tujuan Diraja pergi tepat sebelum mereka keluar pintu tol. Setelah mendapatkan lokasi, dengan cepat dirinya mengatur alamat tersebut pada sistem GPS mobil Nero sehingga mereka bisa langsung melaju menuju tempat Michelle disekap oleh Joseph Ong. “Tim terbaik kita ada di belakang, estimasi sekitar lima menit akan bisa menyusul kita,” ujar Nero memberikan update kepadanya. “Bagaimana dengan tim kepolisian dan medis?” Darius bertanya. Kali ini Raka yang menjawab pertanyaannya. “Sudah diinfokan ke pusat, mereka sekarang sedang koordinasi dengan pihak kepolisian setempat. Kontak kita juga sudah berangkat dari Mabes agar bisa berkomunikasi dengan jaringan interpol,” jawab Raka dengan mendetail. “Keep us updated,” ucapnya sebelum memutus sambungan dan kembali fokus untuk menyelamatkan Michelle dan Diraja. Entah apa yang harus Darius katakan kepada Diraja atas tindakan impulsifnya itu. Pergi begitu saja tanpa menyusun langkah dan rencana matang denga
DIRAJA Diraja memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju tempat yang sudah ditentukan oleh Joseph Ong. Dia yakin jika Ambar mengerti instruksinya dengan baik dan dia menunggu mobilisasi tim Darius dan Nero untuk membantunya kelak dalam menghadapi Joseph Ong nanti. Dia tiba di tempat yang diminta, sebuah rumah yang masih setengah jadi. Kanan kiri masih berupa kavling kosong. Namun dia yakin ini tempat yang benar karena ada beberapa orang preman berbadan tegap sudah berjaga di sekitar tempat tersebut. Ini berbahaya. Semoga saja pesannya tersampaikan dan tim Darius memberikan bantuan untuknya, agar dia tak mati konyol di sini menyelamatkan Michelle. Diraja turun dari mobilnya dan secepat kilat tiga orang mengelilinginya, dengan satu orang langsung mengikat tangannya dengan borgol dan menempelkan plester agar dia tak dapat berbicara. Ah, sial! Diraja benar-benar berada dalam keadaan terpojok datang ke tempat ini seorang diri. “Masuk! Bos sudah nunggu dari tadi!” ujar salah